Share

Malaikat Palsu

Tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit, saat ditinggal pergi oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.

Siap tidak siap, mau tidak mau, Zea harus menghadapi takdirnya sebagai seorang yatim piatu.

Hera benar-benar telah pergi. Meninggalkan dunia yang bahkan tidak memberinya senyum di sisa akhir kematiannya yang tragis.

Di atas pusara lahat Hera, Zea tidak henti meratap. Rasanya hatinya belum bisa merelakan kepergian Ibunya itu.

Ada rasa marah yang perlahan membakar hatinya. Berubah menjadi kobaran dendam, pada bedebah yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya nyawa ibunya.

"Malang sekali nasibnya. Seandainya suami pertamanya tidak mati, mungkin dia tidak akan semenderita ini."

"Benar, apa gunanya memiliki anak yang bahkan tidak bisa melindungi Ibunya sendiri."

"Ya ya ya, aku bahkan beberapa kali melihat Hera babak belur setelah ribut dengan mantan suaminya itu."

"Tapi kenapa? Bukannya dulu mereka hidup rukun dan baik-baik saja?"

"Itu pasti karena... ."

"Ehem!"

Suara dehaman berat menghentikan obrolan. Memutus suara sumbang beberapa pelayat yang asik bergunjing tanpa peduli dengan perasaan Zea yang bahkan bisa mendengar suara ketiganya dengan sangat jelas.

"Jika hanya ingin bergosip, lebih baik kalian enyah dari sini sekarang juga!" Tegas Tuan Wilson dengan raut kesal. Mengusir para wanita yang tidak tau etika itu.

Zea yang sudah tak asing dengan pemilik suara tegas itu, sontak berdiri. Menatap pria tua yang kini berjarak dua langkah di hadapannya.

"Tu-an," panggil Zea haru. Seketika melangkah cepat memeluk Tuan Wilson yang langsung menyambutnya dengan hangat.

"Ibuku telah tiada Tuan, bagaimana aku hidup jika tanpa Ibu di sisiku." Isak Zea menumpahkan kekhawtirannya. Menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuan Wilson. Satu-satunya kerabat yang bisa dia percaya untuk saat ini.

Tuan Wilson tak tega dengan Zea, tapi apa yang bisa dia lakukan selain menenangkan gadis itu. Andai dia bisa menghidupkan orang mati, sudah pasti akan dia lakukan meski tanpa diminta oleh Zea.

Sadar dirinya hanya manusia biasa, Tuan Wilson hanya bisa memberi belaian lembut untuk menenangkan Zea. Memperlakukannya layaknya anaknya sendiri yang juga pernah ditinggal pergi oleh istrinya dulu.

"Kuatkan hatimu. Tegakkan bahumu, Nak." Meremas kedua bahu Zea yang tertunduk dihadapannya. Menyembunyikan wajah pilunya.

"Jalanmu masih sangat panjang. Kau harus lebih kuat dari pada Ibumu. Jangan membuat kematiannya menjadi sia-sia!" Menampar Zea dengan kata-katanya. Menyadarkan Zea agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

Zea mengangguk lemah. Pikirannya kembali buyar. Mengingat dendamnya dan kebenciannya yang kembali memuncak pada Aron.

"Tolong bantu aku Tuan. Bantu aku untuk menangkap bajingan itu. Dia harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi," pinta Zea memohon. Memegangi kedua tangan Tuan Wilson dengan penuh harap.

Tuan Wilson menghela nafas panjang. Terlihat ragu untuk menjawab permintaan Zea yang cukup rumit itu. Sebagai seorang pebisnis ulung tentu dia terbiasa untuk bernegosiasi. Dan tidak semua bisnis ditaklukkan demi uang.

"Maaf, Nak. Kali ini aku tidak bisa membantumu." Mengutas senyum kecewa kehadapan Zea.

Zea yang sudah sangat berharap pada Tuan Wilson jelas langsung terperangah. Matanya bahkan membulat tak percaya. Merasa ada yang salah dengan Tuan Wilson yang ternyata tidak seloyal saat pertama kali mereka bertemu.

"Kenapa? Apa karena sekarang aku sudah tidak memiliki siapapun? Aku bisa berikan semua sisa harta yang keluargaku punya, asalkan kau membantuku. Apa karena sekarang aku yatim piatu, sampai kau tidak percaya padaku?" Tanya Zea mulai kehilangan kendali. Meninggikan suaranya dihadapan Tuan Wilson yang memilih mundur menjauh darinya.

