Share

SI MULUT PEDAS

"Eh, maaf Kak!"

Bukan hanya Dini saja yang langsung tak berkutik saat mendengar celetukan Rio. Dua suster yang juga sedang asik dengan cemilan mereka pun langsung membisu.

“Ibu macam apa yang tidak menyiapkan minum untuk anaknya yang sedang makan?!” sindir Rio lagi.

“A-ah, iya. Sebentar.” Buru-buru Dini bergerak mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air mineral.

"Berikan padaku!” Rio langsung merebut gelas itu dari tangan Dini. “Jangan lupa kopiku!" katanya yang langsung melenggang menuju Anggia lagi.

Sepeninggal Rio, Dini dengan cekatan meracik kopi kesukaan pria itu yang sudah berada di luar kepalanya. 7 tahun terbiasa bersama, membuat Dini begitu paham apa yang pria itu inginkan.

Piccolo latte adalah kopi yang dikenal berasal dari Spanyol, kesukaan Rio.

Tidak butuh waktu lama, wanita itu pun segera membawa kopi racikannya menghadap si empunya.

"Ini kak!" seru Dini tanpa menatap Rio saat membawa gelasnya mendekat.

Bibir Rio yang melengkung tipis kala melihat kopi yang disajikan Dini itu luput dari wanita tersebut yang enggan menatapnya.

Rio mengambil kopinya, disusul laporan Anggia yang terdengar protes, "Mama onde-ondenya sudah habis."

“Masih kurang, Nak? Tadi Mama buatnya banyak, lho, padahal.”

Bocah itu terlihat memberengut. "Tapi tadi makannya berdua sama Om Rio.” Anggia menatap takut-takut pada Rio. “Om Rio juga makannya cepat sekali, Ma.”

Refleks, Dini menatap sinis ke arah Rio yang seolah tidak ingin mengalah pada anak kecil seperti Anggia.

Namun, tatapan Dini itu langsung dibalas oleh ucapan tajam dari pria itu.

"Sudah tahu anaknya menderita thalasemia, masa diberikan makanan seperti ini banyak-banyak? Kamu ingin membunuh anakmu sendiri?" ucap Rio tanpa disortir.

Tak peduli juga ada banyak orang di sana, apalagi Anggia juga mendengarnya.

Sayangnya, kemampuan Dini untuk mendebat apalagi membela diri agaknya menghilang jika di hadapkan dengan Rio.

Wanita itu hanya bisa menunduk, menahan tangisnya. "Maaf, dan terima kasih sudah mengkhawatirkan anakku.”

"Tidak perlu minta maaf padaku! Kan bukan anakku yang kamu perlakukan begitu! Tapi coba saja kamu berbuat begitu pada anakku, maka tidak ada ampun."

Lagi-lagi, Dini mengalah. Dia hanya menjawab sekadarnya. “Baik, Kak.”

“Apa kamu sudah menyiapkan makan malam?” tanya Rio lagi.

Dini terhenyak. Dua minggu ini, dia memang hobi memasak untuk mengisi waktu. Itu pun, Rio tidak tahu.

Lantas, kenapa hari ini pria itu justru seakan memperlakukan Dini bagai seorang pembantu?

Pertama meminta wanita itu membuatkan kopi, menggoreng onde-onde buatannya lebih banyak, hingga kini bertanya perihal makan malam.

Geram karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Rio menatap murka pada dua perawat yang dipekerjakannya untuk Anggia.

"Kalian berdua ditugaskan dokter Teddy di sini untuk merawat Anggia. Apa kalian tidak memberitahukan Ibunya tentang pantangan dan saran menu yang baik untuk Anggia?!”

"Jangan salahkan mereka, Kak." Dini membela dua suster yang menjadi samsak kemarahan Rio. “Ini semua salahku.”

Rio mengibaskan tangannya dengan wajah frustrasi. “Sudahlah. Lebih baik sekarang kamu bersiap!”

“Ke mana, Kak?” Dini dengan polos bertanya. Ia bingung, sebab baru saja Rio memintanya memasak makan malam, tetapi pria itu kini mengajaknya keluar.

“Makan malam, sekaligus memperkenalkan kamu dengan istriku.”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Pasti ada sesuatu yg terjadi sehingga kata kata yg keluar dari mulut Rio sangat menyakitkan....
goodnovel comment avatar
Yuli Yazid
mulut mu Rio pedes banget...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status