Anike membelalakkan mata tak percaya, setelah mendengar ucapan Carlen. “Lima ratus juta?”
Gadis itu limbung dan bergerak mundur. Anike bahkan berpikir ia akan pingsan. Sayangnya, ia masih mampu berdiri.
“Apa bisa dikurangi, Tuan? Ini sudah masuk Bulan Februari. Bulan penuh cinta,” ucap Anike mengiba.Di sisi lain, ia sedang mencari ide agar dapat melarikan diri dari sana.
Carlen berdecak malas. “Persetan dengan bulan penuh cinta! Itu tak ada hubungannya dengan ganti rugi yang harus kau bayar!”
“Tapi, lima ratus juta terlalu besar. Rumah dan tanah orang tuaku saja tidak sampai segitu jika dijual,” sahut Anike memasang raut penuh keresahan.
“Aku tidak peduli. Bagaimanapun caranya, kau harus mengganti atas kerugian yang dirimu timbulkan, Nona,” tegas Carlen dingin. Tak lupa, ia memberi tatapan tajam.
Anike terpaku beberapa saat.
Dia tak mungkin meminta bantuan lagi kepada Tiara. Jika sampai sang kakak mengetahui bahwa dirinya kembali terjerumus dalam masalah besar karena kecerobohannya, maka Anike justru harus bersiap meninggalkan ibukota.
Senyuman Jajang yang sudah berkali-kali datang ke rumah orang tua Anike tiba-tiba terbayang.
Padahal, Anike sudah berusaha melarikan diri selama ini.
Kalau begini, pria berusia 49 tahun itu pasti senang sekali menjadikannya istri ketiga!
“Bisakah Anda memberiku waktu, Tuan?” tanyanya mencoba meminta keringanan.
“Memangnya apa yang akan kau lakukan jika aku memberimu waktu untuk melunasi kerugian yang dirimu timbulkan?”Anike dapat mendengar Carlen meremehkannya. Namun, itu sebenarnya sangat masuk akal. Lima ratus juta bukanlah nominal yang mudah didapat, kecuali Anike datang ke dukun dan meminta bantuan tuyul atau semacamnya…!
Lama ia terdiam, hingga akhirnya sebuah ide muncul di kepalanya.
“Begini, Tuan,” ucap Anike mendadak,“berapa Anda akan menggajiku seandainya aku bekerja di sini menjadi asisten pribadi Anda?”
Carlen menautkan alis dengan tatapan yang masih tertuju kepada gadis muda cantik di hadapannya. “Kau bertanya tentang gaji padaku? Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dirimu tidak berminat untuk bekerja di sini?”
“Um, iya tadinya begitu,” sahut Anike ragu, “aku hanya ingin mengetahuinya saja.”
Carlen tersenyum sinis. Pria berpostur tinggi tegap itu menyunggingkan senyuman sinis.
Perlahan, Carlen berjalan mendekat ke hadapan Anike. “Kau pikir aku tidak paham dengan maksudmu? Kau ingin bekerja di sini untuk membayar ganti rugi?”
Pria asal Jerman itu melangkah semakin mendekat. Kali ini, dia hanya menyisakan sekitar tiga langkah dari Anike. “Asal kau tahu, Nona Anike. Kau sudah menolak pekerjaan ini. Itu artinya, dirimu tidak berminat. Kau pikir aku akan mempekerjakan seseorang dengan rasa terpaksa? Tentu saja tidak!” tegas Carlen, “aku membutuhkan orang yang memiliki loyalitas tinggi. Bukan orang plin-plan sepertimu.”
“Mohon pertimbangkan lagi, Tuan,” pinta Anike memelas, “aku menolak pekerjaan ini karena kupikir Anda membutuhkan asisten pribadi untuk mengatur jadwal atau segala hal yang berkaitan dengan urusan bisnis. Bukan menyeduh kopi atau ….”“Tetap saja aku tidak mau,” tolak Carlen tegas.
“Baiklah. Kalau begitu, izinkan aku pergi. Aku berjanji akan mengganti semua kerugian Anda.”