"Kenapa Pak? Apa ada yang salah dengan ucapanku? Saat ibuku masih hidup, kau begitu bersikukuh untuk membantuku, tapi kenapa sekarang berubah? Apa aku harus menjual tubuhku terlebih dahulu padamu, agar kau mau membantuku!" ungkap Zea kecewa. Kalut dengan situasi yang bahkan tidak bisa ia selesaikan seorang diri.

Dua pengawal Tuan Wilson yang terganggu dengan tingkah Zea yang mulai emosional bahkan sampai melangkah maju. Tak terima seorang bocah berbicara kasar pada bos yang selama ini sangat mereka hormati. Beruntung Tuan Wilson cepat mengangkat tangannya. Memberi peringatan pada kedua pengawal agar tetap bersikap tenang dan tidak terpancing emosi.

Tuan Wilson kembali melangkah maju. Mendekat lagi ke hadapan Zea yang sontak terlihat bingung dengan tingkahnya. Senyum Tuan Wilson mengembang dengan licik. Tikus yang ingin dia tangkap akhirnya masuk perangkapnya secara suka rela.

"Percayalah, aku sama sekali tidak membutuhkan uangmu, Nak. Tapi dunia nyata orang dewasa tidak semanis cerita cinta bocah SMA. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kesepakatan. Kau yakin. Sanggup untuk melakukannya?" tanya Tuan Wilson lugas. Menatap Zea yang terlihat bingung tapi tetap memaksa kepalanya untuk mengangguk.

"Kau yakin bisa menjual tubuhmu untuk menebus kematian Ibumu?" tanya Tuan Wilson menatap Zea yang terperangah, syok. Ingin menarik kata-katanya sendiri tapi sudah sangat terlambat.

"Maksud Anda?"

"Seperti yang pernah kau tolak sebelumnya. Aku ingin memberimu kesempatan untuk yang terakhir kali. Sebagai imbalannya, aku akan membantumu menangkap pembunuh ibumu." Mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Zea.

Entah kenapa hati Zea mendadak terasa berat. Kepolosannya lagi-lagi dimanfaatkan oleh orang dewasa. Dan lebih mirisnya dia tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran Tuan Wilson yang ternyata tidak sepenuhnya tulus ingin membantunya.

"Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku... ."

"Jual tubuhmu pada putraku." Bisik Tuan Wilson lembut. Berbicara pelan di telinga kanan Zea dengan senyum licik yang kembali mengembang puas.

Tubuh Zea seakan mematung seketika. Tak percaya jika Tuan Wilson akan senekat ini untuk menjadikannya menantu. Menjadikannya yang sebelumnya terlihat bak malaikat berubah menjadi iblis bengis yang menyesatkan jalannya.

Membayangkan wajah pria dingin yang pernah di temui dirumah Tuan Wilson itu, sudah cukup membuat Zea trauma. Apalagi harus tinggal serumah dan menjadi istrinya nanti. Membuyarkan masa depan cerah yang semakin gelap di kepala Zea.

"Bagaimana, apa kau setuju, Nak?" tanya Tuan Wilson lagi. Semakin yakin bisa menakhlukkan Zea.

"Setuju untuk apa?" tanya seseorang yang mendadak memotong pembicaraan. Datang bersama beberapa teman sekolah Zea yang ikut melayat. Terlihat tidak begitu menyukai kehadiran Tuan Wilson yang terasa asing.

Zea seperti orang ling lung. Bukan untuk menjawab pertanyaan Tuan Wilson, tapi kedatangan Boby yang begitu tiba-tiba dan langsung menggandeng tangannya dihadapan Tuan Wilson. Mempertegas statusnya yang masih menjadi kekasih orang lain, dihadapan pria tua yang ingin menjadikannya sebagai menantu.

Tuan Wilson mendadak tertawa renyah melihat sikap dingin Boby terhadapnya. Sekarang dia tahu kenapa Zea begitu sulit untuk menerima tawarannya sebelumnya. Tapi bukan Wilson jika tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Sebaiknya aku pergi sekarang. Jika kau setuju, datanglah kerumahku besok malam. Aku akan mengatur segalanya. Kau hanya perlu terima.

Ingatlah Zea, siapa yang bisa membantumu membalas dendam atas kematian ibumu. Aku, atau pemuda tidak jelas di sebelahmu itu." Tutur Tuan Wilson memperingatkan Zea. Meninggalkan Boby yang langsung mengamuk mendengar penghinaan pria tua yang bahkan sama sekali tidak ia kenal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status