Share

2 Jalan Satu-satunya

Ibu menyahut sembari merapikan stok sabun cuci di etalase. “Tapi kalau kamu mau tetap kerja, minta kerjaan saja sama suami kakakmu. Dia kan punya usaha rumah makan juga ....”

Slavia tidak menjawab. Rencananya untuk menjauhi Shara bisa gagal kalau dia menampakkan diri lagi, sedangkan Slavia tidak ingin berurusan dengan masalah rumah tangga sang kakak.

Satu minggu berlalu dengan penuh kedamaian. Slavia nyaris bisa bernapas lega, karena Shara juga tidak menampakkan batang hidungnya untuk memaksakan kehendak yang mustahil itu.

“Vi, ayah sama ibu mau ke pusat grosir untuk beli barang-barang yang menipis. Lumayan biar toko kita tetap lengkap!” pamit ayah kepada Slavia yang sedang duduk santai di sofa.

“Hati-hati nyetirnya, Yah!” balas Slavia sambil tersenyum.

Dia bersyukur memiliki orang tua yang masih enerjik dan penuh semangat seperti ayah ibunya.

Selang lima belas menit setelah orang tuanya pergi, sebuah mobil putih bersih melambat di depan rumah dan pengemudinya turun buru-buru melintasi halaman.

“Permisi!”

Slavia yang masih asyik bermain ponsel, segera mengalihkan perhatiannya ketika mendengar suara salam.

“Kak Rio?” Slavia heran mendapati wajah kakak iparnya yang tampak gusar. “Cari siapa, Kak? Ayah sama ibu baru saja pergi ....”

“Aku cari kamu,” sela Rio dengan napas pendek-pendek dan tidak teratur.

“Cari aku? Memangnya ada apa, Kak?”

“Shara masuk rumah sakit, Vi.”

Slavia terbelalak, pantas saja beberapa hari ini Shara tidak datang berkunjung ke rumah.

“Memangnya sakit apa dia, Kak?”

Rio terlihat murung, lantas dia bercerita bagaimana Shara berusaha menyakiti diri sendiri karena keinginannya tidak kunjung dipenuhi ....

Malam itu mereka baru saja berdebat lagi, dan Shara kesal bukan main dengan keputusan Rio yang ngotot tidak ingin menikahi adik iparnya.

“Nggak sedikit pun kamu ngerti perasaan aku, Mas! Kalau orang-orang tahu aku nggak kunjung hamil, mereka pasti mikir kalau aku yang bermasalah! Kamu sih enak, nggak akan ada orang yang menghujat pihak suami!”

“Kamu saja yang berlebihan, buat apa sih memikirkan pendapat orang? Pasti kamu kebanyakan main sosial media, jadi suka baca komentar-komentar negatif ....”

“Mas, aku mohon nikahlah ... Setelah Via hamil dan melahirkan, kalian bisa berpisah dan kita yang akan membesarkan bayinya sama-sama.”

“Tidak, Ra.”

“Mas ini kenapa sih egois sekali?”

“Aku egois itu justru untuk menjaga perasaan kamu, Ra! Mana ada sih istri normal yang mau diduakan? Sama adik sendiri pula, aneh kamu.”

Shara cemberut, wajahnya menyiratkan rasa keputusasaan yang teramat sangat.

“Seumur hidup aku, sekali saja ... aku mau menimang bayi ...” rintihnya dengan suara parau. “Aku sudah ke dokter lain, dan sel telur aku ternyata kecil-kecil dan sulit dibuahi ... Bisa-bisanya dokter lain bilang aku sehat, kamu lihat kan, Mas?”

Rio terdiam.

“Jalan satu-satunya adalah dengan kamu menikahi Via!” bujuk Shara dengan nada memaksa. “Ayolah Mas, bahagiakan aku ... Aku kepingin punya bayi, daripada cari ibu pengganti lain kan lebih baik sama adik aku saja.”

Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Dia tidak bisa, selain karena dia mencintai Shara, Slavia adalah adik iparnya.

“Aku tidak mau membuat keluarga besar kita salah paham,” tolak Rio logis. “Ide ini adalah ide paling gila, Ra. Aku tidak bisa menikahi Via apa pun alasannya.”

Shara memejamkan matanya, adu gengsi antar sesama teman wanita membuatnya lupa diri dan ingin menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan momongan.

Alih-alih bayi tabung yang membutuhkan waktu yang lama dan uang yang tidak sedikit, Shara lebih memilih cara sederhana dengan meminta adiknya untuk menikah dengan sang suami.

