Ketika ayah dan ibu akhirnya kembali, Rio memberanikan diri untuk menceritakan keinginan Shara dan juga perbuatannya yang nyaris menghilangkan nyawa dirinya sendiri.
“Apa, menikah?!”Ibu memandang bingung Slavia saat Rio memberitahukan soal keinginan Shara yang harus mereka lakukan karena keinginannya menimang anak.Saat itu hanya ada ayah dan ibu Slavia saja, sementara asisten rumah tangga sedang keluar rumah.“Betul, Bu. Aku ... sebenarnya aku juga tidak setuju dengan ide Shara,” sahut Rio dengan berat hati.“Tapi Rio, Via ini adalah adiknya Shara yang berarti dia adik ipar kamu.” Ibu mencoba mencari celah. “Bagaimana mungkin Shara memilih ide seperti itu ... Apa tidak ada cara lain yang bisa kalian lakukan selain menjadikan Via sebagai istri kedua?”“Masalahnya Shara memaksa, Bu. Dia bahkan rela melukai pergelangan tangannya sendiri karena aku menolak untuk menikahi Via,” jelas Rio putus asa.Slavia mulai merasa simpati dengan apa yang dialami Rio sebagai suami, dia tahu bahwa kakak iparnya itu adalah orang yang setia.“Rio, saya ingin bertemu Shara. Siapa tahu saya bisa membujuk dia untuk program bayi tabung saja,” kata ayah.“Ibu setuju, Shara mungkin sedang dalam keadaan tertekan.”Rio mengangguk setuju. Bersama-sama mereka berempat pergi menuju rumah sakit tempat Shara dirawat karena perbuatannya melukai diri sendiri.“Aku tetap mau Via yang hamil, Yah ...” Shara mengungkapkan keinginannya dengan terbata-bata. “Aku nggak mau bayi tabung, terlalu lama ... aku mau anak itu dilahirkan oleh seseorang yang aku kenal dekat, dia adalah Via ....”Ayah dan ibu saling pandang.“Shara, jangan seperti ini.” Rio menegur.“Aku nggak mau bicara sama kamu,” sahut Shara murung. “Kamu nggak pernah tahu perasaan aku, Mas.”“Shara,” tegur ibu. “Tidak akan ada pernikahan antara Rio dan Via, kami tidak pernah memaksa kamu untuk segera hamil. Jadi kamu jangan merasa tertekan seperti ini.”Shara yang sejak awal mencetuskan ide ini, hanya melempar pandangan dinginnya kepada Slavia, tapi itu lebih dari cukup untuk membuat Slavia merasa sedang dihakimi.“Aku nggak peduli, Bu ... Yang jelas aku mau cepat-cepat menggendong bayi!” seru Shara histeris. “Kenapa sih nggak ada yang mau mengerti aku?”Slavia menarik napas.“Apa nggak ada ide selain menikah?” katanya heran. “Masa aku harus jadi istri kedua kakak ipar? Kenapa kamu nggak adopsi anak saja, Kak?”“Aku nggak minta pendapat kamu! Aku ingin dalam dua minggu ini mereka segera diresmikan.”“Apa? Dua minggu?” seru Rio kaget. “Yang benar saja—Bu, Ayah, ini gimana?”Astaga, batin Slavia sambil memegang keningnya.“Makin cepat makin baik,” kata Shara dengan wajah puas. “Turuti permintaan aku atau aku tidak akan mau minum obat sama sekali, silakan kalian pilih.”“Shara, jangan seperti ini. Keinginan kamu itu mustahil untuk dilakukan, Rio tidak mungkin menikahi Via.”Shara menundukkan wajahnya.“Maaf Bu, tapi itu artinya kalian tidak memberikan aku pilihan,” ujar Shara lirih. “Aku mau pulang saja, aku tidak perlu dirawat ...”Dengan gerakan cepat, Shara melepas infusnya hingga darah memercik ke seprai.“Shara! Apa yang kamu lakukan?” Ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Kok bisa-bisanya kamu ... Ini bagaimana ... Rio, panggilkan suster!”Rio mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, Shara sudah sangat sulit untuk dikendalikan lagi.“Aku nggak mau diperiksa! Biar aku kehilangan banyak darah!” Shara masih menjerit-jerit. “Aku cuma mau Mas Rio menikah sama Via! Setelah dia hamil, mereka boleh bercerai dan aku yang akan merawat anaknya!”Karena Shara terus histeris dan sulit untuk dibujuk secara baik-baik, akhirnya Rio menyerah dan setuju untuk mengabulkan keinginannya.“Oke, aku akan menikahi Via sesuai keinginan kamu.”Slavia membelalakkan matanya. “Kakak serius?”“Terpaksa, Vi!” tegas Rio. “Kamu lihat sendiri situasinya seperti apa.”“Kamu serius, Mas?” tanya Shara dengan wajah memelas. “Kamu bersedia menikahi Via demi mewujudkan keinginan aku menggendong bayi?”Mau tak mau, Rio mengangguk.“Sekarang aku mohon sama kamu untuk nurut sama dokter,” ujar Rio lambat-lambat. “Aku mau kamu cepat sembuh ...”“... tentu saja! Aku harus pulih untuk mempersiapkan acara pernikahan kamu!” Shara mendadak bersemangat. “Via akan jadi istri kamu untuk sementara. Jadi aku harus bantu dia mempersiapkan diri juga ... Acaranya sederhana saja dan sebaiknya dilakukan secara tertutup ...”Ayah dan papa ibu saling pandang, begitu juga dengan Slavia dan juga Rio.“Boleh kami rundingan dulu, Kak?” tanya Slavia keberatan.“Silakan.” Shara mengangguk.Kedua orang tua mereka mendekat ke arah Slavia, sementara Rio tetap di kursinya dengan pasrah.“Vi, kamu harus nikah sama kakak ipar kamu. Mau, ya?” bisik ibu. “Rio juga setuju, kok. Paling tidak, Shara jadi mau dirawat sampai sembuh.”“Bu, Kak Rio itu kakak ipar aku...” ujar Slavia berat hati. “Aku belum sanggup jadi istri orang, belum nanti kalau aku betulan hamil, aku takut melahirkan ....”“Mikirmu kejauhan, Vi,” tukas ayah. “Yang penting masalah Shara selesai dulu. Soal pernikahan kamu dan Rio, ini cuma sementara. Setelah kamu hamil dan melahirkan, kalian bisa bercerai tanpa ada yang tahu.”“Aku belum siap menikah, Yah ...”“Cuma sementara saja, nantinya juga kamu akan bercerai dari Rio,” tukas ayah lagi. “Kamu nurut saja, ya? Nikah dulu sama Rio biar masalah kakak kamu cepat berlalu.”Bener-bener bencana, batin Slavia nelangsa.Dia harus bersusah-payah menahan tangis di samping Rio sementara ayah dan ibu merundingkan hari dan tanggal pernikahan mereka bersama Shara.Rio tidak tahu harus menghibur dengan cara apa supaya bisa meredam air mata Slavia yang mulai membanjir. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya dia bisa keluar dari situasi sulit seperti pernikahan kedua.“Sudah, kamu tidak perlu menangis. Pernikahan kita cuma sementara waktu saja,” kata Rio akhirnya.“Kakak kok tenang-tenang saja, sih?” sahut Slavia sambil mengusap matanya. “Kakak senang ya sama rencana pernikahan ini?”Rio menarik napas.“Apa kamu tidak bisa membedakan mana ekspresi senang sama sedih?” komentarnya. “Kalau aku senang, pasti sudah dari awal aku menyetujui ide kakak kamu.”“Terus gimana, aku kan belum siap menikah ...”“Sama, kamu pikir aku juga siap punya dua istri?” tukas Rio. “Kamu tidak perlu khawatir, sekali lagi ini cuma sementara saja—daripada Shara mencoba menyakiti dirinya lagi ....”“Ya sudah, apa boleh buat.” Slavia mengusap matanya yang sembab.Hari pernikahan tiba, hanya dalam hitungan menit saja Slavia akan mengukir sebuah sejarah baru dalam hidupnya. Sekaligus mengubah status dirinya yang semula masih lajang menjadi seorang pengantin atas dasar paksaan kakaknya sendiri.Shara memasuki kamar Slavia untuk menjemputnya turun ke bawah.“Vi, petugasnya sudah datang. Kamu sudah siap kan?” tanya Shara sambil mendekati adiknya yang sedang merapikan baju kebaya.“Sudah, Kak. Tinggal mempersiapkan mental saja yang rasanya nggak pernah siap,” jawab Slavia mengandung sindiran.“Kamu tenang saja, asal kamu cepat hamil maka kamu akan semakin cepat terbebas dari pernikahan ini.” Shara berkomentar santai.Bersambung—“Kakak ini benar-benar aneh memang,” tanggap Slavia sambil berdiri dan memandang dirinya sendiri di kaca untuk terakhir kalinya sebelum turun.Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan akan diakhiri dengan diam-diam, Slavia tetap saja merasa gugup saat Shara menuntunnya untuk duduk di samping Rio yang hanya memakai kemeja putih sederhana dengan ekspresi tidak terbaca di wajahnya.Pernikahan itu sendiri dilaksanakan tertutup di kediaman orang tua Shara dan dihadiri oleh saksi dan orang tua Rio yang tampak bingung.Jantung Slavia bergemuruh keras sekali ketika sang ayah menjabat tangan Rio kuat-kuat saat dimulai pernikahan. Hanya dalam satu tarikan napas, Rio segera mengucapkan ikrar suci itu di hadapan semua orang yang hadir.Malam harinya sesuai persetujuan, Slavia akan menempati kamar tamu di rumah Rio. Awalnya dia pikir seperti itu, sebelum Shara muncul dan mempersilakan Slavia untuk bermalam di kamar utama bersama Rio.Shara memeluk suaminya dan sang adik sesaat setelah mereka ma
