---
Langit senja memantulkan warna jingga kusam di balik jendela ruang tamu. Ava duduk terpaku di sofa abu-abu dengan segelas teh yang telah dingin di tangannya. Uap hangat sudah lama lenyap, menyisakan rasa pahit yang ia biarkan terabaikan.
Kata-kata dokter siang tadi terus bergema di telinganya.
"Kemungkinannya sangat kecil, Nyonya. Apalagi dengan kondisi Anda sekarang, sangat berisiko untuk mencoba hamil."
Rasanya seperti pukulan telak di ulu hati. Langkahnya sejak meninggalkan ruang praktik dokter terasa ringan namun berat—seolah tubuhnya hanyut dalam kabut tebal, sementara hatinya karam ke dasar lautan.
Ava mendongak perlahan, memandangi langit-langit dengan tatapan kosong. "Kenapa harus aku?" bisiknya pelan, suara itu tenggelam dalam deru detik jarum jam di sudut ruangan. Ia meneguk napas dalam, berusaha menahan air mata yang kian mendesak keluar, tapi hatinya seakan menemukan celah untuk menyeret rasa sakit ke permukaan.
Ia menunduk, memandangi pantulan wajahnya di permukaan teh. "Apa aku cukup kuat untuk menghadapi ini sendirian?" pikirnya getir.
---
Malam itu, suara kunci pintu memutar membangunkannya dari lamunan. Ava buru-buru berdiri, menyeka sisa air mata, dan mencoba tersenyum seperti biasa. Senyum itu palsu, tetapi ia tahu harus terus memakainya.
“Aku pulang,” suara Ares terdengar lembut. Ia menaruh tas kerjanya di meja sebelum menghampiri Ava, mencium kening istrinya seperti biasa. Namun, kali ini kehangatan itu terasa seperti menambah beban di pundak Ava.
“Bagaimana harimu?” tanya Ares sambil duduk di sofa.
Ava menghindari tatapan suaminya. Ia menggenggam lengan sofa erat-erat, mencoba menjaga agar suaranya terdengar normal. "Baik. Tidak ada yang istimewa," jawabnya pendek.
Ares menatapnya penuh tanya, mengernyitkan dahi. Ada sesuatu yang berbeda dari Ava, tetapi ia memilih untuk tidak mendesak.
“Kita makan malam sekarang?” tanyanya, berusaha mencairkan suasana.
Ava hanya mengangguk, lalu beranjak ke dapur. Saat menghangatkan makanan, tangannya gemetar. Pikiran-pikirannya bercampur aduk. Seharusnya ia bisa bercerita pada Ares. Seharusnya ia bisa membagi beban ini. Tapi ketakutan akan mengecewakannya terlalu besar—begitu besar hingga membungkam kata-kata yang ingin ia ucapkan.
---
Setelah makan malam yang penuh keheningan, Ares mendadak berkata, “Lusa Ibu akan datang lagi.”
Ava terdiam sejenak, sendoknya menggantung di udara. “Oh,” gumamnya, mencoba terdengar santai. “Kapan beliau bilang?”
“Tadi siang, lewat telepon. Katanya, ia ingin menginap beberapa hari.”
Ava tersenyum tipis, tetapi hatinya mencelos.
---
Keesokan harinya, Sunny tiba dengan senyum lebar dan koper kecil di tangan.
“Ava, sayang, kamu makin cantik saja!” puji sang mertua dengan nada ramah, tetapi matanya tajam, menelisik seolah mencari celah di balik penampilan Ava.
“Terima kasih, Bu,” jawab Ava sambil tersenyum kecil. Ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang selalu membuatnya merasa kecil.
Usai makan malam, Nyonya Bramasta memanggil Ares untuk berbicara. Ava, yang sedang mencuci piring, tak sengaja mendengar percakapan mereka dari balik pintu dapur.
“Ares, kapan kalian akan memberiku cucu?” Suara Sunny terdengar halus tetapi penuh tekanan. “Ibu sudah cukup sabar menunggu. Jangan terlalu lama menunda, Nak.”
“Ibu, kami masih berusaha,” jawab Ares dengan nada tenang, meski Ava tahu betapa sulit baginya untuk berkata demikian.
