Share

Menikah Atau Mati

Suasana rumah menjadi kacau. Darah yang keluar dari  tubuh Aron mulai merembes ke lantai. Tangan Lily bahkan sudah berubah warna merah karena tak henti mengguncang tubuh ayahnya.

"Apa yang terjadi? Kenapa... Oh Tuhan apa yang kalian lakukan pada Ayah kalian?" tanya Hera dengan wajah syok. Menjatuhkan tas jinjingnya yang berisi belanjaan dapur dengan spontan.

Tak ada jawaban dari kedua putrinya. Keduanya memperlihatkan ekspresi bertolak belakang. Zea lebih seperti patung hidup yang tak henti memperlihatkan rasa bersalahnya.

Meski syok Hera berusaha cepat mengendalikan diri. Secepat mungkin menekuk kedua lututnya ke hadapan tubuh suaminya yang tergeletak tak berdaya. 

Hera tidak tahu harus senang atau sedih melihat kondisi suaminya itu. Ada rasa yang aneh yang membuatnya tidak menggila seperti saat kehilangan suami pertamanya. 

Tidak ingin membuang waktu lebih lama. Hera cepat meraih telapak tangan kanan Aron untuk mencari detak nadinya.

"Ibu apa Ayah baik-baik saja? Apa dia mati?" tanya Lily polos. Menahan isak tangisnya yang mereda sebentar.

Raut wajah Hera berubah pasrah. Tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Meski terkadang membenci Aron, bukan akhir seperti ini yang sebenarnya ia inginkan.

"Ayahmu masih hidup. Lukanya tidak terlalu dalam, kamu tidak perlu cemas. Bisakah kamu menghubungi mobil medis? Kita harus tetap membawanya ke rumah sakit sekarang," terang Hera menghela nafas lega.

"Baik Bu," jawab Lily cepat. Cekatan berlari ke ruang tengah untuk menghubungi mobil medis.

