Ares dan Ava adalah pasangan yang sempurna, cantik, tampan dan juga kaya hanya satu kekurangannya yakni keturunan. Mereka sudah menikah selama delapan tahun dan belum di karuniai seorang keturunan, meski begitu Ares tidak membenci Ava tapi ia benci keadaan dan tekanan dari sang ibu yang mengharuskan ia mempunyai keturunan. Ava sendiri adalah wanita penuh rahasia di balik sikap diamnya itu ia menyembunyikan penyakit kanker karena itulah ia tidak bisa hamil, di tengah perjuangannya untuk sembuh dan hamil datang Mauren yang menjadi duri dalam rumah tangganya. Diam-diam Mauren dan Ares menjalin hubungan rahasia, bagiamana nanti pernikahan Ares, Ava dan Mauren selanjutnya? Baca selengkapnya di sini
View More---
Ava duduk di balkon lantai tiga rumah mereka, wanita cantik berusia dua puluh delapan itu memegang secangkir teh melati yang sudah mendingin. Angin malam menyentuh kulitnya yang pucat, membuat gemetar tangannya yang sudah lelah menopang beban yang tak terucapkan. Pandangannya kosong, mengarah pada taman belakang yang penuh dengan mawar merah, bunga kesukaan Ares.
Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya yang perak melukiskan bayangan samar di wajah Ava, seolah ikut menyaksikan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
"Sudah malam, kenapa belum masuk?" Suara bariton Ares membuyarkan lamunannya.
Ava menoleh perlahan, melihat suaminya berdiri di ambang pintu balkon. Kemeja biru muda yang ia kenakan tergulung hingga siku, seperti kebiasaan yang selalu dilakukannya saat lelah.
"Aku masih ingin di sini sebentar," jawab Ava, senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
Ares mendekat, duduk di kursi sebelahnya. Ia menggenggam tangan Ava, yang terasa dingin seperti udara malam.
"Adakah yang mengganggu pikiranmu, hm?" tanya Ares, menggeser kursi mendekati Ava. Suaranya lembut, tapi matanya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.
Ava terdiam, bibirnya menggigit pelan. Ingin rasanya berkata jujur, tapi ia tahu pembicaraan ini akan berujung pada topik yang sama, yang telah menjadi duri dalam pernikahan mereka.
"Semua baik-baik saja," jawab Ava akhirnya, mencoba terdengar meyakinkan.
Mata Ares menyipit, tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia memilih untuk tidak memaksa.
"Kau tahu, Ava, aku mungkin sibuk akhir-akhir ini, tapi aku bisa mengenali kapan sesuatu mengganggumu," balas Ares, menggenggam tangannya.
"Apakah ini tentang Mama lagi?"
Ava menarik napas panjang, matanya menatap ke arah taman. "Ares ... Aku tidak tahu apakah aku cukup untukmu. Untuk keluargamu."
"Kau cukup. Bahkan lebih dari cukup," jawab Ares cepat.
"Oh iya ... besok Mama akan datang, istirahatlah," ucap Ares, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Ia mengusap pucuk surai sang istri lembut sebelum kembali masuk ke kamar.
"Apa pun yang Mama katakan, itu urusannya, bukan urusan kita," imbuhnya lagi.
"Tapi kita tidak bisa terus mengabaikannya. Dia akan datang besok, dan aku tahu apa yang akan dia bicarakan," kata Ava lirih.
"Delapan tahun pernikahan, dan aku masih ...."
Ares memotongnya dengan lembut. "Jangan menyalahkan dirimu, Ava. Kau adalah istriku, bukan mesin penerus garis keturunan. Aku mencintaimu."
Namun, meski kata-kata itu terdengar tulus, Ava menangkap keraguan di ujung nadanya. Ia tahu, cinta saja tidak cukup untuk mengusir bayang-bayang ekspektasi yang terus menguntit mereka.
Kedatangan Sunny selalu membawa tekanan yang tak kasat mata. Wanita itu tak pernah menyembunyikan harapannya tentang satu hal yang selalu luput dari hidup Ava—seorang cucu, penerus keluarga Bramasta.
