Ibu menyahut sembari merapikan stok sabun cuci di etalase. “Tapi kalau kamu mau tetap kerja, minta kerjaan saja sama suami kakakmu. Dia kan punya usaha rumah makan juga ....”
Slavia tidak menjawab. Rencananya untuk menjauhi Shara bisa gagal kalau dia menampakkan diri lagi, sedangkan Slavia tidak ingin berurusan dengan masalah rumah tangga sang kakak.Satu minggu berlalu dengan penuh kedamaian. Slavia nyaris bisa bernapas lega, karena Shara juga tidak menampakkan batang hidungnya untuk memaksakan kehendak yang mustahil itu.“Vi, ayah sama ibu mau ke pusat grosir untuk beli barang-barang yang menipis. Lumayan biar toko kita tetap lengkap!” pamit ayah kepada Slavia yang sedang duduk santai di sofa.“Hati-hati nyetirnya, Yah!” balas Slavia sambil tersenyum.Dia bersyukur memiliki orang tua yang masih enerjik dan penuh semangat seperti ayah ibunya.Selang lima belas menit setelah orang tuanya pergi, sebuah mobil putih bersih melambat di depan rumah dan pengemudinya turun buru-buru melintasi halaman.“Permisi!”Slavia yang masih asyik bermain ponsel, segera mengalihkan perhatiannya ketika mendengar suara salam.“Kak Rio?” Slavia heran mendapati wajah kakak iparnya yang tampak gusar. “Cari siapa, Kak? Ayah sama ibu baru saja pergi ....”“Aku cari kamu,” sela Rio dengan napas pendek-pendek dan tidak teratur.“Cari aku? Memangnya ada apa, Kak?”“Shara masuk rumah sakit, Vi.”Slavia terbelalak, pantas saja beberapa hari ini Shara tidak datang berkunjung ke rumah.“Memangnya sakit apa dia, Kak?”Rio terlihat murung, lantas dia bercerita bagaimana Shara berusaha menyakiti diri sendiri karena keinginannya tidak kunjung dipenuhi ....Malam itu mereka baru saja berdebat lagi, dan Shara kesal bukan main dengan keputusan Rio yang ngotot tidak ingin menikahi adik iparnya.“Nggak sedikit pun kamu ngerti perasaan aku, Mas! Kalau orang-orang tahu aku nggak kunjung hamil, mereka pasti mikir kalau aku yang bermasalah! Kamu sih enak, nggak akan ada orang yang menghujat pihak suami!”“Kamu saja yang berlebihan, buat apa sih memikirkan pendapat orang? Pasti kamu kebanyakan main sosial media, jadi suka baca komentar-komentar negatif ....”“Mas, aku mohon nikahlah ... Setelah Via hamil dan melahirkan, kalian bisa berpisah dan kita yang akan membesarkan bayinya sama-sama.”“Tidak, Ra.”“Mas ini kenapa sih egois sekali?”“Aku egois itu justru untuk menjaga perasaan kamu, Ra! Mana ada sih istri normal yang mau diduakan? Sama adik sendiri pula, aneh kamu.”Shara cemberut, wajahnya menyiratkan rasa keputusasaan yang teramat sangat.“Seumur hidup aku, sekali saja ... aku mau menimang bayi ...” rintihnya dengan suara parau. “Aku sudah ke dokter lain, dan sel telur aku ternyata kecil-kecil dan sulit dibuahi ... Bisa-bisanya dokter lain bilang aku sehat, kamu lihat kan, Mas?”Rio terdiam.“Jalan satu-satunya adalah dengan kamu menikahi Via!” bujuk Shara dengan nada memaksa. “Ayolah Mas, bahagiakan aku ... Aku kepingin punya bayi, daripada cari ibu pengganti lain kan lebih baik sama adik aku saja.”Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Dia tidak bisa, selain karena dia mencintai Shara, Slavia adalah adik iparnya.“Aku tidak mau membuat keluarga besar kita salah paham,” tolak Rio logis. “Ide ini adalah ide paling gila, Ra. Aku tidak bisa menikahi Via apa pun alasannya.”Shara memejamkan matanya, adu gengsi antar sesama teman wanita membuatnya lupa diri dan ingin menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan momongan.Alih-alih bayi tabung yang membutuhkan waktu yang lama dan uang yang tidak sedikit, Shara lebih memilih cara sederhana dengan meminta adiknya untuk menikah dengan sang suami.Nantinya setelah bayi itu lahir, Shara akan minta Slavia untuk menyerahkannya dan pergi sejauh mungkin dari kehidupan mereka.Namun, kenapa Rio sulit sekali untuk diajak bekerja sama?