“Kakak ini benar-benar aneh memang,” tanggap Slavia sambil berdiri dan memandang dirinya sendiri di kaca untuk terakhir kalinya sebelum turun.
Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan akan diakhiri dengan diam-diam, Slavia tetap saja merasa gugup saat Shara menuntunnya untuk duduk di samping Rio yang hanya memakai kemeja putih sederhana dengan ekspresi tidak terbaca di wajahnya.Pernikahan itu sendiri dilaksanakan tertutup di kediaman orang tua Shara dan dihadiri oleh saksi dan orang tua Rio yang tampak bingung.Jantung Slavia bergemuruh keras sekali ketika sang ayah menjabat tangan Rio kuat-kuat saat dimulai pernikahan. Hanya dalam satu tarikan napas, Rio segera mengucapkan ikrar suci itu di hadapan semua orang yang hadir.Malam harinya sesuai persetujuan, Slavia akan menempati kamar tamu di rumah Rio. Awalnya dia pikir seperti itu, sebelum Shara muncul dan mempersilakan Slavia untuk bermalam di kamar utama bersama Rio.Shara memeluk suaminya dan sang adik sesaat setelah mereka masuk kamar untuk melepas kantuk.“Jangan lupa dengan tujuan kalian menikah,” ujar Shara. “Usahakan melakukan hubungan dengan benar, terutama kamu, Vi—cepatlah hamil anak Mas Rio.”“I—iya, Kak ...” Slavia mengangguk sungkan bercampur malu.“Ya sudah. Selamat malam pertama, ya, kalian berdua!” Shara akhirnya berlalu meninggalkan mereka berdua.Setelah Shara pergi, Rio bergerak untuk menutup pintu kamar utama rapat-rapat dan menguncinya.“Kak?”“Ada apa, Vi?”“Kok aku merasa ... sepertinya kita sudah melakukan kesalahan dengan tetap melangsungkan pernikahan ini ...” Slavia bicara tanpa berkeinginan untuk memandang Rio.Kakak ipar yang kini telah menjadi suaminya.Rio bergegas membuka kemeja putihnya sementara Slavia mematung dengan kebaya putih sederhana yang masih membungkus tubuhnya yang ramping.“Kamu tidak harus melakukannya malam ini kalau memang belum siap,” cetus Rio tiba-tiba saat dia mendapati Slavia berdiri melamun selama beberapa saat.Slavia melirik sekilas ke arah Rio yang mengenakan kemeja putih lengan panjang.“Tapi ... bagaimana kalau Kak Shara menanyakan soal itu?”Rio menarik napas. “Aku akan mencari alasan yang tepat, sekarang tidurlah. Kamu pasti capek.”Tentu saja, Slavia sudah pasti merasakan capek hati dan juga pikiran akibat keinginan gila kakaknya yang berkeras menjadikan dia sebagai istri kedua dari suaminya sendiri.Semua sudah telanjur terjadi, batin Slavia. Wajah cantiknya yang berbalut riasan tipis tampak murung saat dia mencoba melepas kebaya putihnya.Rio yang tadinya mau keluar kamar, mendadak menoleh dan mendapati Slavia yang kesulitan melepas kebaya.“Mau aku bantu?” Rio mendekat.“Eh, nggak usah Kak ....”“Oh ya sudah ... kalau kamu tidak mau ....”Slavia dan Rio sama-sama memalingkan wajah, suasana canggung semakin terasa. Dada yang mulai berdebar lembut, darah yang berdesir kencang, tapi mereka berdua sama-sama tahu.Bahwa ada hati yang harus mereka jaga.***“Mas, kok kamu malah nonton televisi di sini sih?”Rio terlonjak ketika Shara mendadak muncul dan menepuk pundaknya dengan keras.“Eh Ra ... Kamu kok belum tidur?”Ekspresi wajah Shara berubah sedikit.“Gimana aku bisa tidur kalau malam ini suamiku sedang bersama perempuan lain?” ucapnya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Rio.“Lihat hasil perbuatan kamu,” kata Rio. “Kamu juga tersiksa kan?”“Mas, setiap hal di dunia ini butuh pengorbanan yang nggak kecil. Karena itu, jangan sia-siakan pengorbanan aku.”Rio kebingungan ketika Shara menariknya hingga berdiri.“Kamu mau ngapain, Ra?”“Mau antar kamu kembali ke kamar, seharusnya kamu lakukan tugas kamu biar hasilnya juga semakin cepat ....”“Tunggu dulu! Via sudah tidur, besok-besok saja kan masih bisa!”“Besok?” Shara menghentikan langkahnya. “Kamu nyadar nggak sih, Mas? Semakin kamu menunda, maka akan semakin lama hasilnya! Aku nggak mau kamu terjebak dalam pernikahan kedua ini terlalu lama!”Rio mengembuskan napas berat. Kata-kata Shara cukup menyinggung harga dirinya seolah dia yang menginginkan pernikahan kedua itu terjadi.“Pokoknya lakukan tugas kamu malam ini sebaik mungkin dan secepatnya,” tegas Shara sambil mengantarkan suaminya kembali ke kamar utama. “Satu hal yang penting, jangan pernah melakukannya pakai perasaan ... Pikirkan aku di kamar sebelah, oke?”Rio diam. Dia mulai benci dengan ketidakberdayaannya sebagai lelaki, bukan karena Rio takut melawan istri.Namun, karena dia mencintai Shara dan tidak ingin istrinya itu melukai diri sendiri lagi.“Vi! Lho, kamu kok malah tidur duluan sih?”Di luar dugaan, Shara masuk kamar dan menyibak selimut yang menutupi tubuh adiknya. “Astaga, kamu masih pakai kebaya? Ini gimana sih, Mas?”Shara menoleh ke arah Rio yang berdiri di belakangnya.“Aku kan sudah bilang kalau Via sedang tidur.”“Jadi dari tadi kalian berdua belum mulai apa-apa sama sekali?”“Ya begitulah ....”Shara menarik tangan Slavia dengan geram. “Jangan pura-pura tidur terus kamu, Vi! Cepat bangun dan kerjakan tugas kamu sekarang!”“Aduh! Apa sih Kak, pelan-pelan kenapa ...?” rintih Slavia dengan wajah yang mengernyit kesakitan.“Kamu yang kenapa, dikasih tugas penting malah ditinggal tidur! Kamu niat bantu aku nggak sih?” sembur Shara sambil berkacak pinggang.“Niat, Kakak nggak lihat aku sudah sampai sejauh ini?” sahut Slavia ketus.“Kalau begitu cepat tuntaskan! Target kamu itu adalah hamil dalam kurun waktu satu sampai tiga bulanan, syukur-syukur nggak sampai tiga bulan!”Slavia melongo, begitu juga Rio. Dikira menanam benih itu sama seperti menanam padi di sawah yang masa panennya bisa diprediksi?“Mas, kamu juga! Cepat lakukan tugas kamu sebagai suami, kalau perlu aku akan mengawasi kalian berdua di sini!”Slavia dan Rio sama-sama membelalakkan matanya.“Mengawasi? Maksud kamu ....”“Kakak mau nonton ...? Gila!”Rio berputar menghadap istrinya.“Ra, sudah cukup! Aku pasti akan melakukan kewajibanku terhadap Via, tapi tunggu sampai dia betul-betul siap!”“Kapan siapnya kalau nggak dipaksa?” balas Shara dengan bahu naik turun. “Tinggal kamu masukkan benih kamu itu, beres.”“Shara!”“Apa, Mas? Semudah itu kan buat para pria melakukannya?”Slavia memejamkan matanya, pemandangan di hadapannya terlihat seperti seorang penjahat yang sedang menyuruh anak buahnya untuk memangsa tawanan mereka.“Oke, aku akan melakukan kewajibanku!” sentak Rio yang sudah hilang kesabaran. “Tapi aku nggak mau kamu ada di sini, kami ini bukan tontonan!”“Oke, aku akan melakukan kewajibanku!” sentak Rio yang sudah hilang kesabaran. “Tapi aku tidak mau kamu ada di sini, kami ini bukan tontonan!”Slavia terperanjat mendengar jawaban Rio. Takut jika nantinya dia akan betul-betul melakukan hubungan suami istri dengan kakak ipar.“Aku harus memastikan sendiri kalau kalian melakukan instruksi aku dengan benar ....”“Ya, atau tidak sama sekali.” Rio memotong tegas. “Kamu minta aku menikahi Via, aku kabulkan. Tapi kalau sampai kamu menyaksikan apa yang seharusnya tidak kamu lihat, lebih baik aku tidak melakukannya sekalian.”Shara terpaku, sementara Slavia memilih untuk diam saja. Kengerian yang terjadi selanjutnya bukanlah tentang Shara yang kemungkinan akan mengamuk besar jika keinginannya tidak dituruti, tetapi lebih kepada rasa ngeri seandainya Rio betul-betul melakukan kewajibannya sebagai suami.Itu berarti Slavia juga sama-sama dituntut untuk melakukan kewajibannya sebagai istri.Bersambung—“Tapi aku butuh bukti kalau kalian sudah ....”“Astaga Shara, kamu anggap kami ini apa?” potong Rio, kali ini dia benar-benar sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Kalau kamu tidak percaya bahwa kami akan melakukannya, sebaiknya malam ini aku dan Via tidur terpisah saja.”