Share

Menjadi Istri Kontrak Tuan Arogan
Menjadi Istri Kontrak Tuan Arogan
Penulis: Ayu Haryanti

Bedebah itu Ayahku

Tangan mungilnya sudah selesai mengenakan rok sekolah. Sigap beralih mengambil kemeja putih polos- menggantung  di balik pintu lemari di depannya. Rutinitas yang hampir setiap hari Zea jalani seperti pelajar pada umumnya.

Wajahnya yang terlihat malas tetap harus bergerak cepat jika tidak ingin namanya terpampang paling atas di mading sekolah sebagai siswa paling malas di SMA Garuda Perkasa.

Kreet!

Belum juga selesai Zea mengancingkan semua baju, pintu kamar mendadak terbuka perlahan. 

Mata gadis itu membulat lebar. Meremas kedua ujung kemeja atas yang belum sempat ia tautkan dengan tangan gemetar.

Sesosok pria dengan wajah tanpa rasa bersalah menyeringai lebar ke arah Zea. Tatapannya terlihat picik. Menyembunyikan niatan kotor yang bahkan bisa terbaca jelas dari langkahnya yang mengendap-endap berusaha masuk kamar, seperti seorang penyusup.

"Selamat pagi sayang, bagaimana kabarmu, lama kita tidak bertemu ya?" Berbicara dengan suara sangat pelan. Menggeser tubuhnya perlahan agar bisa masuk ke dalam kamar Zea.

Zea berjalan mundur sehalus mungkin. Mencoba. Bersikap tenang, meski batinnya kacau. Dia tidak pernah tahu kapan Serigala gila  itu akan memangsanya hidup-hidup.

"Stop, jangan mendekat!" ancam Zea mencoba memberi peringatan. Menahan langkah Aron sesaat yang malah terkekeh kegirangan.

"A-da perlu apa? Kenapa tidak mengetuk pintu?" tanya Zea kembali melangkah mundur. Berusaha mencari celah untuk kabur, menghindari kemungkinan terburuk yang akan dilakukan Aron.

Aron melongokkan kepalanya keluar pintu kamar Zea. Memastikan tidak ada yang akan peduli dengan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Terbukti dari teriakan putrinya yang bahkan tidak membangkitkan putrinya yang lain. Tangannya bahkan tanpa ragu menutup rapat pintu kamar Zea lagi. Semakin mantap melangkah mendekat ke arah Zea yang berada di ujung ketakutan.

"Ada perlu apa katamu? Tentu saja aku merindukan putriku. Aku ingin memelukmu, membelaimu, menciummu, seperti anakku sendiri," jawab Aron menatap ke arah Zea dari ujung kaki hingga berhenti ke tangan Zea yang langsung membalikkan badan. Merasa jijik dengan tatapan pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, tapi malah selama ini tak henti mengincar tubuhnya.

Zea berusaha secepat mungkin untuk mengancingkan kemejanya. Tidak sudi jika tubuhnya menjadi fantasi liar Aron.

Sayangnya usaha Zea kalah cepat dengan langkah Aron yang lebih dulu mendekapnya dari belakang. Membanting tubuh Zea dengan mudah sampai terpelanting  ke atas kasur.

"Apa yang kau lakukan? Kau bahkan terlihat lebih menawan jika tidak mengenakan kain sehelai pun," ucap Aron mulai beringas. Menatap Zea yang terlihat tertekan berada di bawah tubuhnya.

Cuih!

"Menjauhlah dariku atau kau akan menyesalinya!" Mengangkat dengkul kananya hingga menendang area  vital Aron hingga mundur beberapa langkah menjauh darinya.

"Aku tidak akan sudi menuruti nafsu bejadmu, bahkan jika kau memiliki kekuatan untuk meruntuhkan langit sekalipun. Lebih baik aku mati, daripada harus berbagi hasrat dengan iblis menjijikkan sepertimu!" sentak Zea kasar. Melotot ke arah Aron lalu mengambil tas sekolahnya lalu melangkah ke arah pintu kamar.

Wajah Aron terlihat murka. Senyumnya berubah menjadi amarah getir. Sebagai seorang pria dewasa, dia baru saja dihina oleh seorang bocah ingusan. Tangan berototnya secepat kilat menarik rambut belakang Zea hingga reflek mendongak ke atas.

"Dasar bocah sialan. Berani sekali kau bicara sekasar itu pada Ayahmu. Kau harus membayar mahal perilakumu hari ini!" ancam Aron lagi. Kembali mengintimidasi Zea.

Zea berusaha kuat menyingkirkan tangan Aron yang semakin lancang merengkuh tubuhnya dari belakang.

"Lepaskan. Kau benar-benar sudah tidak waras. Ibuu tolong aku!" Teriak Zea sembari meronta kuat. Sudah sangat muak dengan perilaku Aron.

Entah sudah berapa kali Aron berusaha melakukan ini padanya. Selalu mencuri kesempatan setiap kali rumah dalam keadaan sepi, dan mungkin inilah hari yang paling ditakuti Zea benar-benar terjadi.

Tubuh Aron yang jauh lebih kuat dari gadis itu, dengan mudah kembali menjatuhkannya ke atas kasur dengan kasar. Tawanya yang sempat hilang kini kembali mengembang liar.

"Percuma saja kau memanggil Ibumu. Dia kabur bahkan sebelum aku selesai membuatnya babak belur semalam. Sekarang nikmatilah buah kesombongan mu barusan hahaha," gelegar Aron kegirangan. Berusaha membuka paksa kemeja Zea yang semakin kuat meronta.

Air mata Zea sudah tidak terbendung lagi. Dia berharap apa yang terjadi saat ini, hanyalah mimpi buruk sesaat. Dia tak rela jika harus menyerahkan kesuciannya pada pria biadab di hadapannya itu. 

"Aku mohon jangan lakukan ini. Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan, tapi tolong jangan seperti ini," isak Zea memohon. Berharap bisa meluluhkan hati  Aron yang sudah membatu. 

"Paling tidak tolong pikirkan Ibuku. Bagaimana hancur hatinya melihatmu berbuat sehina ini," imbuh Zea mulai kehilangan tenaga untuk melawan.

Meski bukan putri kandung, Zea masih berharap Aron memiliki nurani dan rasa iba untuk melepaskannya. 

"Maaf sayang, aku sudah tidak butuh apapun lagi. Jujur saja aku sudah bosan dengan Ibumu. Mulutnya yang tak henti mengoceh menceramahiku membuatku kehilangan nafsu. 

Ditambah wajahnya yang semakin kusut, mulai membuatku sakit mata. Beruntung ada dara muda sepertimu di rumah ini. Membuat otakku candu dan selalu ingin melakukan hal-hal gila bersamamu." Seringai Aron penuh percaya diri. Mencoba menenggelamkan wajahnya ke wajah Zea yang sudah siap ia mangsa.

Bruk!

Sebuah benda keras mendarat cukup keras di kepala belakang Aron. Membuatnya kehilangan kesadaran dan akhirnya ambruk di tubuh Zea.

Zea yang masih menangis, cepat menyingkirkan Aron dari hadapannya. Menatap lekat seorang wanita muda  yang masih memegangi tongkat bisbol kayu milik Zea, dengan keringat dingin mulai membanjiri wajahnya.

"Kau baik-baik saja?" tanya gadis itu gemetar. Sesekali menatap Ayah kandungnya yang terkapar di sebelah saudara tirinya.

Zea cepat bangkit. Memeluk erat Lily seerat mungkin. Menangis sejadi-jadinya dipelukan gadis penyelamatnya itu.

"Maaf jika aku datang sedikit terlambat. Kau pasti sangat ketakutan. Tolong maafkan ayahku... dan jangan membenciku, Zea." Mengusap air mata Zea dengan kedua tangannya.

Zea masih belum bisa membuka mulutnya. Hanya bisa menggeleng untuk menjawab ucapan adiknya itu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib masa depannya, jika Lily tidak menyelamatkannya barusan.

"Arghhh," erang Aron tiba-tiba. Kembali tersadar sambil memegangi kepalanya yang ternyata terluka.

Zea dan Lily langsung mengambil ancang-ancang mundur. Bersiap menghadapi Ayah keduanya yang mungkin saja berbalik menyerang mereka berdua secara brutal.

"Dasar bocah tengik. Bagaimana bisa kau melakukan hal bodoh seperti itu pada Ayahmu sendiri. Kau minta dihajar!" Bentak Aron kasar. Melotot ke arah Lily yang  berdiri tegap di hadapan Zea. 

"Pergilah sekarang atau aku akan memukulmu lagi!" Jerit Lily kencang.

Mengayunkan tongkat bisbol untuk kedua kalinya ke hadapanan Aron. Berharap pukulan keras kembali mendarat mengenai pria itu.

Tangan cekatan Aron tidak mungkin membiarkan kepalanya terluka lagi. Memegangi ujung tongkat dan dengan satu kali hentakan tongkat itu sudah terlepas dari tangan putrinya yang langsung terbelalak kaget.

Tanpa rasa ragu Aron melemparkan tongkat itu ke lantai. Memperlihatkan raut wajahnya yang merah padam atas penghianatan Lily.

"Kau sama saja dengan Ibumu. Dasar gadis penyakitan tidak berguna. Akan kuberi kau pelajaran agar tidak durhaka pada Ayahmu sendiri!" Ucap Aron kasar. Berjalan dua langkah ke depan lalu meraih rambut kepala atas Lily dengan kasar. Menyeret gadis itu menuju pintu keluar tanpa peduli jeritan Lily yang meminta pengampunan.

Zea juga tidak tinggal diam. Berusaha menghentikan tindakan kejam Aron yang pasti ingin menyakiti Lily, sama seperti saat Aron menyakiti ibunya. Menampar, Memukul, Menendang, dan tindakan kekerasan lainnya  hingga bedebah itu puas.

Bug! Bug!

"Hentikan Ayah, maafkan aku!" Jerit Lily kesakitan. Meringkuk melindungi jantungnya yang bocor. Membiarkan punggungnya menjadi tameng kemurkaan Aron.

Zea tidak bisa diam saja. Matanya memutar ke sekeliling kamar. Mencari sesuatu benda yang bisa menghentikan aksi gila ayah tirinya itu. Hingga langkahnya sigap mengambil sebuah benda berujung runcing yang biasa ia gunakan untuk membuka bungkus makanan ringan tergeletak di atas meja belajarnya, lalu mengarahkannya langsung ke perut Aron sekuat tenaga.

Cairan berwarna merah kental mulai menyembur keluar dari perut Aron. Langkahnya yang semula kokoh mundur beberapa langkah dari hadapan Zea.

"Aku bersumpah akan membuatmu menangis darah setelah ini... kau akan menyesalinya." Ucap Aron sebelum akhirnya tergeletak di atas lantai. Menutup mata dan tidak sadarkan diri. 

Lily yang melihat ayahnya tidak bergerak langsung menjerit sejadi-jadinya. Mengguncang tubuh ayahnya sekuat tenaga. Meski tidak menyukai perangai buruk ayahnya, Aron tetaplah ayah kandungnya. Orang yang sampai mati akan menjadi bagian dari kehidupannya. 

Sementara Zea hanya bisa mematung. Tubuhnya gemetar ketakutan. Tindakannya semata demi melindungi adik perempuannya. Sama sekali tidak berniat untuk membunuh siapapun. Termasuk pria  brengsek seperti Aron.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status