Nantinya setelah bayi itu lahir, Shara akan minta Slavia untuk menyerahkannya dan pergi sejauh mungkin dari kehidupan mereka.

Namun, kenapa Rio sulit sekali untuk diajak bekerja sama?

“Baiklah Mas, kalau kamu nggak ingin aku bahagia ...” Shara mengusap air matanya, kemudian dia pergi meninggalkan Rio yang hanya terduduk lesu di sofa.

Pikiran Rio begitu semrawut, dulu Shara tidak seperti ini. Semua berawal dari satu tahun lalu, sejak Shara sering ikut kumpul bersama teman-teman gengnya.

Rio tidak melarang Shara berkumpul dengan teman-temannya selama tidak melakukan hal-hal yang negatif. Namun, sikap Shara perlahan berubah seiring dengan banyaknya pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya.

“Kapan hamil?”

“Ini lho anakku sudah dua!”

“Betah banget sih kamu nunda momongan?”

Dari ceritanya saja, Rio bisa membayangkan seperti apa karakter teman-teman Shara.

Prang!

Mendadak terdengar suara benda yang jatuh ke lantai dengan keras. Rio langsung berdiri tegak dari duduknya dan berlari ke arah sumber suara.

“Shara!”

“Jangan mendekat, Mas!”

Rio menghentikan langkah, perlahan tubuhnya membeku saat mendapati Shara yang sudah menggenggam pisau.

“Kamu mau apa dengan pisau itu, Ra?” tanya Rio baik-baik. “Jangan bertindak bodoh seperti ini, dengarkan aku—tidak ada yang mendesak kamu untuk cepat-cepat punya anak, termasuk aku ....”

“Lima tahun, Mas! Lima tahun kita nunggu!”

Rio mengangkat tangannya dan Shara langsung menempelkan pisau itu di atas nadinya.

“Kamu bukan satu-satunya saja, Ra! Lihat di luaran sana, masih banyak yang menunggu sampai belasan tahun lamanya ... Kalau kita memang ditakdirkan untuk punya anak, kita pasti akan punya anak!”

“Kalau takdirnya aku nggak bisa punya anak gimana, Mas?”

“Tidak masalah, yang penting aku bisa selamanya hidup bersama kamu.”

Jawaban sungguh-sungguh dari Rio ternyata tidak cukup kuat untuk meyakinkan Shara bahwa anak tidak hanya menjadi satu-satunya prioritas mereka.

“Kamu nggak ngerti perasaan aku, Mas! Karena bukan kamu yang ditanya-tanya! Tapi aku? Selalu aku yang dianggap bermasalah karena nikah sudah lima tahun dan tidak hamil-hamil!” jerit Shara histeris.

“Ra, tolong ... Jangan seperti ini. Habis ini kita terapi saja ya, kita berusaha dulu dengan cara ini.”

“Aku maunya kamu nikah sama adik aku!”

“Itu tidak mungkin, apa kata orang-orang nanti kalau aku nikah lagi? Sama adik ipar pula, berikutnya aku yang akan dihujat masyarakat!”

“Lihat kan, kamu cuma memikirkan perasaan kamu sendiri!” Shara meringis dengan hati yang sakit. “Aku benci sama kamu, Mas! Cuma satu permintaan, tapi kamu nggak mau mengabulkannya demi masa depan kita! Aku benciiiii!”

Cratt!

“Shara!” Rio berteriak dan berlari mendekati Shara yang tangannya sudah berlumuran cairan merah beraroma anyir ....

“Astaga, jadi Kak Shara mencoba bunuh diri?”

Rio mengangguk setelah mengakhiri ceritanya.

“Karena itulah aku datang ke sini untuk minta bantuan kamu.”

“Memangnya aku bisa bantu apa, Kak?”

“Menikahlah sama aku, Vi ....”

“Apa?!”

“Sesuai keinginan Shara, dia mengancam akan coba bunuh diri lagi kalau aku tidak mau menikahi kamu.” Rio menjelaskan dengan berat hati.

“Tapi ... adik ipar menikahi kakak iparnya, apakah mungkin?”

Rio mengangkat bahu. Dia sudah berjuang keras untuk menyadarkan Shara supaya tidak melanjutkan ide gilanya itu, tetapi rupanya sama sekali tidak berhasil.

Slavia jadi kebingungan setengah mati, padahal satu minggu ini dia hampir saja bisa merasakan yang namanya hidup tenang. Slavia berpikir bahwa Shara akhirnya membatalkan ide yang tidak masuk akal itu, tapi ternyata ....

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status