Share

Malam Pertama

Penulis: Ijahkhadijah92
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 22:38:39

“Saya akan membawanya ke kota,” ucap Abyan pelan namun tegas, segera setelah akad selesai.

Tak ada senyum. Tak ada ucapan selamat. Hanya tatapan-tatapan simpati dari warga desa dan suara azan magrib yang mulai menggema dari musala kecil di ujung jalan.

Abyan menoleh pada kepala desa. “Saya tidak punya banyak waktu untuk tinggal di sini. Jalanan sulit, sinyal hilang, dan saya harus menyampaikan laporan penting ke kantor pusat.”

Belum sempat kepala desa menjawab, suara nyaring yang familiar menyela dengan nada tinggi.

“Sebelum kamu bawa dia, bayar dulu uang yang saya minta!” seru Bude Marni, berdiri dengan tangan di pinggang dan wajah menyeringai kesal. “Jangan pikir saya ikhlas kamu ambil keponakan saya begitu saja!”

Abyan menghela napas kasar, memijit keningnya. “Saya tidak membawa uang tunai sebanyak itu. Nanti saya transfer.”

“Transfer?” Bude Marni menyipitkan mata. “Apa itu? Saya nggak tahu begituan. Uang harus kelihatan! Harus bisa saya pegang!”

“Marni, jangan mempersulit Nak Abyan,” tegur Kepala Desa dengan nada geram.

“Saya ke sini karena tersesat,” sambung Abyan, mencoba menahan emosinya. “Saya pun tidak tahu akan berakhir seperti ini. Tapi saya sudah bertanggung jawab. Dan sekarang saya harus kembali bekerja.”

“Apa tidak bisa ditunda, Nak?” tanya kepala desa, nada suaranya mulai lebih hati-hati. “Memang benar Nisa tahu jalanan sini, tapi untuk sampai ke jalan besar… harus melewati hutan kecil. Dan sekarang sudah hampir malam. Saya hanya khawatir…”

Abyan mengacak rambutnya dengan frustrasi. Wajahnya lelah, matanya gelap karena tekanan dari segala arah. Ia tak pernah menyangka niat baik akan membawa begitu banyak kerumitan.

Di sebelahnya, Nisa berdiri kikuk, jemari tangannya saling menggenggam erat. Matanya menatap lantai. Lalu dengan suara hampir tak terdengar, ia berkata, “M-Maafkan saya…”

Abyan menoleh perlahan. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk sekali. Tanpa ekspresi.

Bude Marni masih berdiri dengan tampang tak terima. Tapi kini, warga desa mulai terlihat jengah. Beberapa dari mereka saling melempar pandangan, menggeleng pelan. Seseorang bahkan terdengar berbisik, “Sudah cukup, Marni. Malu…”

Kepala desa akhirnya bersuara.

“Nak Abyan,” ucapnya, “Saya tahu kamu ingin cepat sampai ke kota. Tapi sebagai sesama orang tua, izinkan saya mengantar kalian sampai batas hutan.” Kepala desa hanya mengkhawatirkan sesuatu terjadi karena Abyan membawa mobil. Di sana belum masuk kendaraan roda empat, hanya ada roda dua. Itu pun bagi yang mampu karena keadaan ekonomi di sana memprihatinkan. Bantuan pemerintah pun sulit turun.

Abyan mengangguk pelan. “Baik. Saya hargai itu.”

Kepala desa menoleh pada Nisa. “Kamu bersiaplah, Nduk. Bawa pakaianmu secukupnya. Jangan lupa pamit dengan warga sini yang sudah membantumu.”

Nisa hanya mengangguk, tapi matanya berkaca-kaca. Ia tak tahu seperti apa hidup yang menunggunya di kota. Tapi ia tahu, tidak ada lagi tempat untuk kembali.

***

Suara jangkrik mulai mendominasi ketika Abyan dan Nisa keluar dari rumah kepala desa. Langit mulai gelap. Udara terasa lebih dingin, menusuk kulit dan menggetarkan nyali.

Abyan berjalan cepat ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan tanah. Kepala desa dan seorang pemuda desa menaiki sepeda motor bebek tua, mengawal mereka sampai ke batas hutan menuju jalan besar.

