"Iya...ini aku, mas Edwin." Ujar Rieka menyakinkan Edwin akan kehadirannya sambil meraih sebelah tangan Edwin. Menggenggam erat jemari suaminya itu, seakan tak ingin melepasnya lagi, "Are you OK?"
Edwin hanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Seneng banget rasanya Rieka ada disini untuknya. Rasanya sudah kangen aja pengen ketemu istrinya itu, pengen peluk-peluk dan cium-cium sampai puas.
Perlahan Edwin bangkit dari posisi berbaringnya. Duduk bersandar di sandaran ranjang. "Jam berapa ini?" tanya Edwin kehilangan orientasi waktu.
"Sudah hampir jam 8 malam," jawab Rieka.
"Sudah malam ternyata," Edwin tak mengira dirinya bisa tertidur selama itu di sini. Tapi setelah tidurnya tadi keadaan tubuhnya sekarang terasa jauh lebih mendingan. Lebih segar dan tidak lemes lagi tentunya.
"Tadi kayaknya ada seseorang yang bilang bakal langsung pulang secepatnya begitu rapat berakhir?" Rieka mulai menyindir Edwin.
"Maaf ya honey, aku telat pulang." Edwin nyengir mendengar sindiran Rieka, meminta maaf pada istrinya itu.
Edwin merasa bersalah karena mengingkari janjinya sendiri. Yah meski tidak sengaja si, mana kuat tadi kalau langsung pulang sehabis rapat. Untuk sekedar bangkit dari kursi aja gak sanggup baginya.
"Kamu itu ya Mas..." Rieka kesal sekali mendengar ucapan Edwin. Bisa-bisanya dia ngomong kayak gak punya dosa begitu. Gak tahu apa yang disini sudah kalang kabut, galau dan cemas banget akan keadaanya.
"Aku kan tadi udah bilang jangan pergi ke kantor. Kamu malah maksa pergi gak mau dengerin omongan aku. Kondisi badanmu itu masih belum bener-bener fit. Kamu bandel banget si jadi orang, keras kepala. Aku gak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kamu..." Rieka mulai mengomel, Omelan cinta.
Kemudian Rieka berhenti sebentar dan tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah, mewek seperti mau nangis. Edwin yang dapat melihatnya jadi semakin merasa bersalah juga telah membuat Rieka sampai begini karena terlalu mencemaskan dirinya.
"Aku cuma gak pengen kamu kenapa-kenapa lagi mas. Sudah cukup kejadian tragedi kelengkeng itu. Kita ini barusan nikah loh, baru juga seminggu. Tapi sudah berapa hari kamu sakit dan bikin khawatir kayak gini? Kamu mau bikin aku jadi janda?" Rieka sudah meneteskan air matanya sekarang sambil menumpahkan segala emosi dan kekesalannya pada Edwin. Keseeeel dan geram banget rasanya!
"Maaf ya..." Edwin sekali lagi hanya bisa meminta maaf, tak tega melihat air mata berlinang di wajah Rieka.
"Kamu itu sudah menikah sekarang, Mas. Kamu bukan hanya seorang Edwin Pradana sekarang, tapi juga seorang suami, suamiku. Kamu harus ingat ada seorang istri yang selalu menantikan dan mencemaskan dirimu di rumah."
"Kamu gak bisa lagi egois dan seenaknya seperti saat masih bujangan. Apa kamu gak kasian sama aku? Kalo kamu sakit terus kayak gini, aku harus bagaimana mas?" Rieka terus ngomel dengan air matanya yang mengalir semakin deras saja.
Memang Rieka kalau sudah terlanjur nangis bakalan lama dan susah dihentikan. Terasa klise dan dramatis memang, mungkin karena tumpukan rasa cemasnya sejak tadi siang. Kecemasan dan kekhawatiran karena Edwin yang tiba-tiba sakit di hari-hari pertama pernikahan mereka. Mungkin karena efek pengantin baru juga. Pas lagi pengen mesra-mesraan malah suaminya sakit dan selemah itu keadaanya.
