Share

07. Arti 'Suami Istri'

"Iya...ini aku, mas Edwin." Ujar Rieka menyakinkan Edwin akan kehadirannya sambil meraih sebelah tangan Edwin. Menggenggam erat jemari suaminya itu, seakan tak ingin melepasnya lagi, "Are you OK?"

Edwin hanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Seneng banget rasanya Rieka ada disini untuknya. Rasanya sudah kangen aja pengen ketemu istrinya itu, pengen peluk-peluk dan cium-cium sampai puas.

Perlahan Edwin bangkit dari posisi berbaringnya. Duduk bersandar di sandaran ranjang. "Jam berapa ini?" tanya Edwin kehilangan orientasi waktu.

"Sudah hampir jam 8 malam," jawab Rieka.

"Sudah malam ternyata," Edwin tak mengira dirinya bisa tertidur selama itu di sini. Tapi setelah tidurnya tadi keadaan tubuhnya sekarang terasa jauh lebih mendingan. Lebih segar dan tidak lemes lagi tentunya.

"Tadi kayaknya ada seseorang yang bilang bakal langsung pulang secepatnya begitu rapat berakhir?" Rieka mulai menyindir Edwin.

"Maaf ya honey, aku telat pulang." Edwin nyengir mendengar sindiran Rieka, meminta maaf pada istrinya itu.

Edwin merasa bersalah karena mengingkari janjinya sendiri. Yah meski tidak sengaja si, mana kuat tadi kalau langsung pulang sehabis rapat. Untuk sekedar bangkit dari kursi aja gak sanggup baginya.

"Kamu itu ya Mas..." Rieka kesal sekali mendengar ucapan Edwin. Bisa-bisanya dia ngomong kayak gak punya dosa begitu. Gak tahu apa yang disini sudah kalang kabut, galau dan cemas banget akan keadaanya.

"Aku kan tadi udah bilang jangan pergi ke kantor. Kamu malah maksa pergi gak mau dengerin omongan aku. Kondisi badanmu itu masih belum bener-bener fit. Kamu bandel banget si jadi orang, keras kepala. Aku gak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kamu..." Rieka mulai mengomel, Omelan cinta.

Kemudian Rieka berhenti sebentar dan tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah, mewek seperti mau nangis. Edwin yang dapat melihatnya jadi semakin merasa bersalah juga telah membuat Rieka sampai begini karena terlalu mencemaskan dirinya.

"Aku cuma gak pengen kamu kenapa-kenapa lagi mas. Sudah cukup kejadian tragedi kelengkeng itu. Kita ini barusan nikah loh, baru juga seminggu. Tapi sudah berapa hari kamu sakit dan bikin khawatir kayak gini? Kamu mau bikin aku jadi janda?" Rieka sudah meneteskan air matanya sekarang sambil menumpahkan segala emosi dan kekesalannya pada Edwin. Keseeeel dan geram banget rasanya!

"Maaf ya..." Edwin sekali lagi hanya bisa meminta maaf, tak tega melihat air mata berlinang di wajah Rieka.

"Kamu itu sudah menikah sekarang, Mas. Kamu bukan hanya seorang Edwin Pradana sekarang, tapi juga seorang suami, suamiku. Kamu harus ingat ada seorang istri yang selalu menantikan dan mencemaskan dirimu di rumah."

"Kamu gak bisa lagi egois dan seenaknya seperti saat masih bujangan. Apa kamu gak kasian sama aku? Kalo kamu sakit terus kayak gini, aku harus bagaimana mas?" Rieka terus ngomel dengan air matanya yang mengalir semakin deras saja.

Memang Rieka kalau sudah terlanjur nangis bakalan lama dan susah dihentikan. Terasa klise dan dramatis memang, mungkin karena tumpukan rasa cemasnya sejak tadi siang. Kecemasan dan kekhawatiran karena Edwin yang tiba-tiba sakit di hari-hari pertama pernikahan mereka. Mungkin karena efek pengantin baru juga. Pas lagi pengen mesra-mesraan malah suaminya sakit dan selemah itu keadaanya.

"Udah-udah...cup..cup. Jangan nangis lagi honey," Edwin mencoba menghibur Rieka, menepuk ringan puncak kepalanya untuk meredakan tangisan istrinya itu. Edwin juga menghapus air mata Rieka yang mengalir di pipinya dengan lembut.