Anike sudah bersiap untuk mundur ketika melihat Carlen tampak lengah.
Melihat situasi aman, ia pun berlari ke dekat pintu keluar.
Namun, alangkah terkejutnya Anike saat pintu terbuka.
Di luar ruang kerja itu, telah bersiap asisten Tuan Maier yang ia temui tadi dan seorang petugas keamanan yang berjaga.
“Mau ke mana, Nona Anike?”
Anike sontak bergerak mundur.
Dia kembali ke dalam.
Entah apa yang akan terjadi padanya sekarang.
“Baiklah. Aku pasrah.” Anike duduk bersimpuh di lantai. “Aku tidak tahu harus mencari ke mana uang sebanyak itu. Jika aku memang memiliki uang yang banyak, maka aku tidak akan mencari pekerjaan. Mungkin, saat ini aku sedang berada Raja Ampat untuk menikmati liburan yang indah. Namun, lihatlah aku sekarang, Tuan. Terserah Anda mau melakukan apa terhadapku. Aku memang terlalu ceroboh dan pantas menerima akibatnya,” racaunya.
Tampak jelas, perempuan itu sudah putus asa.
Di sisi lain, Carlen tersenyum sinis sambil berdiri di dekat meja kerja. Dia menyandarkan sebagian tubuh, sambil melipat kedua tangan di dada. “Silakan pilih. Mengganti rugi atau penjara. Namun, karena kau sudah menegaskan bahwa dirimu tak memiliki uang sebanyak itu, artinya kau mengambil pilihan yang kedua,” ujar pria empat puluh tiga tahun tersebut. Senyum puas terlihat jelas di paras tampannya.
“Apa? Penjara?” Anike menatap pria yang berjalan ke hadapannya.
“Ya, Nona. Penjara,” jelas Carlen sambil menurunkan tubuh di hadapan Anike yang masih duduk bersimpuh. Dia melipat satu kaki ke belakang sebagai penyangga tubuh tegapnya.
“Apa tidak ada yang lain, Tuan?”Carlen memperhatikan Anike beberapa saat. Pria itu memicingkan mata abu-abunya, sementara Anike masih dilanda perasaan tak karuan.
“Baiklah, Nona Anike,” ucapnya, “Aku bisa memberikan penawaran lain untukmu, selain penjara yang dingin dan menakutkan.”
“Terima kasih, Tuan,” ujar Anike dengan perasaan tak karuan, “saya bersedia melakukan apa pun asal jangan kedua hal tadi.”
Carlen tak langsung menjawab. Pria tampan itu tersenyum miring. “Apapun itu?”
Anike seketika merasa merinding. Namun, ia tak punya pilihan lain.“Boleh aku tahu penawaran apa, Tuan?” Anike memberanikan diri untuk bertanya. Dia harus siap dengan jawaban yang akan didapatnya.“Kau bisa terbebas dari jerat hukum, jika dirimu bersedia menikah kontrak denganku,” jawab Carlen, yang seketika membuat seluruh tulang dalam tubuh Anike seakan menjadi lembek.“Menikah kontrak?” ulang Anike pelan dengan nada tak percaya. Sepasang bola mata gadis asal Bandung tersebut bergerak tak beraturan. “Kenapa harus menikah kontrak?” tanyanya polos.“Kenapa? Bukankah itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan memakai jasa wanita panggilan,” ujar Carlen penuh cibiran.“Ya, Tuhan! Aku bukan wanita seperti itu!” Kekuatan Anike yang tadi sempat lenyap, tiba-tiba kembali setelah mendengar ucapan Carlen yang terkesan merendahkannya.“Terserah kau,” balas Carlen enteng, “aku hanya memberikan penawaran yang menurutku paling ringan untukmu.”Anike terdiam. Dia meremas bagian bawah blouse keme
"Kapok?" bingung Anike.Diperhatikannya Lula yang menatapnya sinis. Dia curiga pada gadis yang sempat mengerjainya dengan menyuruh Anike untuk menambahkan gula pada kopi Carlen itu.Di sisi lain, Lula menatap Anike semakin tajam. Anehnya, sesaat kemudian pandangan itu berubah lembut–membuat Anike merinding dengan perubahan mendadak itu."Hai, calon kakak ipar. Semoga kita bisa akrab," ujar Lula sambil mengulurkan tangannya pada Anike."Apa maksudnya dengan kapok terhadap perempuan Indonesia?" tanya Anike penasaran."Sudah, jangan hiraukan dia. Lula hanya menggodaku saja," sela Carlen sambil menggerakkan tangan sebagai isyarat untuk mengusir adiknya itu."Hubungi ayahmu sekarang. Suruh dia datang ke sini untuk menjadi wali seperti yang kau katakan tadi," titah Carlen setelah Lula keluar dari kamar."Maaf, tapi tidak bisa," tolak Anike, "ayah saya mabuk kendaraan. Dia susah sekali bepergian.""Mungkin lebih baik kau kupenjara saja, biar tidak merepotkan." Carlen menghela napas panjang.
