“Jadi, ternyata kamu orang kaya hah ….?” sindir Marissa saat kendaraan mereka membelah jalan Ankara. “Aku tidak tahu jika ibu kandungmu sudah meninggal, maaf ….” ujar Marissa yang merasa bersalah sudah berpikiran buruk pada Deniz selama ini.“Kita mau ke mana lagi, Deniz? Tubuhku sudah lelah sekali. Aku sangat merindukan kasurku,” gadis itu bergumam di akhir kalimat. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab, meski Deniz bertingkah manja di hadapannya. Marissa melihat Deniz sedang memijat pangkal keningnya yang terasa sakit sejak ia menjejakkan kaki di kediaman—Ghazy.Marissa mencium ke arah ketiaknya sendiri, ada bau tidak sedap berasal dari sana. “Ohhh, tubuhku sudah sangat lengket. Aku mau mandi, tapi aku tidak membawa baju ganti satu pun. Dan aku sangat lapar ….”Marissa terus saja bermonolog dengan dirinya sendiri. Meski ia tahu, jika tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Pria itu mendadak jadi pendiam sejak meninggalkan rumah orang tuanya. Bahkan ia tidak melirik Marissa sedikit p
"Kita belum membicarakan hal itu. Aku belum siap jika kamu menyentuh tubuhku." Marissa sudah membungkus tubuhnya dengan kimono berbahan satin.Nampak rahang Deniz mengeras, ia duduk tepat di sebelah ranjang. Ia menatap tajam pada Marissa yang sekalipun tidak mau meliriknya. Kedua sikunya ditopangkan pada pegangan sofa yang empuk, Deniz duduk dengan sebelah kaki disilangkan.“A-Aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah yang kita lakukan ini adalah—benar?” lanjut Marissa dengan tatapan yang kosong. Kedua tangan gadis itu bersedekap di depan dada, ia merasa—entah.Sementara itu, Deniz membiarkan gadis tersebut mengungkapkan keluh kesahnya setelah melewati hari yang berat. Bahkan Deniz melihat jika Marissa telah mengesampingkan rasa laparnya. “Aku, aku harus bagaimana ….?” Marissa mengusap titik embun yang mulai membasah di sudut kelopak matanya. Ia menoleh ke samping, di mana pria yang baru mengucapkan ikrar janji dengannya duduk tanpa ekspresi yang ramah.“Aku sud
“Deniz, ah! Hentikan ….” napasnya terengah-engah. Marissa tidak diberi kesempatan untuk bergerak sedikitpun. Kimono yang semula menutup rapat tubuhnya, kini telah terlepas entah ke mana. “Oh, shit ….!” umpat Marissa saat melihat sebagian tubuhnya sudah terpampang nyata di hadapan suaminya.“Yakin mau menghentikan kenikmatan ini, Nona?” bisik Deniz setelah berhasil mengaduk-aduk perasaan Marissa.Entah sejak kapan kedua anak manusia itu sudah berada di atas kasur yang empuk. Kepala pria itu kembali merangsek pada dua aset berharga milik, Marissa. Sementara tangannya yang nakal meremas dengan gemas.“D-Deniz, Ahhh ….” desahan itu kembali menghiasi ruangan. Berganti dengan adu napas yang berderu layaknya pelari marathon.Deniz memberinya jeda sejenak, ia melihat Marissa kelabakan dengan aksinya. Pria itu menyunggingkan senyuman di sudut bibir, lalu menarik diri dari hadapan Marissa. “T-Tapi kenapa ….?” Marissa berusaha menstabilkan diri. Ia melihat Deniz perlahan menjauh darinya setela
“Selamat pagi, Nona. Oh, maaf! Sepertinya hari sudah beranjak siang, Maafkan saya sudah mengganggu waktu istirahat Anda.” Seorang pelayan membuka kain gorden yang menutupi jendela tepat berada di sampingnya. Gadis berambut coklat keemasan itu membuka kelopak matanya yang terasa masih berat. Ia melihat bayangan seseorang tengah mondar-mandir di dalam ruangan yang tidak seberapa luas tersebut.“Jam berapa sekarang?” tanya Marissa dengan memicingkan kelopak matanya. Rupanya ia tertidur di kursi sofa semalam suntuk. Kejadian kemarin serta perdebatannya dengan Deniz, membuat tubuh dan otaknya benar-benar lelah. Marissa menggeliat, ia merenggangkan ototnya yang terasa kaku.Pelayan tersebut menghentikan langkahnya, ia pun berdiri di hadapan Marissa dengan tegap. Perempuan berusia kisaran 45 tahun tersebut melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan, lalu mengangkat wajahnya kembali.“Tepat jam 11 siang, Nona!” jawab pelayan tersebut tanpa basa-basi.Marissa langsung berdi