"Udah-udah...cup..cup. Jangan nangis lagi honey," Edwin mencoba menghibur Rieka, menepuk ringan puncak kepalanya untuk meredakan tangisan istrinya itu. Edwin juga menghapus air mata Rieka yang mengalir di pipinya dengan lembut.
"Maaf ya, maaf banget...aku tadi cuman mikir bagaimana caranya biar cepet selesai masalah perusahaannya."
"Kamu tau sendiri kan bagaimana beban dan tanggung jawab yang harus kuemban. Aku ini membawahi ribuan karyawan. Kalo sampai perusahaan goyah, semua kena imbasnya. Belum lagi ada nasib perusahaan lainnya di Bisnis Park ini juga ikut tergantung pada keputusanku sebagai pimpinan."
Rieka diam saja tak menjawab, sibuk menyeka air mata yang terus mengalir di pipinya.
"Tapi sekarang masalahnya udah beres kok, kamu tenang aja. Jangan khawatir lagi ya." Edwin mengakhiri penjelasannya.
"Kamu begitu memikirkan nasib seribu karyawanmu. Terus kalau kamu sampai sakit dan colaps begini siapa yang perduli? Mana seribu karyawan itu?"
"Mulai sekarang aku bakal nurut deh sama kamu. Aku bakal istirahat total sampai bener-bener sembuh. Aku ambil cuti ya? Gak bakal ngurusin kerja lagi. Seminggu?" Edwin berusaha merayu Rieka untuk tidak kesal lagi kepadanya.
"Gak ada, Mas! Para karyawanmu gak akan perduli sama keadaan kamu. Mereka cuma perduli kapan dan berapa kamu ngasih mereka gaji saja. Cuma ada aku, cuma aku sendirian yang terus saja khawatir akan keadaanmu seperti orang gila." Rieka meneruskan omelan cintanya tanpa tergoyahkan rayuan Edwin.
"Sini deh, kamu jelek lho kalau mewek gitu." Edwin meraih tubuh Rieka dan memeluknya untuk memenangkan istrinya itu.
Edwin menepuk-nepuk dan mengusap lembut punggung Rieka untuk memberikan rasa nyaman dan ketenangan. Bakal makin panjang kalau dibiarin ngomel terus si Rieka ini. Bisa kemana-mana omonganya.
"Makasih ya, makasih banget karena sudah perduli dan khawatir padaku." Ujar Edwin setelah cukup lama mereka berpelukan, dan Rieka bisa sedikit lebih tenang.
"Heem..." Rieka akhirnya luluh dengan perlakuan lembut Edwin padanya. Sungguh nyaman, dan hangat serta melegakan untuk bisa berpelukan dan bersandar pada suaminya itu.
"Aku sayang banget sama kamu, honey."
"Aku sebel banget sama kamu, hubby."
"Kok gitu? Sini peluk lebih erat biar makin sayang." Edwin semakin membenamkan wajah Rieka ke dekapan dada bidangnya.
"Huuft...Mas aku gak bisa napas. Bau kecut ini!" protes Rieka atas perlakuan mendadak dan semena-mena Edwin kepadanya.
"Eh masa si? Bukannya seger ya, hehehe." Edwin malah semakin mempererat pelukannya pada tubuh Rieka. Gemes banget mendengar reaksi istrinya itu atas tindakannya.
"Kecut asli ini mah. No hoax!" Rieka berusaha memberontak melepaskan dirinya dari pelukan Edwin. Memukul ringan dadanya.
"Kurang lama ciumnya...cobain lagi deh biar makin terasa." Edwin semakin keasikan menempelkan wajah Rieka ke dadanya.
"Udah-udah gak tahan lagi, gak bisa napas aku keracunan limbah medis." Rieka mengeluarkan reaksi seolah megap-megap kehabisan napas.
"Hahahaha," Edwin ngakak tak tertahankan.
