"Astaga! Mas Ghavin!" Dyra seketika duduk.
Sebelumnya posisi Dyra berbaring membelakangi pintu, tapi ternyata Ghavin yang tidak tahu sejak kapan datangnya sudah berdiri di dekat ranjang, dan ketika membalik badan Dyra dibuat terkejut setengah mati. “Sedang apa disini?” Dyra buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Namun, Ghavin tak bergeming, bahkan saat melihat keterkejutan Dyra. Dyra lantas menghidupkan lampu kamar menggunakan remot, dan ketika tahu penampilan Ghavin yang tak biasa, alisnya mengkerut dalam. Melihat Ghavin berdiri layaknya patung, pun dengan tatapan terkunci padanya, Dyra berubah gelisah. Ia merasa terancam. “A-ada apa?” ujarnya gugup. Selain aneh, Ghavin juga tampak berantakan. Tidak seperti biasanya yang selalu rapi. Kemeja putih yang Ghavin kenakan terburai keluar, dasi sudah melonggar tidak beraturan. Sedangkan rambutnya acak-acakan seperti tersapu angin beliung. Ghavin terlihat sangat kacau. Semakin mengherankan lagi ketika tiba-tiba langsung berbalik badan dan pergi tanpa sepatah kata. “Dia aneh sekali. Apa telah terjadi sesuatu?” Masih coba menyakinkan diri jika memang itu Ghavin—pria yang menikahinya dua Minggu lalu, Dyra belum berani bergerak dari tempatnya. Pasalnya, sejak hari kepindahannya ke rumah baru, dua minggu lalu tepatnya, baru sekarang Ghavin datang. Sebelumnya Dyra juga tidak peduli, sedang dimana dan kapan pria itu akan datang padanya. Lantaran Dyra merasa jauh lebih baik tanpa Ghavin. Apa yang terjadi pada mereka dulu membuatnya selalu tidak nyaman berada di dekat pria itu. Kendati Ghavin dan Ghava kembar identik, tapi sikap serta kepribadian keduanya sangat berbanding terbalik. Ghavin terlalu dingin dan bicara hanya seperlunya saja. Sedangkan Ghava pandai mencairkan suasana. Tidak peduli tempat ataupun sedang bersama siapa, pria itu bisa beradaptasi dengan mudah. Karena perbedaan itulah, lebih banyak yang menyukai Ghava dibanding Ghavin, termasuk Dyra. Pyar! Suara benda jatuh dari arah dapur menyentak Dyra yang seketika terjingkat berdiri, dan bergegas lari keluar setelah memastikan Megan masih terlelap. Sayangnya, sesampainya di dapur, Dyra tidak menemukan keberadaan Ghavin. “Uwekk!!" Terkejut dengan suara itu yang berasal dari kamar mandi dapur, Dyra bergegas memastikan. “Mas Ghavin!” Dyra membelalak terkejut melihat Ghavin sedang menunduk di depan wastafel. “Oh, ya ampun! Apa yang terjadi padamu, Mas?” Setelah sadar dari keterkejutannya Dyra cekatan memijat tengkuk Ghavin yang masih memuntahkan semua isi perutnya. “Mas sakit?” Ghavin hanya menggeleng. Merasa isi perutnya sudah terkuras habis, Ghavin menumpu kedua siku di atas wastafel. Nafasnya sudah stabil sesaat ia membasuh wajah, tapi amarah belum sepenuhnya bisa ia redakan meski sadar wanita yang bersamanya bukan Marissa. “Sebentar. Aku ambilkan minum.” Melihat Ghavin sudah lebih baik, Dyra merasa yakin untuk meninggalkan sendiri. “Wanita sialan!” Ghavin mengumpat marah begitu Dyra sudah pergi. Lewat pantulan kaca, mata Ghavin menajam dengan mulut berdesis kaku. Kejadian beberapa saat lalu masih terekam jelas di benaknya. Jika saja tidak ingat tanggung jawab, mungkin Ghavin sudah melenyapkan dua nyawa sekaligus. Naasnya saat dirinya sudah terbakar amarah, wajah wanita yang selalu menunjukkan kekesalan padanya justru mampu menahan keinginan itu. “Manusia terkutuk