Langkah Nisa pelan, tapi teratur. Ia tidak bicara sepatah kata pun. Di tangannya hanya tergenggam sebuah tas kecil berisi baju seadanya. Wajahnya datar, tetapi dalam hati, perasaannya campur aduk. Bahagia karena lolos dari paksaan sang bude. Tapi juga cemas, karena kini hidupnya berada di tangan laki-laki asing yang baru saja menjadi suaminya.

Sementara Abyan, hanya menatap lurus ke depan. Bahkan sejak keluar dari rumah kepala desa, ia belum sempat benar-benar menatap wajah Nisa. Semuanya terjadi terlalu cepat. Ia menikah dalam keadaan terdesak. Dan sekarang, ia harus membawa perempuan itu ke kota. Entah untuk apa ke depannya.

“Jalannya agak sempit, tapi bisa dilalui mobil, Nak,” ujar kepala desa sambil menunjuk arah.

Abyan hanya mengangguk. “Terima kasih, Pak.”

Mereka mulai menyusuri jalanan tanah yang menanjak dan licin. Lampu mobil menerobos kegelapan, sementara motor kepala desa berada di depan sebagai penunjuk jalan. Beberapa kali mereka harus memperlambat laju karena pohon tumbang dan jalan yang berliku tajam.

Abyan menggenggam kemudi erat. Sorot matanya tajam, tetapi gerakannya ragu-ragu. Sesekali ia melirik ke arah Nisa yang duduk diam di sampingnya sambil, memeluk tasnya seperti pelampung di tengah laut.

“Kamu pakai sabuk pengaman,” ucap Abyan akhirnya.

Nisa buru-buru menarik sabuk itu. Tangannya gemetar.

“Maaf,” ucapnya lirih. "I-ini bagaimana?" Selama ini Nisa belum pernah naik mobil, dia gak tahu bagaimana caranya memakai sabuk pengaman.

Abyan tak menjawab. Kemudian ia memakaikan sabuk itu tanpa menoleh pada Nisa. Pandangannya hanya fokus pada jalan.

Setelah hampir satu jam, cahaya lampu jalan mulai terlihat samar di kejauhan. Jalan besar itu akhirnya muncul, membelah gelapnya hutan dan sunyinya desa.

Motor kepala desa berhenti. Ia turun dan berjalan menghampiri sisi jendela mobil Abyan. “Sampai di sini saja kami mengantar, Nak. Hati-hati di jalan.”

“Terima kasih banyak, Pak,” jawab Abyan tulus. “Maaf sudah merepotkan.”

Kepala desa tersenyum. “Semoga rumah tanggamu membawa keberkahan, Nak Abyan, Neng Nisa…”

Abyan hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis.

Setelah kepala desa berlalu dengan motor tuanya, Abyan menghela napas panjang.

Suasana dalam mobil kembali senyap.

Mesin kembali menyala. Mobil melaju perlahan.

Beberapa menit kemudian, Nisa mencoba bicara. “Terima kasih… sudah menolong saya.”

Abyan menoleh sedikit, lalu berkata datar, “Saya tidak menolong. Saya hanya bertanggung jawab.”

Jawaban itu membuat hati Nisa terasa tenggelam. Tapi ia mengangguk kecil, mencoba mengerti. Mungkin laki-laki itu memang tidak ingin menikahinya. Mungkin Abyan hanya ingin menyelamatkan nama baik.

Dan kini, Nisa duduk di sebelah laki-laki yang belum ia kenal—yang bahkan tak tahu hari ulang tahunnya, warna kesukaannya, atau apa pun tentang dirinya. Tetapi takdir sudah menyatukan mereka.

***

Malam telah larut saat mobil Abyan keluar dari jalanan besar menuju daerah pegunungan yang sepi. Udara mulai dingin, kabut turun perlahan. Di kejauhan, lampu-lampu villa mulai terlihat samar seperti kunang-kunang yang berpendar di tengah kabut.

Abyan melirik jam tangan. Hampir pukul sebelas malam.

