Agatha tinggal cukup lama di dalam dunia ilusi sebelum akhirnya kembali ke kebun untuk memetik beberapa buah.Karena ada enam orang dalam keluarga, ia memetik enam buah—dua pisang, dua buah persik, dan dua apel. Jumlah yang pas untuk sehari.Setibanya di kamar, ia meletakkan apel di atas meja, lalu melirik jam weker di samping tempat tidur. Baru pukul sepuluh.Waktu yang dihabiskannya di dalam ilusi terasa begitu lama, padahal di dunia nyata hanya beberapa menit telah berlalu.Ia keluar kamar dengan langkah ringan menuju ruang tamu.Di sana, ia melihat Kakek Abian dan Reno masih tertidur di sofa.Tak ingin mengganggu, ia kembali ke kamar, membawa buah-buahan dari dunia ilusi ke dapur dan mencucinya. Setelah itu, ia menata buah-buahan di atas piring dan membawanya ke meja kopi di ruang tamu.Suara piring yang diletakkan membangunkan Kakek Abian dan Reno.Reno membuka mata, tampak bingung sejenak. Ia mengusap matanya lalu duduk perlahan dari sofa.Kakek Abian pun sudah duduk. Ia terliha
Kakek Abian tidak punya pilihan selain kembali duduk dan melanjutkan permainan catur.Seseorang dengan ramah memberikan bangku pada Agatha.Ia mengucapkan terima kasih, mengambil bangku itu, lalu duduk di samping untuk menyaksikan Kakek Abian bertarung dengan kakek tua di seberangnya.Tak butuh waktu lama, kakek tua itu akhirnya skakmat.Ia sangat kesal, meniup jenggotnya dan melotot karena telah membuat dua langkah yang salah. Gara-gara itu, ia kehilangan kesempatan langka untuk mengalahkan Kakek Abian.Meski begitu, semangat bertandingnya tetap menyala. Meski sempat terpikir ingin "memotong tangannya sendiri" yang mengambil langkah keliru, ia tetap mengajak Kakek Abian untuk bertanding kembali esok hari.Kakek Abian menyanggupi, lalu meninggalkan meja permainan. Tak lama, tempatnya langsung digantikan orang lain.Agatha pun berpamitan kepada para wanita tua yang duduk di dekatnya, kemudian beranjak pergi.Dalam perjalanan pulang, ia melewati sebuah toko serba ada yang menjual apel,
Setelah duduk sebentar di rumah, Fahira dan Arham bersiap untuk pergi bekerja karena waktu sudah hampir menunjukkan jam masuk kantor.Di rumah hanya tersisa Agatha, Adnan, Reno, Kakek Abian, serta seorang supir. Supir memang tidak selalu berada di sisi Kakek Abian; ia hanya akan hadir jika tidak ada orang lain di rumah. Kapan pun kakek Abian membutuhkan bantuan, supirnya akan segera muncul.Reno sendiri sudah sangat akrab dengan rumah ini. Semua orang memperlakukannya dengan hangat dan penuh perhatian, sehingga ia merasa aman dan nyaman.Agatha kemudian meminta Adnan untuk menghubungi Ezra, lalu menyampaikan kondisi Reno yang memiliki kemiripan dengan Erin. Ia pun bertanya apakah anak mereka yang hilang memiliki tanda lahir atau ciri khas tertentu.Ezra sangat terkejut dan senang saat mendengar hal itu. Ia menjawab bahwa anaknya memang memiliki tanda lahir abu-abu sebesar telapak tangan di bagian pantat.Agatha segera memeriksa Reno dan menemukan tanda lahir yang sesuai dengan deskri
Beberapa warga yang tahu duduk perkara pun mulai angkat suara."Aku tahu soal ini. Sejujurnya, ini bukan sepenuhnya salah mereka berdua. Tapi kalau kamu minta dua ratus yuan, itu namanya memeras, Bibi Mayang.""Betul. Kamu nggak punya alasan kuat buat minta uang sebanyak itu. Dua puluh yuan sudah cukup dan wajar. Malah sekarang kamu bikin keributan begini. Mau ditaruh di mana muka keluargamu? Anak-anakmu nanti harus bergaul dengan kami juga. Kalau kamu bikin malu, bagaimana mereka bisa dihormati?"Bibi Mayang mulai terlihat gelisah dan sedikit menunduk karena malu. Namun dia tetap mencengkram pinggangnya dan bersikukuh.Dia tidak menyangka para wanita yang biasanya akrab dengannya pun kini memilih diam atau malah menyalahkannya.Dengan kesal dan marah, ia berteriak, “Kalian ini kenapa ikut campur? Karena keluarga Zhou punya jabatan tinggi? Kalian semua menjilat! Emangnya kalian bakal dapat untung apa?Uang yang kuminta itu wajar! Cucuku masih kecil! Iya, dia menabrak, tapi bukankah or
"Anaknya masih kecil, dan gigi yang copot itu hanya gigi susu. Nanti juga tumbuh lagi, jangan terlalu khawatir," kata Agatha tenang."Mudah bagimu untuk bicara! Tapi bagaimana kalau giginya tidak tumbuh lagi?" sahut Bibi Mayang ketus.Agatha langsung menangkap nada memaksa dari ucapan itu. Ia paling tidak suka pada orang yang bersikap seperti ini—jika berbicara baik-baik, dia mungkin akan memberi lebih. Tapi kalau niatnya memeras, jangankan sepeser pun, ia tak akan beri apa pun."Bibi Mayang, jadi sebenarnya apa tujuanmu datang ke sini hari ini?" tanya Agatha tegas.Bibi Mayang menatapnya sekilas, lalu melirik ke arah Fahira sebelum berdeham dan berkata, "Saya cuma mau memberi tahu, saya sudah bawa cucu saya ke dokter. Total biaya rumah sakit sepuluh yuan. Ini kuitansinya, langsung dari Rumah Sakit Kota."Agatha menerima kuitansi itu. Benar, tertulis sepuluh yuan.“Tidak masalah,” katanya tenang. “Saya akan ganti sepenuhnya, tidak kurang sepeser pun.”Adnan juga menghampiri, mengeluar
Jam dinding di ruang tamu berdentang pelan.Agatha melirik ke arah jam—sudah pukul sebelas siang.Fahira dan Arham biasanya selesai kerja pukul sebelas dan sampai di rumah sekitar pukul dua belas lewat empat puluh.Agatha memotong apel menjadi dua. Satu untuk Kakek Abian, satu lagi untuk Adnan.Ia lalu bangkit, bersiap menuju dapur untuk memasak.Adnan menggigit apel itu sambil berkata, “Apel ini enak. Kau istirahat saja, biar aku yang masak.”“Aku bantu, ya.”“Tak perlu. Yang paling aku inginkan sekarang adalah kamu duduk tenang di sini dan temani Kakek. Itu sudah cukup.”Adnan pun mendorongnya kembali duduk di sofa.Kakek Abian ikut tersenyum, “Kalau dilarang bantu, ya istirahat saja. Semakin sering seseorang dimanfaatkan, dia akan semakin rajin. Tapi kalau tidak dimanfaatkan, dia malah jadi malas.”Agatha terkekeh mendengar ucapan itu, “Kalau Adnan tahu Kakek bilang begitu, dia pasti marah-marah lagi, hahaha!”“Haha, Adnan kita bukan orang yang perhitungan,” sahut Kakek Abian sambi