“Tapi aku butuh bukti kalau kalian sudah ....”“Astaga Shara, kamu anggap kami ini apa?” potong Rio, kali ini dia benar-benar sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Kalau kamu tidak percaya bahwa kami akan melakukannya, sebaiknya malam ini aku dan Via tidur terpisah saja.”“Nggak bisa begitu, Mas! Aku cuma ... aku nggak yakin kalau Via mau melakukannya, aku takut hal itu juga yang akan bikin kamu nggak jadi melanjutkan rencana kita!” Shara masih gigih dengan pendapatnya. “Pokoknya cepat selesaikan, setelah itu kamu ke kamar sebelah.”Terjadi kesunyian panjang setelah Shara mengakhiri ucapannya.“Kak ...?” panggil Slavia lirih. “Aku ... aku belum siap kalau ....”“Mau sampai kapan kamu siap, hah?” tukas Shara tidak sabar. “Sudah Mas, langsung kamu selesaikan saja. Nggak usah pakai pemanasan segala, nggak penting!”Ada air bening yang menggenang di mata Slavia ketika Shara berbalik dan menutup pintu dengan keras.“Vi?” panggil Rio pelan.“I—ya Kak?” Slavia menyahut dengan tubuh gemetar.“
Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.“Sudah lama aku mau tanya soal ini, Kak ... Kalaupun aku hamil dan Kakak yang membesarkan anak aku nanti, apakah orang-orang tidak tambah julid? Maksud aku ... itu sama saja bukan anak kandung Kakak kan?”Shara ikut mengambil piring sambil menyahut. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana ini dengan sangat sempurna. Kalau nantinya kamu berhasil hamil, aku akan di rumah untuk mengurus kamu ....”“Nggak usah repot-repot, Kak!”“Apanya yang repot, dengan begitu orang-orang akan aku buat percaya kalau aku hamil dan harus istirahat total di rumah.”Astaga, batin Slavia dalam hatinya. Shara terlihat sangat terobsesi memiliki momongan hanya karena terbawa perasaan terhadap komentar teman-teman tongkrongannya.Setelah selesai sarapan, Slavia duduk-duduk di halaman belakang. Rumah Rio sangat besar dan terkesan sepi karena hanya ditinggali oleh dua anggota keluarga saja, pantas jika Shara merasa kesepian.“Aku mau pergi, ka
“Memang itu kenyataannya,” sergah Slavia membela diri. “Terus ini gimana urusannya, Kak? Tangan aku sudah mati rasa.”“Tenang saja ...” Rio berkata santai. “Biar aku yang coba geser ...”“Aduh, Kak! Aduh!” rintih Slavia, saat Rio baru bergerak sedikit saja.“Apa sih, ini juga aku baru bergerak sedikit.” Rio memandang Slavia heran. “Katanya aku disuruh nolong?”“Pelan-pelan geraknya, kena goncangan dikit aaja rasanya sakit!” keluh Slavia. “Badan aku juga pegel membungkuk seperti ini terus.”“Iya, iya, aku tolong. Tapi jangan protes,” kata Rio memperingatkan. “Jangan bilang aku mesum lagi, awas kamu.”“Pelan-pelan tapi, Kak ...” Slavia mengingatkan.Rio mengangkat kedua tangannya ke atas dan melingkarkannya ke punggung Slavia. Dengan sangat hati-hati Rio memutar posisinya untuk membaringkan perempuan itu di tempat tidur. Perempuan anggun seperti Slavia memang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak terluka sedikit pun.Saat Rio sedang membaringkan Slavia dengan kedua tan
