Sinting!
Orang gila mana yang seenaknya memecat orang seperti itu?! Dasar pria tidak berperasaan! Itu kan bukan salah mereka!
Sialan! Gara-gara masalah ini, aku terpaksa menemui pria itu secara langsung. Aku kan tidak mungkin diam saja ketika ada orang yang dipecat karena kelakuanku!
Tapi… ternyata tidak semudah yang kubayangkan.
Sudah hampir 20 menit aku berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Jangankan untuk menemuinya, mengetuk pintunya saja aku tidak bernyali.
Apa sebaiknya aku biakan saja mereka dipecat?
Gila! Itu tidak mungkin!
“Nona Minna?”
“Pak Sekretaris!” pekikku kaget. Ia muncul seperti hantu. Bahkan langkah kakinya saja tidak terdengar.
Wajah tampan pria muda itu tersenyum ramah. “Nona mau menemui Pak Killian?” tanyanya sambil memiringkan kepala.
Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingin menemui pria itu. Namun, kalau aku tidak bergerak, seluruh tukang kebun dan Windi mungkin akan benar-benar dipecat.
“Nona?”
Aku melirik ngeri pria yang berdiri di belakang sekretaris muda itu. Ia pria tegap dengan tubuh berotot dan luka memanjang di leher, seperti luka irisan pisau yang cukup dalam.
Aku menelan ludah susah payah. Mengapa orang-orang di sekitar pria itu sangat menyeramkan?
“I… iya. Eh, tidak. Tolong sampaikan saja, mengenai masalah kebun kemarin, itu murni kesalahan saya. Tolong jangan pecat tukang kebun dan Windi. Mereka sama sekali tidak bersalah, Pak Sekretaris.”
“Nona tidak perlu menggunakan bahasa formal kepada saya. Nona bisa memanggil saya Joachim.”
Padahal ia sendiri berbicara seperti itu kepadaku.
“Dan untuk masalah kemarin, saya khawatir itu di luar wewenang saya. Lebih baik Nona temui Pak Killian langsung.”
“Joachim.”
Pria di belakang Joachim menegur dengan mulut terkatup, tapi Joachim sama sekali tidak peduli, padahal aku sudah gugup setengah mati.
“Ayo, Nona, silakan masuk. Pak Killian ada di dalam.”
“Eh, tu…tunggu, a… aku—”
Aku belum siap! Mentalku belum matang!
Tapi dengan senyuman tanpa rasa bersalah, Joachim membuka lebar pintu ruang kerja pria itu.
Dan seperti hewan buas yang memiliki insting memburu, pria itu langsung mengangkat wajahnya, seakan bisa merasakan keberadaan mangsa yang ia incar.
“Ada apa?” Suara mengintimidasi pria itu memenuhi udara seketika.
Glek.
Aku pasti sudah gila.
Mendengar suaranya saja kakiku langsung lemas.
Aku takut.
Bagaimana jika ia semakin marah dan akhirnya mengusirku dari rumah ini?
Aku belum berhasil mencuri apa pun! Aku juga belum menguangkan kartu yang diberikan Helga. Kalau ia sampai mengembalikanku ke rumah Ibu, aku pasti akan mati dipukuli Ibu dan Kak Jasmine.
“Nona Minna ingin berbicara tentang masalah di kebun kemarin, Pak Killian.” Joachim menjelaskan dengan suara selembut embusan angin. “Kalau begitu, kami pergi dulu. Silakan Nona Minna.”
Dan setelah mengantarkanku ke kandang singa, Joachim keluar dari ruangan itu, meninggalkan aku bersama pria itu dan seorang pria besar lain yang berdiri di belakangnya bagai patung beruang.
Br*ngsek! Dasar tidak setia kawan!
“Aku sibuk. Cepat bicara.” Ia kembali memalingkan wajahnya kepada berkas di atas meja.
Gila.
Aku yakin kalau aku salah bicara, bisa-bisa kepalaku melayang di tempat ini.
“So… soal kejadian kemarin. Sa… saya minta maaf. Tapi i… itu sepenuhnya salah saya…”
“Aku tau.”
Padahal ia tidak memukulku, tapi aura di sekelilingnya lebih menyeramkan dari pada Ibu dan Kak Jasmine.
“Apa lagi?” Ia bertanya tanpa mengalihkan matanya dari laptop dan berkas di atas meja.
Mungkin aku semacam mahluk tidak kasat mata di hadapannya.
“To… tolong, jangan singkirkan tukang kebunnya, dan jangan pe… pecat pohonnya.”
Sial. Karena terlalu gugup kata-kataku malah terbalik-balik.
“Wi… Windi juga, tolong jangan pecat dia. Di… dia tidak bersalah.”
Mengapa pria itu diam saja? Bahkan suara goresan penanya tak lagi terdengar.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku, dan ternyata pria itu tengah menatapku, atau tepatnya menatap tanganku yang masih berbalut perban. Refleks aku menyembunyikan lenganku ke belakang punggung.
Apa aku juga harus berlutut agar ia luluh?
“Oke. Sekarang pergi.”
Eh?
Aku mengerjap bingung.
Semudah ini?
Apa semuanya selesai seperti ini? Padahal aku sudah menyiapkan tiga lembar alasan yang kutulis semalaman.
“Pergi. Sebelum aku berubah pikiran.”
“I… iya, terima kasih banyak, Pak Killian.”
Lirikan matanya semakin terasa tajam. Jadi, sebelum pria itu berubah pikiran, aku langsung berbalik untuk pergi dari ruangan itu.
Namun sialnya, karena terlalu tegang, kakiku seakan tak bertenaga sama sekali.
Baru saja aku akan melangkah, tubuhku justru ambruk begitu saja. Membuat wajahku mendarat di atas marmer yang keras.
BRUK!
“Nona Minna?!” Sosok Joachim kembali muncul dari balik pintu. Ia langsung menghampiriku dengan wajah cemas. “Nona, apa yang terjadi?”
Ia mencoba membantuku berdiri, tapi aku justru ingin membenamkan wajahku ke dalam marmer itu sekarang.
“Pak Killian, sebenarnya apa yang sudah Anda lakukan?!” tuding Joachim kesal. “Apa Nona baik-baik saja? Haruskah saya panggil ambulans sekarang?”
Aku ingin berterima kasih atas perhatiannya, tapi tidak bisakah ia mengunci saja mulut sialannya itu?! Karena sekarang aku benar-benar malu!
***
Argh!
Aku meringkuk di atas kasur, bersembunyi di balik selimut sambil terus berteriak tanpa suara. Bagaimana aku bisa sebodoh itu?!
Sekarang aku benar-benar ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi!
“Nona Minna?” panggil Windi lembut.
Namun aku tidak ingin membuka selimutku. Aku tidak bisa menghadapi mereka. Semua orang pasti sudah mendengar cerita memalukanku di dalam kantor pria itu.
“Nona baik-baik saja? Apa saya harus panggilkan dokter Fabian?” tanyanya, melembut. Seakan ia tengah berbicara kepada seorang bocah kecil yang merajuk. “Kalau ada yang sakit, atau tidak nyaman, Nona bisa katakan kepada saya.”
Aku menurunkan sedikit selimut yang menutupi wajahku, membuat Windi bisa melihat benjol yang lumayan besar di keningku.
Namun ia sama sekali tidak tertawa. Padahal tadi Joachim sampai tertawa terpingkal-pingkal saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku malu, Win…,” rengekku dengan bibir melengkung sedih.
Gadis itu tersenyum lembut. Ia mengambil obat yang diletakkan di atas nakas, lalu mulai mengobati keningku.
“Ini tidak memalukan, Nona Minna. Justru, Nona sangat berani.”
“Auch!” Aku meringis perih saat obat itu mengenai lukaku.
Baru seminggu di rumah itu, dan sekarang tubuhku sudah dipenuhi luka aneh.
Windi meniup keningku dengan perlahan, lalu kembali berbicara, “Dan berkat keberanian Nona, saya dan Pak Hustle tidak akan dipecat. Pohon-pohonnya juga tetap dibiarkan tumbuh. Terima kasih banyak, Nona.”
Mereka benar-benar orang yang baik.
Padahal Windi sudah mendapatkan masalah karena kecerobohanku, tapi ia tetap mengucapkan terima kasih setulus itu.
“Maaf ya, Windi, aku sudah merepotkan semua orang.”
Windi membantuku duduk di ranjang. “Nona sama sekali tidak merepotkan,” senyumnya tulus. “Mari, biar saya membantu Nona berganti pakaian. Nona pasti kesulitan.”