“Kenapa mereka lama sekali?” pikir Carlen. Dia sudah menghabiskan sebatang rokok, sambil menunggu adik dan istri kontraknya yang sedang pergi ke toilet. “Coba kamu periksa,” suruhnya kepada Pandu.“Maaf, Tuan? Saya memeriksa ke toilet wanita?” Pandu terlihat ragu. Namun, dia tahu bahwa Carlen tidak menyukai bantahan. Terpaksa, sang asisten beranjak dari duduknya. Sambil melangkah menuju toilet, Pandu terus berpikir. Dia tertegun beberapa saat di depan pintu toilet wanita, hingga ada seorang perempuan keluar dari sana sambil uring-uringan.“Mau jadi apa negara ini jika anak mudanya tidak tahu tata krama,” gerutu wanita itu.“Apa ada masalah, Bu?” tanya Pandu. Dia mengira bahwa ibu itu marah terhadap dirinya, yang berdiri di depan pintu toilet wanita.“Bagaimana tidak jadi masalah besar? Saya baru duduk di closet dan sudah siap melakukan pelepasan. Namun, peluncuran roket terpaksa harus dihentikan, karena mendengar kegaduhan di bilik sebelah. Akhirnya, saya tidak jadi BAB!” Si wanita te
"Apa maksudmu dengan mencarikannya pasangan yang cocok? Bukankah kau adalah istrinya?"Anike seketika memukul mulutnya yang tak sengaja berbicara demikian. Hal itu justru membuat Lula semakin menatapnya tajam."Aku bukanlah istri sesungguhnya," ungkap Anike pada akhirnya."Maksudmu?""Tuan Carlen hanya menikahiku untuk menjadi budaknya," jelas Anike lesu."Ah, bicara apa kau ini. Tidak masuk akal sama sekali," gerutu Lula."Ini semua gara-gara guci antik itu. Aku tidak sengaja memecahkannya, sehingga aku harus menggantinya," keluh Anike."Guci antik yang mana?" Lula melipat kedua tangannya di dada."Guci yang berasal dari dinasti Ming itu tak sengaja tersenggol olehku. Guci itu akhirnya jatuh dan pecah," jawab Anike. "Karena aku tak punya uang untuk mengganti kerugian yang sangat besar, maka aku harus bersedia menjadi istri kontrak Tuan Carlen, sekaligus bersedia bekerja di rumah ini dan memenuhi segala kebutuhannya tanpa digaji," imbuhnya."Guci dari dinasti Ming?" ulang Lula kebing
"Ini semua gara-gara kau!" tunjuk Carlen tepat ke dahi Anike. "Aku memang menyuruhmu mencarikan pasangan, tapi setidaknya seleksi dulu yang benar!" Pria itu terus mengomel sembari mengemudi. Bahkan, hingga tiba di kediaman mewah pria asal Jerman tersebut. Dia bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan Anike yang diam terpaku di sisi mobil."Tidak apa-apa. Itu semua bukan salahmu," ucap seseorang yang membuat Anike terkejut. Dia menoleh dan mendapati Lula berdiri di sampingnya dengan sorot mata penuh simpati."Kamu? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Anike keheranan."Tenang saja, Kak. Aku akan berjuang untukmu."Bukannya menjawab, Lula malah mengatakan sesuatu yang membuat Anike makin bingung. "Aku tidur dulu. Sampai jumpa besok pagi," pamit Lula seraya menepuk pelan pundak Anike."Ah, memang keluarga gila," caci Anike pelan.Dia juga merasakan lelah jiwa raga, terlebih beban batin akibat permasalahan hidupnya yang melibatkan Carlen.Anike berjalan gontai menuju kamar.Dia merebahkan
Carlen duduk termenung di ruang kerja.Acara kencan yang sudah dipersiapkan untuknya gagal total karena teman kencannya datang terlambat. Bahkan, ia tadi dikerjai oleh adiknya sendiri."Sialan!" gerutu Carlen sambil melempar kertas yang digulung ke lantai.Bagaimana Carlen tak merasa risau? Usianya sudah semakin tua. Namun, hingga saat ini dia belum mendapatkan titik terang tentang jodohnya.Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan di pintu.Carlen segera mengubah posisi duduk, sehingga dia terlihat jauh lebih berwibawa.Pengusaha asal Jerman tersebut tahu bahwa yang datang ke sana pasti Anike karena dia memang memerintahkan wanita muda tersebut agar menghadapnya."Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Tuan?" tanya Anike yang sudah berdiri di depan meja kerja suami kontraknya. Dia memandang pria dengan T-Shirt panjang hijau army tadi. Sebenarnya, Carlen merupakan pria yang sangat tampan dan gagah. Namun, sayang sekali karena dia memiliki perangai yang kurang menyenangkan."Kau tahu bahwa t
Anike duduk terpekur sendirian di depan meja yang terletak di sisi jendela. Kedua tangannya menopang kepala yang terasa cenut-cenut. Bagaimana tidak? Carlen memberikan kriteria wanita yang terasa sama sekali tak masuk akal untuk dijadikan pasangan. “Ke mana aku harus mencari?” gumam Anike. Pikirannya mendadak buntu. Di saat kalut seperti itu, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Dengan santainya Carlen masuk dan berbaring begitu saja di atas ranjang yang seharusnya menjadi tempat tidur Anike. “Eh, Tuan? Kok di sini?” tanyanya. “Memangnya kenapa? Ini bagian dari rumahku juga,” sahut Carlen ketus. “Ta-tapi, anda ‘kan sudah memberikan kamar ini untukku,” protes Anike tak terima. “Ah, kau ini. Cerewet sekali.” Carlen yang semula berbaring, segera bangkit dan melepas T-shirt putihnya. Pria itu kembali bertelanjang dada, seperti pada saat mereka terkunci di dalam ruang pendingin. “Astaga ….” Anike begitu terpana melihat penampakan di hadapannya. Usia yang terlampau matang, tak membua
“Kalau begini terus, lama-lama aku akan meminta pada Abah dan Emak untuk mencoretmu dari kartu keluarga!” omel Tiara tanpa jeda. “Bagaimana bisa kamu memecahkan guci senilai lima ratus juta?”“Namanya juga tidak sengaja, Teh,” sesal Anike.“Kamu itu benar-benar nggak mikir. Dilahirkan cuma buat bikin susah orang lain saja!” Tiara melampiaskan kekesalannya.“Begini, Teteh carikan aku pinjaman, nanti aku yang melunasi,” cetus Anike setengah memaksa.“Cari pinjaman ke mana uang sebanyak itu. Kalau punya otak tuh dipakai, Anike!” Kesabaran Tiara mulai habis. Kepalanya terasa begitu panas dan berat memikirkan tingkah laku adik satu-satunya itu.“Pinjol juga bisa, Teh. Yang penting ada uang sejumlah 500 juta,” desak Anike tanpa memedulikan amarah Tiara yang sudah berada di ubun-ubun.“Lebih baik aku nggak punya adik lagi!”Tuuuuut &he