Nisa yang duduk di sampingnya mulai terkantuk, namun dia menahan diri untuk tetap terjaga. Ia masih belum sepenuhnya percaya bahwa ia kini benar-benar berada dalam dunia yang berbeda. Dari rumah reyot di desa terpencil, kini ia duduk di dalam mobil mewah dan akan tinggal di villa milik seorang lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya.

Tak lama, mobil berhenti di depan gerbang besi besar yang terbuka otomatis.

Di baliknya berdiri sebuah villa dua lantai bergaya klasik-modern, disinari cahaya hangat dari lampu temaram di beranda. Di depan pintu sudah berdiri dua sosok: pasangan suami istri paruh baya yang wajahnya memancarkan kehangatan dan keteraturan.

Begitu mobil berhenti, Abyan turun lebih dulu lalu membukakan pintu untuk Nisa.

“Selamat malam, Tuan Abyan,” sapa Pak Sastro, penjaga villa, sambil membungkukkan tubuhnya.

“Iya, terima kasih sudah menunggu,” jawab Abyan singkat. “Ini istri saya. Tolong bantu siapkan kamar di atas untuknya.”

Mata Bi Rini, istri Pak Sastro, sempat melebar, tetapi ia cepat menunduk dan tersenyum sopan. “Iya, Tuan. Ayo, Neng… saya bantu naik.”

Nisa hanya mengangguk kecil, masih terlalu bingung untuk merespons lebih dari itu. Ia mengikuti langkah Bi Rini menaiki tangga kayu yang mengarah ke lantai atas. Dibelakangnya Abyan mengikuti mereka.

Villa itu tak terlalu besar, tapi hangat dan nyaman. Interiornya didominasi kayu dan warna-warna netral yang menenangkan. Di lantai atas, ada satu kamar utama dan dua kamar tamu. Bu Rini membukakan salah satu kamar tamu untuk Nisa.

“Kalau butuh apa-apa, tinggal panggil saya, ya, Neng,” ucap Bu Rini lembut sebelum menutup pintu dan membiarkan Nisa sendiri.

Sementara itu, Abyan turun ke lantai bawah dan berbicara singkat dengan Pak Sastro.

“Dia tidak bisa diganggu dulu. Tolong pastikan villa ini aman, jangan sampai ada orang asing masuk. Kalau ada yang mencurigakan, langsung hubungi saya.”

“Baik, Tuan.”

Abyan menghela napas panjang dan berjalan ke dapur. Ia mengambil segelas air putih, meneguknya cepat, lalu menatap kosong ke jendela. Udara dingin masuk melalui celah kecil, menyapu wajahnya yang lelah. Ia tidak menyangka hari ini akan berakhir seperti ini.

Menikah. Dengan perempuan yang bahkan tak ia kenal namanya kemarin pagi. Tapi semuanya sudah terjadi. Dan sekarang, tugasnya adalah memastikan perempuan itu aman.

Ia tidak berniat membawa Nisa ke rumah orang tuanya—setidaknya belum. Bukan karena malu. Tapi ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Keluarga besar terutama sang kakek yang sedang menanti kelulusan calon cucu mantunya sekitar dua bulan lagi ditambah. kedatangan seorang istri baru, dari desa terpencil pula, hanya akan menambah percikan api di rumah besar itu.

Siapa yang ingin dijodohkan?

Abyan sendiri merasa tersiksa dengan perjodohan ini. Baru sajalulus kuliah dia harus belajar memegang perusahaan yang akan menjadi miliknya. di tambah dia harus menerima perjodohan dengan seorang mahasiswi yang tak lain anak dari rekan bisnis kakeknya. Untuk memperpanjang silaturahmi, itu yang selalu kakeknya katakan.

Satu tahun sampai Dua tahun dia belum bisa menerima perjodohan itu, apalagi melihat sikap perempuan yang akan dijodohkan kepadanya. Dia selalu merasa ilfil. Tahun berikutnya Abyan mulai menerima karena mereka berjauhan. Tiara melanjutkan kuliahnya ke luar negeri dan perkiraan lulus sekitar dua bulan lagi.

Setelah duduk sejenak, Abyan pun naik ke lantai atas. Ia melewati kamar Nisa yang sudah tertutup rapat, lalu masuk ke kamar utama.

