Share

04. Harus Tutup Mulut

 “Dia itu hanya gadis biasa.  Dia tidak punya nyali untuk melakukan hal itu.”

 “Bisa jadi dia gadis liar.  Kau belum tahu siapa dia.”  Pikiran Husein melayang-layang.  Menerka-nerka sosok seperti apa gadis yang dia renggut kesuciannya itu.

“Kau mengenal Bu Fatona kan?  tentu kau lebih tahu jenis seperti apa putrinya itu.  buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.  Sifat Bu fatona pasti mengalir dalam diri putrinya.  Jika Bu Fatona ini orang lempeng dan baik, maka anaknya juga tidak akan jauh dari seputaran itu.  tapi kalau sebaliknya, maka kau harus berhati-hati.”

Husein menggelengkan kepala, merasa pusing.

“Menurutku, gadis itu adalah gadis polos.  Kau sendiri yang bilang bahwa kau merenggut kesuciannya.  Artinya dia masih perawan.  Mana mungkin ada gadis liar yang masih perawan.  Kemudian, aku mendengar pemberontakannya waktu itu, dia berteriak ingin pergi, artinya dia memang ingin melepaskan diri darimu, tapi tidak berdaya.”

Husein mulai lega, meski gurat kecemasan itu masih menyelimuti wajahnya.

“Tenanglah, dia hanya gadis biasa.”  Amir berusaha menenangkan.

“Apa karena dia hanya gadis biasa lantas aku akan di posisi aman, begitu?  Lalu apa kata orang jika dia sampai buka mulut, semua orang tahu bahwa aku memperk*sanya?  Mau ditarok mana muka seorang CEO yang telah merenggut kesucian putri asisten rumah tangganya sendiri?  Ini merusak nama baikku.  Ini buruk sekali.”  Husein menghempas duduk ke kursi.

“Dia harus tutup mulut.”

***

Di kampus, Habiba yang biasanya fokus mengikuti pelajaran, kini terlihat tidak bersemangat. Pikirannya melayang entah kemana. Bayangan Husein yang menyentak terus menari di kepalanya. Tanpa sadar pena di tangannya mencoret- coret buku yang terbuka di meja.

Ia bahkan tidak mendengar penjelasan dosen di depan. 

"Pst! Biba!" Inez yang duduk tepat di sisi Habiba pun menyenggol lengan Habiba. "Ditanyain dosen tuh."

Tersadar, Habiba kaget dan menatap sang dosen yang mata elangnya sudah menyorotnya sejak tadi bahkan dengan alis terangkat.

"Prodi itu apa menurutmu?" Inez berusaha menyelamatkan Habiba dengan membisikkan kalimat sama yang ditanyakan dosen barusan. Tentu saja ia sambil menutup mulutnya dengan berpura-pura mengangkat tangan ke depan mulut supaya pergerakan mulutnya tidak ketahuan sang dosen. "Dosen sedang buang waktu dengan berbasa basi soal program studi."

"Oh mmm.... Prodi atau singkatan dari Program Studi  itu merupakan kesatuan rencana belajar yang digunakan sebagai pedoman jalannya pendidikan akademik yang penyelenggaraannya berdasarkan suatu kurikulum. Itu menurut saya." Habiba menjelaskan meski sedikit canggung dan akalnya belum terkumpul.

"Good! Cerdas." Dosen memuji. 

Huh, lega. Habiba selamat dari amukan dosen kalau saja ia sampai salah menjawab apa lagi dianggap melamun. Untung saja ada Inez yang membantunya. Namun sekali pun Habiba tidak mengucapkan kata terima kasih untuk Inez. Sejak awal masuk kelas, ia membungkam.

Kelas usai. Seluruh mahasiswa keluar. Tanpa terkecuali Habiba yang langsung meninggalkan meja setelah mengemas bukunya. Membuat Inez heran, kenapa Habiba sama sekali tidak bertegur sapa dengannya sejak tadi? Inez berlari mengejar Habiba di koridor.

"Biba! Tunggu!" Inez menjajari langkah Habiba.

Hanya lirikan singkat yang dilakukan Habiba, tanpa jawaban.

"Ada yang berbeda denganmu hari ini. Ada apa?"

Habiba menggeleng.

"Kamu marah padaku? Apa aku ada salah?" tanya Inez bingung. Mereka adalah teman dekat sejak masuk kuliah. Mereka selalu cocok dalam segala hal. 

