Anike seketika merasa merinding. Namun, ia tak punya pilihan lain.
“Boleh aku tahu penawaran apa, Tuan?” Anike memberanikan diri untuk bertanya. Dia harus siap dengan jawaban yang akan didapatnya.
“Kau bisa terbebas dari jerat hukum, jika dirimu bersedia menikah kontrak denganku,” jawab Carlen, yang seketika membuat seluruh tulang dalam tubuh Anike seakan menjadi lembek.
“Menikah kontrak?” ulang Anike pelan dengan nada tak percaya. Sepasang bola mata gadis asal Bandung tersebut bergerak tak beraturan. “Kenapa harus menikah kontrak?” tanyanya polos.
“Kenapa? Bukankah itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan memakai jasa wanita panggilan,” ujar Carlen penuh cibiran.
“Ya, Tuhan! Aku bukan wanita seperti itu!” Kekuatan Anike yang tadi sempat lenyap, tiba-tiba kembali setelah mendengar ucapan Carlen yang terkesan merendahkannya.
“Terserah kau,” balas Carlen enteng, “aku hanya memberikan penawaran yang menurutku paling ringan untukmu.”
Anike terdiam. Dia meremas bagian bawah blouse kemeja yang dikenakannya.
“Jika kau mau, aku akan memberitahukan aturan mainnya,” ucap pria itu dingin, “jika tidak, penjara menunggumu.”
Anike setengah mendongak saat menatap Carlen. Dia tak menyangka bahwa dirinya akan berurusan dengan pria seperti itu. Tiba-tiba, ia teringat akan Gama yang tadi ingin menceritakan tentang Carlen. Tapi, ia menolaknya.
Sekarang, Anike hanya bisa menyesal.
“Sudah cukup berpikirnya?” Suara berat Carlen membuyarkan segala lamunan Anike.
“Bagaimana aturan mainnya, Tuan?” tanya Anike pasrah. Dia terdesak dan tak memiliki pilihan lain.
“Bangunlah,” titah Carlen penuh wibawa.
Anike bangkit dari duduknya. Dia berdiri beberapa langkah dari pria tampan itu.
“Poin pertama, kau harus menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa dirimu bersedia menikah kontrak denganku. Jangan menganggap bahwa surat perjanjian itu tidak memiliki kekuatan hukum. Aku bisa menuntut balik dirimu dengan tuduhan lain, seandainya kau berusaha mangkir atau melarikan diri,” terang Carlen, yang membuat Anike seketika merinding.
“Poin kedua. Berhubung statusmu hanyalah istri kontrak, maka aku tak berkewajiban untuk memberikan nafkah secara materi untukmu. Semuanya tergantung dari kemurahan hatiku saja. Jika aku berkenan, maka kau akan mendapat uang saku. Begitu pun sebaliknya.”
“Poin ketiga. Kau akan menjadi istri kontrak selama selama beberapa waktu, hingga kuanggap bahwa kau telah berhasil melunasi ganti rugi yang seharusnya dirimu berikan secara tunai.” Dalam dan penuh penekanan, cara bicara Carlen terhadap Anike yang semakin merasa tak berdaya. “Selain itu, kau juga memiliki tugas serta tanggung jawab untuk mengurus rumah dan tentunya segala kebutuhanku. Kau dengar, Nona? Segala kebutuhanku.”
Anike tersenyum kelu. Entah kegilaan macam apa yang kali ini tengah dirinya jalani. Dia mencoba mencerna kalimat terakhir yang diucapkan Carlen. “Segala kebutuhan Anda?”
Carlen tidak menjawab. Dia hanya menatap lekat Anike.
Carlen merasa bahwa dirinya tak harus menjelaskan secara detail, karena Anike pasti sudah memahami maksud dari ucapannya tadi.
“Apa Anda sudah terbiasa melakukan hal seperti ini kepada para wanita, Tuan?” Pertanyaan yang terdengar sederhana, tetapi terasa cukup menusuk bagi Carlen yang selama ini selalu menghabiskan waktu seorang diri.
“Kau tak harus bertanya atau ingin tahu tentang sesuatu yang bukan urusanmu, Anike,” jawab Carlen dingin. “Aku terbiasa pulang-pergi Indonesia-Jerman. Aku memiliki kehidupan yang tak terikat. Apa salahnya?”
Senyuman sinis tersungging di bibir Carlen.
“Ini gila. Aku … aku tidak pernah terlibat dalam masalah seperti ini. Ini ….”
“Selalu ada awal untuk segala hal,” sela Carlen. Dia berjalan mendekat kepada Anike. Pria itu berdiri tepat di hadapan gadis cantik itu. “Ini hanya tawaran untukmu. Kau boleh menolak dan mengambil opsi lain yang sudah kusebutkan tadi.”
Carlen sudah berada di atas awan. Dia yakin bahwa Anike tak memiliki pilihan lain.
“Apa aku akan mendapat makanan dan tempat tinggal gratis?” tanya Anike setelah terdiam beberapa saat.
