Share

Bencana

"Ko-kopi, Tuan?" tanya Anike sambil menelaah kembali kalimat pria tampan di hadapannya itu.

"Ya, seperti yang kau dengar tadi," jawab Carlen Meier acuh tak acuh. Pria itu bahkan sudah kembali serius membaca berkas-berkas yang ada di tangannya.

"Apakah ini bagian dari wawancara?" tanya Anike lagi.

Sejurus kemudian, Carlen meletakkan kertas-kertas ke atas meja. Ia lalu menatap Anike dingin. "Kau ingin pekerjaan atau tidak?"

"Tentu saja, Tuan."

"Kalau begitu, buatkan aku kopi."

"Apakah membuat kopi dengan jenis pekerjaan yang akan saya tekuni nanti, Tuan?" cicit Anike kebingungan.

"Anggap saja itu adalah caraku melihat apakah kau sanggup bekerja atau tidak."

"Baiklah."

Anike mengangguk ragu. Dia berbalik dan berjalan meninggalkan ruang kerja. Akan tetapi, sesampainya di ambang pintu, Anike teringat sesuatu.

Wanita itu sontak berbalik menghadap Carlen. "Maaf, Tuan ... kalau boleh tahu, dapurnya di sebelah mana?"

"Tanyakan pada asistenku yang membawamu tadi," timpal Carlen dingin. Lagi-lagi, pria itu tidak memandang ke arah Anike sama sekali.

Mendengar itu. Anike akhirnya bergegas keluar ruangan dan mulai mencari keberadaan asisten pria itu.

Sungguh!

Menurutnya, ini adalah wawancara kerja paling aneh yang pernah dirinya alami. Namun, Anike juga tak mungkin dapat menolak permintaan pria yang berusia jauh di atasnya tersebut.

Sayangnya, setelah mengetuk ruangan demi ruangan, Anike tak menemukan siapapun.

"Rumah sebesar ini, apa tidak ada pelayan?” bingung Anike seraya menyapu pandangan ke sekitar dengan sorot takjub, “ jika iya, bagaimana caranya supaya bisa tetap terlihat bersih dan rapi?"

"Sepuluh orang pelayan hanya datang setiap hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Ini semua karena Tuan Carlen Meier sangat terobsesi terhadap kesunyian," ucap seseorang tiba-tiba membuat Anike terkejut setengah mati.

Ia langsung berbalik dan mendapati seorang gadis cantik yang sepertinya seusia dengannya.

Seolah memahami kebingungan Anike, gadis itu tiba-tiba berkata dengan logat bahasa Indonesia yang kaku, “Kenalkan, namaku Lula. Apakah kau asisten pribadi kakakku yang baru?"

"Lula? Anda adik Tuan Carlen Maier?"

"Ya, begitulah." Lula memamerkan senyum. "Apa dia menyuruhmu untuk membuatkan kopi?"

"Betul sekali, Nona," jawab Anike sopan.

"Jangan panggil aku Nona. Cukup Lula saja. Kalau begitu, mari, kuantar." Gadis cantik berambut coklat terang itu bersikap sangat ramah pada Anike. Jauh berbeda dengan yang ditunjukkan Carlen tadi.

Kini, Anike melewati koridor panjang.

Diperhatikannya sisi kanan koridor adalah tembok yang penuh dengan lukisan mahal, sedangkan sisi kirinya terdapat jendela-jendela kaca besar yang menampakkan pemandangan taman bunga yang cukup luas.

Sejenak Anike terpukau dengan apa yang dia lihat.

Rumah besar itu bagaikan istana di negeri dongeng.

"Dapurnya ada di sebelah sana," tunjuk Lula pada sebuah lorong lain yang terdapat di sebelah kirinya.

"Ah, i-iya. Terima kasih," ucap Anike tergagap.

Dia buru-buru berlalu dari hadapan Lula yang tetap berdiri di tempatnya.

Lalu, ia menemukan dapur dengan interior modern dan tampak sangat luas dan mewah. Bahkan, ia yakin dapur ini jauh lebih luas dari rumah kontrakan Tiara.

"Luar biasa. Aku bisa jogging di tempat selebar ini," celetuk Anike pelan.