Sementara Nisa duduk di sisi ranjang, Ia merasa sepi. Tapi entah kenapa, malam ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa… aman.

Bukan karena villa mewah ini. Bukan karena kasur empuk yang mengingatkannya pada hotel di televisi. Tapi karena kini, tidak ada lagi suara Bude Marni yang meneriakinya untuk bangun pagi. Tidak ada lagi tatapan laki-laki tua bernama Juragan Komar yang memerhatikannya seperti barang dagangan.

Nisa menarik selimut pelan. Matanya mulai basah. Air mata mengalir pelan tanpa suara. Bukan karena sedih… tapi karena campuran emosi yang sulit ia jabarkan. Bingung. Takut. Syukur. Dan sejumput harapan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi untuk malam ini, ia bisa tidur… tanpa dikejar. Tanpa dijual. Tanpa rasa takut.

***

"Tolong! Jangan! Tolong jangan pukul aku!"

TBC

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Nekat

    Wanita muda itu tersenyum tipis, matanya tajam walau wajahnya terlihat lugu. “Tenang saja. Orang tidak akan curiga sama pedagang buah. Aku akan tahu siapa pun yang lewat di depan rumah itu.” Mereka berdua saling tukar pandang singkat. Sementara itu, dari dalam rumah, Nisa tengah duduk di ruang tamu, menuliskan sesuatu di buku catatannya, tak menyadari bahwa dunia di luar perlahan berubah. Ia hanya merasakan kegelisahan samar yang beberapa hari ini sering datang tanpa sebab. Di tempat lain, Rio mematikan alat komunikasinya, lalu menatap Paman Ridwan yang duduk di kursi kulit besar. “Langkah pertama selesai,” ucap Rio dengan nada puas. Ridwan mengangguk perlahan. “Jangan terburu-buru. Kita biarkan Abyan merasa aman. Saat fokusnya sepenuhnya tertuju pada perebutan kekuasaan, kita pukul dari titik terlemahnya.” Rio menyeringai licik. “Perempuan itu…” Ridwan berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang mulai gelap. “Betul. Perempuan itu akan menjadi kunci untuk men

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Serangan Balik

    “Dia melihat semua ini dari layar siaran,” lanjut Rio dengan mata berkaca-kaca. “Lo pikir semua tindakan lo tidak ada konsekuensinya? Keluarga kita… semua hancur karena ambisimu!”“Sudah, Rio,” potong Arya dengan nada menahan. “Jangan mulai di sini.”“Kenapa nggak?!” bentak Rio. “Kalian semua sibuk perang dan rebut kekuasaan! Sementara orang tua kita—keluarga kita—remuk di belakang kalian!”Suasana ruang kendali yang tadinya dipenuhi suara mesin kini berubah mencekam. Semua anak buah Abyan yang berada di sana terdiam, menyadari ini bukan sekadar pertengkaran keluarga biasa.Abyan perlahan menoleh ke Rio. Suaranya tenang tapi mengandung bara. "Gue ngelakukuin ini… supaya kita tidak terus hidup dalam bayang-bayang penindasan. Gue gak menyesal.”Rio maju selangkah, emosinya memuncak. .“Kalau semua harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang kita cintai… apa masih pantas disebut kemenangan, Abyan?”Pertanyaan itu menggantung tajam di udara, membuat Arya pun tertunduk dalam diam. Aby

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Alih Kendali

    Abyan mengatup rahangnya. “Kita tidak boleh mundur. Kalau kita kabur sekarang, mereka bakal menganggap kita lemah.” Dengan kode tangan, Abyan membagi tim jadi dua: satu tim menekan dari sisi kiri lorong, tim lain memutar lewat tangga darurat di kanan. Suara langkah berderap kencang, teriakan komando bercampur suara besi menghantam besi. Ledakan kecil meletus dari gr*nat asap yang dilempar Arya. Asap tebal menelan lorong, menyamarkan pandangan musuh. Dari balik asap, Abyan maju, senjata di tangan, menembak presisi ke arah cahaya senter. Dua orang lawan langsung terjatuh, tubuh mereka terhempas keras. Namun musuh lebih banyak dari perkiraan. Belasan orang turun dari atas tangga dengan senjata campuran: senapan laras panjang, tongkat listrik, bahkan parang. Bentrok jarak dekat tak bisa dihindari. Arya menghantam satu lawan dengan siku, lalu merebut senjata musuh lain sambil menendang mundur. “Cepat, Yan! Mereka nggak main-main!” Suara logam bergesekan, tubuh saling banting, ter

