Pagi ini, Sophia melangkah menuju dapur, berharap bisa melakukan sesuatu untuk mengusir rasa bosannya. Udara di mansion Williams begitu sejuk, jendela-jendela besar yang terbuka membiarkan angin pagi masuk, menyapu lorong-lorong luas yang dihiasi dengan karpet mewah. Namun, meskipun rumah ini begitu indah, ia merasa seolah menjadi burung dalam sangkar emas. Begitu memasuki dapur, aroma roti panggang dan kopi menyeruak, bercampur dengan wangi bumbu masakan yang sedang dimasak oleh para maid. Dapur itu luas, dengan meja marmer yang bersih dan rak-rak kayu berisi berbagai peralatan masak. Di sana, ada sekitar enam maid yang tengah sibuk bekerja, mengenakan seragam hitam putih khas pelayan. Beberapa dari mereka memotong sayuran, yang lain sibuk dengan panci besar berisi sup, sementara seorang maid terlihat memanggang kue dengan begitu konsentrasi. Sophia tersenyum, merasa kagum dengan koordinasi mereka yang begitu rapi. Namun, belum sempat ia melangkah lebih dalam ke dapur, suara
“Kenapa kau tak bilang padaku kalau membutuhkan uang?” selidik Daniel, matanya menatap tajam ke arah Sophia. Jantung Sophia berdegup kencang. Ia tidak menyangka Daniel mendengar percakapannya barusan. Jemarinya menggenggam erat ponsel di tangannya, mencoba mencari alasan yang tepat. “Mm … itu … aku ….” suaranya terdengar ragu. Napasnya sedikit tersengal, bibirnya terbuka seolah ingin berbicara, tapi tak satu pun kata yang keluar. Melihat Sophia yang gugup, Daniel hanya menatapnya lekat-lekat, seperti sedang menelanjangi kebohongan yang mungkin saja akan keluar dari mulut wanita itu. “Kau butuh uang, kan?” Sophia menelan ludah. Ia tahu Daniel bukan tipe orang yang bisa dibohongi begitu saja. Tapi ia juga tidak mau terlihat lemah di hadapan pria itu. “Aku bisa mengurusnya sendiri,” jawab Sophia, meski suaranya terdengar kurang meyakinkan. Daniel menghela napas panjang, kemudian mendorong tubuhnya menjauh dari dinding. “Jangan keras kepala, Sophia.” “Aku tidak keras kepa
“Haruskah aku membuka pintunya?” Sophia berdiri di depan pintu kamar Daniel, jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Tangannya menggantung di udara, ia tengah ragu untuk mengetuk pintu bercat mahoni yang terasa lebih berat dari seharusnya. “Sial, kenapa aku jadi bimbang seperti ini?” Ia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Jemarinya dengan ragu merapikan helaian rambut yang jatuh ke bahunya, seolah ingin memastikan dirinya terlihat baik-baik saja sebelum melangkah lebih jauh. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan terdengar lirih, hampir tidak terdengar di lorong yang sepi. Namun, beberapa detik kemudian, suara bariton dari dalam kamar terdengar. “Masuklah.” Suara itu tegas, tak memberi celah bagi Sophia untuk berbalik. Ia menelan ludah, lalu meraih gagang pintu dengan tangan sedikit gemetar. Saat pintu terbuka tanpa bunyi, matanya langsung menangkap sosok Daniel yang duduk santai di sofa, tatapannya terfokus pada layar televisi yang menampilkan film
Anne berdiri di ujung lorong, tubuhnya membeku sejenak saat matanya menangkap sosok Sophia yang baru saja keluar dari kamar Daniel. Wajah Sophia tampak tegang, langkahnya terburu-buru seolah menghindari sesuatu. Pintu kamar Daniel masih sedikit terbuka, menyisakan celah kecil yang membuat pikiran Anne semakin dipenuhi tanda tanya. “Untuk apa dia ada di kamar Daniel?” Matanya menyipit, dadanya terasa sesak oleh kecurigaan yang tiba-tiba menyergap. Selama ini, ia tahu Sophia adalah istri David, lalu mengapa wanita itu bisa berada di kamar Daniel larut malam? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana? Anne menggigit bibir bawahnya, mencoba mengingat kembali setiap kejadian sejak Sophia pertama kali menginjakkan kaki di mansion keluarga Williams. Saat itu, Sophia datang bersama keluarganya—wajahnya terlihat pasrah, seperti wanita yang menerima pernikahan tanpa cinta. Anne ingat betul bagaimana David bahkan tidak terlihat antusias menyambut calon istrinya. Tapi ada satu hal yang
Daniel mengamati Sophia yang masih terdiam, wajahnya terlihat terkejut. Sepasang bola matanya membulat, dan bibirnya sedikit terbuka, seolah hendak mengatakan sesuatu tapi ragu. Kenapa dia bereaksi seperti ini? Daniel menghela napas pelan. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap Sophia yang masih terpaku. “Kenapa kau hanya diam?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit lebih lembut dari biasanya. Sophia tersentak, mengerjapkan matanya, lalu mengalihkan pandangan. Ia menggigit bibir bawahnya, masih belum yakin apakah ia harus menerima kartu itu atau tidak. “Cepat ambil kartunya sebelum aku berubah pikiran,” desak Daniel. Sophia menelan ludah, lalu perlahan mengulurkan tangan untuk mengambil kartu itu. Jemarinya sedikit gemetar saat menyentuh permukaannya yang dingin. “B-baik ... terima kasih.” Tanpa membuang waktu, ia membuka pintu mobil dan keluar, lalu berlari menuju pintu rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa melewati lorong yang diterangi cahaya putih pucat.