“Baiklah Mas, kalau kamu nggak ingin aku bahagia ...” Shara mengusap air matanya, kemudian dia pergi meninggalkan Rio yang hanya terduduk lesu di sofa.Pikiran Rio begitu semrawut, dulu Shara tidak seperti ini. Semua berawal dari satu tahun lalu, sejak Shara sering ikut kumpul bersama teman-teman gengnya.Rio tidak melarang Shara berkumpul dengan teman-temannya selama tidak melakukan hal-hal yang negatif. Namun, sikap Shara perlahan berubah seiring dengan banyaknya pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya.“Kapan hamil?”“Ini lho anakku sudah dua!”“Betah banget sih kamu nunda momongan?”Dari ceritanya saja, Rio bisa membayangkan seperti apa karakter teman-teman Shara.Prang!Mendadak terdengar suara benda yang jatuh ke lantai dengan keras. Rio langsung berdiri tegak dari duduknya dan berlari ke arah sumber suara.“Shara!”“Jangan mendekat, Mas!”Rio menghentikan langkah, perlahan tubuhnya membeku saat mendapati Shara yang sudah menggenggam pisau.“Kamu mau apa dengan pisau itu, Ra?” tanya Rio baik-baik. “Jangan bertindak bodoh seperti ini, dengarkan aku—tidak ada yang mendesak kamu untuk cepat-cepat punya anak, termasuk aku ....”“Lima tahun, Mas! Lima tahun kita nunggu!”Rio mengangkat tangannya dan Shara langsung menempelkan pisau itu di atas nadinya.“Kamu bukan satu-satunya saja, Ra! Lihat di luaran sana, masih banyak yang menunggu sampai belasan tahun lamanya ... Kalau kita memang ditakdirkan untuk punya anak, kita pasti akan punya anak!”“Kalau takdirnya aku nggak bisa punya anak gimana, Mas?”“Tidak masalah, yang penting aku bisa selamanya hidup bersama kamu.”Jawaban sungguh-sungguh dari Rio ternyata tidak cukup kuat untuk meyakinkan Shara bahwa anak tidak hanya menjadi satu-satunya prioritas mereka.“Kamu nggak ngerti perasaan aku, Mas! Karena bukan kamu yang ditanya-tanya! Tapi aku? Selalu aku yang dianggap bermasalah karena nikah sudah lima tahun dan tidak hamil-hamil!” jerit Shara histeris.“Ra, tolong ... Jangan seperti ini. Habis ini kita terapi saja ya, kita berusaha dulu dengan cara ini.”“Aku maunya kamu nikah sama adik aku!”“Itu tidak mungkin, apa kata orang-orang nanti kalau aku nikah lagi? Sama adik ipar pula, berikutnya aku yang akan dihujat masyarakat!”“Lihat kan, kamu cuma memikirkan perasaan kamu sendiri!” Shara meringis dengan hati yang sakit. “Aku benci sama kamu, Mas! Cuma satu permintaan, tapi kamu nggak mau mengabulkannya demi masa depan kita! Aku benciiiii!”Cratt!“Shara!” Rio berteriak dan berlari mendekati Shara yang tangannya sudah berlumuran cairan merah beraroma anyir ....“Astaga, jadi Kak Shara mencoba bunuh diri?”Rio mengangguk setelah mengakhiri ceritanya.“Karena itulah aku datang ke sini untuk minta bantuan kamu.”“Memangnya aku bisa bantu apa, Kak?”“Menikahlah sama aku, Vi ....”“Apa?!”“Sesuai keinginan Shara, dia mengancam akan coba bunuh diri lagi kalau aku tidak mau menikahi kamu.” Rio menjelaskan dengan berat hati.“Tapi ... adik ipar menikahi kakak iparnya, apakah mungkin?”Rio mengangkat bahu. Dia sudah berjuang keras untuk menyadarkan Shara supaya tidak melanjutkan ide gilanya itu, tetapi rupanya sama sekali tidak berhasil.Slavia jadi kebingungan setengah mati, padahal satu minggu ini dia hampir saja bisa merasakan yang namanya hidup tenang. Slavia berpikir bahwa Shara akhirnya membatalkan ide yang tidak masuk akal itu, tapi ternyata ....Bersambung—Ketika ayah dan ibu akhirnya kembali, Rio memberanikan diri untuk menceritakan keinginan Shara dan juga perbuatannya yang nyaris menghilangkan nyawa dirinya sendiri.“Apa, menikah?!”Ibu memandang bingung Slavia saat Rio memberitahukan soal keinginan Shara yang harus mereka lakukan karena keinginannya menimang anak.Saat itu hanya ada ayah dan ibu Slavia saja, sementara asisten rumah tangga sedang keluar rumah.