“Nggak mau lah!” tolak Slavia keras-keras.“Tidak usah gengsi,” kata Rio sambil tersenyum samar. “Daripada nanti kamu penasaran terus sama badan aku dan membayangkan yang tidak-tidak, lebih baik kamu rasakan saja sendiri.”“Kita kan sudah pernah melakukannya, Kak. Lupa ya?” tanya Slavia dengan wajah merona merah.“Memang pernah, tapi bukankah kita harus terus melakukannya sampai kamu hamil?” jawab Rio lugas.“Hamil ...?”“Iya, itu kan tujuan utama dari pernikahan ini.” Rio menyahut kalem.“Tapi ... seandainya Kak Shara yang hamil duluan, kita bisa bercerai kan Kak?” tanya Slavia memastikan. “Ada rasa tidak tega melihat Kak Shara diduakan seperti ini, dan ternyata akulah pihak ketiga itu ....”Rio menarik napas pasrah, sungguh ujian kesabaran yang sangat luar biasa.“Kak, kok diam?”“Masalahnya itu nyaris tidak mungkin, Shara sudah sangat putus asa.” Rio berkata sambil menggerakkan tangannya yang menumpang di atas lengan Slavia. Kemudian pelan-pelan dia berbaring telentang di samping a
“Makanya kalian usaha yang keras, Mas!” desak Shara. “Aku tidak mau kamu sama Via terlalu lama jadi suami istri—aku sebenarnya ... cemburu.”“Salah siapa,” komentar Rio acuh. “Bukankah ini yang kamu inginkan?”Shara menarik napas.“Kita kan sudah sejauh ini,” katanya mengalah. “Gimana kalau kamu sama Via pergi bulan madu, mau nggak?”Rio diam sembari berpikir.“Pergi bulan madu?” tanya Rio ragu.“Iya, bulan madu seperti yang kita lakukan dulu,” jawab Shara. “Siapa tahu Via bisa hamil setelah kalian pulang dari bulan madu.”“Tidak.” Rio menggeleng tegas.“Kenapa tidak mau?” tanya Shara bingung.Rio memandang Shara.“Tidak usah pakai bulan madu, bukan kewajiban.” Rio mengingatkan Shara dengan tegas.“Bulan madu bisa membuat kalian lebih fokus pada tujuan,” sahut Shara tidak mau kalah.“Ra, aku itu ingin tetap berjarak sama Via,” sahut Rio kesal. “Aku tidak mau jarak itu jadi hilang gara-gara tuntutan kamu.”Shara langsung membantah pendapat suaminya mentah-mentah.“Kamu salah, Mas. Niat
Di ruang tamu, Shara masih menyangga kepalanya dengan tangan. Dia menyesal, tadi itu dia kelepasan karena rasa cemburunya yang sudah tidak terkontrol lagi.Shara hanya ingin Slavia cepat mengandung anak Rio dan melahirkan, setelah itu dia bisa segera mengakhiri pernikahan mereka.***Rio tiba di rumah dan merasakan aura suram yang menyambutnya.“Sepi sekali, aku kira kamu belum pulang.”Shara menoleh ketika Rio muncul di kamar sebelah.“Eh Mas, kamu sudah pulang!” Shara mau tak mau menyambut suaminya. “Kamu sudah lihat Via belum?”Rio menggeleng.“Aku langsung ke sini tadi, jadi belum sempat ke kamar utama. Memangnya kenapa?”Shara menarik napas dan wajahnya mendadak murung, dia lantas menceritakan keributan kecil yang sempat terjadi antara dirinya dan Slavia.“... takutnya Via ngambek dan minta cerai betulan, Mas ... Gimana ini?”Rio menghela napas, masalah ternyata tidak henti-hentinya mampir setelah semua hal yang dia lakukan.“Kamu juga sih, jangan terlalu menekan Via. Hamil itu t
“Gerah Kak, gerah banget!” Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya. “Aku pengin ....”“Pengin apa sih?”“Aku pengin nyanyi-nyanyi ... ayo!”Shara melotot saat Slavia berlenggak-lenggok di depannya, segera dia berteriak, “Mas! Mas Rio! Tolong bantu aku, Mas!”“Ya, sebentar!”Shara memandang aneh ke arah adiknya yang kini bertingkah sangat tidak wajar.“Vi, kamu kenapa?” tanya Shara bingung saat Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya lagi sambil melompat-lompat disertai senyuman lebar menggoda. “Via!”“Ayo kita joget!” racau Slavia lagi. “Aku butuh teman, ayo!”Bingung, Shara meraih jaket yang teronggok di sofa dan melingkarkannya di pinggang Slavia. “Jangan ditarik-tarik baju kamu, Vi! Mas Rio, kok lama banget sih?”“Iya, iya! Ini lagi jalan!”Sesampainya di ruang keluarga, Rio menghampiri Shara yang masih kerepotan mengatasi Slavia. Cepat-cepat dia mengambil alih istrinya yang sedang bertingkah seperti sedang berada di tempat hiburan.“Mas, tolong antar Via ke kamar saja!” pi