Hembusan angin pedesaan menyusup melalui celah jendela mobil yang sedikit terbuka. Abyan menghela napas panjang sambil melirik peta digital di dashboard. Jalan yang ia lewati kini mulai tak dikenali—tanpa petunjuk, tanpa sinyal. Hanya jalanan berbatu yang memisahkan hutan kecil dan hamparan sawah luas.
"Kenapa juga aku nekat lewat jalur alternatif ini," gumamnya pelan, menyeka keringat di pelipis. Tiba-tiba, dari kejauhan, seorang perempuan berlari ke tengah jalan. Wajahnya panik, jilbabnya kusut, dan nafasnya memburu seolah sedang dikejar sesuatu. Tanpa pikir panjang, Abyan menginjak rem. Ciiiittt! Perempuan itu nyaris menabrak kap mobil, tapi ia segera membuka pintu dan masuk begitu saja. “Tolong, Pak! Tolong… saya nggak punya tempat lagi untuk lari!” Abyan yang masih tercengang sempat menoleh tajam. “Hei! Kamu siapa? Kenapa tiba-tiba—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara-suara ribut dari kejauhan mulai terdengar. Puluhan warga mendekat dengan wajah gelisah dan marah. “ITU DIA! Mobilnya DI SITU!” “Cepat! Mereka belum pergi jauh!” Abyan menegang. Perempuan di sebelahnya—entah siapa namanya—menunduk ketakutan, tubuhnya gemetar. Warga mulai mengepung mobil dari segala arah. Suara ketukan di kaca mobil membuat detak jantung Abyan melonjak. Tok tok tok! “Turun! Kalian berdua, turun sekarang juga!” seru salah satu pria paruh baya dengan nada tak terbantahkan. Abyan membuka pintu dan melangkah keluar. “Tunggu, ini semua—” “Jangan kasih alasan dulu! Kami semua lihat! Kalian berdua di dalam mobil berduaan, di tempat sepi seperti ini!” “Iya! Itu anaknya Almarhum Pak Raji! Anak gadis orang, Mas! Mau dikemanakan mukanya nanti?!” Nisa—perempuan di dalam mobil—akhirnya keluar dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. “Saya… saya cuma minta tolong. Saya dikejar orang yang—” “Alasan klise!” potong seorang ibu-ibu sambil menunjuk. “Mau kamu dikejar atau tidak, kamu udah mencoreng nama baik keluarga kamu sendiri!” Salah satu sesepuh desa menatap Abyan dengan tajam. “Nak, kami nggak mau ribut. Tapi kau harus bertanggung jawab. Kau harus menikahi gadis ini. Hari ini juga.” Deg. Darah Abyan serasa berhenti mengalir. “Menikah…? Tapi saya bahkan nggak tahu siapa dia…” “Dan kamu pikir kami peduli? Kau sudah merusak nama baiknya. Mau tidak mau, harus kau nikahi. Kalau tidak, urusannya bisa panjang.” Nisa menunduk semakin dalam. Air matanya menetes satu per satu. Dalam hatinya, Abyan bergolak. Hidupnya terjadwal rapi, segala sesuatunya tertata. Tapi hari itu… semua berubah. Abyan menatap perempuan di sebelahnya yang masih terdiam, memeluk tas kecil lusuh di dadanya. Tubuhnya gemetar, matanya tak berani menatap siapapun. Warga terus bersuara, menuntut jawaban dan tanggung jawab. ** Sementara itu, di balik diam dan wajah pucatnya, batin Nisa bergejolak hebat. Ia tak pernah membayangkan pelariannya akan membawanya sejauh ini. Sejak semalam ia mengurung diri di kamar, menolak lamaran yang datang lewat bude-nya. Seorang pria tua beristri empat, dengan kekayaan yang dijanjikan akan ikut mengangkat derajat keluarga mereka. Tapi Nisa menolak. Tegas. Tak peduli seberapa mewah rumah atau harta yang akan ia dapat, ia tak mau dijadikan istri kelima, seperti barang yang dibagi-bagi. Penolakan itu membuat bude-nya murka. Pagi tadi, saat Nisa mencoba kabur dari rumah, wanita paruh baya itu meneriakinya maling. Tuduhan yang tidak masuk akal, tapi cukup untuk membakar emosi warga sekitar. Dan begitulah semuanya bermula. Nisa berlari sejauh mungkin, tak tahu harus ke mana, hanya berharap bisa jauh dari tekanan dan paksaan. Sampai akhirnya... sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan masuk. Ia tak peduli siapa pengemudinya—ia hanya butuh tempat aman. Dan ternyata, tempat aman itu malah menyeretnya