“Betul, Bu. Aku ... sebenarnya aku juga tidak setuju dengan ide Shara,” sahut Rio dengan berat hati.“Tapi Rio, Via ini adalah adiknya Shara yang berarti dia adik ipar kamu.” Ibu mencoba mencari celah. “Bagaimana mungkin Shara memilih ide seperti itu ... Apa tidak ada cara lain yang bisa kalian lakukan selain menjadikan Via sebagai istri kedua?”“Masalahnya Shara memaksa, Bu. Dia bahkan rela melukai pergelangan tangannya sendiri karena aku menolak untuk menikahi Via,” jelas Rio putus asa.Slavia mulai merasa simpati dengan apa yang dialami Rio sebagai suami, dia tahu bahwa kaka
“Kakak ini benar-benar aneh memang,” tanggap Slavia sambil berdiri dan memandang dirinya sendiri di kaca untuk terakhir kalinya sebelum turun.Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan akan diakhiri dengan diam-diam, Slavia tetap saja merasa gugup saat Shara menuntunnya untuk duduk di samping Rio yang hanya memakai kemeja putih sederhana dengan ekspresi tidak terbaca di wajahnya.Pernikahan itu sendiri dilaksanakan tertutup di kediaman orang tua Shara dan dihadiri oleh saksi dan orang tua Rio yang tampak bingung.Jantung Slavia bergemuruh keras sekali ketika sang ayah menjabat tangan Rio kuat-kuat saat dimulai pernikahan. Hanya dalam satu tarikan napas, Rio segera mengucapkan ikrar suci itu di hadapan semua orang yang hadir.Malam harinya sesuai persetujuan, Slavia akan menempati kamar tamu di rumah Rio. Awalnya dia pikir seperti itu, sebelum Shara muncul dan mempersilakan Slavia untuk bermalam di kamar utama bersama Rio.Shara memeluk suaminya dan sang adik sesaat setelah mereka ma
“Tapi aku butuh bukti kalau kalian sudah ....”“Astaga Shara, kamu anggap kami ini apa?” potong Rio, kali ini dia benar-benar sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Kalau kamu tidak percaya bahwa kami akan melakukannya, sebaiknya malam ini aku dan Via tidur terpisah saja.”“Nggak bisa begitu, Mas! Aku cuma ... aku nggak yakin kalau Via mau melakukannya, aku takut hal itu juga yang akan bikin kamu nggak jadi melanjutkan rencana kita!” Shara masih gigih dengan pendapatnya. “Pokoknya cepat selesaikan, setelah itu kamu ke kamar sebelah.”Terjadi kesunyian panjang setelah Shara mengakhiri ucapannya.“Kak ...?” panggil Slavia lirih. “Aku ... aku belum siap kalau ....”“Mau sampai kapan kamu siap, hah?” tukas Shara tidak sabar. “Sudah Mas, langsung kamu selesaikan saja. Nggak usah pakai pemanasan segala, nggak penting!”Ada air bening yang menggenang di mata Slavia ketika Shara berbalik dan menutup pintu dengan keras.“Vi?” panggil Rio pelan.“I—ya Kak?” Slavia menyahut dengan tubuh gemetar.“
Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.“Sudah lama aku mau tanya soal ini, Kak ... Kalaupun aku hamil dan Kakak yang membesarkan anak aku nanti, apakah orang-orang tidak tambah julid? Maksud aku ... itu sama saja bukan anak kandung Kakak kan?”Shara ikut mengambil piring sambil menyahut. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana ini dengan sangat sempurna. Kalau nantinya kamu berhasil hamil, aku akan di rumah untuk mengurus kamu ....”“Nggak usah repot-repot, Kak!”“Apanya yang repot, dengan begitu orang-orang akan aku buat percaya kalau aku hamil dan harus istirahat total di rumah.”Astaga, batin Slavia dalam hatinya. Shara terlihat sangat terobsesi memiliki momongan hanya karena terbawa perasaan terhadap komentar teman-teman tongkrongannya.Setelah selesai sarapan, Slavia duduk-duduk di halaman belakang. Rumah Rio sangat besar dan terkesan sepi karena hanya ditinggali oleh dua anggota keluarga saja, pantas jika Shara merasa kesepian.“Aku mau pergi, ka