kalian!” umpatnya sekali lagi. “Apa sudah lebih baik?” Ghavin tersentak mendengar suara lembut Dyra sudah ada di ambang pintu. Lewat kaca di depannya ia bisa melihat wanita itu sedang berjalan mendekat sambil membawa segelas air. “Minumlah dulu.” Tanpa bersuara, Ghavin langsung berbalik badan dan mengambil gelas dari tangan Dyra lantas menenggak isinya hingga tandas. “Terima kasih,” kata Ghavin seraya mengembalikan gelas yang sudah kosong ke tangan Dyra. Dyra merasa ada yang tidak beres dengan Ghavin, dan anehnya lagi kenapa ia bisa begitu cemas sekarang. Bukankah apapun yang sedang pria itu hadapi bukanlah urusannya? Kontradiksi terjadi, ia ingin abai tapi ternyata kepedulian tetap timbul di hati. “Mau makan sesuatu?” Pertanyaan itu begitu saja keluar dari bibirnya tanpa Dyra kehendaki. “Tidak. Aku mau mandi.” Masih dengan sikapnya yang dingin, Ghavin pergi begitu saja. “Kenapa aku bisa secemas ini melihatnya sedang tidak baik-baik saja.” Dyra bermonolog saat menatap pintu yang tidak Ghavin tutup lagi setelah dilewati. ************* “Ada beberapa dokumen yang harus kau tandatangani.” Dyra menatap penuh tanya tumpukkan kertas di depannya yang baru saja Ghavin letakkan ke atas meja. Pria itu sudah jauh lebih segar setelah membersihkan diri dan berganti pakaian rumahan. Seharusnya Dyra tidak perlu cemas lagi, tapi ternyata ketika beradu pandang dengan mata sendu Ghavin—seperti sedang menyembunyikan luka, hatinya tetap tidak bisa tenang. “Semua ini dokumen pengalihan harta peninggalan Ghava, dan jumlahnya sangat besar,” lanjut Ghavin melihat Dyra hanya menatap diam dokumen-dokumen di depannya. “Dia sudah mengalihkan semua hartanya atas nama kalian.” Baru ketika mendengar itu, pandangan Dyra kembali naik dan bertemu netra Ghavin lagi. “Semua milik kalian.” “Apa?” Larut dalam kecemasan, Dyra baru tersentak ketika mendengar kalimat terakhir Ghavin. “Ghava telah menyerahkan semua hartanya untukmu dan Megan.” Ghavin kembali menjelaskan melihat Dyra tercenung linglung. “Mustahil,” ujar Dyra pelan. Melihat reaksi Dyra, Ghavin lantas menjelaskan seberapa banyak harta peninggalan Ghava yang tujuh puluh persennya sudah atas nama Megan, dan sisanya tiga puluh persen atas nama Dyra. “Tidak mungkin.” Tapi ternyata Dyra tetap belum mempercayainya. Ia masih sangat terkejut. “Notaris memberitahuku berkas ini dialihkan satu bulan sebelum kejadian. Itu artinya Ghava sudah menyiapkan semuanya sebelum malam naas itu terjadi.” “Tidak mungkin Mas Ghava tahu dia tidak akan hidup lama.” Bulir bening seketika terjun bebas dari sudut mata Dyra. Menafsirkan Ghava mengetahui kapan batas hidupnya akan berakhir, ternyata amat sangat menyakitkan. “Suamiku dibunuh. Dia meninggal bukan karena serangan jantung.” Akhirnya Dyra mengutarakan kecurigaannya sambil terisak. Sontak saja Ghavin dibuat terkejut, tidak menyangka Dyra mengatakan itu. “Jadi kau juga tahu Ghava dibunuh?” Sekarang gantian Dyra yang Ghavin buat terkejut. Ditatapnya tajam pria itu yang masih menegang. “Maksud Mas–” Tak kuasa melanjutkan kalimatnya, Dyra kembali terisak. Menganggap Dyra hanya terlalu emosional mengingat kembarannya, Ghavin akhirnya menghela nafas panjang seraya kembali menyandarkan punggung di sandaran sofa. “Tenangkan dirimu. Jangan sampai papa ataupun Megan mendengar tangisanmu.” Ghavin mengingatkan. Ia tidak ingin Martin