“Berusaha? Delapan tahun itu bukan waktu yang sebentar, Ares.” Nada suara Nyonya Bramasta berubah tegas.
“Ava itu istrimu. Bukankah tugas seorang istri adalah memberikan keturunan?”
Piring yang dipegang Ava hampir terjatuh. Kata-kata itu menancap seperti panah di dadanya. Ia menahan napas, tetapi matanya sudah dipenuhi air.
"Apa aku memang hanya sejauh itu di mata mereka?"
Ia meninggalkan dapur, melangkah menuju kamar. Air mata mengalir tanpa henti saat ia mengunci pintu dan menenggelamkan wajahnya ke bantal. Tangisnya tertahan, disamarkan oleh deru malam yang sunyi.
---
Malam itu, Ares mengetuk pintu. “Ava, kamu baik-baik saja?”
Ava buru-buru menghapus air matanya dan membuka pintu. Wajahnya sembap, tetapi ia mencoba tersenyum.
"Tidak apa-apa, aku hanya lelah," katanya singkat.
Ares menatapnya lekat-lekat. Ia tahu ada yang salah, tetapi memilih untuk tidak memaksa. “Kamu tahu, kan? Aku selalu ada untukmu,” ucapnya lembut sambil meraih tangan Ava.
Ava mengangguk kecil, tetapi hatinya terasa semakin jauh dari pria yang ia cintai.
---
Di tengah malam, Ava terjaga. Ia memandangi wajah Ares yang tertidur pulas. Rasa bersalah mencekik, dan kenangan tentang mimpi-mimpi mereka yang dulu terasa begitu nyata kini hanya seperti bayangan samar.
“Mungkin aku harus pergi,” bisiknya dalam hati. “Mungkin inilah caraku melindungi Ares dari rasa sakit yang lebih besar.”
Saat pagi tiba, Ava berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang tampak lelah. Di luar kamar, Ares dan ibunya bercakap-cakap dengan santai. Ava menatap dirinya sendiri, mencoba menemukan jawaban dalam sorot matanya.
“Apakah aku cukup kuat untuk bertahan, atau haruskah aku melepaskan semuanya demi kebaikan Ares?”
Langkahnya berat, hatinya sesak. Tapi ia tahu, keputusan harus segera diambil.
TBC ☘️🥀🥀🥀--
Flashback Setelah pernikahan diam-diam itu, Mauren merasa puas. Ia kini memiliki status resmi sebagai istri kedua Ares, meskipun pernikahan itu hanya diketahui oleh segelintir orang. Malam itu, di villa tempat upacara berlangsung, ia dan Ares diberikan kamar khusus. Ibu Ares memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, dengan harapan cucu segera hadir dalam keluarga mereka.Namun, Ares tidak merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan Mauren. Hatinya masih berat, pikirannya terus melayang pada Ava yang sendirian di rumah. Ia tahu Ava pasti bertanya-tanya mengapa ia tidak mengajaknya pergi, tetapi Ares terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan.Di dalam kamar yang diterangi cahaya lampu temaram, Mauren duduk di tepi ranjang, menatap Ares dengan sorot mata penuh harapan. Ia mengenakan gaun tidur sutra berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Namun, bukan tentang penampilannya yang membuat Ares terdiam, melainkan kenyataan bahwa ia kini telah menjadi istrinya.“Kita ak
Villa di pinggir kota itu terasa sunyi setelah semua tamu meninggalkan tempat. Pernikahan sederhana antara Ares dan Mauren baru saja selesai, tetapi suasana yang tertinggal tidak menunjukkan kebahagiaan seperti pernikahan pada umumnya. Mauren masih mengenakan gaun pengantin sederhananya, berdiri di balkon villa sambil memandang ke arah taman yang kini kosong. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tetapi di hatinya ada kecemasan.“Sekarang, Kak Ares sudah jadi milikku dan begitu sebaliknya, kami resmi sebagai pasangan,” kata Mauren lirih sambil memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya tak lupa seulas senyuman seolah sebuah kemenangan.Di tempat lain yakni di dalam ruang utama villa, Ares sedang duduk sendirian, menatap segelas anggur yang hampir tidak ia sentuh. Ibu Ares masuk, membawa senyuman puas.“Kamu sudah membuat pilihan yang tepat, Ares,” katanya seraya duduk di sebelah sang putra."Mauren akan menjadi pendamping yang baik, dan keluarga kita akhirnya akan memiliki pewaris.”