“Kau tak perlu memikirkan hal itu. Kau bebas makan sepuasmu di rumah ini. Aku tidak akan memaksa agar kau membayar setiap suapan yang masuk ke mulutmu,” jelas Carlen. "Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa aku menikahimu," imbuhnya enteng.
"M-maksudnya?"
"Dengan kau menjadi istriku, maka serikat buruh tidak akan menuntutku karena telah memperkerjakan seseorang tanpa gaji dan melewati batas jam kerja normal," jawab Carlen.
Anike menunduk lesu. Dalam hati, dia merutuki segala kebodohannya.
Andai dirinya tak memecahkan guci itu, maka dia tak akan terjebak dalam situasi pelik seperti yang dialaminya saat ini.
Tiara benar. Anike memang tak bisa belajar dari kesalahan yang sudah-sudah.
“Bagaimana? Apa kau setuju, Anike?” tanya Carlen lagi. Suaranya terdengar begitu jelas di telinga gadis itu.
“Aku tidak punya pilihan lain,” jawab Anike pelan. Dia terus menundukkan wajah, hingga Carlen menyentuh dagunya lalu mengangkat perlahan. Postur Carlen yang jauh lebih tinggi, membuat Anike harus mendongak saat membalas tatapan pria tampan asal Jerman tersebut.
“Baguslah. Gadis pintar,” seringai Carlen. “Kau tahu apa yang harus dirimu lakukan sebagai tugas awal?”
“Tunggu! Aku bahkan belum menandatangani apapun,” tolak Anike dengan segera.
“Baiklah.” Carlen tersenyum penuh makna. Dia beranjak ke dekat meja kerja, lalu mengambil sesuatu dari laci meja tadi dan menyodorkan selembar kertas kepada Anike. “Bacalah baik-baik. Aku ingin kau benar-benar memahami segala hal yang tertulis di sana.”
“Bolehkah kubawa pulang?” tanya Anike.
“Pulang ke mana? Kau tak akan ke manapun, Nona Anike.”
Anike mengernyitkan kening tak mengerti. “Maksud Anda?”
“Bacalah surat kontrak itu di sini, lalu tandatangani. Aku tak akan mengambil risiko dengan membiarkanmu keluar dari rumah ini. Jangan khawatir. Aku akan menyuruh sopir untuk membawakan barang-barangmu kemari,” ucap Carlen tenang.
Lagi-lagi, Anike hanya dapat mengembuskan napas berat. Dia sadar bahwa dirinya akan menjadi budak seorang Carlen Meier.
Anike pun segera membawa kertas tadi ke dekat meja.
Setelah selesai membacanya, dia langsung membubuhkan tanda tangan disertai nama jelas di sana.
Tak lama, Anike mengembalikan surat kontrak tadi kepada Carlen tanpa menoleh.
“Mari. Ikuti aku,” ajak Carlen tiba-tiba. Dia membawa Anike keluar dari ruang kerja.
Mereka menyusuri koridor, hingga tiba di ruangan yang ternyata merupakan kamar tidur. “Ini kamarmu. Kuharap kau menyukainya,” tunjuk Carlen.
Anike terdiam.
Dari semua drama yang terjadi di ruang kerja, inilah satu-satunya adegan yang paling Anike sukai. Kamar itu begitu indah dan luas.
“Ingat satu hal, Anike,” ucap Carlen membuyarkan lamunannya seketika, “Ini adalah perjanjian rahasia antara kau dan aku. Jadi, jangan sampai ada siapa pun di luar sana yang mengetahuinya.”
"Kalau kakakku, bagaimana?"
"Tidak boleh ada yang tahu!" tegas Carlen mengulangi kalimatnya tadi.
"Kalau emak dan abah? Mereka orang tuaku."
"Kau paham tidak dengan yang kujelaskan tadi?" Carlen mulai tak sabar dengan sikap Anike.
"Bukankah meskipun pernikahan kontrak, kita tetap harus melaksanakan akad nikah? Abahku harus datang sebagai wali," balas Anike.
"Ya, ampun!" Carlen menepuk dahinya sedikit kencang. "Kalau begitu, cukup ayahmu saja yang tahu! Tekankan padanya untuk menjaga kerahasiaan pernikahan kita! Kalau sampai bocor, aku akan menjebloskan kalian berdua ke penjara!" ancamnya.
"Anda jahat sekali, Tuan."
"Aku tidak peduli! Kau sudah menghancurkan pagiku yang tenang," gerutu Carlen seraya berbalik dan hendak meninggalkan Anike sendirian di kamar mewah itu. Namun, belum sampai dirinya tiba di pintu keluar, pintu itu sudah lebih dulu terbuka.
Lula masuk ke dalam kamar dengan sorot terheran-heran. "Kenapa orang ini belum pulang?" tunjuknya tepat ke arah Anike.
"Mulai detik ini, dia akan tinggal di sini. Dia akan segera menjadi istriku," timpal Carlen enteng.
"Istri? Kak, apa kamu tidak kapok dengan perempuan Indonesia?"
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men