Share

Dendam dan Kematian

Dua hari sudah berlalu. Zea sudah kembali pulang ke rumah lamanya. Beruntung Ibu dan adik perempuannya baik-baik saja. Berkat bantuan Tuan Wilson keduanya cepat dilarikan ke rumah sakit. Hanya Zea yang dirawat di rumahnya. Untuk alasannya sendiri Zea belum mengetahuinya. Yang Zea tahu, berhasil diselamatkan oleh anak buah Tuan Wilson.

Mengenai Aron. Setelah dihajar hingga babak belur, dia berhasil kabur lewat jendela kamar. Beruntung Zea berhasil diselamatkan sebelum hal mengerikan menimpanya.

Tuan Wilson tidak lepas tangan. Dia tetap berbaik hati menepati janjinya untuk melindungi keluarga Hera. Terbukti dari adanya beberapa pria yang siaga mengawasi rumahnya hingga hari ini. Berjaga-jaga jika si brengsek Aron kembali dan membuat ulah lagi.

Zea pun sudah mulai bisa beraktifitas secara normal. Melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sesaat karena insiden mengerikan yang menimpanya itu.

Tet tet teeeet!

Bel istirahat berbunyi juga. Rasanya kepala Zea sudah seperti ingin meledak. Sebanyak apapun guru menerangkan materi pelajaran, otak kecilnya seperti menolak menangkap semua teori itu.

Itu semua karena obrolan terakhirnya dengan Tuan Wilson dan juga Leon. Entah kenapa wajah muram keduanya terus mengganggu pikirannya.

"Tidak keluar kelas?" tanya Gwen lembut. Berbisik di telinga Zea yang meletakkan kepalanya ke atas meja- di sampingnya.

Zea menghela nafas kilat. Bukan hanya hatinya yang malas tapi kakinya juga.

"Aku sangat lelah. Kau bisa pergi sendiri 'kan?" jawab Zea memutar punggungnya. Melempar senyum kaku ke sahabat terbaiknya itu.

Gwen memanyunkan bibirnya. Merasa kecewa dengan jawaban Zea itu. "Ayolah, Zea! Kamu tidak ingin bertemu Bobby?" Mengedipkan matanya berulang. Berusaha merayu Zea agar mau bangun dari tempatnya duduk.

Zea kembali menghela nafas. Mendengar nama Bobby semakin membuat hatinya campur aduk. Dia bahkan lupa jika memiliki pria itu di hidupnya. Tidak terbayang jika dia jadi menikah dengan Leon, bisa semurka apa kekasihnya itu.

"Bobby pasti senang jika tahu, pacarnya sudah masuk sekolah hari ini." Menarik paksa kedua tangan Zea untuk bangun.

"Oke oke, aku bangun sekarang. Tapi tolong ceritakan apa yang dilakukan si brengsek itu saat aku tidak ada. Setuju?" Memberi penawaran. Mendadak rindu pada sosok Bobby padahal sebelumnya Zea sama sekali tidak mengingat wajah kekasihnya itu sama sekali.

Gwen berjalan cepat menggandeng tangan Zea dengan bersemangat. Merasa senang sahabatnya kembali menemaninya di sekolah seperti sebelum-sebelumnya.

"Kenapa harus bertanya, kalau sudah tahu jawabannya. Dia adalah pria paling populer di sekolah ini. Jelas tanpa digoda pun, para gadis sudah pasti mendekatinya. Ditambah pawangnya yang menghilang tanpa kabar selama beberapa hari. Asal Kamu tahu saja, banyak gadis genit yang mencoba menyingkirkan tahtamu," jelas Gwen panjang lebar. Mengompori Zea yang mudah sekali tersulut cemburu.

"Benarkah? Awas saja kamu Bobby. Akan kuhajar nanti kau bersama selingkuhanmu," tutur Zea menimpali. Tertawa renyah bersama Gwen di sepanjang lorong kelas menuju tempat Bobby nongkrong. Berkumpul bersama anak-anak populer lainnya seperti yang biasa mereka lakukan.

Di sekolah Zea termasuk bagian dari anak-anak populer. Parasnya yang cantik dan sifatnya yang mudah berbaur, membuatnya mudah untuk berteman dengan kalangan manapun.

Selain itu Zea juga cukup aktif di berbagai kegiatan sekolah. Membuat popularitasnya kian naik karena kebaikan hatinya yang tulus. Secara terang-terangan banyak pria yang mengincarnya untuk menjadikannya pacar. Tidak hanya dari sekolahnya saja, Zea juga cukup dikenal di sekolah lain.

Banyak yang suka sudah pasti ada juga yang membenci. Tapi para pembenci Zea tidak seburuk itu. Mereka hanya iri dengan kepiawaian Zea yang terlihat sempurna dari luar. Padahal jika dilihat lebih dekat, Zea merasa tidak ada bedanya dengan gadis lain pada umumnya.

Sampai pada akhirnya hatinya jatuh ke tangan Bobby. Pria perfek yang juga memiliki nilai A+ dimata banyak orang. Sama seperti Zea, tapi versi pria.