Biasanya aku akan bersikeras menolak. Namun, kali ini sepertinya dia benar. Setiap aku menggerakan tanganku, sengatan nyeri pasti langsung menghantam.
“Oke, terima kasih,” jawabku pasrah.
Windi tersenyum ramah. Ia mengambilkan gaun tidur dari dalam lemari panjang di sisi lain kamar, lalu membantuku membuka pakaian.
Gerakannya sangat hati-hati, khawatir mengenai luka di tangan dan keningku yang masih menyengat.
Namun, saat pakaianku terlepas, tiba-tiba saja tubuh Windi terhuyung ke belakang. Kedua matanya terbelalak lebar, dan wajahnya mulai memucat.
“Astaga, Nona Minna, apa ini?!”
Deg.
Cepat aku menyambar kembali pakaian yang terjatuh, lalu menutupi tubuhku yang terbuka.
“I… ini bukan apa-apa, Windi.”
Kedua mata Windi tergenangi cairan bening. “Saya akan bicara pada Bu Helga dan Pak Killian.”
Saat gadis itu melangkah ke pintu, aku langsung menangkap lengannya. “Windi!” teriakku panik. “Jangan! Tolong jangan katakan apa pun. Tolong anggap kamu nggak pernah melihat apa pun.”
Air mata Windi mulai menetes. “Tapi Nona Minna, luka-luka ini… Pak Killian harus tau!”
Aku menggeleng panik. “Kumohon, Windi, please…”
***
1 bulan sebelumnya.“Stockholm syndrome.”Kata-kata Laura kembali terngiang.“Apa?”“Itu adalah gangguan psikologis pada korban penculikan. Di mana korban justru mengembangkan perasaan simpati, bahkan kasih sayang terhadap pelakunya.”“Saya tau! Tapi itu tidak mungkin! Mana mungkin ada orang yang memiliki perasaan seperti itu kepada orang yang sudah menyakitinya?” Joachim, dengan seluruh upayanya menyangkal keras.Aku sedikit khawatir menempatkan mereka di satu ruang yang sama. Namun, wanita itu menepati janjinya. Ia mengabaikan Joachim seakan obsesinya tidak pernah ada sama sekali. “Kamu pikir apa alasan gadis berusia 22 tahun tetap berada di tempat yang menyakitkan seperti itu?!”“Karena dia dikurung!”“Jangan membuatku tertawa, Joachim. Dia tidak dipasung. Dia bebas. Dia memiliki akses luas. Terlepas dari seluruh perlakuan keluarga tirinya, dia dibiarkan bebas di dalam rumah. Dia bukan lagi gadis kecil berusia 6 tahun! Dia gadis dewasa berusia 22 tahun. Dia bisa meminta bantuan ke
Apa arti luka?Apakah itu ketika kau pecah, tergores, bersimbah darah, hingga kau berpikir itu akan menjadi sambutan kematianmu?Aku sudah berkali-kali berada di ambang rasa sakit itu.Kupikir aku sudah merasakan semuanya, tapi ternyata, itu hanyalah sebagian kecil dari potongan rasa sakit yang diciptakan segores luka.Klik.Pintu terbuka perlahan. Mengusik keheningan yang memenuhi jiwaku.“Kak Minna? Ke-kenapa Kakak bisa ada di sini?!”Aku selalu bertanya-tanya, mengapa dulu aku tidak memepertahankan apa yang Ibu tinggalkan? Mengapa aku membiarkan mereka membakar seluruh potret Ibu? Mengapa aku tidak menyembunyikan salah satunya di antara celah yang hanya aku sendiri yang mengetahuinya?Mengapa aku membiarkan mereka menghilangkan seluruh jejak Ibu?Mengapa aku membiarkan mereka membuatku melupakan Ibu?“Kak Minna! Apa yang Kakak lakukan di sini?! Pergi!”Aku bergeming. Menatap hampa ruang kelas yang kosong. Kesempatan yang tak pernah kudapatkan. Kesempatan yang mereka rebut dengan kej