"Makan dulu!" Deniz mengangsurkan satu sendok berisi sup hangat pada, Marissa."Aku bukan anak kecil, Deniz. Aku bisa makan sendiri." Marissa sedikit menjauhkan wajahnya untuk menghindari suapan dari pria itu. Ah, ralat! Pria yang sudah menjadi suaminya dalam waktu semalam.“Bagaimana mau makan, jika tanganmu terlalu sibuk dengan layar ponsel?” sindir Deniz yang meletakkan sendok tersebut ke dalam mangkuk.Tidak ada sahutan dari arah, Marissa. Gadis itu tetap menunduk sambil membalas pesan pada seseorang.“Aku menyempatkan pulang dan kamu lebih sibuk dengan ponselmu? Lagi chat sama siapa sih?” Deniz memperhatikan dengan wajah tak suka. Apalagi Marissa terkesan acuh dengan kehadirannya saat ini.“Aku harus ke kantor,” tiba-tiba Marissa beranjak dari tempat duduknya.“Apa?! Jangan gila!” cegah Deniz yang kini ikut berdiri sebelum istrinya benar-benar nekat pergi.Marissa berjalan menuju meja rias. Ia merapikan rambutnya, kemudian mengikat dengan sebuah karet. Gadis itu memagut dirinya d
BRAK!Marissa menggebrak meja dengan cukup keras. Ia melemparkan beberapa lembar pas photo yang didapatnya dari sang suami—Deniz.“Apa maksud kalian sebenarnya, hah? Bukankah kamu sudah menerima banyak uang dari suamiku? Kenapa kalian masih berada di sini? Ini kantorku, kalian tidak punya hak di sini.” Marissa yang merasa tidak terima memberondong Kevin dengan beberapa pertanyaan. Ia butuh penjelasan lebih detail, kenapa Kevin dan Joanna menduduki kursi dalam perusahaan miliknya.Kedua orang itu menatapnya tanpa rasa takut. Bahkan Kevin dengan santainya menopangkan kedua telapak tangannya di dagu. Sementara itu Joanna, adik angkatnya itu berdiri dengan manja di samping kursi yang diduduki oleh Kevin.“Hai, Marissa. Senang bertemu denganmu kembali. Selamat atas pernikahanmu, maaf kami tidak bisa memberi sambutan yang baik.” Joanna mengulas senyuman, sebuah senyuman yang penuh kemunafikan.“Duduk dulu! Baru datang, kenapa harus marah-marah?” sambung Kevin dengan paras tanpa bersalah sed
“Dasar perempuan jalang! Kenapa kau robek dokumen itu, hah?!” seru Joanna yang sudah kalap. Ia menghampiri Marissa, lalu menampar pipi kakak angkatnya tersebut dengan cukup keras. Wajah Marissa sedikit terpelanting ke arah kanan mengikuti pergerakan tangan, Joanna.“Shit!” umpat Marissa sambil memegang pipi kirinya yang terasa nyeri.“Hei! Jangan lancang!” Deniz mendorong tubuh Joanna agar adik iparnya tersebut tidak kembali menyakiti istrinya.Kevin menangkap bahu Joanna agar tubuh perempuan itu tidak terjatuh. Lalu ia pun berdiri di depan, sehingga posisinya kini saling berhadapan dengan Deniz.“Sebelum aku bertindak kasar pada kalian. Pergi!” tunjuk Kevin yang mengarah sengit pada dua orang di hadapannya itu.Kevin bersiap untuk memerintahkan security yang dengan siaga menunggu perintah darinya. “Bukankah sudah jelas? Perjanjian di awal masih berlaku, aku sudah tekankan berulang kali padamu.” Ia menatap tajam ke arah, Marissa.“Uang dan perusahaan ini tidak mampu menutupi semua hu
“Kenapa kalian tiba-tiba menghubungiku? Aku pikir, Kalian sudah lupa jika memiliki putri sepertiku.” Marissa menghela napas dengan berat, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.Nyonya Sawyer alias ibu dari Marissa, siang ini menghubunginya dan ingin bertemu di suatu tempat. Kini mereka sudah duduk melingkar pada satu meja di sebuah restoran ternama. “Kenapa dia ada di sini?” sungut tuan Sawyer sambil melirik tak suka ke arah, Deniz.“Dia suamiku, menantu Ayah.” Jawab Marissa tanpa perlu basa-basi.“Suami pura-pura,” gumam tuan Sawyer menimpali ucapan dari putrinya.“Ayah, jangan mulai deh!” tepis Marissa yang tidak menginginkan pertemuan kali ini berantakan karena ulah orang tuanya yang belum bisa menerima kehadiran, Deniz.Nyonya Sawyer berusaha menenangkan suaminya, ia menepuk pelan punggung tangan tuan Sawyer. Tapi tetap saja, pria paruh baya itu terlihat menahan emosinya di dada. Sehingga nampak napasnya seolah sedang memburu tak tenang. “Deniz terluka. Apa Ayah tidak