Share

Part 5 - Pohon Apel

“Kak Marian, aku punya ide. Apa sebaiknya kita tukar saja pengantin untuk Kak Killian? Kak Killian juga pasti berharap mempunyai pengantin secantik anak itu.”

Di belakang telingaku, Kak Jasmine terkekeh sinis. “Apa kubilang, kamu memang sampah, Minna. Kamu sama sekali nggak cocok dengan pakaian semewah ini.”

Aku bersidekap, lalu balas menatap matanya. “Terus apa masalahnya? Kalau aku nggak cocok, memangnya Kakak cocok?”

“Apa? Dasar sampah!”

Wajah Kak Jasmine memerah marah.

Aku yakin, jika bukan karena dehaman Windi, Kak Jasmine pasti langsung melayangkan tamparan kepadaku. 

“Lilly, Minna, Jasmine, cepat masuk!” desak Ibu, menghentikan perseteruanku dengan Kak Jasmine.

“Awas saja kamu!” desis Kak Jasmine penuh dendam saat aku melenggang anggun ke ruang makan.

Sebenarnya, bukan sikap Kak Jasmine yang kukhawatirkan. Namun, ekspresi aneh Lilly yang membuatku sangat tidak nyaman. 

***

Sudah seminggu aku tinggal di mansion itu, tapi aku masih belum bisa melupakan sikap aneh Lilly. Seakan ada sesuatu yang mengganjal dari ekspresinya.

Ia menangis sedih saat mereka harus kembali ke rumah, seakan sangat tidak rela meninggalkanku di mansion itu. Ia bahkan menawarkan diri untuk menemaniku tinggal di sana, yang tentu saja langsung kutolak tanpa berpikir.

Kalau ada orang yang kubutuhkan untuk tinggal bersamaku, itu adalah Ralla.

Untuk apa aku membawa sumber masalah-masalahku ke rumah yang baru?

“Nona Minna?”

Deg.

Hampir saja jantungku melompat saat mendengar suara Bu Helga. Mungkin karena terlalu asyik melamuni sikap aneh Lilly, aku sampai tidak menyadari kedatangannya ke kamarku.

“Apakah Nona sedang sibuk?”

Ia tidak sedang menyindirku, kan? Aku sama sekali tidak melakukan apapun kecuali melamun sejak tadi. 

“Bolehkah saya bicara sebentar dengan Nona?”

“Ya, Bu Helga,” jawabku sesopan mungkin.

“Tolong panggil saya Helga saja, Nona.”

Aku mengerjap ragu, tapi tidak berani membantahnya.

“Siang ini, saya akan memandu Nona keliling mansion lagi.”

Ah, ya, mansion ini terlalu luas untuk dijelajahi hanya dalam beberapa sesi.  

Apalagi Helga juga memberikan penjelasan sangat lengkap di setiap ruangan seperti seorang pemandu wisata yang menunjukkan hal menakjubkan kepada turis asing. Secara otomatis, itu menghabiskan waktu cukup banyak.   

“Ini dari Pak Killian.” Helga meletakan sebuah kartu dan kunci di atas meja. “Ini kunci mobil untuk Nona.”

Aku meringis, aku bahkan tidak bisa mengendarai mobil.

“Sedangkan kartu ini, bisa Nona gunakan untuk membeli apa pun.” Kartu itu berwarna hitam mewah, dengan namaku tertulis di atasnya.

Wah. Kak Jasmine pasti akan menangis histeris kalau melihat ini. Ia pasti akan langsung menguras seluruh isi kartu itu dalam waktu kurang dari 24 jam.

“Dan Pak Killian berkata, Nona bisa melakukan apa pun yang Nona inginkan.”

Sebelah alisku naik tanpa sadar. “Apa pun?” tanyaku tak percaya.

Wanita itu mengangguk. “Ya, apa pun.”

Wajahku langsung berubah cerah. Syukurlah! Sebenarnya ada hal yang ingin kulakukan sejak pertama kali datang ke rumah ini!

***

“Nona Minna, tolong turun!” Windi berteriak histeris saat melihatku ada di atas pohon.

Sial. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak menarik perhatian siapa pun, tapi gadis itu terus mengekoriku tak kenal lelah.

“Nona Minna! Itu berbahaya! Tolong turun sekarang juga!”

“Sebentar lagi, Windi. Aku akan petik beberapa buat yang lain juga!” teriakku dari atas pohon.

Inilah yang ingin kulakukan sejak pertama kali menginjakkan kaki di mansion mewah miliknya. Buah-buahan ranum mematang sempurna di atas pohon, seakan memanggilku untuk memetik mereka.

Kalau aku menjadi pekerja di sini, aku pasti sudah memetik buah-buahan ini dan diam-diam menjualnya ke pasar.

“Nona, itu tidak perlu! Tolong cepat turun saja!”

“Ya, sebentar lagi, Wind!”

“Kalau Nona mau, nanti saya akan meminta koki untuk menyediakannya saat makan siang.”

Aku menggapai apel lain yang berwarna merah, lalu mengigitnya setelah meniupnya beberapa kali. “Itu berbeda, Windi. Buah yang dipetik langsung dari pohonnya itu jauh lebih nikmat!” teriakku saat merasakan asam dan manis yang menyebar di mulutku.

