Share

Bencana

Author: Ayaya Malila
last update Last Updated: 2023-08-04 18:53:45

"Ko-kopi, Tuan?" tanya Anike sambil menelaah kembali kalimat pria tampan di hadapannya itu.

"Ya, seperti yang kau dengar tadi," jawab Carlen Meier acuh tak acuh. Pria itu bahkan sudah kembali serius membaca berkas-berkas yang ada di tangannya.

"Apakah ini bagian dari wawancara?" tanya Anike lagi.

Sejurus kemudian, Carlen meletakkan kertas-kertas ke atas meja. Ia lalu menatap Anike dingin. "Kau ingin pekerjaan atau tidak?"

"Tentu saja, Tuan."

"Kalau begitu, buatkan aku kopi."

"Apakah membuat kopi dengan jenis pekerjaan yang akan saya tekuni nanti, Tuan?" cicit Anike kebingungan.

"Anggap saja itu adalah caraku melihat apakah kau sanggup bekerja atau tidak."

"Baiklah."

Anike mengangguk ragu. Dia berbalik dan berjalan meninggalkan ruang kerja. Akan tetapi, sesampainya di ambang pintu, Anike teringat sesuatu.

Wanita itu sontak berbalik menghadap Carlen. "Maaf, Tuan ... kalau boleh tahu, dapurnya di sebelah mana?"

"Tanyakan pada asistenku yang membawamu tadi," timpal Carlen dingin. Lagi-lagi, pria itu tidak memandang ke arah Anike sama sekali.

Mendengar itu. Anike akhirnya bergegas keluar ruangan dan mulai mencari keberadaan asisten pria itu.

Sungguh!

Menurutnya, ini adalah wawancara kerja paling aneh yang pernah dirinya alami. Namun, Anike juga tak mungkin dapat menolak permintaan pria yang berusia jauh di atasnya tersebut.

Sayangnya, setelah mengetuk ruangan demi ruangan, Anike tak menemukan siapapun.

"Rumah sebesar ini, apa tidak ada pelayan?” bingung Anike seraya menyapu pandangan ke sekitar dengan sorot takjub, “ jika iya, bagaimana caranya supaya bisa tetap terlihat bersih dan rapi?"

"Sepuluh orang pelayan hanya datang setiap hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Ini semua karena Tuan Carlen Meier sangat terobsesi terhadap kesunyian," ucap seseorang tiba-tiba membuat Anike terkejut setengah mati.

Ia langsung berbalik dan mendapati seorang gadis cantik yang sepertinya seusia dengannya.

Seolah memahami kebingungan Anike, gadis itu tiba-tiba berkata dengan logat bahasa Indonesia yang kaku, “Kenalkan, namaku Lula. Apakah kau asisten pribadi kakakku yang baru?"

"Lula? Anda adik Tuan Carlen Maier?"

"Ya, begitulah." Lula memamerkan senyum. "Apa dia menyuruhmu untuk membuatkan kopi?"

"Betul sekali, Nona," jawab Anike sopan.

"Jangan panggil aku Nona. Cukup Lula saja. Kalau begitu, mari, kuantar." Gadis cantik berambut coklat terang itu bersikap sangat ramah pada Anike. Jauh berbeda dengan yang ditunjukkan Carlen tadi.

Kini, Anike melewati koridor panjang.

Diperhatikannya sisi kanan koridor adalah tembok yang penuh dengan lukisan mahal, sedangkan sisi kirinya terdapat jendela-jendela kaca besar yang menampakkan pemandangan taman bunga yang cukup luas.

Sejenak Anike terpukau dengan apa yang dia lihat.

Rumah besar itu bagaikan istana di negeri dongeng.

"Dapurnya ada di sebelah sana," tunjuk Lula pada sebuah lorong lain yang terdapat di sebelah kirinya.

"Ah, i-iya. Terima kasih," ucap Anike tergagap.

Dia buru-buru berlalu dari hadapan Lula yang tetap berdiri di tempatnya.

Lalu, ia menemukan dapur dengan interior modern dan tampak sangat luas dan mewah. Bahkan, ia yakin dapur ini jauh lebih luas dari rumah kontrakan Tiara.

"Luar biasa. Aku bisa jogging di tempat selebar ini," celetuk Anike pelan.