sampai mendengar tangisan pilu Dyra dan berakhir kesalahpahaman. “Jadi benar Mas Ghava dibunuh?” Dyra memberanikan diri bertanya setelah bisa mengendalikan diri. Begitu melihat Ghavin mengangguk pelan, ia bertanya lagi dengan suara yang bergetar. ”Mas tahu siapa pelakunya?” “Aku belum bisa memberitahumu sekarang. Tapi perlu kau ketahui, sebenarnya orang itu menginginkan kematianku, bukan Ghava.” Mata Dyra seketika melebar, mungkinkah Ghavin ingin mengatakan jika Ghava menjadi korban salah target, begitu? “Yah! Seperti yang kau pikirkan.” Dyra lagi-lagi dibuat terkejut merasa Ghavin tahu apa yang sedang ia pikirkan. “Mereka menganggap aku yang ada di kamar itu.” Tidak bisa berkata-kata lagi, Dyra hanya menelan salivanya kasar sambil beberapa kali mengusap bulir bening yang terus saja berjatuhan. “Aku harap kau bisa bersikap tidak tahu apapun, dan jangan katakan kecurigaanmu pada siapapun, termasuk papa.” Dyra reflek mengangguk patuh, kepalanya terlalu penuh dengan berbagai dugaan mengerikan.“Putri Anda dengan Bibi Mia.”“Putriku?” Tobias berpikir keras, sampai kerutan di dahinya terlihat jelas. Tapi detik berikutnya tampak keraguan di matanya. “Kau tidak sedang bergurau? Bukankah seharusnya dia putri Mia bersama suaminya?”Masih belum tahu siapa pria yang Tobias bicarakan, tapi lebih dari itu Ghavin merasa ada yang tidak beres. Jelas ada manipulatif yang mungkin Datuk Wira pelakunya. Sebab, bukan hanya kebohongan mengenai mantan suami Mia yang katanya telah meninggal, tetapi juga kabar yang sempat didengar Bella ditinggal sang ayah sejak usia satu tahun. Sedangkan menurut Martin, kala itu ia sempat mendengar Mia akan menikah, tapi tidak berselang lama kembali mendengar kabar Mia telah melahirkan seorang putri. Mengingat waktunya terlalu dekat, Martin menduga Mia dalam keadaan hamil ketika menikah. Namun, sampai berita kematian itu terdengar, tidak ada satu orang pun yang tahu siapa pria yang sudah menikahi Mia. Bahkan tidak sedikit yang menganggap pernikahan itu hanya o
“Jadi dia yang mengirimmu kemari? Untuk apa?”Melihat cara Tobias menatap dan memperhatikan Ghavin dengan sangat intens, menyiratkan keraguan. Tapi Ghavin masih sangat tenang, sama sekali tidak terusik. “Jika bukan Wira, itu artinya Mia sendiri yang memintamu datang. Benar begitu?” Kali ini tatapan Tobias berubah memicing curiga.Mendengar tuduhan Tobias, Ghavin mendenguskan tawa pelan sebelum bicara. “Mana mungkin orang yang sudah mati bisa memberi perintah, Tuan.” Sontak saja, mata Tobias mendelik tajam, dan dari ekspresi itu juga Ghavin meyakini satu hal. Berita kematian Mia yang sempat menggegerkan media belum sampai ke telinga Tobias. Wajar. Mengingat mereka tinggal di negara berbeda, dan mungkin saja Tobias kurang berminat mengikuti berita luar negeri. “Masuk akal jika Wira memang sudah mati. Jadi Mia yang mengutusmu?” tuduh Tobias lagi.Ternyata benar, pria itu belum mengetahui yang sebenarnya terjadi pada mantan istrinya. Jika demikian, bukan tidak mungkin selama ini pria