"Maaf ya, maaf banget...aku tadi cuman mikir bagaimana caranya biar cepet selesai masalah perusahaannya."

"Kamu tau sendiri kan bagaimana beban dan tanggung jawab yang harus kuemban. Aku ini membawahi ribuan karyawan. Kalo sampai perusahaan goyah, semua kena imbasnya. Belum lagi ada nasib perusahaan lainnya di Bisnis Park ini juga ikut tergantung pada keputusanku sebagai pimpinan."

Rieka diam saja tak menjawab, sibuk menyeka air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Tapi sekarang masalahnya udah beres kok, kamu tenang aja. Jangan khawatir lagi ya." Edwin mengakhiri penjelasannya.

"Kamu begitu memikirkan nasib seribu karyawanmu. Terus kalau kamu sampai sakit dan colaps begini siapa yang perduli? Mana seribu karyawan itu?"

"Mulai sekarang aku bakal nurut deh sama kamu. Aku bakal istirahat total sampai bener-bener sembuh. Aku ambil cuti ya? Gak bakal ngurusin kerja lagi. Seminggu?" Edwin berusaha merayu Rieka untuk tidak kesal lagi kepadanya.

"Gak ada, Mas! Para karyawanmu gak akan perduli sama keadaan kamu. Mereka cuma perduli kapan dan berapa kamu ngasih mereka gaji saja. Cuma ada aku, cuma aku sendirian yang terus saja khawatir akan keadaanmu seperti orang gila." Rieka meneruskan omelan cintanya tanpa tergoyahkan rayuan Edwin.

"Sini deh, kamu jelek lho kalau mewek gitu." Edwin meraih tubuh Rieka dan memeluknya untuk memenangkan istrinya itu. 

Edwin menepuk-nepuk dan mengusap lembut punggung Rieka untuk memberikan rasa nyaman dan ketenangan. Bakal makin panjang kalau dibiarin ngomel terus si Rieka ini. Bisa kemana-mana omonganya.

"Makasih ya, makasih banget karena sudah perduli dan khawatir padaku." Ujar Edwin setelah cukup lama mereka berpelukan, dan Rieka bisa sedikit lebih tenang.

"Heem..." Rieka akhirnya luluh dengan perlakuan lembut Edwin padanya. Sungguh nyaman, dan hangat serta melegakan untuk bisa berpelukan dan bersandar pada suaminya itu.

"Aku sayang banget sama kamu, honey."

"Aku sebel banget sama kamu, hubby."

"Kok gitu? Sini peluk lebih erat biar makin sayang." Edwin semakin membenamkan wajah Rieka ke dekapan dada bidangnya.

"Huuft...Mas aku gak bisa napas. Bau kecut ini!" protes Rieka atas perlakuan mendadak dan semena-mena Edwin kepadanya.

"Eh masa si? Bukannya seger ya, hehehe." Edwin malah semakin mempererat pelukannya pada tubuh Rieka. Gemes banget mendengar reaksi istrinya itu atas tindakannya.

"Kecut asli ini mah. No hoax!" Rieka berusaha memberontak melepaskan dirinya dari pelukan Edwin. Memukul ringan dadanya.

"Kurang lama ciumnya...cobain lagi deh biar makin terasa." Edwin semakin keasikan menempelkan wajah Rieka ke dadanya.

"Udah-udah gak tahan lagi, gak bisa napas aku keracunan limbah medis." Rieka mengeluarkan reaksi seolah megap-megap kehabisan napas.

"Hahahaha," Edwin ngakak tak tertahankan.

"Yaampun kamu lucu banget si, El. Masa suami sendiri dibilang limbah medis?Tega!" Dilepaskannya Rieka dari pelukannya dan didaratkan kecupan ringan di kening istrinya yang manis itu, cute to the max.

"Dasar nakal, kamu itu kan keringetan banyak banget tadi karena demam. Gak kebayang deh baunya yang udah kayak limbah medis." Rieka menggerutu sedikit mendramatisir. 

Aslinya si tidak sebau itu, malah masih wangi dan segar karena pengaruh parfum mahal beraroma greens yang biasa dipakai Edwin. Tapi Rieka terlalu gengsi untuk mengakuinya.