“Sophia …” Suara Daniel terdengar lemah, nyaris hanya berupa bisikan saat ia merintih kesakitan. Tangannya yang gemetar menekan luka di perutnya, mencoba menahan pendarahan yang terus mengalir. Sophia langsung berjongkok di hadapan pria itu, matanya membelalak melihat darah yang terus merembes melalui jari-jari Daniel. “Daniel! Apa yang terjadi padamu?!” Daniel mengerjap lemah, napasnya terdengar berat untuk dihela. “Ada orang yang sengaja menyerangku …” Sophia merasa dadanya mencelos. Siapa yang berani menyerang Daniel? Apa ini kebetulan atau ada seseorang yang memang mengincarnya? “Kita harus ke rumah sakit! Lukamu parah, Daniel!” “Tidak.” Daniel menggeleng lemah. “Aku mau pulang saja.” Sophia mengerutkan kening. Pulang? Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti ini Daniel masih memikirkan pulang? “Tapi, Daniel! Lukamu masih berdarah. Bagaimana kalau—” “Lukanya tidak terlalu parah,” potong Daniel, berusaha tetap terdengar tegas meskipun suaranya melemah. “Aku bis
Sophia merasa tubuhnya seolah terhenti sejenak saat Daniel menariknya lebih dekat. Jantungnya berdebar kencang, dan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasakan ketegangan yang ada. “Apa yang kau inginkan, Daniel?” Suara Sophia bergetar pelan, mencoba untuk tetap tenang meskipun rasa panik mulai menggelayuti pikirannya. Daniel menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang lebih dalam. “Aku tidak ingin kau pergi malam ini, Sophia. Aku hanya ingin kita berbicara … tanpa ada gangguan.” Sophia menelan ludah. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Daniel terasa menekan hatinya. Ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, meskipun ia tahu seharusnya ia pergi—kembali ke mansion dan melupakan semuanya. Tetapi, di sini, di hadapan Daniel, ia terlihat begitu rapuh, begitu berbeda dari dirinya yang dulu. “Dan jika aku tetap pergi?” “Aku tak ingin membuatmu bingung. Tapi aku merasa kita harus berbicara, dengan cara yang lebih baik daripada yang sudah kita lakukan sebelumnya.” Ada bany
“Itu ... aku …” Sophia benar-benar tidak tahu harus mengawalinya dari mana. Tatapan tajam yang menyelidik seolah menuntut jawaban darinya, membuat pikirannya semakin buntu. Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, suara bariton yang familiar tiba-tiba memenuhi ruangan. “Ada apa ini?” Semua mata langsung tertuju ke arah sosok yang baru saja memasuki ruang makan—Daniel Alexander Williams. Entah harus merasa lega atau semakin gelisah, Sophia sendiri tidak tahu. Yang jelas, kedatangan Daniel bisa menjadi pedang bermata dua. Jika lelaki itu memutuskan untuk membongkar hubungan mereka, maka semuanya akan berakhir berantakan. “Untunglah kau sudah datang,” kata William akhirnya angkat bicara. Daniel menyipitkan mata, memperhatikan wajah-wajah yang tegang di sekeliling meja makan. “Kenapa semua orang terlihat serius?” Edward, yang sedari tadi tampak kesal, menyilangkan tangan di depan dada, lalu berkata, “Seharusnya kau tidak menyembunyikan sesuatu dari kami.” Daniel m
William duduk di kursi kamarnya, lampu meja menyala redup, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Tangannya menggenggam erat amplop yang baru saja ia terima. Amplop itu tampak biasa saja, tapi ia tahu—tidak ada yang benar-benar biasa bila menyangkut keluarganya. Dengan perlahan, ia membuka segel merah tua di ujung amplop. Di dalamnya ada beberapa lembar foto yang langsung membuat napasnya tercekat. Foto pertama, menampilkan Daniel dan Sophia duduk berdampingan di sebuah kafe kecil. Senyum mereka lepas, begitu alami. Lalu foto kedua, saat mereka berpegangan tangan di tepi pantai. Foto ketiga, Daniel sedang memeluk Sophia dari belakang, sambil mencium pelipisnya. Hati William mulai berdegup kencang. Ia membalik beberapa foto lainnya—semuanya menunjukkan kedekatan mereka. Kemudian, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan. Tulisannya rapi, namun terlihat lama. Mungkin surat itu ditulis bertahun-tahun lalu. "Untuk siapa pun yang membacanya, jika kau menemukan surat ini, mung
Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi
Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.
"Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha