Tangan mungilnya sudah selesai mengenakan rok sekolah. Sigap beralih mengambil kemeja putih polos- menggantung di balik pintu lemari di depannya. Rutinitas yang hampir setiap hari Zea jalani seperti pelajar pada umumnya.
Wajahnya yang terlihat malas tetap harus bergerak cepat jika tidak ingin namanya terpampang paling atas di mading sekolah sebagai siswa paling malas di SMA Garuda Perkasa.Kreet!Belum juga selesai Zea mengancingkan semua baju, pintu kamar mendadak terbuka perlahan. Mata gadis itu membulat lebar. Meremas kedua ujung kemeja atas yang belum sempat ia tautkan dengan tangan gemetar.Sesosok pria dengan wajah tanpa rasa bersalah menyeringai lebar ke arah Zea. Tatapannya terlihat picik. Menyembunyikan niatan kotor yang bahkan bisa terbaca jelas dari langkahnya yang mengendap-endap berusaha masuk kamar, seperti seorang penyusup."Selamat pagi sayang, bagaimana kabarmu, lama kita tidak bertemu ya?" Berbicara dengan suara sangat pelan. Menggeser tubuhnya perlahan agar bisa masuk ke dalam kamar Zea.Zea berjalan mundur sehalus mungkin. Mencoba. Bersikap tenang, meski batinnya kacau. Dia tidak pernah tahu kapan Serigala gila itu akan memangsanya hidup-hidup."Stop, jangan mendekat!" ancam Zea mencoba memberi peringatan. Menahan langkah Aron sesaat yang malah terkekeh kegirangan."A-da perlu apa? Kenapa tidak mengetuk pintu?" tanya Zea kembali melangkah mundur. Berusaha mencari celah untuk kabur, menghindari kemungkinan terburuk yang akan dilakukan Aron.Aron melongokkan kepalanya keluar pintu kamar Zea. Memastikan tidak ada yang akan peduli dengan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Terbukti dari teriakan putrinya yang bahkan tidak membangkitkan putrinya yang lain. Tangannya bahkan tanpa ragu menutup rapat pintu kamar Zea lagi. Semakin mantap melangkah mendekat ke arah Zea yang berada di ujung ketakutan."Ada perlu apa katamu? Tentu saja aku merindukan putriku. Aku ingin memelukmu, membelaimu, menciummu, seperti anakku sendiri," jawab Aron menatap ke arah Zea dari ujung kaki hingga berhenti ke tangan Zea yang langsung membalikkan badan. Merasa jijik dengan tatapan pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, tapi malah selama ini tak henti mengincar tubuhnya.Zea berusaha secepat mungkin untuk mengancingkan kemejanya. Tidak sudi jika tubuhnya menjadi fantasi liar Aron.Sayangnya usaha Zea kalah cepat dengan langkah Aron yang lebih dulu mendekapnya dari belakang. Membanting tubuh Zea dengan mudah sampai terpelanting ke atas kasur."Apa yang kau lakukan? Kau bahkan terlihat lebih menawan jika tidak mengenakan kain sehelai pun," ucap Aron mulai beringas. Menatap Zea yang terlihat tertekan berada di bawah tubuhnya.Cuih!"Menjauhlah dariku atau kau akan menyesalinya!" Mengangkat dengkul kananya hingga menendang area vital Aron hingga mundur beberapa langkah menjauh darinya."Aku tidak akan sudi menuruti nafsu bejadmu, bahkan jika kau memiliki kekuatan untuk meruntuhkan langit sekalipun. Lebih baik aku mati, daripada harus berbagi hasrat dengan iblis menjijikkan sepertimu!" sentak Zea kasar. Melotot ke arah Aron lalu mengambil tas sekolahnya lalu melangkah ke arah pintu kamar.Wajah Aron terlihat murka. Senyumnya berubah menjadi amarah getir. Sebagai seorang pria dewasa, dia baru saja dihina oleh seorang bocah ingusan. Tangan berototnya secepat kilat menarik rambut belakang Zea hingga reflek mendongak ke atas."Dasar bocah sialan. Berani sekali kau bicara sekasar itu pada Ayahmu. Kau harus membayar mahal perilakumu hari ini!" ancam Aron lagi. Kembali mengintimidasi Zea.Zea berusaha kuat menyingkirkan tangan Aron yang semakin lancang merengkuh tubuhnya dari belakang."Lepaskan. Kau benar-benar sudah tidak waras. Ibuu tolong aku!" Teriak Zea sembari meronta kuat. Sudah sangat muak dengan perilaku Aron.Entah sudah berapa kali Aron berusaha melakukan ini padanya. Selalu mencuri kesempatan setiap kali rumah dalam keadaan sepi, dan mungkin inilah hari yang paling ditakuti Zea benar-benar terjadi.Tubuh Aron yang jauh lebih kuat dari gadis itu, dengan mudah kembali menjatuhkannya ke atas kasur dengan kasar. Tawanya yang sempat hilang kini kembali mengembang liar."Percuma saja kau memanggil Ibumu. Dia kabur bahkan sebelum aku selesai membuatnya babak belur semalam. Sekarang nikmatilah buah kesombongan mu barusan hahaha," gelegar Aron kegirangan. Berusaha membuka paksa kemeja Zea yang semakin kuat meronta.Air mata Zea sudah tidak terbendung lagi. Dia berharap apa yang terjadi saat ini, hanyalah mimpi buruk sesaat. Dia tak rela jika harus menyerahkan kesuciannya pada pria biadab di hadapannya itu. "Aku mohon jangan lakukan ini. Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan, tapi tolong jangan seperti ini," isak Zea memohon. Berharap bisa meluluhkan hati Aron yang sudah membatu. "Paling tidak tolong pikirkan Ibuku. Bagaimana hancur hatinya melihatmu berbuat sehina ini," imbuh Zea mulai kehilangan tenaga untuk melawan.Meski bukan putri kandung, Zea masih berharap Aron memiliki nurani dan rasa iba untuk melepaskannya. "Maaf sayang, aku sudah tidak butuh apapun lagi. Jujur saja aku sudah bosan dengan Ibumu. Mulutnya yang tak henti mengoceh menceramahiku membuatku kehilangan nafsu. Ditambah wajahnya yang semakin kusut, mulai membuatku sakit mata. Beruntung ada dara muda sepertimu di rumah ini. Membuat otakku candu dan selalu ingin melakukan hal-hal gila bersamamu." Seringai Aron penuh percaya diri. Mencoba menenggelamkan wajahnya ke wajah Zea yang sudah siap ia mangsa.Bruk!Sebuah benda keras mendarat cukup keras di kepala belakang Aron. Membuatnya kehilangan kesadaran dan akhirnya ambruk di tubuh Zea.Zea yang masih menangis, cepat menyingkirkan Aron dari hadapannya. Menatap lekat seorang wanita muda yang masih memegangi tongkat bisbol kayu milik Zea, dengan keringat dingin mulai membanjiri wajahnya."Kau baik-baik saja?" tanya gadis itu gemetar. Sesekali menatap Ayah kandungnya yang terkapar di sebelah saudara tirinya.Zea cepat bangkit. Memeluk erat Lily seerat mungkin. Menangis sejadi-jadinya dipelukan gadis penyelamatnya itu."Maaf jika aku datang sedikit terlambat. Kau pasti sangat ketakutan. Tolong maafkan ayahku... dan jangan membenciku, Zea." Mengusap air mata Zea dengan kedua tangannya.Zea masih belum bisa membuka mulutnya. Hanya bisa menggeleng untuk menjawab ucapan adiknya itu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib masa depannya, jika Lily tidak menyelamatkannya barusan."Arghhh," erang Aron tiba-tiba. Kembali tersadar sambil memegangi kepalanya yang ternyata terluka.Zea dan Lily langsung mengambil ancang-ancang mundur. Bersiap menghadapi Ayah keduanya yang mungkin saja berbalik menyerang mereka berdua secara brutal."Dasar bocah tengik. Bagaimana bisa kau melakukan hal bodoh seperti itu pada Ayahmu sendiri. Kau minta dihajar!" Bentak Aron kasar. Melotot ke arah Lily yang berdiri tegap di hadapan Zea. "Pergilah sekarang atau aku akan memukulmu lagi!" Jerit Lily kencang.Mengayunkan tongkat bisbol untuk kedua kalinya ke hadapanan Aron. Berharap pukulan keras kembali mendarat mengenai pria itu.Tangan cekatan Aron tidak mungkin membiarkan kepalanya terluka lagi. Memegangi ujung tongkat dan dengan satu kali hentakan tongkat itu sudah terlepas dari tangan putrinya yang langsung terbelalak kaget.Tanpa rasa ragu Aron melemparkan tongkat itu ke lantai. Memperlihatkan raut wajahnya yang merah padam atas penghianatan Lily."Kau sama saja dengan Ibumu. Dasar gadis penyakitan tidak berguna. Akan kuberi kau pelajaran agar tidak durhaka pada Ayahmu sendiri!" Ucap Aron kasar. Berjalan dua langkah ke depan lalu meraih rambut kepala atas Lily dengan kasar. Menyeret gadis itu menuju pintu keluar tanpa peduli jeritan Lily yang meminta pengampunan.Zea juga tidak tinggal diam. Berusaha menghentikan tindakan kejam Aron yang pasti ingin menyakiti Lily, sama seperti saat Aron menyakiti ibunya. Menampar, Memukul, Menendang, dan tindakan kekerasan lainnya hingga bedebah itu puas.Bug! Bug!"Hentikan Ayah, maafkan aku!" Jerit Lily kesakitan. Meringkuk melindungi jantungnya yang bocor. Membiarkan punggungnya menjadi tameng kemurkaan Aron.Zea tidak bisa diam saja. Matanya memutar ke sekeliling kamar. Mencari sesuatu benda yang bisa menghentikan aksi gila ayah tirinya itu. Hingga langkahnya sigap mengambil sebuah benda berujung runcing yang biasa ia gunakan untuk membuka bungkus makanan ringan tergeletak di atas meja belajarnya, lalu mengarahkannya langsung ke perut Aron sekuat tenaga.Cairan berwarna merah kental mulai menyembur keluar dari perut Aron. Langkahnya yang semula kokoh mundur beberapa langkah dari hadapan Zea."Aku bersumpah akan membuatmu menangis darah setelah ini... kau akan menyesalinya." Ucap Aron sebelum akhirnya tergeletak di atas lantai. Menutup mata dan tidak sadarkan diri. Lily yang melihat ayahnya tidak bergerak langsung menjerit sejadi-jadinya. Mengguncang tubuh ayahnya sekuat tenaga. Meski tidak menyukai perangai buruk ayahnya, Aron tetaplah ayah kandungnya. Orang yang sampai mati akan menjadi bagian dari kehidupannya. Sementara Zea hanya bisa mematung. Tubuhnya gemetar ketakutan. Tindakannya semata demi melindungi adik perempuannya. Sama sekali tidak berniat untuk membunuh siapapun. Termasuk pria brengsek seperti Aron.***Suasana rumah menjadi kacau. Darah yang keluar dari tubuh Aron mulai merembes ke lantai. Tangan Lily bahkan sudah berubah warna merah karena tak henti mengguncang tubuh ayahnya."Apa yang terjadi? Kenapa... Oh Tuhan apa yang kalian lakukan pada Ayah kalian?" tanya Hera dengan wajah syok. Menjatuhkan tas jinjingnya yang berisi belanjaan dapur dengan spontan.Tak ada jawaban dari kedua putrinya. Keduanya memperlihatkan ekspresi bertolak belakang. Zea lebih seperti patung hidup yang tak henti memperlihatkan rasa bersalahnya.Meski syok Hera berusaha cepat mengendalikan diri. Secepat mungkin menekuk kedua lututnya ke hadapan tubuh suaminya yang tergeletak tak berdaya. Hera tidak tahu harus senang atau sedih melihat kondisi suaminya itu. Ada rasa yang aneh yang membuatnya tidak menggila seperti saat kehilangan suami pertamanya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama. Hera cepat meraih telapak tangan kanan Aron untuk mencari detak nadinya."Ibu apa Ayah baik-baik saja? Apa dia mati?" tany
Hera berusaha sekuat tenaga untuk mencakar lengan Aron. Berusaha melepaskan diri dari maut yang Aron bawa lewat cekikannya.Hal yang lebih menyakitkan dari itu adalah tatapan tajam suaminya yang kini beralih menatap kedua putrinya. "Ja-ngan sa-ki-ti ke-dua a-nakku!" Pekik Hera di sisa nafasnya yang mulai terasa berat. Tak sanggup jika harus mati meninggalkan kedua putrinya di tangan bedebah seperti Aron.Lily yang melihat Hera di antara hidup dan mati tidak mau tinggal diam. Meminta Zea untuk kabur, "Pergilah, Zea. Selamatkan dirimu. Aku yang akan menyelamatkan Ibu," ucap Lily yakin,lalu dengan sekuat tenaga menyerang balik Aron."Ayah tolong lepaskan! Ibu bisa mati!" Jerit Lily tak kuasa menahan tangis. Memegangi tangan Aron berusaha melepaskan cengkraman yang membuat Hera mulai kehilangan kesadaran. Melihat Lily yang berusaha ingin menyelamatkan Zea, membuat amarah Aron kembali meledak. "Dasar anak tidak tidak tau diuntung! Kau sama bodohnya dengan Ibumu!"Brak!Dengan satu tang
Ucapan Zea untuk sesaat mampu membuat Tuan Wilson kebingungan. Namun karena gadis di depannya memasang wajah serius, dirinya berubah tertawa terpingkal-pingkal."Kau? Menikah denganku? Bhahaha... Apa aku tidak salah dengar?" tanya Tuan Wilson terkekeh.Zea mengerutkan alisnya. Merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya, tapi kenapa semua orang menertawakannya. Termasuk ketiga pelayan yang mendampingi Tuan Wilson, meski secara diam-diam."Kenapa Bapak tertawa, adakah sesuatu yang salah dengan ucapan saya?" tanya Zea mulai kesal bercampur malu."Tidak tidak. Ucapanmu memang tidak salah, tapi sepertinya ada yang perlu diluruskan dari otakmu hahaha," imbuh Tuan Wilson masih tertawa senang tanpa mempedulikan raut wajah Zea yang mulai berubah masam."Dengar Nak. Usiaku sudah tidak mengizinkanku untuk melangkah ke arah sana. Jangankan menikah lagi, membawa tubuhkku sendiri saja aku kesulitan. Ada-ada saja kau ini," imbuh Tuan Wilson mulai bisa mengendalikan tawanya."Tapi Ibuku bilang... .
Dua hari sudah berlalu. Zea sudah kembali pulang ke rumah lamanya. Beruntung Ibu dan adik perempuannya baik-baik saja. Berkat bantuan Tuan Wilson keduanya cepat dilarikan ke rumah sakit. Hanya Zea yang dirawat di rumahnya. Untuk alasannya sendiri Zea belum mengetahuinya. Yang Zea tahu, berhasil diselamatkan oleh anak buah Tuan Wilson.Mengenai Aron. Setelah dihajar hingga babak belur, dia berhasil kabur lewat jendela kamar. Beruntung Zea berhasil diselamatkan sebelum hal mengerikan menimpanya.Tuan Wilson tidak lepas tangan. Dia tetap berbaik hati menepati janjinya untuk melindungi keluarga Hera. Terbukti dari adanya beberapa pria yang siaga mengawasi rumahnya hingga hari ini. Berjaga-jaga jika si brengsek Aron kembali dan membuat ulah lagi.Zea pun sudah mulai bisa beraktifitas secara normal. Melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sesaat karena insiden mengerikan yang menimpanya itu.Tet tet teeeet!Bel istirahat berbunyi juga. Rasanya kepala Zea sudah seperti ingin meledak. Se
Tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit, saat ditinggal pergi oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.Siap tidak siap, mau tidak mau, Zea harus menghadapi takdirnya sebagai seorang yatim piatu.Hera benar-benar telah pergi. Meninggalkan dunia yang bahkan tidak memberinya senyum di sisa akhir kematiannya yang tragis.Di atas pusara lahat Hera, Zea tidak henti meratap. Rasanya hatinya belum bisa merelakan kepergian Ibunya itu.Ada rasa marah yang perlahan membakar hatinya. Berubah menjadi kobaran dendam, pada bedebah yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya nyawa ibunya."Malang sekali nasibnya. Seandainya suami pertamanya tidak mati, mungkin dia tidak akan semenderita ini.""Benar, apa gunanya memiliki anak yang bahkan tidak bisa melindungi Ibunya sendiri.""Ya ya ya, aku bahkan beberapa kali melihat Hera babak belur setelah ribut dengan mantan suaminya itu.""Tapi kenapa? Bukannya dulu mereka hidup rukun dan baik-baik saja?""Itu pasti karena... .""Ehem!"Suara dehama
Kepergian Tuan Wilson tak ubahnya nuklir yang menyasar tepat ke Boby. Wajahnya yang putih seketika memerah mendengar ucapan pria tua yang secara tidak langsung, baru saja meremehkannya.Beruntung tangan Zea cepat menariknya. Mencegahnya melakukan hal konyol yang mungkin akan membuat suasana pemakaman semakin kacau."Lepaskan! Kenapa malah menghentikanku? Akan kuberi pelajaran pria tua bangka yang lancang itu!" Umpat Boby geram. Menatap kesal Zea yang masih berusaha kuat menghentikannya."Cukup, lagi pula kau tidak akan bisa mengalahkannya!" ujar Zea meninggikan suara. Menghentikan amukan kekasihnya yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang.Usaha Zea pada akhirnya memang bisa menghentikan tingkah Boby. Hanya saja, karena ukuran otak Boby yang kecil emosinya justru semakin meningkat."Apa maksudmu? Kenapa aku tidak bisa mengalahkannya? Ada apa ini, Zea. Atau jangan-jangan kalian memiliki hubungan lebih dibelakangku?" sergah Boby berucap asal. Menatap tajam ke Zea kembali kehilang
Tubuh Zea bergetar hebat tatkala melihat siluet sepasang manusia yang memantul di dinding. Kakinya bahkan terasa kaku untuk diajak melangkah lebih dekat ke ruang tengah.Selama ini Zea selalu menyangkal tentang kedekatan Gwen dan Bobby yang sudah melewati batas. Terus menerus menganggap jika kecurigaan yang dia rasakan hanyalah omong kosong yang tidak mendasar. Dan sekarang di depan mata kepalanya sendiri, Zea melihat pengkhianatan itu.Keduanya bahkan terlihat begitu luwes menautkan bibir. Saling merangkul erat, seolah ini bukan kali pertama Gwen dan Bobby melakukannya.Hati Zea sudah sangat hancur. Tak bisa lagi diam melihat pemandangan menjijikkan itu di depan matanya. Menekan saklar lampu ruang tengah meski dengan tangan yang masih bergetar.Gwen dan Bobby jelas langsung kelabakan. Melepaskan diri dari dekapan erat masing-masing dari atas sofa. Terlihat salah tingkah menatap Zea yang mematung memandangi keduanya."Zea aku bisa jelaskan," ucap Gwen memulai pembelaan. Ingin mendekat
Suara langkah kaki yang terdengar lalu lalang, perlahan memaksa Zea membuka mata.Zea cukup kaget saat melihat keadaan di sekitarnya. Terlebih dengan adanya bantalan leher yang melingkar menempel membungkus lehernya."Anda sudah bangun Nona?" tanya seorang perawat wanita dengan suara lembut. Menyambut Zea yang langsung mengangguk melalui kedipan matanya."Kenapa aku disini, dan siapa yang membawaku ketempat ini?" tanya Zea tanpa basa-basi. Merasa harus berhutang budi pada orang yang sudah menyelamatkannya.Sratt! Tirai yang membatasi tempat Zea berbaring ditarik kasar dari luar oleh seseorang. Membuat Zea. Kaget dengan keberadaan pria langsung tajam menatap matanya."Aku yang membawamu kesini. Kenapa, apa ada masalah? Atau kau ingin aku menyeretmu kembali ke rumahmu?" Zea menghela nafas kesal. Tidak menyukai cara bicara Leon yang kasar."Apa aku memintamu untuk membawaku ke rumah sakit? Jangan bicara seolah-olah aku berhutang budi padamu!" balas Zea ketus. Memasang wajah masam pada