Hari itu, Ares berdiri di depan kaca besar di kamar villanya, mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya. Tangannya gemetar, bukan karena gugup, tetapi karena perasaan bersalah yang terus menghantui. Ia menatap bayangannya, mencoba meyakinkan diri bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Namun, setiap kali wajah Ava terlintas di pikirannya, hatinya terasa mencelos.Sementara itu, Mauren berada di kamar lain, dibantu oleh ibu Ares untuk mengenakan gaun putih sederhana yang telah dipilih khusus untuk momen ini. Gaun itu tidak semegah impian pernikahan Mauren, tetapi ia tahu bahwa ini adalah awal dari kehidupannya bersama Ares. Baginya, momen ini adalah kemenangan. Ia telah mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan—tempat di sisi pria yang ia cintai.Upacara berlangsung di taman villa, di bawah naungan pohon besar yang dihiasi lampu-lampu kecil. Hanya ada beberapa orang yang hadir: ibu Ares, dua sahabatnya, dan seorang penghulu yang telah dibayar untuk menjaga kerahasiaan pernika
Di suatu malam yang sunyi, hanya terdengar dentingan jam yang berdetik. Ares duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang berkecamuk. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya beberapa bulan terakhir terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Hubunganya dengan Ava yang semakin dingin, belum lagi desakan ibunya untuk menikahi Mauren, dan sekarang perasaan bersalahnya yang terus menghantui dan menjadi beban yang kian tak tertahankan.Di atas meja kerjanya, tergeletak laporan medis Ava yang tak sengaja ia baca beberapa hari sebelumnya. Dokumen itu menjadi titik balik yang memaksanya merenungkan sejauh mana ia telah melukai wanita yang dulu ia sudah berjanji untuk mencintai dan menlindungi. Namun, di sisi lain, kehadiran Mauren juga telah mengguncang hatinya. Ia tidak bisa memungkiri kenyamanan yang ia rasakan saat bersama wanita itu, sebuah perasaan yang telah lama hilang dari hubungannya dengan Ava.Keputusan yang harus ia buat tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga kehidupa
Pagi itu, Ava merasa kepalanya berat. Mata yang sembab akibat tangis malam sebelumnya sulit ia sembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perasaan campur aduk, antara kekecewaan terhadap Ares dan ketakutan akan langkah selanjutnya. Ava tahu ia harus bertindak tegas, tetapi sebelum ia sempat memutuskan, suara ketukan keras di pintu depan mengalihkan pikirannya.Saat membuka pintu, ia melihat ibu Ares berdiri di sana, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Ava merasa tak nyaman. Perempuan tua itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membawa aura ketegangan yang langsung memenuhi ruangan.“Kita perlu bicara,” kata ibu Ares dengan nada serius, menatap Ava dari atas hingga bawah.Ava mencoba bersikap tenang, meski ia sudah menduga pembicaraan ini tak akan berjalan lancar. Ia menyiapkan secangkir teh untuk ibu Ares, yang hanya duduk dengan tangan terlipat, seperti mempersiapkan serangan.“Kamu tahu apa yang ingin kubicarakan,” ibu Ares memulai setelah beberapa menit keheningan
Di suatu malam yang tenang, Ava sedang duduk di ruang tamu, menatap gelapnya malam melalui jendela. Perasaan gelisah dan curiga terhadap Ares semakin kuat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara suaminya dan Mauren. Sikap Ares yang semakin dingin terhadapnya, ditambah dengan keakraban yang terlihat jelas antara Ares dan Mauren, membuat hatinya semakin resah.Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Ava memutuskan untuk tidak lagi diam. Ia merasa harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.Esok harinya, saat Ares akan pergi bekerja, Ava memanfaatkan waktu itu untuk menyelidiki. Ia masuk ke ruang kerja Ares, tempat yang biasanya tidak pernah ia sentuh. Ruangan itu terlihat teratur seperti biasa, tetapi Ava merasa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini, sesuatu yang bisa mengungkapkan kebenaran pikirnya.Ia mulai membuka laci m