“Nggak bisa begitu, Mas! Aku cuma ... aku nggak yakin kalau Via mau melakukannya, aku takut hal itu juga yang akan bikin kamu nggak jadi melanjutkan rencana kita!” Shara masih gigih dengan pendapatnya. “Pokoknya cepat selesaikan, setelah itu kamu ke kamar sebelah.”Terjadi kesunyian panjang setelah Shara mengakhiri ucapannya.“Kak ...?” panggil Slavia lirih. “Aku ... aku belum siap kalau ....”“Mau sampai kapan kamu siap, hah?” tukas Shara tidak sabar. “Sudah Mas, langsung kamu selesaikan saja. Nggak usah pakai pemanasan segala, nggak penting!”Ada air bening yang menggenang di mata Slavia ketika Shara berbalik dan menutup pintu dengan keras.“Vi?” panggil Rio pelan.“I—ya Kak?” Slavia menyahut dengan tubuh gemetar.“
Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.“Sudah lama aku mau tanya soal ini, Kak ... Kalaupun aku hamil dan Kakak yang membesarkan anak aku nanti, apakah orang-orang tidak tambah julid? Maksud aku ... itu sama saja bukan anak kandung Kakak kan?”Shara ikut mengambil piring sambil menyahut. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana ini dengan sangat sempurna. Kalau nantinya kamu berhasil hamil, aku akan di rumah untuk mengurus kamu ....”“Nggak usah repot-repot, Kak!”“Apanya yang repot, dengan begitu orang-orang akan aku buat percaya kalau aku hamil dan harus istirahat total di rumah.”Astaga, batin Slavia dalam hatinya. Shara terlihat sangat terobsesi memiliki momongan hanya karena terbawa perasaan terhadap komentar teman-teman tongkrongannya.Setelah selesai sarapan, Slavia duduk-duduk di halaman belakang. Rumah Rio sangat besar dan terkesan sepi karena hanya ditinggali oleh dua anggota keluarga saja, pantas jika Shara merasa kesepian.“Aku mau pergi, ka
“Memang itu kenyataannya,” sergah Slavia membela diri. “Terus ini gimana urusannya, Kak? Tangan aku sudah mati rasa.”“Tenang saja ...” Rio berkata santai. “Biar aku yang coba geser ...”“Aduh, Kak! Aduh!” rintih Slavia, saat Rio baru bergerak sedikit saja.“Apa sih, ini juga aku baru bergerak sedikit.” Rio memandang Slavia heran. “Katanya aku disuruh nolong?”“Pelan-pelan geraknya, kena goncangan dikit aaja rasanya sakit!” keluh Slavia. “Badan aku juga pegel membungkuk seperti ini terus.”“Iya, iya, aku tolong. Tapi jangan protes,” kata Rio memperingatkan. “Jangan bilang aku mesum lagi, awas kamu.”“Pelan-pelan tapi, Kak ...” Slavia mengingatkan.Rio mengangkat kedua tangannya ke atas dan melingkarkannya ke punggung Slavia. Dengan sangat hati-hati Rio memutar posisinya untuk membaringkan perempuan itu di tempat tidur. Perempuan anggun seperti Slavia memang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak terluka sedikit pun.Saat Rio sedang membaringkan Slavia dengan kedua tan
“Nggak mau lah!” tolak Slavia keras-keras.“Tidak usah gengsi,” kata Rio sambil tersenyum samar. “Daripada nanti kamu penasaran terus sama badan aku dan membayangkan yang tidak-tidak, lebih baik kamu rasakan saja sendiri.”“Kita kan sudah pernah melakukannya, Kak. Lupa ya?” tanya Slavia dengan wajah merona merah.“Memang pernah, tapi bukankah kita harus terus melakukannya sampai kamu hamil?” jawab Rio lugas.“Hamil ...?”“Iya, itu kan tujuan utama dari pernikahan ini.” Rio menyahut kalem.“Tapi ... seandainya Kak Shara yang hamil duluan, kita bisa bercerai kan Kak?” tanya Slavia memastikan. “Ada rasa tidak tega melihat Kak Shara diduakan seperti ini, dan ternyata akulah pihak ketiga itu ....”Rio menarik napas pasrah, sungguh ujian kesabaran yang sangat luar biasa.“Kak, kok diam?”“Masalahnya itu nyaris tidak mungkin, Shara sudah sangat putus asa.” Rio berkata sambil menggerakkan tangannya yang menumpang di atas lengan Slavia. Kemudian pelan-pelan dia berbaring telentang di samping a