---
Keesokan paginya, ketika Ava berdiri di dapur, sibuk menyiapkan sarapan. Ia mendengar langkah hak tinggi yang tegas mendekat.
"Ava," suara Sunny terdengar dari ruang makan.
Ava berbalik, melihat ibu mertuanya sudah duduk di kursi dengan gaun hitam yang elegan. Senyum dingin terlukis di wajahnya.
"Selamat pagi, Mama," Ava menyapa sopan, mencoba menenangkan gemetar di ujung jarinya.
Sunny melirik meja makan yang penuh dengan masakan buatan Ava. Ia tersenyum kecil, lalu berkata, "Sudah delapan tahun, Ava. Aku rasa sudah waktunya kau dan Ares berhenti mencari alasan untuk menunda memiliki anak."
Sendok sayur yang dipegang Ava nyaris jatuh. Ia mencoba mempertahankan ketenangannya, tapi kata-kata Sunny terasa seperti tamparan yang dingin dan tajam.
Ava mencoba tetap tenang sambil meletakkan mangkuk sup di meja. "Mama, aku mengerti. Tapi beberapa hal tidak semudah yang Mama pikirkan."
"Delapan tahun, Ava," Sunny memotong, nadanya tegas namun terbungkus dalam lapisan kepura-puraan yang halus.
"Itu waktu yang lebih dari cukup untuk memulai sebuah keluarga. Kau tidak pernah memberi kami alasan apa pun. Apa kau benar-benar serius menjalani pernikahan ini?"
Ava menunduk, menekan rasa panas di matanya. Kata-kata Sunny menusuk lebih dalam dari yang ia akui.
"Apa Mama pikir aku belum cukup mencoba?" kata Ava akhirnya, suaranya gemetar. "Aku sudah berusaha menjadi bagian dari keluarga ini sesuai yang Mama inginkan, tapi aku juga manusia. Aku tidak bisa memenuhi semuanya dalam waktu yang Mama harapkan."
Sebelum Ava melanjutkan kembali ucapannya, Ares muncul di ruang makan. Suasana langsung berubah tegang.
"Mama, kita sudah bicara soal ini," kata Ares, mencoba menahan kemarahannya.
Sunny menatap putranya dengan tatapan kecewa yang jelas terlihat. "Ares, aku hanya mencoba mengingatkan istrimu bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang kalian berdua. Ini tentang keluarga kita."
"Ini bukan soal perdebatan, Ares," balas Sunny. "Ini soal tugas istri, jika Ava tidak bisa memberimu anak, kau tahu apa yang harus dilakukan."
Ares memegang bahunya, mencoba menenangkannya. "Ava, kau tidak harus menjelaskan apa pun."
Namun, Sunny mendengus kecil. "Kau salah, Ares. Dia harus. Karena jika tidak, maka kau yang harus mengambil keputusan sulit itu."
Kata-kata Sunny meninggalkan keheningan yang tegang. Setelah Sunny pergi, Ava menatap Ares dengan mata yang penuh luka.
"Apakah itu yang Mama inginkan? Kau memilih di antara aku atau penerus keluarga ini?" tanya Ava, suaranya pecah.
"Ava, tidak. Aku tidak pernah ingin itu," kata Ares. "Aku mencintaimu. Aku menikahimu untuk dirimu, bukan untuk yang lain."
"Tapi kau tetap diam," balas Ava lirih. "Dan itu membuatku bertanya-tanya, sampai kapan kau bisa melawan Mama?"
Ava menatap suaminya, berharap pembelaan. Tapi Ares hanya diam, rahangnya mengeras.
---
Malam itu, Ava dan Ares duduk di tempat tidur mereka, keheningan terasa begitu berat.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Ava, suaranya hampir berbisik.
Ares menatapnya lama sebelum menjawab. "Kita akan melewati ini bersama. Kau dan aku."
"Bagaimana jika itu tidak cukup?" tanya Ava, air matanya mengalir. "Aku tahu kau mencintaiku, tapi cinta tidak akan menghentikan Mama. Tidak akan menghentikan dunia dari menuntut lebih dariku."
Ares menghela napas, lalu meraih tangannya. "Aku tidak tahu jawabannya sekarang, Ava. Tapi aku tahu bahwa aku tidak akan menyerah pada kita."
Ava ingin percaya, tapi rasa takut dan keraguan masih mencengkeram hatinya. Malam itu, meski mereka tidur di tempat yang sama, jarak di antara mereka terasa lebih jauh dari sebelumnya.
----
Tadi pagi Ava menerima telepon dari dokter keluarga yang mengatakan bahwa hasil dari pemeriksaannya sudah keluar, si cantik di minta untuk datang ke rumah sakit siang ini.
Ava merasakan jantungnya berdebar lebih kencang, ia mengira-ngira berita apakah yang akan di sampaikan Dokter Frans nanti.
Saat ini Ava sudah berada di ruangan Dokter Frans. Dokter muda itu menatap Ava dengan raut wajah penuh simpati.
"Hasil tes menunjukkan bahwa kemungkinan Anda untuk hamil sangatlah kecil. Saya sangat menyesal harus mengatakan ini."
Ava terdiam, menatap tangan dokter yang memegang berkas hasil tes. "Jadi ... tidak ada cara lain?"
"Kami bisa mencoba opsi medis, tapi peluangnya tetap sangat kecil," jawab dokter muda itu hati-hati. "Keputusan ini sepenuhnya ada di tangan Anda dan suami Anda."
Keluar dari ruangan Dokter Frans, Ava merasakan dunia di sekitarnya berputar. Kakinya hampir goyah saat ia berjalan menuju mobilnya. Ia duduk di dalam, menatap setir sambil menahan isak yang akhirnya pecah. Kini ia tahu, kebahagiaan yang selama ini ia pikir sempurna telah mulai retak.
TBC ☘️☘️☘️☘️☘️----
Flashback Setelah pernikahan diam-diam itu, Mauren merasa puas. Ia kini memiliki status resmi sebagai istri kedua Ares, meskipun pernikahan itu hanya diketahui oleh segelintir orang. Malam itu, di villa tempat upacara berlangsung, ia dan Ares diberikan kamar khusus. Ibu Ares memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, dengan harapan cucu segera hadir dalam keluarga mereka.Namun, Ares tidak merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan Mauren. Hatinya masih berat, pikirannya terus melayang pada Ava yang sendirian di rumah. Ia tahu Ava pasti bertanya-tanya mengapa ia tidak mengajaknya pergi, tetapi Ares terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan.Di dalam kamar yang diterangi cahaya lampu temaram, Mauren duduk di tepi ranjang, menatap Ares dengan sorot mata penuh harapan. Ia mengenakan gaun tidur sutra berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Namun, bukan tentang penampilannya yang membuat Ares terdiam, melainkan kenyataan bahwa ia kini telah menjadi istrinya.“Kita ak
Villa di pinggir kota itu terasa sunyi setelah semua tamu meninggalkan tempat. Pernikahan sederhana antara Ares dan Mauren baru saja selesai, tetapi suasana yang tertinggal tidak menunjukkan kebahagiaan seperti pernikahan pada umumnya. Mauren masih mengenakan gaun pengantin sederhananya, berdiri di balkon villa sambil memandang ke arah taman yang kini kosong. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tetapi di hatinya ada kecemasan.“Sekarang, Kak Ares sudah jadi milikku dan begitu sebaliknya, kami resmi sebagai pasangan,” kata Mauren lirih sambil memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya tak lupa seulas senyuman seolah sebuah kemenangan.Di tempat lain yakni di dalam ruang utama villa, Ares sedang duduk sendirian, menatap segelas anggur yang hampir tidak ia sentuh. Ibu Ares masuk, membawa senyuman puas.“Kamu sudah membuat pilihan yang tepat, Ares,” katanya seraya duduk di sebelah sang putra."Mauren akan menjadi pendamping yang baik, dan keluarga kita akhirnya akan memiliki pewaris.”
Hari itu, Ares berdiri di depan kaca besar di kamar villanya, mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya. Tangannya gemetar, bukan karena gugup, tetapi karena perasaan bersalah yang terus menghantui. Ia menatap bayangannya, mencoba meyakinkan diri bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Namun, setiap kali wajah Ava terlintas di pikirannya, hatinya terasa mencelos.Sementara itu, Mauren berada di kamar lain, dibantu oleh ibu Ares untuk mengenakan gaun putih sederhana yang telah dipilih khusus untuk momen ini. Gaun itu tidak semegah impian pernikahan Mauren, tetapi ia tahu bahwa ini adalah awal dari kehidupannya bersama Ares. Baginya, momen ini adalah kemenangan. Ia telah mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan—tempat di sisi pria yang ia cintai.Upacara berlangsung di taman villa, di bawah naungan pohon besar yang dihiasi lampu-lampu kecil. Hanya ada beberapa orang yang hadir: ibu Ares, dua sahabatnya, dan seorang penghulu yang telah dibayar untuk menjaga kerahasiaan pernika
Di suatu malam yang sunyi, hanya terdengar dentingan jam yang berdetik. Ares duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang berkecamuk. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya beberapa bulan terakhir terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Hubunganya dengan Ava yang semakin dingin, belum lagi desakan ibunya untuk menikahi Mauren, dan sekarang perasaan bersalahnya yang terus menghantui dan menjadi beban yang kian tak tertahankan.Di atas meja kerjanya, tergeletak laporan medis Ava yang tak sengaja ia baca beberapa hari sebelumnya. Dokumen itu menjadi titik balik yang memaksanya merenungkan sejauh mana ia telah melukai wanita yang dulu ia sudah berjanji untuk mencintai dan menlindungi. Namun, di sisi lain, kehadiran Mauren juga telah mengguncang hatinya. Ia tidak bisa memungkiri kenyamanan yang ia rasakan saat bersama wanita itu, sebuah perasaan yang telah lama hilang dari hubungannya dengan Ava.Keputusan yang harus ia buat tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga kehidupa
Pagi itu, Ava merasa kepalanya berat. Mata yang sembab akibat tangis malam sebelumnya sulit ia sembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perasaan campur aduk, antara kekecewaan terhadap Ares dan ketakutan akan langkah selanjutnya. Ava tahu ia harus bertindak tegas, tetapi sebelum ia sempat memutuskan, suara ketukan keras di pintu depan mengalihkan pikirannya.Saat membuka pintu, ia melihat ibu Ares berdiri di sana, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Ava merasa tak nyaman. Perempuan tua itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membawa aura ketegangan yang langsung memenuhi ruangan.“Kita perlu bicara,” kata ibu Ares dengan nada serius, menatap Ava dari atas hingga bawah.Ava mencoba bersikap tenang, meski ia sudah menduga pembicaraan ini tak akan berjalan lancar. Ia menyiapkan secangkir teh untuk ibu Ares, yang hanya duduk dengan tangan terlipat, seperti mempersiapkan serangan.“Kamu tahu apa yang ingin kubicarakan,” ibu Ares memulai setelah beberapa menit keheningan
Di suatu malam yang tenang, Ava sedang duduk di ruang tamu, menatap gelapnya malam melalui jendela. Perasaan gelisah dan curiga terhadap Ares semakin kuat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara suaminya dan Mauren. Sikap Ares yang semakin dingin terhadapnya, ditambah dengan keakraban yang terlihat jelas antara Ares dan Mauren, membuat hatinya semakin resah.Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Ava memutuskan untuk tidak lagi diam. Ia merasa harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.Esok harinya, saat Ares akan pergi bekerja, Ava memanfaatkan waktu itu untuk menyelidiki. Ia masuk ke ruang kerja Ares, tempat yang biasanya tidak pernah ia sentuh. Ruangan itu terlihat teratur seperti biasa, tetapi Ava merasa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini, sesuatu yang bisa mengungkapkan kebenaran pikirnya.Ia mulai membuka laci m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments