Share

3 Segera Diresmikan

Ketika ayah dan ibu akhirnya kembali, Rio memberanikan diri untuk menceritakan keinginan Shara dan juga perbuatannya yang nyaris menghilangkan nyawa dirinya sendiri.

“Apa, menikah?!”

Ibu memandang bingung Slavia saat Rio memberitahukan soal keinginan Shara yang harus mereka lakukan karena keinginannya menimang anak.

Saat itu hanya ada ayah dan ibu Slavia saja, sementara asisten rumah tangga sedang keluar rumah.

“Betul, Bu. Aku ... sebenarnya aku juga tidak setuju dengan ide Shara,” sahut Rio dengan berat hati.

“Tapi Rio, Via ini adalah adiknya Shara yang berarti dia adik ipar kamu.” Ibu mencoba mencari celah. “Bagaimana mungkin Shara memilih ide seperti itu ... Apa tidak ada cara lain yang bisa kalian lakukan selain menjadikan Via sebagai istri kedua?”

“Masalahnya Shara memaksa, Bu. Dia bahkan rela melukai pergelangan tangannya sendiri karena aku menolak untuk menikahi Via,” jelas Rio putus asa.

Slavia mulai merasa simpati dengan apa yang dialami Rio sebagai suami, dia tahu bahwa kakak iparnya itu adalah orang yang setia.

“Rio, saya ingin bertemu Shara. Siapa tahu saya bisa membujuk dia untuk program bayi tabung saja,” kata ayah.

“Ibu setuju, Shara mungkin sedang dalam keadaan tertekan.”

Rio mengangguk setuju. Bersama-sama mereka berempat pergi menuju rumah sakit tempat Shara dirawat karena perbuatannya melukai diri sendiri.

“Aku tetap mau Via yang hamil, Yah ...” Shara mengungkapkan keinginannya dengan terbata-bata. “Aku nggak mau bayi tabung, terlalu lama ... aku mau anak itu dilahirkan oleh seseorang yang aku kenal dekat, dia adalah Via ....”

Ayah dan ibu saling pandang.

“Shara, jangan seperti ini.” Rio menegur.

“Aku nggak mau bicara sama kamu,” sahut Shara murung. “Kamu nggak pernah tahu perasaan aku, Mas.”

“Shara,” tegur ibu. “Tidak akan ada pernikahan antara Rio dan Via, kami tidak pernah memaksa kamu untuk segera hamil. Jadi kamu jangan merasa tertekan seperti ini.”

Shara yang sejak awal mencetuskan ide ini, hanya melempar pandangan dinginnya kepada Slavia, tapi itu lebih dari cukup untuk membuat Slavia merasa sedang dihakimi.

“Aku nggak peduli, Bu ... Yang jelas aku mau cepat-cepat menggendong bayi!” seru Shara histeris. “Kenapa sih nggak ada yang mau mengerti aku?”

Slavia menarik napas.

“Apa nggak ada ide selain menikah?” katanya heran. “Masa aku harus jadi istri kedua kakak ipar? Kenapa kamu nggak adopsi anak saja, Kak?”

“Aku nggak minta pendapat kamu! Aku ingin dalam dua minggu ini mereka segera diresmikan.”

“Apa? Dua minggu?” seru Rio kaget. “Yang benar saja—Bu, Ayah, ini gimana?”

Astaga, batin Slavia sambil memegang keningnya.

“Makin cepat makin baik,” kata Shara dengan wajah puas. “Turuti permintaan aku atau aku tidak akan mau minum obat sama sekali, silakan kalian pilih.”

“Shara, jangan seperti ini. Keinginan kamu itu mustahil untuk dilakukan, Rio tidak mungkin menikahi Via.”

Shara menundukkan wajahnya.

“Maaf Bu, tapi itu artinya kalian tidak memberikan aku pilihan,” ujar Shara lirih. “Aku mau pulang saja, aku tidak perlu dirawat ...”

Dengan gerakan cepat, Shara melepas infusnya hingga darah memercik ke seprai.

“Shara! Apa yang kamu lakukan?” Ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Kok bisa-bisanya kamu ... Ini bagaimana ... Rio, panggilkan suster!”

Rio mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, Shara sudah sangat sulit untuk dikendalikan lagi.

“Aku nggak mau diperiksa! Biar aku kehilangan banyak darah!” Shara masih menjerit-jerit. “Aku cuma mau Mas Rio menikah sama Via! Setelah dia hamil, mereka boleh bercerai dan aku yang akan merawat anaknya!”