ke masalah yang lebih besar. *** Abyan mendengus pelan, memijat pelipisnya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa hanya karena menolong orang asing, kini ia nyaris dipaksa menikah. Namun warga desa tetap tak goyah. “Maaf, Nak,” ujar seorang sesepuh dengan wajah datar. “Kami paham maksudmu mungkin baik, tapi di tempat seperti ini, kehormatan gadis adalah segalanya. Kau membawa dia ke dalam mobil, kau harus bertanggung jawab.” “Benar itu! Kami nggak bisa tinggal diam!” timpal yang lain. “Mau siapa pun kau, ini desa kami, dan kami punya aturan!” Abyan memandangi sekeliling. Tak ada sinyal. Tak ada jalan mundur. Tak ada waktu untuk memperdebatkan logika di hadapan massa yang sudah menuntut keputusan. Lalu matanya beralih pada gadis di sampingnya. Nisa masih diam, memeluk tasnya seakan itu satu-satunya yang bisa ia genggam di dunia ini. Ingin selalu ia mengingatkan warga kalau awal mula mereka mengejar dirinya karena diteriaki maling. Tapi kenapa sekarang mereka seolah lupa dengan tujuan mereka. Nisa pasrah, lidahnya terasa kelu, dia sudah lelah untuk bercerita apalagi membela diri, karena semuanya percuma. Satu keputusan. Hanya satu. ** Senja mulai turun perlahan, memandikan desa kecil itu dengan cahaya jingga yang samar. Di rumah kepala desa yang sederhana namun bersih, beberapa orang mulai bersiap. Seorang penghulu dipanggil, dua orang warga ditunjuk sebagai saksi. Abyan duduk kaku di sudut ruangan, masih mengenakan pakaian kerja dengan kemeja yang sudah lusuh oleh debu perjalanan. Sementara itu, Nisa duduk di ruangan terpisah, dengan mata sembab. Ia tak mengerti bagaimana takdir begitu cepat membalikkan hidupnya. Beberapa ibu desa menenangkannya, meminjamkan kerudung bersih, dan memakaikannya bedak seadanya agar tak tampak terlalu pucat saat ijab kabul nanti. Namun semua persiapan itu buyar seketika saat suara lantang menerobos dari luar rumah. “NISAAA! KELUAR KAMU!!” Pintu rumah kepala desa terbuka lebar. Seorang wanita dengan kain lusuh dan wajah galak menerobos masuk dengan langkah kasar. Tangan kanannya langsung menyergap lengan Nisa. “Berani-beraninya kamu mau nikah tanpa izin saya! Anak kurang ajar!” bentaknya sambil menyeret Nisa ke luar ruangan. “Bu—Bude… tolong…” suara Nisa lirih, tubuhnya lemas. Warga langsung bereaksi. “Eh, Bu Marni! Jangan kasar gitu dong!” “Lepasin dulu anaknya!” “Dia udah setuju dinikahi! Udah ada penghulu!” Tapi Marni tetap bersikeras. “Saya walinya! Saya yang urus dia sejak kecil! Saya yang berhak tentukan hidupnya!” Beberapa ibu menarik tangan Nisa dengan hati-hati, melepaskannya dari cengkeraman Marni. Nisa segera diamankan dan dibawa kembali ke dalam rumah. Marni menatap Abyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemeja mahal meski agak kusut, jam tangan berkelas, dan sikap tenang khas orang kota. Tatapannya berubah. Dalam hati, ia bergumam, “Boleh juga calon suaminya...” Lalu dengan suara lantang, ia berkata, “Em… baiklah. Kalau memang harus menikah, saya setuju. Tapi saya minta tebusan lima ratus juta!” Suasana langsung membeku. Semua mata menatap Marni. Bahkan penghulu dan kepala desa saling berpandangan, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. “Yang benar saja, Marni!” seru kepala desa. “Dia keponakan saya. Terserah saya, dong!” sahut Marni enteng, seolah sedang menjual kambing. “Dia itu manusia, bukan barang!” ujar salah satu warga geram. Marni mendengus. “Yah… kalau lima ratus juta terlalu berat, kasih saya setengahnya aja. Juragan Komar malah nawar satu milyar buat nikahin Nisa. Toh saya yang urus dia dari kecil!” Warga mulai geleng-geleng kepala, sebagian bahkan menahan emosi. Semua tahu siapa Marni. Sejak kecil, Nisa memang dititipkan padanya setelah kedua orangtuanya meninggal. Tapi bukannya disayang, gadis