Rasanya sangat segar dan lezat.

“Tapi ini berbahaya, Nona. Kalau Pak Killian tau, beliau pasti marah besar!”

“Pak Killian sudah mengizinkan aku melakukan apa pun yang aku mau kok,” dalihku sungguh-sungguh.

“Tapi bukan hal yang berbahaya, Nona Minna!”

Semakin di dengar, suara Windi semakin frustasi.

“Windi, ini sama sekali nggak berbahaya.”

Andai saja ia tau kalau aku sudah terbiasa menaiki atap untuk membetulkan genting bocor di hari berhujan, mengecat rumah, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya, Windi pasti akan diam.

Naik ke atas pohon hanyalah masalah kecil untukku. Aku bahkan bisa memanjat sambil menutup mata. Ini bukan masalah besar yang harus ia khawatirkan.

“Aku baik-baik aja, Windi. Lihat in—” Belum selesai kata-kata itu terucap, tubuhku sudah melayang di udara diiringi teriakan Windi.

“NONA MINNA!!”

Astaga. Memang, penyakit yang paling berbahaya adalah kesombongan. Sialan.

BRUK!

“NONA MINNA!!”

***

Apa pun yang saya maksud adalah berbelanja, pergi jalan-jalan, ke salon, atau bertemu dengan teman-teman Nona. Bukan masak di dapur, membersihkan rumah, apalagi sampai naik ke atas pohon.”

Sudah jatuh tertimpa tangga.

Mungkin itu adalah pribahasa yang paling cocok untuk menggambarkan situasiku saat ini.

Sudah lebih dari 10 menit Helga mencercaku dengan omelannya yang terus berputar-putar.

Padahal tanganku yang terkilir saja sudah cukup nyeri, sekarang aku juga harus mendengarkan omelannya yang entah kapan akan berhenti. 

“Kamu harusnya bisa mengawasi Nona Minna dengan baik. Bagaimana mungkin kamu membiarkan Nona Minna memanjat ke atas pohon? Lihat sekarang akibat dari kelalaianmu!”

Sekarang Windi ikut menjadi sasaran amarah Helga. Padahal gadis itu sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik.

“Sa… saya minta maaf, Bu Helga.”

“Ini bukan salah Windi, Helga! Ini salahku sendiri.”

“Tidak Nona, ini jelas kesalahan pelayan Nona. Kalau dia bekerja dengan baik, dia pasti mengerti apa yang Nona inginkan.”

Astaga. Windi kan bukan cenayang! Memangnya ia bisa membaca pikiran?! Yang benar saja!

“Saya akan mengganti pelayan pribadi Nona dengan pelayan lain yang lebih kompeten.”

“Eh, jangan! Aku sudah terbiasa dengan Windi!” teriakku panik.

Windi tidak boleh diganti. Ia pasti akan sangat cocok dengan Ralla, aku tidak ingin membiarkannya pergi sebelum mereka berdua bertemu!

Windi memberikanku tatapan haru penuh terima kasih yang terasa semakin membebaniku. Ia harusnya marah, bukannya berterima kasih seperti itu.

“Bagaimana keadaannya?”

Deg.

 Mataku membulat kaget saat mendengar suara berat pria itu. Bisa-bisa aku mati karena serangan jantung kalau begini terus.

Tanpa pikir panjang, aku langsung memejamkan mata. Aku harus berpura-pura pingsan atau apalah agar bisa menghindarinya!

Padahal aku sudah berusaha mati-matian untuk menghindarinya, tapi sekarang aku malah membuatnya datang sendiri ke kamarku. Sialan.

“Tangan Nona Minna sedikit terkilir, dan ada beberapa luka kecil di lututnya.” Helga yang menjawab.

Bahkan sosok setegas Helga saja bisa terdengar gugup di hadapan binatang buas sepertinya, apalagi gadis lemah sepertiku?

Lagi pula kenapa ia harus ada di sini sih? Bukankah ia selalu sibuk?

“Kenapa tidak ke rumah sakit?”

Wah, gila. Suaranya sangat menyeramkan.

“Nona Minna bersikeras tidak mau ke rumah sakit, Pak. Tadi Dokter Fabian juga sudah memeriksanya, dan mengatakan kalau Nona Minna cukup dirawat di rumah.”

“Kamu pelayannya, bukan?” Pria itu pasti bertanya kepada Windi.

“I… iya, Pak.”

Kasihan, gadis itu pasti sangat ketakutan sekarang.

“Bagaimana dia bisa jatuh?”

“I… itu, Nona Minna naik ke pohon untuk memetik apel.” Windi menjawab dengan suara mencicit.

“Pohon? Apel?”

Padahal kedua mataku tertutup rapat, tapi rasanya aku bisa merasakan tatapan kejam pria itu.

“Joachim. Singkirkan semua pohon di rumah ini.”

Eh?

“Baik, Pak Killian.”

“Pecat semua tukang kebun dan pelayan ini.”

Ehhhh?! Dia pasti bercanda, kan?!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status