"Ehem...Maaf Pak Edwin, Bu Rieka. Saya sudah boleh masuk?" Joko berdeham untuk memberitahukan kehadirannya di kamar itu sebagai orang ketiga. Sebagai setan.

Apes bener dah, Joko serasa terjebak dalam situasi yang bagaikan buah simala kama. Maju kena, mundur juga bakal kena. Gimana nggak, Joko tadi sudah buru-buru mengambil kotak makan yang dikatakan Bu Rieka di mobil. Tapi begitu kembali ke kamar malah mendapati kedua pengantin baru itu sedang berpelukan dengan mesranya.

Mau menyapa takut salah, mau pergi juga takut salah. Takut dicariin makanan buat pak Edwin yang diambilkan olehnya tadi. Jadinya Joko hanya bisa diam di pintu masuk kamar, menunggu sampai adegan uwuu mereka berakhir. Dengan jiwa jomblo yang semakin meronta-ronta rasanya, mupeng asli.

Rieka buru-buru menjauhkan dirinya dari Edwin. Beranjak dari ranjang, dan mengambil kotak makanan dari tangan Joko. Berkutat mempersiapkannya di meja untuk mencari kesibukan dan mengatasi kecanggungan yang tiba-tiba terjadi.

"Jok..." ujar Edwin sambil mendengus kesal.

'Ini anak kok selaluuuu saja datang di saat menyebalkan kayak gini. Ganggu aja!'

"Ya Pak?" tanya Joko dengan siap siaga. Bersiap menerima perintah dari atasannya itu.

"Minggat sana!" usir Edwin dengan nada geram.

"Ba, baik Pak." Joko langsung menurut dan bergegas pergi dari kamar itu tanpa berani menolak lagi. Menutup pintu kamar rapat-rapat dari luar. 

'Waduh kayaknya kesal banget Pak Edwin, maaf ya Pak.'

"Hubby, makan malam dulu yuk." Ujar Rieka setelah menata dan menyajikan hasil masakan Ijah di atas meja.

"Aku mandi dulu deh gerah banget rasanya." Edwin bangkit perlahan dari ranjangnya. Melepaskan jas dan dasi yang masih dipakainya dari tadi serta membuka beberapa kancing kemejanya.

"Nanti saja mandinya abis makan. Biar anget dulu badanmu. Ini supnya juga mumpung masih hangat." Rieka memberikan saran.

"Ok deh," Edwin menurut saja menghampiri sofa.

"Makan yang banyak ya, biar cepet sehat dan gak lemes-lemes lagi." Rieka menyodorkan semangkuk nasi tim plus sup daging, bayam dan kacang merah untuk Edwin.

"Kamu yang masak?" tanya Edwin penuh harap.

"Bi Ijah lah," Rieka mengakui sambil mengambil seporsi lagi makanan untuk dirinya sendiri.

"Yah kirain masakan kamu," ujar Edwin pura-pura kecewa.

"Tadi sebenarnya aku masak Chap Cay goreng buat mas Edwin."

"Wah pasti enak tu, kok gak dibawa kesini?"

"Rasanya ancur..."

"Haaah? Kok bisa?" Edwin penasaran.

"Aku salah mengenali lengkuas sebagai jahe. Mau ambil merica juga salah ambil ketumbar. Gak jelas deh jadinya rasa masakanku."

"Hahaha yaampun, honey." Edwin sudah tak dapat menahan tawanya yang sejak tadi ditahan. Lucu banget asli istrinya ini, gemesin dan bikin makin cinta aja.

"Gara-gara siapa coba? Gara-gara kamu, aku jadi gak bisa konsen masaknya!" Rieka memasang muka cemberut manja pada Edwin.

"Bukan karena skill masakanmu yang newbie ya?" Edwin malah keasikan menggoda Rieka.

"Lihat saja ya, bentar lagi aku bakalan jadi koki profesional!" jawab Rieka bertekad, tak mau kalah.

"Wow jadi gak sabar pengen nyobain hasil masakan chef Rieka. Tapi kapan ya..."

"As soon as possible!" 

"Iya-iya percaya Hahahaha," jawab Edwin lanjut tertawa. Sesegera mungkin? Secepat apa, Rik?

Keduanya pun melanjutkan menyantap makan malam mereka dalam suasana penuh kehangatan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status