itu justru dijadikan alat cari uang. Dari umur delapan tahun, Nisa sudah menjajakan gorengan buatan Marni keliling desa. Saat teman-teman sebayanya bermain, Nisa harus belajar menahan lapar dan berjalan berkilo-kilo membawa bakul dagangan. Setelah lulus SMP, hidupnya makin keras. Marni memaksanya bekerja ke mana-mana. Dari buruh harian hingga menjadi pembantu rumah tangga di kota tetangga—asal uang terus mengalir ke kantong Marni. Dan kini, ia ingin menjual keponakannya secara terang-terangan? Abyan berdiri, rahangnya mengeras. Ia melangkah maju, menatap Marni lurus-lurus. “Bu,” suaranya tenang, tapi tegas. “Saya menikahi keponakan ibu karena saya ingin melindunginya. Bukan membelinya.” Marni sempat terdiam, lalu mendengus sebal. “Laki-laki macam kamu banyak omong. Tapi tunggu aja, nanti juga kamu bosan.” Namun kali ini, tak ada yang mendukung Marni. Bahkan warga yang semula penasaran kini memalingkan wajah dari wanita itu dengan jijik. Kepala desa mengangguk. “Kita lanjutkan akadnya. Nisa sudah cukup dewasa, dan budenya tidak pantas jadi wali. Saya bersedia menjadi wali hakim.” Abyan menatap Nisa yang duduk di ujung ruangan. Gadis itu menggenggam jarinya sendiri, mencoba meredam ketakutan yang masih tersisa. Dan detik itu juga, tanpa rencana, tanpa restu keluarga, tanpa persiapan, akad nikah mereka dimulai. Dengan satu tarikan napas, Abyan mengucapkan ijab kabul. Dan, kata sah terucap dari saksi yang diangguki oleh warga. ** "Saya akan membawanya ke kota." "Sebelum membawanya ke kota, kamu bayar dulu uang yang saya minta." TBCWanita muda itu tersenyum tipis, matanya tajam walau wajahnya terlihat lugu. “Tenang saja. Orang tidak akan curiga sama pedagang buah. Aku akan tahu siapa pun yang lewat di depan rumah itu.” Mereka berdua saling tukar pandang singkat. Sementara itu, dari dalam rumah, Nisa tengah duduk di ruang tamu, menuliskan sesuatu di buku catatannya, tak menyadari bahwa dunia di luar perlahan berubah. Ia hanya merasakan kegelisahan samar yang beberapa hari ini sering datang tanpa sebab. Di tempat lain, Rio mematikan alat komunikasinya, lalu menatap Paman Ridwan yang duduk di kursi kulit besar. “Langkah pertama selesai,” ucap Rio dengan nada puas. Ridwan mengangguk perlahan. “Jangan terburu-buru. Kita biarkan Abyan merasa aman. Saat fokusnya sepenuhnya tertuju pada perebutan kekuasaan, kita pukul dari titik terlemahnya.” Rio menyeringai licik. “Perempuan itu…” Ridwan berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang mulai gelap. “Betul. Perempuan itu akan menjadi kunci untuk men
“Dia melihat semua ini dari layar siaran,” lanjut Rio dengan mata berkaca-kaca. “Lo pikir semua tindakan lo tidak ada konsekuensinya? Keluarga kita… semua hancur karena ambisimu!”“Sudah, Rio,” potong Arya dengan nada menahan. “Jangan mulai di sini.”“Kenapa nggak?!” bentak Rio. “Kalian semua sibuk perang dan rebut kekuasaan! Sementara orang tua kita—keluarga kita—remuk di belakang kalian!”Suasana ruang kendali yang tadinya dipenuhi suara mesin kini berubah mencekam. Semua anak buah Abyan yang berada di sana terdiam, menyadari ini bukan sekadar pertengkaran keluarga biasa.Abyan perlahan menoleh ke Rio. Suaranya tenang tapi mengandung bara. "Gue ngelakukuin ini… supaya kita tidak terus hidup dalam bayang-bayang penindasan. Gue gak menyesal.”Rio maju selangkah, emosinya memuncak. .“Kalau semua harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang kita cintai… apa masih pantas disebut kemenangan, Abyan?”Pertanyaan itu menggantung tajam di udara, membuat Arya pun tertunduk dalam diam. Aby