"Yaampun kamu lucu banget si, El. Masa suami sendiri dibilang limbah medis?Tega!" Dilepaskannya Rieka dari pelukannya dan didaratkan kecupan ringan di kening istrinya yang manis itu, cute to the max.
"Dasar nakal, kamu itu kan keringetan banyak banget tadi karena demam. Gak kebayang deh baunya yang udah kayak limbah medis." Rieka menggerutu sedikit mendramatisir.
Aslinya si tidak sebau itu, malah masih wangi dan segar karena pengaruh parfum mahal beraroma greens yang biasa dipakai Edwin. Tapi Rieka terlalu gengsi untuk mengakuinya.
"Ehem...Maaf Pak Edwin, Bu Rieka. Saya sudah boleh masuk?" Joko berdeham untuk memberitahukan kehadirannya di kamar itu sebagai orang ketiga. Sebagai setan.
Apes bener dah, Joko serasa terjebak dalam situasi yang bagaikan buah simala kama. Maju kena, mundur juga bakal kena. Gimana nggak, Joko tadi sudah buru-buru mengambil kotak makan yang dikatakan Bu Rieka di mobil. Tapi begitu kembali ke kamar malah mendapati kedua pengantin baru itu sedang berpelukan dengan mesranya.
Mau menyapa takut salah, mau pergi juga takut salah. Takut dicariin makanan buat pak Edwin yang diambilkan olehnya tadi. Jadinya Joko hanya bisa diam di pintu masuk kamar, menunggu sampai adegan uwuu mereka berakhir. Dengan jiwa jomblo yang semakin meronta-ronta rasanya, mupeng asli.
Rieka buru-buru menjauhkan dirinya dari Edwin. Beranjak dari ranjang, dan mengambil kotak makanan dari tangan Joko. Berkutat mempersiapkannya di meja untuk mencari kesibukan dan mengatasi kecanggungan yang tiba-tiba terjadi.
"Jok..." ujar Edwin sambil mendengus kesal.
'Ini anak kok selaluuuu saja datang di saat menyebalkan kayak gini. Ganggu aja!'
"Ya Pak?" tanya Joko dengan siap siaga. Bersiap menerima perintah dari atasannya itu.
"Minggat sana!" usir Edwin dengan nada geram.
"Ba, baik Pak." Joko langsung menurut dan bergegas pergi dari kamar itu tanpa berani menolak lagi. Menutup pintu kamar rapat-rapat dari luar.
'Waduh kayaknya kesal banget Pak Edwin, maaf ya Pak.'
"Hubby, makan malam dulu yuk." Ujar Rieka setelah menata dan menyajikan hasil masakan Ijah di atas meja.
"Aku mandi dulu deh gerah banget rasanya." Edwin bangkit perlahan dari ranjangnya. Melepaskan jas dan dasi yang masih dipakainya dari tadi serta membuka beberapa kancing kemejanya.
"Nanti saja mandinya abis makan. Biar anget dulu badanmu. Ini supnya juga mumpung masih hangat." Rieka memberikan saran.
"Ok deh," Edwin menurut saja menghampiri sofa.
"Makan yang banyak ya, biar cepet sehat dan gak lemes-lemes lagi." Rieka menyodorkan semangkuk nasi tim plus sup daging, bayam dan kacang merah untuk Edwin.
"Kamu yang masak?" tanya Edwin penuh harap.
"Bi Ijah lah," Rieka mengakui sambil mengambil seporsi lagi makanan untuk dirinya sendiri.
"Yah kirain masakan kamu," ujar Edwin pura-pura kecewa.
"Tadi sebenarnya aku masak Chap Cay goreng buat mas Edwin."
"Wah pasti enak tu, kok gak dibawa kesini?"
"Rasanya ancur..."
"Haaah? Kok bisa?" Edwin penasaran.
"Aku salah mengenali lengkuas sebagai jahe. Mau ambil merica juga salah ambil ketumbar. Gak jelas deh jadinya rasa masakanku."