Laskala.Nama itu terasa asing dan familiar secara bersamaan.Aku melewati malam tanpa terpejam hanya untuk mencari jejak di mana aku pernah mendengar nama Laskala sebelumnya.Dua malam yang lalu, setelah mendengar nama itu, aku bisa merasakan perubahan drastis pada sorot matanya.Ia menurunkanku dengan hati-hati dari dekapan, mengambil ponsel yang tersimpan di atas meja, lalu pergi setelah mengecup singkat keningku.Dalam hitungan detik, semua orang yang kupikir menghilang, tiba-tiba saja kembali memenuhi apartment, meskipun pada akhirnya mereka kembali pergi mengikuti langkah pria itu.“Jaga tempat ini sampai aku kembali.”Hanya pesan itu yang tinggalkan. Lalu ia pergi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa kabar. “Nona?” Windi muncul dengan senyuman cerah seperti biasa. Ia meletakkan sepiring stroberi segar yang sudah dipotong rapi ke atas meja. “Nona, Pak Gerad akan berbelanja bahan makanan. Apa ada makanan tertentu yang Nona inginkan untuk makan malam nanti?”Aku menurunkan cangk
“Kemana semua orang?”Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, aku mengintip diam-diam.“Sedang apa kau?” tanya pria itu, berdiri di belakang punggungku.“Di luar… tidak ada siapa pun.”Tangan panjangnya mendorong pintu hingga terbuka, lalu ia melangkah keluar kamar begitu saja, tanpa memperdulikan keberatanku.Ia berjalan santai ke dapur yang kosong. Bahkan meja makan yang tadi amat ramai, kini hanya menyisakan makanan-makanan lezat tanpa sisa piring yang tertinggal.Aku menatap ke sekeliling apartment. Di mana semua orang? Mengapa mereka bisa lenyap seperti ini?“Makanlah yang banyak.” Pria itu mengelilingi meja dapur, mengambil sebuah apel, menggigitnya sambil menarik kursi meja makan. “Minna? Kau bilang kau lapar.”Mataku mengerjap cepat. Aku memang lapar, tapi ini sangat aneh.“Kemana semua orang?”Aku hampir tidak pernah melewati waktu tanpa Windi dan Arlo. Mereka tidak pernah meninggalkanku sendiri.“Apa terjadi sesuatu?” tanyaku cemas.“Tidak terjadi apapun. Sekarang duduk
Tidak seperti saat menggendong, setidaknya saat ia mendudukanku di sisi ranjang, gerakannya jauh lebih manusiawi, walaupun tidak bisa dikatakan lembut sama sekali.“Aww.” Aku meringis pelan saat ia membuka serbet yang sekarang sudah dipenuhi darah dari tanganku.Sebenarnya lukanya tidak terlalu dalam, darahnya juga sudah berhenti menetes, tapi karena cukup panjang, darahnya hampir memenuhi salah satu sisi serbet, bahkan sampai merembes ke kemeja hitam pria itu.Ketukan di pintu mengiringi kedatangan Dokter Fabian yang membawa kotak P3K.“Maaf, ternyata tidak ada first aid kit di apartment.”Itu menjelaskan keringat yang memenuhi keningnya. Ia pasti harus mengambil kotak itu di mobil.Pria itu menudingku dengan tatapan sengitnya, seakan ketidakberadaan kotak P3K di apartment adalah sebuah kejahatan yang fatal dan sengaja kulakukan. Dokter Fabian menarik kursi di depan meja rias, lalu duduk di hadapanku, memeriksa lukaku dengan seksama.“Apa perlu dijahit?”Pria itu bersidekap, menatap
“Pak Kenan sudah mengirimkan email, Pak. Saya juga sudah meminta tim finance untuk melengkapi data sales periode pertama. Haruskah saya menghubungi bagian operator?”“Tidak perlu. Persiapkan saja datanya, kita akan meeting 15 menit lagi.”“15 menit? Tapi itu…”Ia menoleh, membuat sekretarisnya menelan keberatan apa pun yang tadi sempat tergantung di lidahnya.“Ya, 15 menit lagi. Saya akan siapkan link meetingnya, dan mengirim undangan.”“Bagus. Dan minta juga bagian marketing mengirimkan bahan marketing yang sudah direvisi. Pastikan manager pengembang hadir. Poin yang perlu direvisi dari MoU sudah kusertakan, bereskan itu sekarang, dan segera email kembali.”Dari balik counter dapur, aku tidak bisa berhenti menatap ruang keluarga yang kini sudah diubah menjadi ruang kerja sementara pria itu. Sebenarnya, apartment ini memiliki ruang khusus yang bisa digunakan sebagai ruang kerja, tapi pria itu memilih ruang keluarga.Sekarang, melihat berkas-berkas yang tersebar, aku jadi mengerti.Tap