"Aku tidak apa-apa. Semuanya normal." Habiba datar saja. Status Inez yang merupakan adiknya Husein, membuat hati Habiba mendadak merasa benci pada gadis itu. Entah kenapa perasaan itu muncul begitu saja. Seolah semua yang memiliki ikatan darah dengan Husein adalah biad*b.

"Tapi sejak tadi kamu diamin aku. Kamu cuekin aku. Kamu sama sekali tidak mau ngomong. Setiap kali aku ajakin ngomong, kamu hanya menjawab seperlunya. Ada apa, Biba? Kamu ada masalah?" tanya Inez bertubi-tubi.  Cemas.

"Stop!" hardik Habiba membuat Inez terkejut. "Jangan dekati aku!" Tatapan Habiba menyorot tajam. 

Inez terdiam dibentak begitu. Tidak berani bicara lagi. Kemarahan Habiba ini adalah pertama kalinya. Mereka berteman sanhat dekat tanpa pernah ada masalah. Kalaupun ada masalah, Habiba tidak permah semarah ini. Wajahnya tampak sangat frustasi dan emosi.  

Habiba balik badan, meninggalkan Inez begitu saja. Entah berapa lama ia akan menanggung beban itu. Sampai kapan ia bisa melupakan peristiwa memuakkan itu. Tapi ia meyakini harus bisa, harus kuat. 

Habiba duduk di kursi pinggir jalan menunggu ojek. Biasanya kang ojek pada nongkrong di perempatan jalan. Tapi ini kosong. 

Suara klakson dari mobil yang berhenti di depan mengejutkannya. Tampak olehnya Inez duduk di samping kemudi mobil. Gadis itu menganggukkan kepala. Sosok lelaki di bagian kemudi, tak lain Emran, kekasihnya yang setia mengantar dan menjemput Inez. Mereka sudah cukup lama menjalin hubungan. Seisi kampus menjuluki mereka sebagai sejoli sejati.

"Ayo, masuk! Ikut aku aja!" ajak Inez dengan senyum, seolah tidak terjadi apa-apa barusan. 

Merasa bersalah, Habiba pun bangkit dan masuk ke mobil itu. Duduk di kursi belakang. 

"Beb, aku pindah duduk di samping Habiba, ya?" Inez pindah duduk ke kursi belakang sebelum mendapat persetujuan dari Emran. 

Pria itu hanya mengangkat alis saja. Membiarkan sang kekasih pindah duduk.

Mobil kembali melesat.

"Kita antar Habiba pulang dulu atau ini langsung ke rumahmu?" tanya Emran pada Inez. 

"Langsung ke rumahku saja. Habiba kan bekerja di rumah, menggantikan ibunya. Ya kan, Biba?" Inez tersenyum menatap Habiba.

Kepala Habiba mengangguk. Tidak ada alasan menolak bekerja di rumah Inez. Menggantikan ibunya sudah menjadi tanggung jawabnya. 

Apa yang harus ia katakan kepada ibunya jika ia menolak pekerjaan itu? Ini murni demi tanggung jawab pada ibu. Biarlah peristiwa kemarin dikubur dalam-dalam tanpa seorang pun tahu.

"Biba, kamu kalau ada masalah, bicaralah denganku. Aku siap membantumu," ungkap Inez dengan lembut.

Habiba mengulum senyum. Senyum getir yang berhasil menyembunyikan nestapa. Bahkan hampir sempurna menyembunyikan kesedihan di wajahnya.

"Maafkan aku, Nez. Aku tadi khilaf. Aku sedang galau. Soalnya ibu sakit dan aku kepikiran," jelas Habiba berusaha memberikan pengertian.

“Oh, tidak apa- apa.  Aku mengerti.  Lupakan!”  Inez tersenyum.

Betapa Habiba menyesal sudah menghardik Inez tadi.  Lihatlah, Inez tetap tersenyum untuknya.  Jiwa persahabatannya memang kental.  Dia adalah satu-satunya orang yang memahami Habiba.  Bagaimana mungkin Habiba sanggup membenci Inez.  

Kesalahan sepenuhnya ada pada Husein, kakaknya Inez.  Maka tidak sepatutnya Habiba menumpukkan kesalahan itu pada Inez hanya karena Inez adalah adiknya Husein.  Mereka adalah orang yang berbeda, pikiran pun berbeda.

Sekarang yang ada di pikiran Habiba hanya satu, bagaimana ia akan menyikapi ketika bertemu dengan Husein nanti?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Apa Bina ntar hamil yah ???
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
sabar biba
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status