Sebelum sampai di ujung lorong kelas Bobby. Kedua tangan Zea menarik punggung Gwen sehingga berdiri tepat di hadapannya. Setengah membungkuk di belakang Gwen, berniat untuk memberi kejutan pada Bobby yang pasti sangat senang melihat kedatangannya. Gwen nampak pasrah dengan tingkah kekanak-kanakan sahabatnya itu. Berjalan mengikuti arahan Zea yang seperti mengendalikan langkahnya dari balik punggungnya.

"Hai sa-yang," sapa Bobby dari kejauhan. Menyambut kedatangan Gwen yang tidak seramah biasanya.

Tubuh Gwen cekatan bergeser. Memperlihatkan sosok Zea yang masih setengah membungkuk dengan wajah kaku.

"Taraaaa... Kejutan!" teriak Gwen membuat kehebohan. Melirik Zie yang masih terdiam dengan raut wajahnya yang berubah tegang.

Semua siswa dari kelas lain seketika antusias mengerubungi Zea. Ikut bersimpati atas musibah yang sempat menimpanya.

Zea sempat bingung karena tidak pernah menceritakan masalahnya pada siapapun. Itu cukup membuat gadis itu merasa haru. Paling tidak, dia tahu bahwa banyak orang yang ternyata peduli padanya.

Di tengah lalu lalang manusia yang memberi semangat padanya, tetap saja pandangan Zea tidak bisa beralih menatap ke Bobby dan Gwen secara bergantian. Entah kenapa hatinya gelisah, merasa ada yang salah dengan sikap keduanya. Berharap itu semua hanya pikiran buruk sesaatnya saja dan yakin jika keduanya tidak mungkin mengkhianati kepercayaannya.

~~~~

Zea pulang sekolah dengan wajah murung. Pikiran dan hatinya kacau. Sesaat memikirkan Aron, sesat memikirkan Tuan Wilson dan putranya, dan sekarang Gwen dan Bobby yang ikut membuatnya bertambah gelisah.

"Tidak. Ini pasti hanya pikiran picikku saja. Gwen bukan gadis seperti itu. Jahat sekali jika aku menuduhnya memiliki hubungan spesial dengan kekasihku sendiri," gerutu Zea. Mencerca dirinya sendiri.

Sampai di depan gerbang, mata Zea melotot lebar. Banyak sekali orang berkerumun di halaman rumahnya. Membuatnya panik dan langsung berlari menerobos masuk ke dalam rumah.

Jantung Zea berdetak dengan sangat kencang saat melihat keadaan rumahnya kacau balau. Semua barang berserakan dimana-mana. Hal yang lebih membuat Zea syok adalah orang-orang yang diminta mengawasi keluarganya terkapar tak berdaya di dalam rumahnya.

"Apa yang sekarang terjadi? Ibu, dimana Ibuku!" Jerit Zea panik. Memutar matanya mencari keberadaan ibunya.

"Lily! Dimana kalian berdua!" Panggil Zea mulai terisak. Berjalan cepat menuju kamar adik perempuannya yang ternyata sudah kosong.

Zea bergegas berlari menuju kamar ibunya. Matanya melihat engsel pintu kamar yang terlihat hancur. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si pria biadab Aron.

Buru-buru Zea masuk ke dalam kamar. Mencari keberadaan Hera yang ternyata sudah tergeletak tak berdaya di lantai.

"Ibuuuu!" Teriak Zea semakin panik. Segera mengangkat kepala ibunya ke pangkuannya.

Wajah Hera penuh dengan darah segar. Keluar dari kepalanya yang tak henti mengucurkan cairan kental berwarna merah tua.

"Apa yang terjadi, Bu. Tolong bangunlah. Jangan tinggalkan aku seperti ini!" Mengguncang tubuh ibunya yang terlihat tidak sadarkan diri. Kondisinya jelas tidak baik-baik saja.

Ujung jemari Hera bergerak pelan. Membuat Zea terperangah penuh syukur. Cepat mengusap air matanya dan berhenti mengguncang tubuh ibunya itu.

"Bertahanlah, Bu. Aku mohon," isak Zie kembali banjir air mata. Tak sanggup menatap Ibunya yang terlihat kesulitan membuka mulutnya.

"Li-ly," ucap Hera susah payah. Merasakan tarikan nafasnya yang semakin berat. "Sela-mat-kan adik-mu.... A-ron mem-ba-wanya per-gi."

Mata Hera perlahan tertutup kembali bersama air mata terakhir yang membasahi pipinya. Tangannya yang biasanya hangat ikut berubah menjadi sedingin es. Zea tidak bisa berbuat apa-apa. Kedatangannya sudah sangat terlambat. Hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Tak rela ditinggal ibunya dengan cara yang begitu tragis.

"Aku bersumpah akan membalas kematian Ibuku. Apapun dan bagaimanapun caranya." Isak Zea sembari memeluk erat tubuh ibunya untuk yang terakhir kalinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status