Share

Hampir Saja

"Sial!" umpat Alice.

Dia dengan gesit segera berlari dan memanjat melewati bagian lain dari rumah itu.

Gavin berusaha mengejar Alice, namun sayangnya dia kalah cepat dengan sosok itu.

Sosok itu telah menghilang, tepat di arah kamar yang ditempati Alice.

"Kemana perginya? Apa dia masuk ke kamar Alice?" gumam Gavin.

Gavin segera menuju ke kamar Alice.

Duk duk duk

"Alice, buka pintunya!" perintah Gavin.

Setelah beberapa saat, pintu kamar tidak juga kunjung dibuka.

Gavin mulai kehilangan kesabarannya.

Duk duk duk

"Hei, Alice jika kamu tidak membuka pintunya, maka aku akan...."

Ceklek

"Ada apa sih? Malam-malam begini."

Alice terlihat keluar dengan menggunakan piyama mandi dan rambut basahnya tergerai.

Dia tampaknya sehabis berendam di air panas, wajahnya tampak kemerahan.

Dia terlihat sangat seksi dan cantik dengan penampilan seperti itu.

Gavin sempat terpana dan terdiam beberapa saat melihat penampilan Alice.

"Emm, aku..bolehkah aku masuk ke kamarmu? Aku harus memeriksa sesuatu!" ujar Gavin.

"Apa? Tidak boleh! Seperti halnya kamu melarangku untuk masuk ke dalam kamarmu, ini juga merupakan daerah terlarang untukmu. Lagipula ini sudah larut malam. Siapa yang menjamin bahwa kamu tidak akan bertindak tidak senonoh terhadapku."

"APA?!"

Gavin merasa kesal dengan kata-kata yang dilontarkan Alice, dia kemudian segera melangkahkan kakinya pergi.

"Huff, hampir saja ketahuan." seru Alice setelah menutup pintu kamarnya.

Untung saja setelah sampai dirumah dari pesta tadi, Alice mengisi bak rendam dengan air panas hingga penuh. Barulah dia kemudian pergi diam-diam ke rumah Laura untuk menguping pembicaraan mereka.

Setelah ketahuan mengendap-endap masuk ke kamarnya oleh Gavin, Alice segera berlari ke kamarnya. Dia melepas seluruh pakaiannya dengan sangat cepat dan berendam selama beberapa menit di kamar mandi. Setelah dia merasa wajahnya cukup merah, dia kemudian membukakan pintu yang diketuk oleh Gavin.

"Memalukan sekali, kenapa aku bertingkah seperti wanita yang menggoda suaminya agar ditiduri," ujarnya sambil menatap ke arah cermin.

"Elisa, aku harus tetap berada di sini sampai semua teka teki ini terungkap. Apa dan mengapa kamu sampai bisa masuk ke dalam keluarga ini. Segel keluarga Rayes? Mengapa mereka mencari itu. Seberapa besar saham ayah di perusahaan Welbert?"

Alice merasa bingung, karena dia merasa bahwa sedari kecil hidupnya sekeluarga sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Lagipula, ayahnya tidak pernah mengungkit perihal kepemilikan sahamnya di perusahaan Welbert. Apalagi soal segel kepala keluarga Rayes.

Roland Rayes dan keluarganya hidup di sebuah pedesaan dekat kaki gunung.

Ayahnya merupakan pemilik peternakan sapi dan ladang yang cukup besar di desanya. Ibunya setiap hari akan mengurusi mereka dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga pada umumnya. Mereka hidup dengan bahagia dan berkecukupan.

Dia ingat hari itu, ketika dia berusia 15 tahun, seseorang bernama 'Josh Welbert' mendatangi rumah mereka dan bercakap dengan ayahnya. Tidak lama setelahnya, ayahnya mengatakan bahwa dia telah dijodohkan dengan seorang dari keluarga 'Welbert'.

"Alice, setelah kamu cukup umur nanti, kamu akan menikah dengan anak Paman ini," ujar Roland Hayes padanya ketika itu, sambil menunjuk ke arah Josh Welbert.

"Halo Alice, kamu sangat cantik, serasi dengan putra Paman. Namanya adalah Gavin Welbert," ujarnya menyapa Alice dengan ramah.

Alice merasa marah dan menolaknya. Dia berkata ingin menjadi seorang tentara di kemudian hari, tidak ingin menikah cepat.

Keesokkan harinya, kejadian tidak terduga terjadi. Ketika Roland Rayes dan istrinya pergi ke kota untuk mengantarkan hasil peternakan dan ladangnya, mereka malah mengalami kecelakaan.

Naas, ayahnya meninggal pada kecelakaan itu dan ibunya mengalami kelumpuhan setelahnya.

"Benar, kecelakaan yang menimpa ayah dan ibu dulu juga terjadi setelah orang dari keluarga Welbert datang. Apa jangan-jangan, mereka juga yang merencanakan kecelakaan yang terjadi ketika itu?"

Ketika itu Alice hanya berpikir selayaknya seorang gadis lugu, di usianya yang masih belasan tahun, dia belum memahami kekejaman dunia.

Setelah 10 tahun bergelut dan hidup di medan pertempuran, dia memahami banyak hal.

Alice berpikir dan berandai-andai. Bagaimana jika dia dulu tidak nekat pergi dan meninggalkan Elisa dan Ibunya ke luar negeri. Mungkinkah yang terbaring di rumah sakit sekarang adalah dia dan bukan Elisa.

"Sudahlah, lebih baik aku sekarang mengeringkan rambutku dan segera pergi tidur. Aku perlu energi ekstra pada hari esok."

Di lain tempat, di rumah yang sama. Gavin masuk kedalam kamarnya dengan kesal dan membanting pintu kamar dengan kencang.

"Wanita itu, ini adalah rumahku. Aku berhak masuk ke mana saja. Aku hanya mau memastikan hal yang kulihat tadi."

Sekarang sudah terlambat bagi Gavin jika ingin berkeliling rumah dan mengejar orang yang mengendap-endap itu.

Orang itu terlihat sangat profesional dalam menghindari seluruh kamera pengawas yang ada di rumah itu. Dia mahir untuk berlari di titik-titik yang tidak tertangkap oleh kamera.

Percuma saja jika sekarang dia melihat seluruh rekaman kamera pengawas di rumah ini, tidak akan ada hasilnya.

"Wanita itu belakangan menjadi semakin berani beradu mulut," gumam Gavin.

"Apa jangan-jangan, benar dia yang mendorong para gadis tadi ke dalam danau? Tapi untuk apa dia melakukannya? Dia bahkan tidak mengenal gadis-gadis itu."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status