"Kakakku tidak suka kopi pahit. Biasanya, dia menambahkan dua balok kecil gula pada cangkirnya." Suara Lula membuat Anike begitu terkejut.

Ia pun langsung menoleh dan mengernyit mendapati gadis yang tadi sempat berbincang dengannya itu sudah berdiri di belakang Anike.

"Lula?"

Gadis cantik bermata hazel itu hanya tersenyum, lalu membuka lemari kabinet yang terbuat dari kaca. Dia mengeluarkan sebuah cangkir beserta tatakannya dan menyerahkan benda berbahan porselen itu pada Anike.

"Terima kasih." Anike menerima cangkir tadi.

Dengan cekatan, dia meracik kopi, hingga aroma menggugah selera tercium.

Tak lupa, Anike menambahkan dua balok kecil gula–seperti yang telah dikatakan Lula.

Setelahnya, ia tersenyum pada Lula dan kembali ke ruang kerja Carlen membawa nampan.

"Silakan, Tuan," ucapnya tenang.

"Hm." Hanya kata itu yang keluar dari bibir tipis Carlen. Gayanya begitu berwibawa saat meraih cangkir dan menyesap kopinya perlahan. Namun sesaat kemudian, Carlen menyemburkan kopi tersebut ke arah samping.

"Apa-apaan ini!" sentaknya.

"Kenapa?" Anike tampak begitu terkejut sekaligus kebingungan.

"Rasanya manis sekali, sampai-sampai aku ingin muntah! Kau bisa membuat kopi atau tidak, hah!" omel Carlen dengan mata melotot.

"Bukannya anda penyuka rasa manis?" Anike membela diri.

"Siapa yang ...." Carlen tak melanjutkan kata-katanya. "Ah, sudahlah! Rupanya kau tidak becus bekerja."

"Maaf, Tuan Meier,” ucap Anike menahan emosi, “Saya tidak terima bila dinilai tidak becus bekerja hanya karena tak bisa membuat kopi sesuai selera Anda."

"Ck! Kau ternyata juga sangat berisik!"

Mendengar umpatan pria itu, tangan Anike sontak mengepal.

Hancur sudah pengendalian diri yang sedari tadi dia bangun.

"Baiklah. Terima kasih atas kesempatannya. Yang jelas, saya sangat bersyukur ditolak bekerja oleh Anda.”

Alis mata Carlen menajam. Pria itu tak menyangka bahwa Anike akhirnya melawan. "Kalau begitu, keluar kau dari sini!"

"Tanpa Anda suruh pun, aku pasti akan keluar dari sini!"

Segera, Anike maju dan mengambil map berisi surat lamaran kerja beserta surat-surat penting lainnya. Ia bergegas meninggalkan ruangan Carlen dalam amarah.

Begitu melihat sebuah pilar setinggi pinggang orang dewasa di samping pintu, Anike sontak menendangnya untuk melampiaskan emosi.

PRANG!

Anike tertegun setelahnya. Ia sama sekali tak mengira bahwa tendangannya cukup keras, hingga membuat pilar tersebut goyang dan guci antik di atasnya–terjatuh dan pecah.

"Ya, Tuhan," panik Anike.

Di sisi lain, Carlen mendengar keributan itu.

Gegas, ia pun bangkit dari kursi kebesarannya.

"Astaga ...." Carlen sontak menatap tajam Anike yang pucat pasi. "Guci itu adalah prasasti dari Dinasti Ming. Aku membelinya secara resmi dari divisi kementerian kebudayaan Cina!"

Anike terkejut mendengarnya. Namun, ia berusaha bersikap tenang. "Aku akan mengganti seluruh kerusakan yang sudah ditimbulkan.”

"Memang, berapa yang harus kubayar?" tanya Anike lagi. Perempuan itu bahkan melupakan bahwa tabungannya sudah tak ada.

Mendengar keberanian Anike, mata Carlen semakin menggelap.

Sebuah senyum sinis pun terpampang di wajahnya.

"Kalau begitu cepat transfer lima ratus juta sebelum kau keluar dari sini!" sahutnya, "selain itu, kau perlu membayar sepuluh juta lagi untuk tindakan dan perlakuanmu yang tidak menyenangkan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status