Share

Malaikat Pilihan Ibuku

Hera berusaha sekuat tenaga untuk mencakar lengan Aron. Berusaha melepaskan diri dari maut yang Aron bawa lewat cekikannya.

Hal yang lebih menyakitkan dari itu adalah tatapan tajam suaminya yang kini beralih menatap kedua putrinya. 

"Ja-ngan sa-ki-ti ke-dua a-nakku!" Pekik Hera di sisa nafasnya yang mulai terasa berat. Tak sanggup jika harus mati meninggalkan kedua putrinya di tangan bedebah seperti Aron.

Lily yang melihat Hera di antara hidup dan mati tidak mau tinggal diam. Meminta Zea untuk kabur, "Pergilah, Zea. Selamatkan dirimu. Aku yang akan menyelamatkan Ibu," ucap Lily yakin,

lalu dengan sekuat tenaga menyerang balik Aron.

"Ayah tolong lepaskan! Ibu bisa mati!" Jerit Lily tak kuasa menahan tangis. Memegangi tangan Aron berusaha melepaskan cengkraman yang membuat Hera mulai kehilangan kesadaran. 

Melihat Lily yang berusaha ingin menyelamatkan Zea, membuat amarah Aron kembali meledak. 

"Dasar anak tidak tidak tau diuntung! Kau sama bodohnya dengan Ibumu!"

Brak!

Dengan satu tangan yang lain Aron mendorong Lily hingga terpelanting ke lantai. Membuat tubuh ringkih itu tidak bergerak dan pingsan seketika.

Zea yang sudah berlari di depan pintu merasa seperti pengecut yang menyedihkan. Ibunya bisa benar-benar mati jika dia tidak ikut menolongnya. Sementara Aron yang tahu kelemahan Zea adalah ibunya, langsung menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. Tahu jika Zea tidak mungkin kabur meski sebenarnya dia memiliki kesempatan untuk melakukannya.

"Lepaskan Ibuku!" Jerit Zea murka. Berlari sekencang  mungkin menghampiri Aron. 

Zea tidak tahu jika itu memanglah sebuah siasat, untuk membuatnya datang menghampirinya. Bahkan sebelum gadis itu sampai kehadapannya, tangannya yang masih mencengkeram Hera segera ia lepaskan begitu saja. Beralih meraih gadis di depannya yang termakan jebakan.

"Hap! Aku dapat tangkapan besar hahaha," gelegar Aron girang. Mendekap Zea dengan sekuat tenaga dengan kedua tangannya.

"Apa yang kau lakukan. Lepaskan aku!" teriak Zea kencang. Meronta di pelukan ayah tirinya yang kembali menggila.

"Kali ini aku bisa pastikan kau tidak akan bisa lolos lagi.  Aku sudah tidak sabar merasakan sensani liarmu, sayang hahaha." Mengangkat tubuh Zea ke atas pundaknya dengan posisi terbalik menuju kamarnya.