Zea yang mendengar penjelasan ibunya seketika lemas. Tubuhnya yang sejak tadi tegang langsung ambruk terduduk di lantai. Tak henti berucap syukur. Sempat mengira jika Ayah tirinya itu telah mati karena tindakannya.

~~~~

Seharian Zea dan Lily mengurung diri di kamar masing-masing. Menunggu kepulangan Hera yang belum memberi kabar apapun sejak pagi.

Meski lega Aron masih hidup, bukan berarti masalah selesai begitu saja. Ancaman dan teror lebih gila, bisa saja dilakukan oleh ayah tirinya lagi setelah pulih. Membuat gadis itu merasa semakin tak aman meski berada di rumahnya sendiri.

Tok tok tok! 

"Kamu baik-baik saja, Zea?" tanya Lily dari balik pintu kamar dengan suara lemah, "Ibu sudah kembali. Dia ingin berbicara dengan kita di ruang tengah."

Zea cepat bangun dari kursi belajarnya. Membuka pintu kamar perlahan. 

Senyum pucat Lily menyambutnya di depan pintu. Entah kenapa itu justru membuat hati Zea terluka. Bukankah seharusnya dia membenciku? Bagaimana mungkin dia masih bersikap baik, sementara aku hampir saja melenyapkan nyawa Ayah kandungnya? Pekik Zea dalam hati merasa bersalah.

"Aku tahu kamu melakukannya semata untuk melindungiku. Ini bukan sepenuhnya salahmu, Zea," ucap Lily seolah bisa membaca hati Zea yang sudah berkaca-kaca. Menggenggam punggung tangan kiri saudaranya, lalu menggandengnya menuju ruang tengah.

Di ruang tengah, Hera duduk dengan tegang. Berusaha menyambut kedua putrinya dengan senyum yang terlihat palsu.

Beberapa luka lebam bahkan masih terlihat jelas di wajah dan tulang leher yang terbalut sweater tipis berwarna abu miliknya. Bekas siksaan dari Aron yang mengaku menyiksanya semalam. Dan itu hanya yang terlihat. Zea dan Lily yakin masih banyak lagi lebam yang tidak terlihat dari tubuh ibunya yang coba perempuan itu sembunyikan dari umum.

"Kalian baik-baik saja? Apa kalian terluka? Kalian perlu ke rumah sakit?" tanya Hera memborong pertanyaan. Menatap lekat dua gadis di depannya yang menggeleng cepat.

"Bagaimana keadaan Ayah, Bu? Apa... ."

"Dia baik-baik saja. Lukanya tidak sampai mengenai organ vitalnya, tapi... ." Menghentikan kalimatnya dengan wajah cemas.

Zea dan Lily saling menatap. Wajah keduanya ikut tegang mendengar kalimat Hera yang terhenti.

"Kenapa Bu, apa ada masalah lain?" tanya Lily lagi. Mewakili Zea yang masih gugup untuk membuka mulutnya.

Hera kembali menatap kedua putrinya bergantian. Ada keraguan yang coba ia sembunyikan dari mereka. Memikirkan hari buruk yang mungkin saja terjadi setelah kembalinya Aron dari rumah sakit, sudah cukup membuatnya ketakutan setengah mati. 

"Aku yakin Aron tidak akan membiarkan kita semua baik-baik saja saat kembali. Terutama kau, Zea." Menatap lekat ke Zea yang menjadi target utama ayah tirinya sendiri.

Lily menggigit bibir bawahnya. Ikut memikirkan nasib kakak perempuannya yang kini beralih terancam. Dia tahu segila apa ayahnya saat sudah mengucapkan sumpah serapah.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Zea yang akhirnya buka suara.

Hera menelan ludah. Hatinya berat untuk memberi tahu isi kepalanya, tapi demi keselamatan putrinya dia harus mengatakannya.

"Semalam Ibu mendatangi rumah rekan Ayah kandungmu. Ibu meminta pertolongan kepadanya dan dia..., " Mencari-cari suatu benda lalu meletakkannya di atas meja.

Zea dan Lily terlihat kebingungan. Ibunya malah meletakkan selembar foto dengan wajah pria yang bahkan tidak mereka kenal rimbanya.

"Siapa dia, Bu? Apa dia rekan Ayah, Zea?" tanya Lily penasaran. Menatap lekat ke foto pria yang usianya terlihat cukup matang itu.

"Dia adalah calon suamimu. Dia yang akan melindungimu, Zie," ucap Hera yakin.

Sontak ucapan Hera membuat Zie terperangah kaget. Dia bahkan tak pernah membayangkan untuk menikah muda selama ini, lalu bagaimana mungkin dia menikah dengan seorang pria yang usianya terlihat setara dengan usia orang tuanya.

"Ibu tidak sedang bercanda kan? Aku masih sekolah Bu. Mana mungkin...." Berdiri tegap dihadapan Hera yang memilih membuang wajah darinya.

"Ini demi keselamatanmu, Zea. Aron tidak akan tinggal diam. Dia bisa saja membunuhmu, menjebloskanmu ke penjara dengan dalih percobaan pembunuhan yang kau lakukan pagi tadi," terang Hera mengutarakan alasannya.

"Tapi dia yang mencoba memperkosaku lebih dulu, Bu. Akulah korban sebenarnya," sahut Zea mulai berurai air mata. Tidak sanggup membayangkan bagaimana hidupnya kedepannya nanti. 

Hera mendekat ke hadapan Zea. Air matanya ikut tumpah ruah. Dia tidak memiliki cara lain untuk melindungi Zea dari kegilaan Aron.

"Percayalah Nak, ini yang terbaik untukmu. Tuan Wilson orang yang sangat baik. Hanya dia yang mampu menjagamu dalam keadaan apapun." Berusaha memeluk Zea.

"Maaf Bu, kali ini aku tidak bisa menuruti keinginanmu itu. Lebih baik aku mati dari pada harus menikah dengan orang yang tidak aku cintai." Menepis pelukan Ibunya dan berjalan meninggalkan Ibu dan adiknya yang sejak tadi diam tidak tahu harus berbuat apa.

"Bagaimana jika aku yang menggantikan Zie, Bu?" tanya Lily tiba-tiba. Menghentikan langkah Zie yang langsung kembali memutar tubuh ke arah adiknya itu.

"Jangan bodoh kamu Ly! Usiamu bahkan masih lima belas tahun, dan kau juga bukan target Aron!" sentak Zie kesal.

"Benar Ly, kondisimu juga tidak memungkinkan untuk menggantikan kakakmu. Sekalipun kau menjadikan dirimu tameng untuk melindungi kami. Ayahmu akan tetap mengincar Zie," imbuh Hera.

Suasana hati ketiga wanita itu benar-benar dalam keadaan kacau. Terutama raut wajah Zie yang terlihat kebingungan. Sungguh pilihan hidup yang sama sekali tidak terbesit dipikirannya sebelumnya. Menikahi pria tua atau mati!

Brak brak brak!

Pintu depan digebrak dengan kasar. Membuat ketiga wanita itu terperangah kaget. Menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Sosok tamu seperti apa yang datang dengan sangat tidak sopan di waktu sepagi itu.

Baru Hera mengangkat kakinya selangkah, tangan Lily sudah memegangi lengan kirinya. Menggelengkan kepala agar tidak membukakan pintu.

"Tidak apa sayang. Mungkin saja itu tetangga atau polisi yang ingin mengetahui apa yang terjadi," tutur Hera meyakinkan Lily. Berusaha menguatkan langkah menuju pintu, meski jantungnya ikut berdetak kuat.

Belum juga Hera sampai, pintu sudah lebih dulu didobrak dari luar. Membuat engsel dan gagang pintu terlepas dari tempatnya dengan kasar. 

Tangan besar mendorong pintu itu hingga terbuka sempurna. Memperlihatkan sosok pria gila yang seharusnya masih terbaring di rumah sakit, berdiri kokoh mengenakan pakaian pasien rumah sakit sambil menyeringai ke arah ketiganya.

Tanpa menunggu lama pria kekar itu pun melangkah masuk ke dalam rumah. Berjalan mendekat ke Hera yang jelas memasang wajah panik.

"A-Ron."

Slap.

Tangan besar itu cekatan meraih leher istrinya. Mencekiknya dengan satu tangan sambil tertawa kecil. Membiarkan Hera gelagapan karena kesulitan bernafas.

"Kenapa? 

Kalian sedih karena aku tidak jadi mati?" Menatap tajam ke arah Zie dan Lily yang saling merangkul ketakutan.

~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status