Share

05. Kembali ke Rumah Husein

Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi.

Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu?

"Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba.

"Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil.

"Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.

Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra.

"Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.

Mereka memasuki rumah.

Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tamu.

"Halo, anak mama! Sudah pulang?" Amira tersenyum melihat kepulangan bungsunya.

"Hai, Ma. Huh, hari yang melelahkan." Inez tetap tersenyum meski mengeluh lelah. Ia baru saja bertemu dengan pujaan hati, jadi walau pun melelahkan, semuanya tetap terasa indah.

"Eh, ini Habiba kan? Anaknya Bu Fatona?" Amira tersenyum menatap kecantikan Habiba.

Sambutan itu diangguki oleh Habiba. Andai saja tidak ada insiden memuakkan itu, Habiba pasti sudah menyambut senyuman Amira dengan hangat dan keceriaan yang nyata, tapi ia tidak bisa melakukan itu karena batinnya menangis sekarang.

"Cantik ya. Pasti mirip Fatona pas mudanya." Amira mengelus singkat pundak Habiba. "Ibu kamu itu rajin sekali, jujur, sopan dan selalu bertanggung jawab pada pekerjaannya. Sampai-sampai beliau meminta anaknya untuk menggantikan tanggung jawabnya selagi dia sakit. Katanya saya sudah menggaji di muka, makanya dia wajib mengerjakan tanggung jawabnya. Ibumu sudah lama bekerja sama saya."

Habiba hanya mendengarkan saja. Dia tidak mood untuk bicara. Kejadian yang menimpanya kemarin membuat segala dalam dirinya mendadak berubah drastis. Dia tidak ingin ngapa-ngapain, bicara pun malas.

"Kamu teman kuliahnya Inez kan?" tanya Amira pada Habiba lagi.

"Ya, Bu."

"Bagus. Kalian bisa pergi dan pulang ke kampus sama-sama. Kalau perlu kamu nginep saja di sini. Biar besok pagi bisa berangkat ke kampus sama-sama."

"Tidak usah, Bu. Saya harus pulang. Kasian ibu saya tidur sedirian di rumah. Biasanya saya yang nemenin."

"Ya sudah, tidak apa-apa. Sekarang masuklah. Semangat kerja ya!" Amira lau beralih menatap Inez. "Mama pergi dulu ya. Mau arisan."

"Oke, Mam. Dadaaaah." Inez mencium pipi mamanya. Membiarkan Amira berlalu meninggalkan rumah.

Senyum Inez mengembang menatap Habiba. "Aku ke atas dulu ya."

Habiba mengangguki. Sekarang, ia mengedarkan pandangan ke ruangan luas tempatnya berdiri. Rumah yang rasanya seperti neraka.

"Biba, ayo ke belakang!"

Suara itu mengejutkan Habiba. Ia menoleh ke arah Fara yang berdiri di pintu.

Habiba mengikuti Fara, wanita yang belum dia kenal. Sebab saat pertama masuk kerja kemarin, wanita itu tidak ada di rumah ini. Dia sedang cuti.

"Biba, kalau ada pertanyaan mengenai pekerjaan, kamu bisa tanya ke aku. Oh ya kamu sudah tau kan tugasmu di sini apa saja? Bu Fatona pasti sudah memberitahukanmu."

Habiba mengangguk. "Aku sudah tahu semua. Ibu sudah menjelaskannya kepadaku. Tapi nanti kalau ada yang aku tidak ketahui, pasti aku akan tanyakan ke Mbak Fara."

Fara mengangguk. "Ya sudah, mulai kerja gih. Kamu bisa susun pakaian yang diantar dari laundry ke lemari pemiliknya masing-masing. Setelah itu pel lantai ya. Baju yang harus disusun ada di sana!" Fara menunjuk sebuah ruangan tak jauh dari dapur. Ruangan yang terhubung langsung dengan pintu samping ke arah teras. Tukang laundry biasanya mengantar baju dan menaruhnya di sana melalui pintu samping.

"Kamu harus bisa bedakan mana pakaian milik Non Inez, pakaian milik Tuan Husein, juga punya Nyonya besar dan Tuan besar. Keliatan kok bedanya dari model dan ukuran bajunya. Jangan sampai ketuker ya. Non Inez dan Nyonya Amira sih fine aja kalau kerjaan kita tidak beres, tapi Tuan Husein dan Tuan Alka tuh suka sadis kalau kerjaan kita ada yang salah."

Mendengar penjelasan Fara, Habiba hanya diam dan melenggang menuju ke ruangan yang ditunjuk.

Setumpuk baju yang sudah dilipat rapi dengan aroma wangi itu menumpuk di keranjang. Baju paling atas adalah milik Husein. Dan Habiba sangat mengenalnya, yaitu baju yang kemarin teronggok di lantai.

Habiba sangat ingin mengepal baju itu dengan tangannya. Tapi ia berusaha menahan emosi. Harus bisa menahan gejolak ini.

Habiba mengangkat keranjang menuju ke lantai atas.

Semakin kaki menapaki tangga mendekati kamar, emosi dalam jiwanya semakin mendidih. Dadanya sesak dan panas.

Habiba terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan di kamar Inez dan Amira.

Terakhir, Habiba ke kamar Husein. Ia termenung sebentar di depan pintu. Enggan masuk.

Apakah lelaki pemilik kamar itu ada di dalam? Bagaimana saat ia bertemu dengan tuan muda? Kulit tubuhnya meremang hebat. Sekelebat bayangan adegan panas itu kembali membayang di kepalanya.

Matanya berembun. Sekuat tenaga ia menahan air mata supaya tidak berguguran. Jangan sampai menangis. Ia harus kuat.

Baiklah, ia harus profesional. Anggap kejadian kemarin tidak ada. Habiba akan tetap menjalankan tanggung jawabnya demi sang ibu tanpa harus memproklamirkan ke seisi bumi tentang peristiwa buruk yang menimpanya. Rasanya tidak sudi peristiwa memalukan itu diketahui siapa pun.

Habiba masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Sengaja tanpa ketuk pintu, ia sudah memiliki jawaban jika Husein menanyainya kenapa tidak ketuk pintu.

Netranya mengedar ke seisi kamar. Kosong. Tidak ada siapa- siapa di sana. Setidaknya ia merasa lega untuk saat ini. Terbebas dari pertemuan dengan pria itu.

Tanpa membuang waktu, Habiba langsung menyusun pakaian ke lemari.

Setelah selesai menyusun baju, kembali pupil mata mengedar pada seisi kamar. Helaan napas keluar dari mulutnya setiap kali menatap ranjang. Ranjang yang meninggalkan sejarah buruk dalam ingatannya.

Habiba lalu membersihkan kamar mandi, menyikat lantai dengan gerakan kasar.

Setelah itu, ia merapikan kamar, menyapu dan mengepel.

Singkat saja, ia sudah menganggap pekerjaannya itu selesai.

Sungguh pekerjaan yang menyita waktu. Dan inilah yang selama ini dikerjakan oleh ibunya. Pasti sangat melelahkan. Sekarang Habiba baru bisa merasakan bagaimana sulitnya mencari uang.

Dia harus secepatnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar itu, jangan sampai bertemu Husein.

Tiba- tiba ia mendengar suara derap langkah kaki dari arah luar mendekat ke arah pintu. Bisa dipastikan itu adalah suara sepatu berjenis pantofel.

Siapa itu?

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Nurmini Taher
penasaran jngn jangan husen yang datang jadi ikut deg deg
goodnovel comment avatar
Qory'a Sasa Byla Byla
pasti husain
goodnovel comment avatar
Serta Silaban
husein datang tp kelanjutannya gimana ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status