“Kau sudah dua jam melewatkan sarapan. Sebaiknya bangun dulu. Isi perutmu.” “Mau pergi kemana di akhir pekan, Mas?” Dyra beringsut bangun saat tahu Ghavin sudah wangi dan rapi. “Ada klien baru yang ingin bertemu.” “Apa hidupnya hanya untuk bekerja?” gerutu Dyra dalam hati mencela siapapun yang ingin bertemu suaminya di hari libur. Bahkan Dyra yakin Ghavin belum memejamkan mata sejak kembali dari rumah sakit. “Aku harus pergi sekarang mumpung Megan sudah tidur.” Meninggalkan kecupan singkat di dahi Dyra, Ghavin benar-benar pergi tanpa berniat menjelaskan siapa yang ingin ditemuinya. “Apa yang kau pikirkan, Dyra. Mana mungkin suamimu menemui wanita lain. Klien baru itu pasti laki-laki,” ujarnya menyakinkan diri begitu Ghavin hilang dibalik pintu. Sejak memutuskan kembali ke perusahaan, Ghavin memang sangat sibuk, dan tak jarang pulang hingga larut malam. Benar seperti yang sering Martin keluhkan dulu, Ghavin bisa segila itu dengan pekerjaan. Bahkan sampai mengabaikan kesehat
“Duniaku sudah menunggu,” ujar Ghavin pelan dengan dua sudut bibir tertarik sempurna. Seperti sudah paham suara serta warna mobil Ghavin, Megan yang sebelumnya bermain dengan pengasuhnya seketika berlari ke arah Ghavin yang baru turun dari mobil. Melihat keberadaan putrinya di halaman depan, Dyra mengembangkan senyum. Tetapi mendadak sirna ketika tahu Megan terlalu kencang berlari, sampai pengasuh sigap mengejar. Bayi cantik yang sekarang sudah berusia lebih dari satu tahun itu, hanya ingin segera menghambur pada sang ayah. Tanpa pernah paham bahaya jika ia sampai terpeleset dan jatuh. “Pelan-pelan Sayang, rumputnya licin!” seru Dyra khawatir. Namun, tidak memperdulikan peringatan sang ibu, Megan tetap berlari di atas rerumputan yang masih berselimut embun. Bahkan ketika tahu sang pengasuh mengejar, Megan malah tertawa riang. Menganggap mereka sedang bermain kejar-kejaran. Berpikir polos selayaknya anak-anak yang baru bisa berlarian. Tak kalah khawatir dari Dyra, Ghavin yang sa
“Kau yakin tidak salah mengenali?” Ghavin kembali diam menyimak ketika Derry bicara di seberang sana. “Cari tahu siapa telah membantunya.” Ghavin hanya berpikir, terlalu mustahil Romi bisa seperti yang Derry lihat sekarang jika tanpa bantuan orang lain.“Mas.. .”Mendengar suara lembut Dyra yang ternyata sudah ada di belakangnya, Ghavin segera berbalik badan, dan langsung mematikan panggilan. Ia hanya tidak mau sang istri kembali cemas saat tahu Romi masih hidup. Setelah kematian Darwin, serta mengetahui nasib Romi yang sudah ia buat sekarat dan terlalu mustahil untuk bertahan, Dyra terlihat bisa menikmati hidup seperti sebelumnya.Kendati Ghavin sendiri belum berpuas hati sebelum melihat tubuh kaku Romi tertanam di dalam tanah, setidaknya dua luka yang ia berikan membuat mantan teman baiknya itu butuh waktu lama untuk bisa menuntut balas. Semua sudah terprediksi. Hanya saja Ghavin tidak menyangka Romi bisa secepat itu meninggalkan ranjang. “Sebaiknya kita pulang sekarang. Aku rasa b
Di sisi lain, tepatnya di depan ruang operasi keadaan terasa sepi mencekam. Ketiga orang dewasa yang duduk berjajar di kursi tunggu hanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentunya dengan kekhawatiran yang sama. Terlebih setelah hampir empat puluh menit berlalu, belum ada yang keluar untuk memberitahu mereka bagaimana kondisi Bella beserta anaknya. Apakah keduanya selamat, atau justru ..Menyandarkan kepala di dinding, wajah Galih memucat seperti tak teraliri darah. Pikirannya terlalu kalut sampai ia sendiri lupa belum makan apapun sejak sore.“Aku yakin anak juga istrimu pasti selamat.” Ghavin yang sejak berpindah duduk di sana mengunci mulut rapat-rapat, akhirnya bersuara. Tidak tahan melihat Galih nyaris seperti mayat hidup, ia berani memberi harapan. Meski sebenarnya juga tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Siapa yang berhasil tim dokter selamatkan.Pasalnya begitu mengetahui Bella tidak sadarkan diri, dokter langsung menyarankan untuk melakukan tindakan operasi. Tetapi
Di belahan bumi yang sama tapi dengan waktu yang tidak jauh berbeda, Marissa terus memperhitungkan kapan terakhir kali dirinya mendapat tamu bulanan. Jika pun dirinya hamil, itu sangat tidak mungkin, tapi jika tidak kenapa sampai bulan berikutnya momen itu tak kunjung dirasakan. “Apa yang kau pikirkan, Risa. Itu tidak akan mungkin terjadi. Bukankah hal seperti ini sudah sering terjadi padamu?” ujarnya bermonolog menyakinkan diri dari kerisauan. Sempat timbul kepercayaan itu dalam dirinya, tapi mendadak sirna ketika ingatan dimana dirinya pernah tanpa sengaja mendengar pembicaraan serius sang mama dengan Darwin melintas, hingga akhirnya mengusik benaknya. “Mungkinkah?”Sebenarnya Marissa tidak tahu pasti sejauh mana hubungan Sushmita dengan ayah dari pujaan hatinya itu. Tapi bukan hanya sekali, sudah beberapa kali ia memergoki Sushmita keluar dari hotel di waktu yang hampir bersamaan dengan Darwin. Namun, tidak adanya keberanian untuk bertanya, Marissa memilih menyimpan semua keingin
Menyandarkan punggung di sandaran kursi roda, menatap jauh ke depan dengan sorot mata menajam tapi menyiratkan kesedihan, Romi tidak pernah menyesal dengan apa yang sudah dilakukan sampai sejauh ini dan berakhir menjadi tahanan dokter. Yang terjadi pada dirinya sekarang hanyalah bagian dari sebuah peperangan. Begitu juga dengan kematian sosok pendukung sekaligus sekutu yang selama ini selalu ada di belakangnya. Darwin bukan hanya seorang ayah, tapi juga teman sekaligus motivator baginya. Kematian Darwin sudah pasti akan memicu pembalasan yang lebih kejam, pertumpahan darah yang sebenarnya akan terjadi setelah kondisi tubuhnya benar-benar siap. Untuk sekarang, Romi membiarkan keluarga Pratama tersenyum bahagia merayakan kemenangan mereka, tapi yang pasti akan segera tiba hari pembalasan. “Kau melamun lagi?” Suara lembut itu menyentak Romi yang langsung menoleh ke asal suara. “Sampai kapan alat sialan itu akan ada di tubuhku?” “Sampai kondisi kakimu benar-benar pulih.” Romi seketik
Hanya butuh kesabaran untuk sebuah kepastian. Tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras. Hidup untuk berjuang, jika pun ada keberuntungan itu hanya sebagian kecil dan tidak bisa selalu diharapkan. Senyum Martin awet bak berformalin kala menatap personil keluarganya yang lengkap penuh kehangatan. Meski sang istri tidak lagi ada disisinya, begitu juga si bungsu yang selalu berhasil menghidupkan suasana sudah pergi lebih dulu, tetapi dengan melihat kebahagian kedua putranya yang lain, ia sudah merasa sangat beruntung. Berharap kebahagiaan itu tetap bisa dinikmati sampai dirinya menutup mata nanti. Bukan hanya hubungan Ghavin dan Dyra yang mulai menuju keluarga bahagia, pun dengan Galih yang terlihat menikmati perannya sebagai suami siaga. Sebaliknya Bella tidak canggung lagi menunjukkan perhatian serta kepeduliannya pada sang suami. Pemandangan yang sebelumnya Martin anggap akan sangat mustahil terjadi, ternyata berakhir lebih manis dari yang pernah diharapkan. “Aku sebenarnya semalam s