Share

Keputusan yang Sulit

Ucapan Zea untuk sesaat mampu membuat Tuan Wilson kebingungan. Namun karena gadis di depannya memasang wajah serius, dirinya berubah tertawa terpingkal-pingkal.

"Kau? Menikah denganku? Bhahaha... Apa aku tidak salah dengar?" tanya Tuan Wilson terkekeh.

Zea mengerutkan alisnya. Merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya, tapi kenapa semua orang menertawakannya. Termasuk ketiga pelayan yang mendampingi Tuan Wilson, meski secara diam-diam.

"Kenapa Bapak tertawa, adakah sesuatu yang salah dengan ucapan saya?" tanya Zea mulai kesal bercampur malu.

"Tidak tidak. Ucapanmu memang tidak salah, tapi sepertinya ada yang perlu diluruskan dari otakmu hahaha," imbuh Tuan Wilson masih tertawa senang tanpa mempedulikan raut wajah Zea yang mulai berubah masam.

"Dengar Nak. Usiaku sudah tidak mengizinkanku untuk melangkah ke arah sana. Jangankan menikah lagi, membawa tubuhkku sendiri saja aku kesulitan. Ada-ada saja kau ini," imbuh Tuan Wilson mulai bisa mengendalikan tawanya.

"Tapi Ibuku bilang... ."

"Dia pasti salah dengar. Bukan aku yang akan menjadi suamimu. Tapi seseorang yang amat sangat spesial yang akan melakukannya."

Zea mengernyitkan dahi. Merasa bingung dengan ucapan Tuan Wilson yang sedikit berbelit. Pikiran buruk kembali memenuhi isi kepala Zea. Sudah bagus dia mau dinikahkan dengan seorang pria tua dan sekarang harus berganti lagi.

"Siapa orang itu? Apa dia juga tinggal di sini?" tanya Zea pasrah bercampur penasaran.

Tuan Wilson tersenyum kecil. Ada sebuah harapan yang tersembunyi yang coba ia limpahkan kepada gadis di depannya. Sangat yakin jika pilihannya kali ini tidak mungkin salah.

"Mari ikut denganku. Aku akan mempertemukanmu dengannya," ajak Tuan Wilson ramah. Memberikan siku kanannya ke hadapan Zea yang langsung menautkan tangan kirinya dan berjalan beriringan dengan si pemilik rumah.

Sepanjang menyusuri rumah mata Zea dibuat takjub dengan interior rumah itu. Rumah megah nan mewah yang berdiri kokoh dengan pilar-pilar besar dan barang-barang mahal yang menakjubkan tak henti membuat Zea berdecak kagum. Zea juga merasa terhormat bisa berada di istana megah itu.

"Ada berapa banyak manusia yang tinggal di rumah ini, Pak?" tanya Zea polos. Penasaran dengan banyaknya pelayan yang sejak tadi selalu ada di setiap sudut rumah itu.

"Entahlah, yang jelas aku tinggal bersama kedua putraku di sini," jawab Tuan Wilson tak henti tersenyum senang. "Kau akan segera bertemu dengan salah satu dari mereka. Itu dia salah satunya." Mengangkat dagunya perlahan ke arah sisi kanan tangga yang tengah mereka pijak.

Mata Zea seketika langsung menoleh kilat. Matanya menangkap punggung lebar sesosok pria yang duduk tegak di atas meja makan tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Menikmati sarapannya dengan khidmat tanpa terganggu sedikitpun dengan kegaduhan yang ia buat barusan.

Saat di sudah sampai di ujung tangga, tangan Zea cekatan menahan langkah Tuan Wilson untuk berhenti sesaat. Merasa ada yang aneh dengan sikap acuh putra tuan rumah yang bahkan tidak peduli dengan kedatangan ayahnya.

"Kenapa lagi? Apa ada yang ingin kau katakan lagi?" tanya Tuan Wilson menghela nafas perlahan. Sudah tidak sabar membawa Zea kehadapan putranya yang seperti patung hidup.

"Maaf mungkin ini terdengar lancang. Apa putramu sedikit tuli?" tanya Zea dengan suara pelan. 

Tuan Wilson sontak melirik Zea sambil mengangkat satu alisnya. Bingung harus menjawab apa pertanyaan konyol Zea yang semakin aneh.

Zea tidak sadar jika ucapannya terdengar di telinga pria yang sedang dibicarakan. Seketika menghentikan sarapannya dan mengusap bibirnya dengan sapu tangan layaknya bangsawan.

"Aish, duduklah dengan tenang. Kau akan segera mengetahui apa kurangnya dia," jawab Tuan Wilson lugas. Berjalan menuju ujung meja makan yang dikelilingi delapan kursi itu. Tiga di sisi kanan dan kiri yang memanjang, serta dua lagi berada di ujung yang saling berlawanan.

Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan tuan rumah. Zea cukup kagok, karena dilayani seperti Nona muda di keluarga ningrat. Terakhir kali dia mendapatkan pelayanan istimewa semacam itu, saat menginap di hotel bersama ibu dan ayahnya saat masih sangat kecil. Membangkitkan ingatan lama Zea yang sudah sangat lama terkubur dan membuat hatinya haru.