"Kakakku tidak suka kopi pahit. Biasanya, dia menambahkan dua balok kecil gula pada cangkirnya." Suara Lula membuat Anike begitu terkejut.

Ia pun langsung menoleh dan mengernyit mendapati gadis yang tadi sempat berbincang dengannya itu sudah berdiri di belakang Anike.

"Lula?"

Gadis cantik bermata hazel itu hanya tersenyum, lalu membuka lemari kabinet yang terbuat dari kaca. Dia mengeluarkan sebuah cangkir beserta tatakannya dan menyerahkan benda berbahan porselen itu pada Anike.

"Terima kasih." Anike menerima cangkir tadi.

Dengan cekatan, dia meracik kopi, hingga aroma menggugah selera tercium.

Tak lupa, Anike menambahkan dua balok kecil gula–seperti yang telah dikatakan Lula.

Setelahnya, ia tersenyum pada Lula dan kembali ke ruang kerja Carlen membawa nampan.

"Silakan, Tuan," ucapnya tenang.

"Hm." Hanya kata itu yang keluar dari bibir tipis Carlen. Gayanya begitu berwibawa saat meraih cangkir dan menyesap kopinya perlahan. Namun sesaat kemudian, Carlen menyemburkan kopi tersebut ke arah samping.

"Apa-apaan ini!" sentaknya.

"Kenapa?" Anike tampak begitu terkejut sekaligus kebingungan.

"Rasanya manis sekali, sampai-sampai aku ingin muntah! Kau bisa membuat kopi atau tidak, hah!" omel Carlen dengan mata melotot.

"Bukannya anda penyuka rasa manis?" Anike membela diri.

"Siapa yang ...." Carlen tak melanjutkan kata-katanya. "Ah, sudahlah! Rupanya kau tidak becus bekerja."

"Maaf, Tuan Meier,” ucap Anike menahan emosi, “Saya tidak terima bila dinilai tidak becus bekerja hanya karena tak bisa membuat kopi sesuai selera Anda."

"Ck! Kau ternyata juga sangat berisik!"

Mendengar umpatan pria itu, tangan Anike sontak mengepal.

Hancur sudah pengendalian diri yang sedari tadi dia bangun.

"Baiklah. Terima kasih atas kesempatannya. Yang jelas, saya sangat bersyukur ditolak bekerja oleh Anda.”

Alis mata Carlen menajam. Pria itu tak menyangka bahwa Anike akhirnya melawan. "Kalau begitu, keluar kau dari sini!"

"Tanpa Anda suruh pun, aku pasti akan keluar dari sini!"

Segera, Anike maju dan mengambil map berisi surat lamaran kerja beserta surat-surat penting lainnya. Ia bergegas meninggalkan ruangan Carlen dalam amarah.

Begitu melihat sebuah pilar setinggi pinggang orang dewasa di samping pintu, Anike sontak menendangnya untuk melampiaskan emosi.

PRANG!

Anike tertegun setelahnya. Ia sama sekali tak mengira bahwa tendangannya cukup keras, hingga membuat pilar tersebut goyang dan guci antik di atasnya–terjatuh dan pecah.

"Ya, Tuhan," panik Anike.

Di sisi lain, Carlen mendengar keributan itu.

Gegas, ia pun bangkit dari kursi kebesarannya.

"Astaga ...." Carlen sontak menatap tajam Anike yang pucat pasi. "Guci itu adalah prasasti dari Dinasti Ming. Aku membelinya secara resmi dari divisi kementerian kebudayaan Cina!"

Anike terkejut mendengarnya. Namun, ia berusaha bersikap tenang. "Aku akan mengganti seluruh kerusakan yang sudah ditimbulkan.”

"Memang, berapa yang harus kubayar?" tanya Anike lagi. Perempuan itu bahkan melupakan bahwa tabungannya sudah tak ada.

Mendengar keberanian Anike, mata Carlen semakin menggelap.

Sebuah senyum sinis pun terpampang di wajahnya.

"Kalau begitu cepat transfer lima ratus juta sebelum kau keluar dari sini!" sahutnya, "selain itu, kau perlu membayar sepuluh juta lagi untuk tindakan dan perlakuanmu yang tidak menyenangkan!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Anugerah Terindah

    "Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Kemeja Putih

    "Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Take Her Away

    Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Lamaran Mendadak

    "Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Pesta Kampung

    "Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada

  • Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier   Dua Sisi

    Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status