Share

Part 6 - Jejak Luka

Sinting!

Orang gila mana yang seenaknya memecat orang seperti itu?! Dasar pria tidak berperasaan! Itu kan bukan salah mereka!

Sialan! Gara-gara masalah ini, aku terpaksa menemui pria itu secara langsung. Aku kan tidak mungkin diam saja ketika ada orang yang dipecat karena kelakuanku!

Tapi… ternyata tidak semudah yang kubayangkan.

Sudah hampir 20 menit aku berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Jangankan untuk menemuinya, mengetuk pintunya saja aku tidak bernyali.

Apa sebaiknya aku biakan saja mereka dipecat?

Gila! Itu tidak mungkin!

“Nona Minna?”

“Pak Sekretaris!” pekikku kaget. Ia muncul seperti hantu. Bahkan langkah kakinya saja tidak terdengar.

Wajah tampan pria muda itu tersenyum ramah. “Nona mau menemui Pak Killian?” tanyanya sambil memiringkan kepala.

Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingin menemui pria itu. Namun, kalau aku tidak bergerak, seluruh tukang kebun dan Windi mungkin akan benar-benar dipecat.

“Nona?”

Aku melirik ngeri pria yang berdiri di belakang sekretaris muda itu. Ia pria tegap dengan tubuh berotot dan luka memanjang di leher, seperti luka irisan pisau yang cukup dalam.

Aku menelan ludah susah payah. Mengapa orang-orang di sekitar pria itu sangat menyeramkan?

“I… iya. Eh, tidak. Tolong sampaikan saja, mengenai masalah kebun kemarin, itu murni kesalahan saya. Tolong jangan pecat tukang kebun dan Windi. Mereka sama sekali tidak bersalah, Pak Sekretaris.”

“Nona tidak perlu menggunakan bahasa formal kepada saya. Nona bisa memanggil saya Joachim.”

Padahal ia sendiri berbicara seperti itu kepadaku.

“Dan untuk masalah kemarin, saya khawatir itu di luar wewenang saya. Lebih baik Nona temui Pak Killian langsung.”

“Joachim.”

Pria di belakang Joachim menegur dengan mulut terkatup, tapi Joachim sama sekali tidak peduli, padahal aku sudah gugup setengah mati.

“Ayo, Nona, silakan masuk. Pak Killian ada di dalam.”

“Eh, tu…tunggu, a… aku—”

Aku belum siap! Mentalku belum matang!

Tapi dengan senyuman tanpa rasa bersalah, Joachim membuka lebar pintu ruang kerja pria itu.

Dan seperti hewan buas yang memiliki insting memburu, pria itu langsung mengangkat wajahnya, seakan bisa merasakan keberadaan mangsa yang ia incar.

“Ada apa?” Suara mengintimidasi pria itu memenuhi udara seketika.

Glek.

Aku pasti sudah gila.

Mendengar suaranya saja kakiku langsung lemas.

Aku takut.

Bagaimana jika ia semakin marah dan akhirnya mengusirku dari rumah ini?

Aku belum berhasil mencuri apa pun! Aku juga belum menguangkan kartu yang diberikan Helga. Kalau ia sampai mengembalikanku ke rumah Ibu, aku pasti akan mati dipukuli Ibu dan Kak Jasmine.

“Nona Minna ingin berbicara tentang masalah di kebun kemarin, Pak Killian.” Joachim menjelaskan dengan suara selembut embusan angin. “Kalau begitu, kami pergi dulu. Silakan Nona Minna.”

Dan setelah mengantarkanku ke kandang singa, Joachim keluar dari ruangan itu, meninggalkan aku bersama pria itu dan seorang pria besar lain yang berdiri di belakangnya bagai patung beruang.

Br*ngsek! Dasar tidak setia kawan!

“Aku sibuk. Cepat bicara.” Ia kembali memalingkan wajahnya kepada berkas di atas meja.

Gila.

Aku yakin kalau aku salah bicara, bisa-bisa kepalaku melayang di tempat ini.

“So… soal kejadian kemarin. Sa… saya minta maaf. Tapi i… itu sepenuhnya salah saya…”

“Aku tau.”

Padahal ia tidak memukulku, tapi aura di sekelilingnya lebih menyeramkan dari pada Ibu dan Kak Jasmine.

“Apa lagi?” Ia bertanya tanpa mengalihkan matanya dari laptop dan berkas di atas meja.

Mungkin aku semacam mahluk tidak kasat mata di hadapannya.

“To… tolong, jangan singkirkan tukang kebunnya, dan jangan pe… pecat pohonnya.”

Sial. Karena terlalu gugup kata-kataku malah terbalik-balik.

“Wi… Windi juga, tolong jangan pecat dia. Di… dia tidak bersalah.”

Mengapa pria itu diam saja? Bahkan suara goresan penanya tak lagi terdengar.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku, dan ternyata pria itu tengah menatapku, atau tepatnya menatap tanganku yang masih berbalut perban. Refleks aku menyembunyikan lenganku ke belakang punggung.

Apa aku juga harus berlutut agar ia luluh?