 "Kau tidak ingin menyapa Ayahmu, Leon?" tanya Tuan Wilson memecah keheningan.

Zea seketika sadar dari lamunannya. Dia hampir lupa dengan tujuannya duduk di meja itu. Matanya sontak menatap pria dewasa yang duduk tidak jauh dari Tuan Wilson itu.

Pria itu nampak sangat dingin. Matanya bahkan sama sekali tidak menatap ke ayahnya. Hanya fokus dengan piring yang ada di hadapannya.

Zea memperhatikan dengan seksama wajah Leon. Paras wajahnya nampak sempurna dari sisi kiri. Hanya satu yang mengganggu penglihatan Zea. Ada sebuah benda yang menutupi mata kanan Leon. Berbentuk persegi dengan tali yang bertaut ke telinga, persis seperti yang pernah Zea lihat di rumah sakit.

Digunakan oleh orang yang memiliki gangguan penglihatan sesaat karena virus, maupun cacat permanen alias buta.

"Aku sudah selesai," terang Leon acuh. Berdiri dari kursinya. Terlihat tidak tertarik bertatap mata dengan ayahnya sendiri maupun orang lain.

Tuan Wilson menghela nafas panjang. Dia sudah terlalu sering menerima penolakan dari putra sulungnya itu, tapi tetap saja dadanya masih selalu saja sakit.

"Kau tidak ingin menyapa calon istrimu?" tanya Tuan Wilson lagi. Menahan kepergian Leon untuk sesaat.

Mata Leon akhirnya menatap sosok gadis yang duduk di ujung meja. Wajahnya seperti mengeluarkan aura penolakan yang suram pada Zea. Membuat gadis itu sadar diri, jika keberadaannya seperti tak diindahkan oleh Leon.

"Namanya Zea. Kenapa menatapnya seperti itu. Kau membuatnya takut," omel Tuan Wilson. "Bersikap baiklah padanya. Aku yakin dia jauh lebih baik dari wanita jalang itu."

Sindiran Tuan Wilson jelas membuat putranya seketika mengeratkan gigi. Menahan diri agar tidak membuat keributan di rumah itu.

"Bagaimana, Nak? Apa kau bersedia menikah dengannya?" tanta Tuan Wilson beralih bertanya ke Zea.

Untuk pertama kalinya Zea saling beradu pandang dengan Leon. Meski tanpa mengatakannya, Zea tahu bagaimana ditolak bahkan sebelum membuat keputusan.

Pertanyaan yang diberikan Tuan Wilson juga menjadi sulit untuk Zea jawab. 

"Perjodohan ini sepertinya terlalu cepat, Pak. Aku bahkan belum lulus SMA. Dan juga," Menatap Leon lagi. "Kami sepertinya tidak memiliki ketertarikan satu sama lain." Ujar Zea berusaha bijak.

Tuan Wilson terlihat tidak begitu puas dengan jawaban Zea. Wajahnya yang cerah penuh harapan, seketika meredup. Matanya beralih menatap Leon yang tersenyum kecil. Terlihat puas dengan jawaban Zea yang jelas menguntungkannya.

"Kau juga merasa begitu?" tanya Tuan Wilson pada Leon langsung.

Leon merubah posisi tubuhnya hingga menghadap ke ayahnya. Ada helaan nafas yang coba dia keluarkan di hadapan ayahnya itu.

 "Berhentilah mencarikan pendamping untukku. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria cacat sepertiku, "ujar Leon dengan suara lugas. Melangkah pergi meninggalkan meja makan menuju kamarnya di lantai atas.

Zea yang mendengar ucapan Leon sontak merasa bersalah. Tak ada sedikitpun niatnya untuk merendahkan fisik Leon. Dia hanya berusaha untuk berbicara jujur. Tak disangka malah dianggap lain oleh  pria yang sudah menyelamatkannya dari maut itu.

"Baiklah jika itu keputusanmu. Aku tidak memaksakan kehendakku padamu. Mungkin akulah yang terlalu banyak berharap." Menatap Zea dengan wajah muram. Berusaha menutupi kekecewaannya.

Tuan Wilson lalu meminta pelayan untuk mengantarnya ke kamar. Baru juga beberapa langkah tubuhnya seakan sempoyongan. Membuat semua orang panik termasuk Zea yang langsung berlari mendekat ke arahnya.

"Apa yang terjadi Pak, apa Bapak baik-baik saja?" tanya Zea panik. Berusaha membantu memegangi lengan Tuan Wilson, namun ditolak dengan halus.

"Tidak perlu, Nak. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Orang tua sepertiku memang sangat ringkih.  Nikmatilah harimu disini sampai kau merasa lebih baik."  Ujar Tuan Wilson masih berusaha tersenyum meski satu tangannya memegangi dadanya yang nyeri. Menyembunyikan kekecewaannya pada Zea yang baru saja menolak putra kesayangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status