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Bentrok Pertama

    Kakek Bagaimana menatap monitor dengan wajah yang makin pucat. Tongkatnya keras ditepuk ke lantai. “Kalian bilang sudah aman—kenapa malah seperti ini?! Siapa yang berani main-main dengan jaringan kita?” suaranya memecah ruangan. Paman-paman saling pandang; beberapa menunduk, beberapa lagi sibuk membuka laptop. Renata yang duduk di sisi meja menggigit bibir sampai pucat. “Apa ini dampak dari bocoran itu?” desah seorang paman. “Kalau investor panik, kontrak akan runtuh.” Ridwan mengangkat kepala, matanya terlihat gelap. “Kami sudah periksa semua titik kontrol. Ada intervensi dari luar—sepertinya ada pemain baru yang sengaja menahan aliran. Ini bukan sekadar kebocoran dokumen; ini serangan terstruktur.” Seorang penasihat hukum cepat memberi saran hukum, suaranya terkontrol: “Kita harus keluarkan pernyataan perusahaan, lakukan audit internal separuh—tapi jangan panikkan publik. Hubungi regulator, tunjuk tim audit independen. Kita harus kelihatan kooperatif.” Namun kakek tidak

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Ada Perangkap

    Abyan berjalan perlahan ke arah meja, menepuk bahu beberapa anak buahnya satu per satu.“Periksa lagi persenjataan kalian. Jangan ada kelalaian sekecil apa pun. Ingat, satu kesalahan bisa jadi bumerang untuk kita semua,” tegasnya.Suasana hening sesaat, lalu terdengar jawaban serempak, “Siap, Tuan!”Abyan menoleh pada Arya. “Kamu koordinasi di lapangan sisi timur. Saya mengambil alih sisi barat. Kita harus bergerak cepat, jangan beri mereka ruang untuk melawan.”Arya tersenyum tipis. “Paham. Dan seperti biasa, saya tidak akan membiarkan kamu sendirian.”Abyan menatap sahabatnya itu lebih lama, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai nanti malam. Untuk sekarang kalian persiapkan diri kalian dengan baik.”Di tengah hiruk pikuk persiapan, pikiran Abyan sempat melayang ke Nisa lagi. Senyum tipisnya muncul tanpa sadar, lalu cepat-cepat ia hilangkan agar tak terlihat orang lain. Ada kekuatan baru yang ia rasakan setiap kali mengingat Nisa, seolah semua perjuangan ini memang mempunyai arah yang j

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Persiapan

    Gudang tua yang mereka pilih sebagai markas baru itu kini sudah berubah wajah. Lampu-lampu sorot menyala terang, meja besar penuh peta dan berkas, serta rak berisi perangkat komunikasi, laptop, bahkan senjata non-mematikan yang disiapkan Arya.Abyan berdiri di tengah ruangan, wajahnya tegas tapi ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menatap layar proyektor yang menampilkan denah pergerakan keluarga besar, hasil intel anak buahnya yang baru tiba.“Waktu kita nggak banyak,” suara Abyan terdengar mantap. “Kakek pasti akan menggencarkan pencarian lagi. Kita harus siap sebelum mereka menemukan celah.”Arya mengangguk, sibuk mengutak-atik headset komunikasi di tangannya. “Orang-orang sudah standby, Yan. Mereka cuma butuh aba-aba dari lo.”Beberapa anak buah masuk, membawa kotak berisi perlengkapan tambahan—kamera kecil untuk mengintai, laptop cadangan, serta jalur komunikasi yang dipisahkan agar tak bisa dilacak. Suasana jadi semakin serius, seperti persiapan operasi besar.Abyan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status