Abyan mengatup rahangnya. “Kita tidak boleh mundur. Kalau kita kabur sekarang, mereka bakal menganggap kita lemah.” Dengan kode tangan, Abyan membagi tim jadi dua: satu tim menekan dari sisi kiri lorong, tim lain memutar lewat tangga darurat di kanan. Suara langkah berderap kencang, teriakan komando bercampur suara besi menghantam besi. Ledakan kecil meletus dari gr*nat asap yang dilempar Arya. Asap tebal menelan lorong, menyamarkan pandangan musuh. Dari balik asap, Abyan maju, senjata di tangan, menembak presisi ke arah cahaya senter. Dua orang lawan langsung terjatuh, tubuh mereka terhempas keras. Namun musuh lebih banyak dari perkiraan. Belasan orang turun dari atas tangga dengan senjata campuran: senapan laras panjang, tongkat listrik, bahkan parang. Bentrok jarak dekat tak bisa dihindari. Arya menghantam satu lawan dengan siku, lalu merebut senjata musuh lain sambil menendang mundur. “Cepat, Yan! Mereka nggak main-main!” Suara logam bergesekan, tubuh saling banting, ter
Kakek Bagaimana menatap monitor dengan wajah yang makin pucat. Tongkatnya keras ditepuk ke lantai. “Kalian bilang sudah aman—kenapa malah seperti ini?! Siapa yang berani main-main dengan jaringan kita?” suaranya memecah ruangan. Paman-paman saling pandang; beberapa menunduk, beberapa lagi sibuk membuka laptop. Renata yang duduk di sisi meja menggigit bibir sampai pucat. “Apa ini dampak dari bocoran itu?” desah seorang paman. “Kalau investor panik, kontrak akan runtuh.” Ridwan mengangkat kepala, matanya terlihat gelap. “Kami sudah periksa semua titik kontrol. Ada intervensi dari luar—sepertinya ada pemain baru yang sengaja menahan aliran. Ini bukan sekadar kebocoran dokumen; ini serangan terstruktur.” Seorang penasihat hukum cepat memberi saran hukum, suaranya terkontrol: “Kita harus keluarkan pernyataan perusahaan, lakukan audit internal separuh—tapi jangan panikkan publik. Hubungi regulator, tunjuk tim audit independen. Kita harus kelihatan kooperatif.” Namun kakek tidak
Abyan berjalan perlahan ke arah meja, menepuk bahu beberapa anak buahnya satu per satu.“Periksa lagi persenjataan kalian. Jangan ada kelalaian sekecil apa pun. Ingat, satu kesalahan bisa jadi bumerang untuk kita semua,” tegasnya.Suasana hening sesaat, lalu terdengar jawaban serempak, “Siap, Tuan!”Abyan menoleh pada Arya. “Kamu koordinasi di lapangan sisi timur. Saya mengambil alih sisi barat. Kita harus bergerak cepat, jangan beri mereka ruang untuk melawan.”Arya tersenyum tipis. “Paham. Dan seperti biasa, saya tidak akan membiarkan kamu sendirian.”Abyan menatap sahabatnya itu lebih lama, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai nanti malam. Untuk sekarang kalian persiapkan diri kalian dengan baik.”Di tengah hiruk pikuk persiapan, pikiran Abyan sempat melayang ke Nisa lagi. Senyum tipisnya muncul tanpa sadar, lalu cepat-cepat ia hilangkan agar tak terlihat orang lain. Ada kekuatan baru yang ia rasakan setiap kali mengingat Nisa, seolah semua perjuangan ini memang mempunyai arah yang j
Gudang tua yang mereka pilih sebagai markas baru itu kini sudah berubah wajah. Lampu-lampu sorot menyala terang, meja besar penuh peta dan berkas, serta rak berisi perangkat komunikasi, laptop, bahkan senjata non-mematikan yang disiapkan Arya.Abyan berdiri di tengah ruangan, wajahnya tegas tapi ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menatap layar proyektor yang menampilkan denah pergerakan keluarga besar, hasil intel anak buahnya yang baru tiba.“Waktu kita nggak banyak,” suara Abyan terdengar mantap. “Kakek pasti akan menggencarkan pencarian lagi. Kita harus siap sebelum mereka menemukan celah.”Arya mengangguk, sibuk mengutak-atik headset komunikasi di tangannya. “Orang-orang sudah standby, Yan. Mereka cuma butuh aba-aba dari lo.”Beberapa anak buah masuk, membawa kotak berisi perlengkapan tambahan—kamera kecil untuk mengintai, laptop cadangan, serta jalur komunikasi yang dipisahkan agar tak bisa dilacak. Suasana jadi semakin serius, seperti persiapan operasi besar.Abyan