"Hahaha yaampun, honey." Edwin sudah tak dapat menahan tawanya yang sejak tadi ditahan. Lucu banget asli istrinya ini, gemesin dan bikin makin cinta aja.
"Gara-gara siapa coba? Gara-gara kamu, aku jadi gak bisa konsen masaknya!" Rieka memasang muka cemberut manja pada Edwin.
"Bukan karena skill masakanmu yang newbie ya?" Edwin malah keasikan menggoda Rieka.
"Lihat saja ya, bentar lagi aku bakalan jadi koki profesional!" jawab Rieka bertekad, tak mau kalah.
"Wow jadi gak sabar pengen nyobain hasil masakan chef Rieka. Tapi kapan ya..."
"As soon as possible!"
"Iya-iya percaya Hahahaha," jawab Edwin lanjut tertawa. Sesegera mungkin? Secepat apa, Rik?
Keduanya pun melanjutkan menyantap makan malam mereka dalam suasana penuh kehangatan.
Suasana di kediaman keluarga Wijaya sore ini sudah sangat ramai. Booth-booth makanan dengan segala macam sajian dari catering kenamaan Sono Kebun, telah stand by di seluruh sudut ruangan. Ruang tamu plus ruang tengah yang kini disatukan menjadi sebuah party hall super luas. Ada apakah gerangan disana? Tentu saja sedang ada acara Tasyakuran kelahiran serta aqiqah dari putra pertama Edwin dan Rieka. Sang Pewaris Tahta Keluarga Pradana. Para undangan yang hadir tidak terlalu banyak, karena ini merupakan private party sederhana saja. Hanya ada keluarga dekat dari masing-masing keluarga Rieka dan Edwin. Serta tentunya beberapa sahabat dekat dan staff kepercayaan Pradana juga turut hadir diundang untuk memeriahkan acara. "Selamat sore, Good evening. Terima kasih atas kehadiran saudara sekalian. Saya selaku perwakilan dari kepala keluarga Pradana mengucapkan selamat datang dan selamat menikmati acara serta hidangan seadanya yang telah kami persiapkan." Mahes yang kali ini didapuk sebagai p
Edwin keluar dari mobilnya saat Soleh baru menghentikan mobil di pelataran parkir rumah sakit. Dia bahkan tidak menunggu sampai posisi mobil sudah benar untuk di parkirkan terlebih dahulu.Calon papa itu sudah berlarian dari parkiran mobil, memasuki gedung rumah sakit. Langsung menuju ke ruangan bersalin yang sudah dia ketahui letaknya. Waktu Rieka keguguran dan perlu tindakan kuretase kan di ruangan bersalin itu juga dulu.Edwin menghampiri salah satu perawat yang bertugas, menanyakan tempat Rieka dirawat. Perawat itu pun mempersilahkan Edwin untuk masuk ke ruangan persalinan.Di dalam ruangan Edwin dapat melihat Rieka yang sudah terbaring diatas bed pasien sedang posisi tubuh miring kiri. Dengan selang infuse yang sudah ditangan terpasang di tangannya."Honey? Honey kamu gimana keadaannya?" Edwin menghampiri Rieka, mengamati keadaan wanita yang sangat dicintainya itu dengan seksama.Rieka terlihat sangat pucat
Semangat sih semangat, tapi tetap saja Joko dikalahkan oleh realitas yang menghadang. Mau dicari dimana pun tetap tak ada warung lontong balap di pagi buta begini. Nihil.Tapi Joko tahu benar, Pak Edwin tak akan mau menerima alasan apapun tentang kegagalannya dalam menjalankan tugas.Aaarrrgggh bisa gila!Ditengah kegalauan akutnya, Joko tiba-tiba kepikiran sebuah ide cemerlang. Kalau gak ada yang jual, gimana kalau bikin sendiri saja? Pasar tradisional kayaknya sudah buka deh pagi buta begini. Yang penting bisa dapat kan lontong balap sesuai pesanan.Tapi siapa yang masak ntar? Aku kan gak bisa masak sama sekali?Oiya, Bi Ijah kan pinter masak. Pasti dia bisa bikin Lontong balap yang enak.Akhirnya Joko menetapkan hatinya untuk pergi ke pasar tradisional. Membeli semua bahan yang dibutuhkan untuk membuat lontong balap. Kemudian membawanya ke Wijaya Manshion. Joko langsung meminta bantuan Ijah untuk memasak dan