Karena Shara terus histeris dan sulit untuk dibujuk secara baik-baik, akhirnya Rio menyerah dan setuju untuk mengabulkan keinginannya.

“Oke, aku akan menikahi Via sesuai keinginan kamu.”

Slavia membelalakkan matanya. “Kakak serius?”

“Terpaksa, Vi!” tegas Rio. “Kamu lihat sendiri situasinya seperti apa.”

“Kamu serius, Mas?” tanya Shara dengan wajah memelas. “Kamu bersedia menikahi Via demi mewujudkan keinginan aku menggendong bayi?”

Mau tak mau, Rio mengangguk.

“Sekarang aku mohon sama kamu untuk nurut sama dokter,” ujar Rio lambat-lambat. “Aku mau kamu cepat sembuh ...”

“... tentu saja! Aku harus pulih untuk mempersiapkan acara pernikahan kamu!” Shara mendadak bersemangat. “Via akan jadi istri kamu untuk sementara. Jadi aku harus bantu dia mempersiapkan diri juga ... Acaranya sederhana saja dan sebaiknya dilakukan secara tertutup ...”

Ayah dan papa ibu saling pandang, begitu juga dengan Slavia dan juga Rio.

“Boleh kami rundingan dulu, Kak?” tanya Slavia keberatan.

“Silakan.” Shara mengangguk.

Kedua orang tua mereka mendekat ke arah Slavia, sementara Rio tetap di kursinya dengan pasrah.

“Vi, kamu harus nikah sama kakak ipar kamu. Mau, ya?” bisik ibu. “Rio juga setuju, kok. Paling tidak, Shara jadi mau dirawat sampai sembuh.”

“Bu, Kak Rio itu kakak ipar aku...” ujar Slavia berat hati. “Aku belum sanggup jadi istri orang, belum nanti kalau aku betulan hamil, aku takut melahirkan ....”

“Mikirmu kejauhan, Vi,” tukas ayah. “Yang penting masalah Shara selesai dulu. Soal pernikahan kamu dan Rio, ini cuma sementara. Setelah kamu hamil dan melahirkan, kalian bisa bercerai tanpa ada yang tahu.”

“Aku belum siap menikah, Yah ...”

“Cuma sementara saja, nantinya juga kamu akan bercerai dari Rio,” tukas ayah lagi. “Kamu nurut saja, ya? Nikah dulu sama Rio biar masalah kakak kamu cepat berlalu.”

Bener-bener bencana, batin Slavia nelangsa.

Dia harus bersusah-payah menahan tangis di samping Rio sementara ayah dan ibu merundingkan hari dan tanggal pernikahan mereka bersama Shara.

Rio tidak tahu harus menghibur dengan cara apa supaya bisa meredam air mata Slavia yang mulai membanjir. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya dia bisa keluar dari situasi sulit seperti pernikahan kedua.

“Sudah, kamu tidak perlu menangis. Pernikahan kita cuma sementara waktu saja,” kata Rio akhirnya.

“Kakak kok tenang-tenang saja, sih?” sahut Slavia sambil mengusap matanya. “Kakak senang ya sama rencana pernikahan ini?”

Rio menarik napas.

“Apa kamu tidak bisa membedakan mana ekspresi senang sama sedih?” komentarnya. “Kalau aku senang, pasti sudah dari awal aku menyetujui ide kakak kamu.”

“Terus gimana, aku kan belum siap menikah ...”

“Sama, kamu pikir aku juga siap punya dua istri?” tukas Rio. “Kamu tidak perlu khawatir, sekali lagi ini cuma sementara saja—daripada Shara mencoba menyakiti dirinya lagi ....”

“Ya sudah, apa boleh buat.” Slavia mengusap matanya yang sembab.

Hari pernikahan tiba, hanya dalam hitungan menit saja Slavia akan mengukir sebuah sejarah baru dalam hidupnya. Sekaligus mengubah status dirinya yang semula masih lajang menjadi seorang pengantin atas dasar paksaan kakaknya sendiri.

Shara memasuki kamar Slavia untuk menjemputnya turun ke bawah.

“Vi, petugasnya sudah datang. Kamu sudah siap kan?” tanya Shara sambil mendekati adiknya yang sedang merapikan baju kebaya.

“Sudah, Kak. Tinggal mempersiapkan mental saja yang rasanya nggak pernah siap,” jawab Slavia mengandung sindiran.

“Kamu tenang saja, asal kamu cepat hamil maka kamu akan semakin cepat terbebas dari pernikahan ini.” Shara berkomentar santai.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status