“Memang itu kenyataannya,” sergah Slavia membela diri. “Terus ini gimana urusannya, Kak? Tangan aku sudah mati rasa.”“Tenang saja ...” Rio berkata santai. “Biar aku yang coba geser ...”“Aduh, Kak! Aduh!” rintih Slavia, saat Rio baru bergerak sedikit saja.“Apa sih, ini juga aku baru bergerak sedikit.” Rio memandang Slavia heran. “Katanya aku disuruh nolong?”“Pelan-pelan geraknya, kena goncangan dikit aaja rasanya sakit!” keluh Slavia. “Badan aku juga pegel membungkuk seperti ini terus.”“Iya, iya, aku tolong. Tapi jangan protes,” kata Rio memperingatkan. “Jangan bilang aku mesum lagi, awas kamu.”“Pelan-pelan tapi, Kak ...” Slavia mengingatkan.Rio mengangkat kedua tangannya ke atas dan melingkarkannya ke punggung Slavia. Dengan sangat hati-hati Rio memutar posisinya untuk membaringkan perempuan itu di tempat tidur. Perempuan anggun seperti Slavia memang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak terluka sedikit pun.Saat Rio sedang membaringkan Slavia dengan kedua tan
“Nggak mau lah!” tolak Slavia keras-keras.“Tidak usah gengsi,” kata Rio sambil tersenyum samar. “Daripada nanti kamu penasaran terus sama badan aku dan membayangkan yang tidak-tidak, lebih baik kamu rasakan saja sendiri.”“Kita kan sudah pernah melakukannya, Kak. Lupa ya?” tanya Slavia dengan wajah merona merah.“Memang pernah, tapi bukankah kita harus terus melakukannya sampai kamu hamil?” jawab Rio lugas.“Hamil ...?”“Iya, itu kan tujuan utama dari pernikahan ini.” Rio menyahut kalem.“Tapi ... seandainya Kak Shara yang hamil duluan, kita bisa bercerai kan Kak?” tanya Slavia memastikan. “Ada rasa tidak tega melihat Kak Shara diduakan seperti ini, dan ternyata akulah pihak ketiga itu ....”Rio menarik napas pasrah, sungguh ujian kesabaran yang sangat luar biasa.“Kak, kok diam?”“Masalahnya itu nyaris tidak mungkin, Shara sudah sangat putus asa.” Rio berkata sambil menggerakkan tangannya yang menumpang di atas lengan Slavia. Kemudian pelan-pelan dia berbaring telentang di samping a
“Makanya kalian usaha yang keras, Mas!” desak Shara. “Aku tidak mau kamu sama Via terlalu lama jadi suami istri—aku sebenarnya ... cemburu.”“Salah siapa,” komentar Rio acuh. “Bukankah ini yang kamu inginkan?”Shara menarik napas.“Kita kan sudah sejauh ini,” katanya mengalah. “Gimana kalau kamu sama Via pergi bulan madu, mau nggak?”Rio diam sembari berpikir.“Pergi bulan madu?” tanya Rio ragu.“Iya, bulan madu seperti yang kita lakukan dulu,” jawab Shara. “Siapa tahu Via bisa hamil setelah kalian pulang dari bulan madu.”“Tidak.” Rio menggeleng tegas.“Kenapa tidak mau?” tanya Shara bingung.Rio memandang Shara.“Tidak usah pakai bulan madu, bukan kewajiban.” Rio mengingatkan Shara dengan tegas.“Bulan madu bisa membuat kalian lebih fokus pada tujuan,” sahut Shara tidak mau kalah.“Ra, aku itu ingin tetap berjarak sama Via,” sahut Rio kesal. “Aku tidak mau jarak itu jadi hilang gara-gara tuntutan kamu.”Shara langsung membantah pendapat suaminya mentah-mentah.“Kamu salah, Mas. Niat
Di ruang tamu, Shara masih menyangga kepalanya dengan tangan. Dia menyesal, tadi itu dia kelepasan karena rasa cemburunya yang sudah tidak terkontrol lagi.Shara hanya ingin Slavia cepat mengandung anak Rio dan melahirkan, setelah itu dia bisa segera mengakhiri pernikahan mereka.***Rio tiba di rumah dan merasakan aura suram yang menyambutnya.“Sepi sekali, aku kira kamu belum pulang.”Shara menoleh ketika Rio muncul di kamar sebelah.“Eh Mas, kamu sudah pulang!” Shara mau tak mau menyambut suaminya. “Kamu sudah lihat Via belum?”Rio menggeleng.“Aku langsung ke sini tadi, jadi belum sempat ke kamar utama. Memangnya kenapa?”Shara menarik napas dan wajahnya mendadak murung, dia lantas menceritakan keributan kecil yang sempat terjadi antara dirinya dan Slavia.“... takutnya Via ngambek dan minta cerai betulan, Mas ... Gimana ini?”Rio menghela napas, masalah ternyata tidak henti-hentinya mampir setelah semua hal yang dia lakukan.“Kamu juga sih, jangan terlalu menekan Via. Hamil itu t