Setelah beberapa bulan berlalu dalam kedamaian, Edwin tidak menyangka bahwa pengalamannya yang luar biasa karena proses ngidam-mengidam Rieka akan terjadi lagi dalam waktu singkat.Hanya berselang beberapa hari saja sejak Rieka diketahui positif hamil, Edwin harus memulai lagi petualangan serunya. Petualangan apa? Tentu saja untuk menuruti dan mencari semua keinginan Rieka dalam rangka ngidam part dua.Keinginan yang kadang aneh-aneh dan sering gak masuk akal sama sekali. Kalau dulu di kehamilan pertamanya Rieka sangat menyukai makanan manis, kali ini berbeda. Kali ini Rieka lebih menyukai makanan asin dan pedas. Kalau dulu sukanya kue-kue pastry, sekarang beralih ke jajanan dan makanan kuliner jalanan khas pedagang kaki lima.Kapan hari Rieka meminta sate batas kota yang pernah dimakan Naruto, Edwin terpaksa harus membelikan disana sambil Selfi dengan gambar Naruto-nya. Pernah lagi Rieka minta belikan bakso telur, yang isinya telornya ada dua. Mana ada kan? Akh
Rieka bergegas turun dari mobil begitu Edwin memarkirkan Porche-nya di car port. Dia mendahului langkah Edwin untuk masuk ke dalam rumah, tak sabar untuk segera melakukan tes untuk mengetahui kepastian kehamilannya. Lebih jauh Rieka bahkan sudah berjalan cepat, setengah berlari."Honey, jangan buru buru. Kamu pake high heels loh. Hati-hati nanti jatuh," tegur Edwin sudah sangat khawatir Rieka akan terpeleset dengan heels sepatunya yang hanya setipis jari telunjuk itu."Hehehe, iya maaf Mas. Aku penasaran pengen cepetan liat hasilnya." Rieka memperlambat langkahnya.Rieka langsung mengarah ke kamar mereka di lantai dua. Masuk ke kamar mandi bahkan tanpa melepas heels dan pakaian pestanya terlebih dahulu.Edwin yang dengan setia menunggui Rieka keluar dari kamar mandi dengan harap-harap cemas. Menanti perguliran detik demi detik jam yang terasa sangat lambat berjalan.Rieka kok lama b
"Mas, jangan lupa kasih selada yang banyak, terus gak pake irisan tomat. Sambelnya banyakin juga." Rieka menambahkan detail pesanannya sebelum Edwin menuruni mobil."Beli 3 yah Mas," tambah Rieka sambil tersenyum lebar, nyengar-nyengir."Iya-iya," Edwin sudah pasrah saja untuk menuruti semua permintaan sang Ratu Rieka. Dia mendatangi stand penjual kebab dan memesan tiga buah kebab sesuai order.Tak lama kemudian pesanannya selesai, Edwin segera kembali ke mobilnya dan menyerahkan pesanan kepada Rieka. Yang langsung digigitnya dengan sangat lahap seperti orang kelaparan saja."Nih buat Mas Edwin satu, buat aku dua." Rieka menyodorkan satu kebab untuk Edwin."Kamu beneran doyan kebab ya?" Edwin menerima pemberian Rieka dan ikutan memakan kebabnya.Rieka hanya mengangguk sebagai jawaban, sambil terus mengunyah dan memamah biak, menghabiskan kedua kebab miliknya. Cukup lama mereka berdua duduk di mobil sambil menikmati suasana jalanan pasar mala