“Oke. Sekarang pergi.”

Eh?

Aku mengerjap bingung.

Semudah ini?

Apa semuanya selesai seperti ini? Padahal aku sudah menyiapkan tiga lembar alasan yang kutulis semalaman.

“Pergi. Sebelum aku berubah pikiran.”

“I… iya, terima kasih banyak, Pak Killian.”

Lirikan matanya semakin terasa tajam. Jadi, sebelum pria itu berubah pikiran, aku langsung berbalik untuk pergi dari ruangan itu.

Namun sialnya, karena terlalu tegang, kakiku seakan tak bertenaga sama sekali.

Baru saja aku akan melangkah, tubuhku justru ambruk begitu saja. Membuat wajahku mendarat di atas marmer yang keras.

BRUK!

“Nona Minna?!” Sosok Joachim kembali muncul dari balik pintu. Ia langsung menghampiriku dengan wajah cemas. “Nona, apa yang terjadi?”

Ia mencoba membantuku berdiri, tapi aku justru ingin membenamkan wajahku ke dalam marmer itu sekarang.

“Pak Killian, sebenarnya apa yang sudah Anda lakukan?!” tuding Joachim kesal. “Apa Nona baik-baik saja? Haruskah saya panggil ambulans sekarang?”

Aku ingin berterima kasih atas perhatiannya, tapi tidak bisakah ia mengunci saja mulut sialannya itu?! Karena sekarang aku benar-benar malu!

***

Argh!

Aku meringkuk di atas kasur, bersembunyi di balik selimut sambil terus berteriak tanpa suara. Bagaimana aku bisa sebodoh itu?!

Sekarang aku benar-benar ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi!

“Nona Minna?” panggil Windi lembut.

Namun aku tidak ingin membuka selimutku. Aku tidak bisa menghadapi mereka. Semua orang pasti sudah mendengar cerita memalukanku di dalam kantor pria itu.

“Nona baik-baik saja? Apa saya harus panggilkan dokter Fabian?” tanyanya, melembut. Seakan ia tengah berbicara kepada seorang bocah kecil yang merajuk. “Kalau ada yang sakit, atau tidak nyaman, Nona bisa katakan kepada saya.”

Aku menurunkan sedikit selimut yang menutupi wajahku, membuat Windi bisa melihat benjol yang lumayan besar di keningku.

Namun ia sama sekali tidak tertawa. Padahal tadi Joachim sampai tertawa terpingkal-pingkal saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku malu, Win…,” rengekku dengan bibir melengkung sedih.

Gadis itu tersenyum lembut. Ia mengambil obat yang diletakkan di atas nakas, lalu mulai mengobati keningku.

“Ini tidak memalukan, Nona Minna. Justru, Nona sangat berani.”

“Auch!” Aku meringis perih saat obat itu mengenai lukaku.

Baru seminggu di rumah itu, dan sekarang tubuhku sudah dipenuhi luka aneh.

Windi meniup keningku dengan perlahan, lalu kembali berbicara, “Dan berkat keberanian Nona, saya dan Pak Hustle tidak akan dipecat. Pohon-pohonnya juga tetap dibiarkan tumbuh. Terima kasih banyak, Nona.”

Mereka benar-benar orang yang baik.

Padahal Windi sudah mendapatkan masalah karena kecerobohanku, tapi ia tetap mengucapkan terima kasih setulus itu.

“Maaf ya, Windi, aku sudah merepotkan semua orang.”

Windi membantuku duduk di ranjang. “Nona sama sekali tidak merepotkan,” senyumnya tulus. “Mari, biar saya membantu Nona berganti pakaian. Nona pasti kesulitan.”

Biasanya aku akan bersikeras menolak. Namun, kali ini sepertinya dia benar. Setiap aku menggerakan tanganku, sengatan nyeri pasti langsung menghantam.

“Oke, terima kasih,” jawabku pasrah.

Windi tersenyum ramah. Ia mengambilkan gaun tidur dari dalam lemari panjang di sisi lain kamar, lalu membantuku membuka pakaian.

Gerakannya sangat hati-hati, khawatir mengenai luka di tangan dan keningku yang masih menyengat.

Namun, saat pakaianku terlepas, tiba-tiba saja tubuh Windi terhuyung ke belakang. Kedua matanya terbelalak lebar, dan wajahnya mulai memucat.

“Astaga, Nona Minna, apa ini?!”

Deg.

Cepat aku menyambar kembali pakaian yang terjatuh, lalu menutupi tubuhku yang terbuka.

“I… ini bukan apa-apa, Windi.”

Kedua mata Windi tergenangi cairan bening. “Saya akan bicara pada Bu Helga dan Pak Killian.”

Saat gadis itu melangkah ke pintu, aku langsung menangkap lengannya. “Windi!” teriakku panik. “Jangan! Tolong jangan katakan apa pun. Tolong anggap kamu nggak pernah melihat apa pun.”

Air mata Windi mulai menetes. “Tapi Nona Minna, luka-luka ini… Pak Killian harus tau!”

Aku menggeleng panik. “Kumohon, Windi, please…”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status