Hera yang melihat bagaimana putrinya diangkut paksa tak kuasa menahan tangis. Nafasnya yang belum kembali sempurna bahkan tidak mampu membuat tubuhnya berdiri tegak. Hanya bisa menangisi nasib putri yang begitu malang. Berharap datangnya malaikat penolong dari iblis yang berusaha merenggut kesucian Zea.

~~~~

Udara hangat bercampur aroma terapi mewah perlahan membangunkan Zea. Tubuhnya terasa remuk di beberapa bagian. Terutama kedua paha dan kakinya. 

Gadis itu tidak langsung membuka matanya. Dia terlalu takut untuk melihat apa yang ada di hadapannya. Ada trauma kuat yang menggelayuti hatinya. Membayangkan wajah terakhir orang yang dilihatnya sebelum pingsan, sudah cukup membuat dadanya sesak.

Rasanya aku ingin mati saja! Pekik Zea di dalam hati.

"Kau sudah bangun, Nak?" tanya seseorang dengan suara lembut nan berat.

Zea merasa belum pernah melihat wajah ataupun mengetahui siapa pemilik suara itu. Masih belum berani membuka matanya. Takut hal buruk kembali menimpanya lagi dan lagi.

"Kau pasti merasa sangat ketakutan sampai tidak berani membuka matamu. Baiklah, tidak masalah. Kau hanya perlu mendengarkan ucapanku. Namaku Wilson."

Deg. Ingatan Zea seakan diputar cepat saat bertemu Ibunya kemarin. Sebuah wajah di dalam selembar foto  kini terlihat jelas di kepala Zea.

"Kau pasti belum mengetahui siapa aku. Mengingat pertemuanku dengan Ibumu Hera sangatlah singkat. Hemtt... aku  berharap kau tidak merasa sungkan berada di istanaku yang sederhana ini."

Entah kenapa Zea merasa tenang meski tidak mengenal pria itu. Suaranya terdengar begitu penyayang dan bijaksana di telinganya. Membuatnya bingung harus berbuat apa sekarang. Membuka mata, atau terus memejamkan mata.

 "Ahh sepertinya aku terlalu banyak bicara. Sebaiknya aku kembali membiarkanmu beristirahat. Temui aku jika kau sudah merasa lebih baik," tutur Tuan Wilson sebelum beranjak dari tempatnya duduk. Dibantu dengan tiga orang pelayan wanita. Dua berdiri selangkah di sisinya seperti sayap dan satu lagi di belakang.

Zea perlahan membuka matanya saat pria itu sudah membalikkan tubuhnya, yang ternyata dibantu sebuah tongkat berwarna coklat mengkilat di tangan kirinya. Memperlihatkan seberapa jauh rentang usia yang Zea miliki dengannya.

"Terima kasih sudah menolongku, meskipun aku tidak ingat apa yang sudah terjadi, Pak." Ucap Zea lirih.

Tuan Wilson membalikkan tubuhnya ke arah Zea lagi. Melempar senyum ramahnya ke gadis yang tak berdaya itu dengan penuh iba.

Langkahnya yang sedikit gemetar berusaha mendekat ke Zea yang tengah terbaring di atas kasur mewah miliknya. Tangan halusnya tanpa ragu membelai rambut kepala Zea dengan lembut, lalu mengecup kening Zea penuh kasih sayang.

"Kau anak yang baik. Aku yakin tidak salah memilihmu, Nak." Menatap Zea dengan mata berkaca-kaca. Seperti menghidupkan harapan baru yang sudah lama mati di hidupnya.

Entah kenapa Zea sama sekali tidak merasa risih dengan perlakuan Tuan Wilson. Mungkin itu semua  karena kurangnya kasih sayang dari sosok ayah kandung yang selama ini Zea rindukan.

Semenjak ibunya menikah dengan sosok Aron, Zea tidak sekalipun mendapatkan perhatian layaknya ayah dan anak. Sikap Aron yang awalnya ramah berubah acuh tatkala berhasil mendapatkan hati Hera. Terlebih saat Lily lahir. Jangankan menggendong Zea, menyentuh Zea pun rasanya tidak pernah Aron lakukan. 

Belum ditambah saat bisnisnya bangkrut. Zea yang tidak tahu apa-apa dianggap membawa sial dihidupnya. Hera jelas tidak terima dengan tuduhan tidak masuk akal itu. Toh Zea bukan gadis dengan banyak tuntutan yang suka meminta kemewahan apapun. Selalu mengalah jika itu demi kebaikan Lily.

Akibatnya hubungan suami istri itu menjadi semakin kacau setiap harinya. Harta peninggalan mantan suami Hera juga ludes untuk menutupi hutang Aron. Judi, mabuk, dan hura-hura menjadi teman akrab Aron. Membuat keluarga itu kelabakan untuk mendapatkan uang. Baik untuk hidup, atau pengobatan Lily yang kesehatannya berbeda dengan gadis lainnya sejak lahir.

"Kau bisa memanggil pelayan jika butuh sesuatu. Mereka akan berjaga di depan pintu kamarmu. Kau paham, Nak?" Goda Tuan Wilson menyentuh hidung mancung Zea sambil tersenyum riang.

Zea membalas dengan anggukan pelan. Membalas senyum tulus itu dengan hati sedikit lebih tenang. Entah apa yang dipikirkan Zea saat itu. Dia sepertinya lupa bagaimana kemarin dia menolak dengan tegas perjodohan yang direncanakan ibunya sambil menangis terisak. Dan sekarang dengan mudahnya ia tersenyum pada calon suami pilihan ibunya, yang lebih pantas dia panggil sebagai kakek itu.

"Apa ada yang ingin kau tanyakan lagi?" tanya Tuan Wilson sebelum benar-benar pergi.

Untuk sesaat Zea terdiam. Ingin rasanya dia bertanya tentang apa yang terjadi kemarin sebelum dia pingsan? bagaimana bisa dia berada di rumah itu? Kemana si bedebah Aron? Tapi Zea mengurungkan niat. Dibanding itu semua, keadaan Ibu dan adik perempuannya lebih penting dari apapun sekarang.

"Aaaa kau pasti mencemaskan Ibu dan saudaramu. Mereka baik-baik saja. Kau bisa menemuinya jika fisikmu sudah lebih baik. Mengerti?" Melebarkan pupil matanya ke arah Zea namun masih dengan garis senyum yang lebar. Menghangatkan suasana ruangan yang terasa akrab lewat senyum para pelayan yang ikut mengembang.

Zea kembali tersenyum lebar. Dia mulai memahami kenapa Ibunya meyakini pria tua di depannya adalah sosok yang tepat untuknya. Paling tidak dia tidak jatuh ke tangan ke pria brengsek seperti ayah tirinya.

"Arghh aku benar-benar sudah terlalu cerewet, jika sudah merasa nyaman dengan seseorang. Aku harus segera mengunci mulutku, agar kau bisa beristirahat. Pelayan seret aku pergi!" Canda Tuan Wilson melambaikan tangan ke Zea. Berjalan meninggalkan Zea yang sebenarnya masih ingin berbincang lebih lama dengannya.

Kaki Zea turun dari atas kasur. Dengan cekatan mengejar rombongan Tuan Wilson yang sudah berjalan meninggalkan kamar yang ditempatinya.

 "Pak, tunggu!" Panggil Zea cukup kencang. Berdiri di hadapan Tuan Wilson dengan kedua tangan terlentang lebar. Menghadang langkah empunya rumah dan ketiga pelayan yang terlihat kebingungan dengan tingkahnya.

"Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?" tanya Tuan Wilson dengan wajah sedikit cemas. 

Zea menggelengkan kepalanya cepat. Matanya menatap yakin pria tua di hadapannya itu dengan percaya diri. 

"Lalu apa?" tanya Tuan Wilson semakin penasaran.

"Aku bersedia menikah denganmu, Pak!" Ungkap Zea kencang menatap semua orang yang langsung syok ke arahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status