“Makanya kalian usaha yang keras, Mas!” desak Shara. “Aku tidak mau kamu sama Via terlalu lama jadi suami istri—aku sebenarnya ... cemburu.”“Salah siapa,” komentar Rio acuh. “Bukankah ini yang kamu inginkan?”Shara menarik napas.“Kita kan sudah sejauh ini,” katanya mengalah. “Gimana kalau kamu sama Via pergi bulan madu, mau nggak?”Rio diam sembari berpikir.“Pergi bulan madu?” tanya Rio ragu.“Iya, bulan madu seperti yang kita lakukan dulu,” jawab Shara. “Siapa tahu Via bisa hamil setelah kalian pulang dari bulan madu.”“Tidak.” Rio menggeleng tegas.“Kenapa tidak mau?” tanya Shara bingung.Rio memandang Shara.“Tidak usah pakai bulan madu, bukan kewajiban.” Rio mengingatkan Shara dengan tegas.“Bulan madu bisa membuat kalian lebih fokus pada tujuan,” sahut Shara tidak mau kalah.“Ra, aku itu ingin tetap berjarak sama Via,” sahut Rio kesal. “Aku tidak mau jarak itu jadi hilang gara-gara tuntutan kamu.”Shara langsung membantah pendapat suaminya mentah-mentah.“Kamu salah, Mas. Niat
Di ruang tamu, Shara masih menyangga kepalanya dengan tangan. Dia menyesal, tadi itu dia kelepasan karena rasa cemburunya yang sudah tidak terkontrol lagi.Shara hanya ingin Slavia cepat mengandung anak Rio dan melahirkan, setelah itu dia bisa segera mengakhiri pernikahan mereka.***Rio tiba di rumah dan merasakan aura suram yang menyambutnya.“Sepi sekali, aku kira kamu belum pulang.”Shara menoleh ketika Rio muncul di kamar sebelah.“Eh Mas, kamu sudah pulang!” Shara mau tak mau menyambut suaminya. “Kamu sudah lihat Via belum?”Rio menggeleng.“Aku langsung ke sini tadi, jadi belum sempat ke kamar utama. Memangnya kenapa?”Shara menarik napas dan wajahnya mendadak murung, dia lantas menceritakan keributan kecil yang sempat terjadi antara dirinya dan Slavia.“... takutnya Via ngambek dan minta cerai betulan, Mas ... Gimana ini?”Rio menghela napas, masalah ternyata tidak henti-hentinya mampir setelah semua hal yang dia lakukan.“Kamu juga sih, jangan terlalu menekan Via. Hamil itu t
“Gerah Kak, gerah banget!” Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya. “Aku pengin ....”“Pengin apa sih?”“Aku pengin nyanyi-nyanyi ... ayo!”Shara melotot saat Slavia berlenggak-lenggok di depannya, segera dia berteriak, “Mas! Mas Rio! Tolong bantu aku, Mas!”“Ya, sebentar!”Shara memandang aneh ke arah adiknya yang kini bertingkah sangat tidak wajar.“Vi, kamu kenapa?” tanya Shara bingung saat Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya lagi sambil melompat-lompat disertai senyuman lebar menggoda. “Via!”“Ayo kita joget!” racau Slavia lagi. “Aku butuh teman, ayo!”Bingung, Shara meraih jaket yang teronggok di sofa dan melingkarkannya di pinggang Slavia. “Jangan ditarik-tarik baju kamu, Vi! Mas Rio, kok lama banget sih?”“Iya, iya! Ini lagi jalan!”Sesampainya di ruang keluarga, Rio menghampiri Shara yang masih kerepotan mengatasi Slavia. Cepat-cepat dia mengambil alih istrinya yang sedang bertingkah seperti sedang berada di tempat hiburan.“Mas, tolong antar Via ke kamar saja!” pi
Rio mengernyit sambil menyingkirkan rambut lurus Slavia yang menutupi bagian depan tubuhnya.“Aku mau sama suami aku ...” celoteh Slavia lagi.Rio tidak menanggapi, hanya dalam waktu yang singkat saja dia dan Slavia sudah berpindah tempat.Slavia membuka matanya saat ujung hidung Rio mengenai kulit lehernya dan membuatnya meremang. Tangannya bergerak untuk menyingkirkan wajah Rio dan bersiap bangun, tapi Rio mendorongnya kembali agar berbaring di tempatnya.Setelah memastikan Slavia tidak akan menolaknya, Rio menanggalkan semua bajunya dan bergegas menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami sebagaimana yang juga dia lakukan terhadap Shara, istri pertamanya.Rio mengecup lembut bibir Slavia sebelum dia berguling ke samping, dan memeluk erat tubuh istrinya di balik selimut yang hangat.***“Ya ampun, jam berapa ini?”Saat tersadar kembali, Rio baru dihinggapi rasa bersalah ketika menyadari bahwa dia telah melakukan kewajibannya sebagai seorang suami di saat Slavia dalam kondisi tidak