Abyan menghela napas, suaranya tegas tapi lembut. "Kalau sampai itu terjadi, aku yang akan mundur dari semua rencana keluarga. Aku nggak mau kehilangan kamu, Nisa. Aku mau kita berjuang bareng, walaupun jalannya nggak mudah. Dalam hidupku cukup satu kali menikah."
Nisa menggigit bibir, hatinya seperti berperang antara ingin percaya dan takut kecewa. "Mas tahu kan… aku cuma nggak mau hidup dalam bayang-bayang orang lain. Aku nggak mau selalu dibandingkan dengan… dia." Abyan mengangguk pelan. "Aku ngerti. Makanya aku mau selesain semua ini dulu. Tapi yang jelas… hatiku udah milih kamu. Dan aku percaya, pertemuan kita ini bukan kebetulan. Tapi Allah yang ngatur." Keheningan menyelimuti kamar itu sejenak. Nisa menunduk lagi, jemarinya meremas ujung jilbabnya. "Baiklah… aku percaya sama Mas. Tapi aku nggak janji bisa selalu kuat." Abyan tersenyum tipis, lalu berkata lirih, "Kalau kamu nggak kuat, biar aku yang jadi kuat buat kita." Tidak lama kemudian, Abyan menatap Nisa dengan sorot mata yang penuh keyakinan. "Nisa… mulai malam ini, aku mau kamu pindah ke kamarku. Kita tidur bareng, nggak usah lagi terpisah kayak gini. Aku mau kita benar-benar suami istri, bukan cuma sekadar status di atas kertas." ucap Abyan. Nisa terdiam, jantungnya berdegup kencang. "Mas… apa nggak terlalu cepat? Kita kan baru…," ucapnya ragu, jemarinya saling meremas. Abyan tersenyum tipis, tapi nada suaranya mantap. "Aku serius, Nisa. Aku nggak mau hubungan kita setengah-setengah. Kalau aku udah memutuskan, berarti aku siap bertanggung jawab penuh. Aku mau kita belajar saling memahami dari dekat, bukan dari jarak." Nisa menunduk, berpikir keras. Ada rasa takut, tapi juga ada rasa percaya. "Kalau… kalau aku setuju, Mas janji nggak akan menyesal?" Abyan langsung mengangguk. "Janji. Dan aku nggak akan pernah menyesal." Akhirnya, dengan napas panjang, Nisa mengangguk pelan. "Baiklah…" Tanpa menunggu lama, Abyan bangkit dan membuka lemari kecil milik Nisa. Ia mengambil baju-baju yang terlipat rapi, hanya beberapa stel saja. "Sedikit banget baju kamu," komentarnya sambil tersenyum tipis. "Ya… cuma bawa yang perlu aja," jawab Nisa lirih. Padahal dia memang tidak punya banyak baju di rumahnya. Itu juga diberi orang lain yang memang sedikit mempunyai harta. Sesekali Nisa juga dibelikan baru bukan hanya bekas saja oleh keluarga Haji Sodiq. Sudah lebih dari dua tahun Ini memang Nisa bekerja di rumahnya. Abyan menaruh semua pakaian itu di lengannya, lalu berjalan menuju kamarnya. "Mulai malam ini, nggak ada lagi jarak di antara kita, Ya." Nisa mengikutinya perlahan, masih ada rasa gugup, tapi juga hangat yang mulai merayap di dadanya. ** Di kamar, suasana terasa berbeda. Lampu kamar hanya menyala redup, menyisakan cahaya hangat yang menenangkan. Abyan sudah duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Nisa duduk di tepi ranjang, memegang ujung selimut seperti mencari pegangan. Abyan menoleh, memperhatikan wajah istrinya yang jelas-jelas masih canggung. “Nis, kamu santai aja. Anggap ini… ya rumah kita,” ucapnya sambil tersenyum tipis. "Untuk sementara, kita di sini dulu." sambungnya. Nisa mengangguk pelan, tapi tatapannya masih ke bawah. “Iya… cuma… belum terbiasa, Mas.” Abyan tertawa kecil, tapi nada suaranya tetap lembut. “Aku ngerti. Aku juga masih belajar terbiasa ada kamu di sini. Tapi aku mau kita ngobrol sebelum tidur, biar pelan-pelan nggak ada canggung lagi.” Nisa mengangkat pandangan, ragu-ragu. “Ngobrol… tentang apa?” “Banyak. Tentang kamu, tentang aku, tentang apa aja. Misalnya… kamu suka makan apa?” tanya Abyan ringan. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi Nisa butuh waktu sebelum menjawab. “Hmm… sayur bening. Sama tempe goreng.” Abyan mengangguk, tersenyum. “Berarti gampang, nggak ribet. Kalau aku… suka apa ya? Kayaknya aku suka semua makanan, asal ada kamu yang masakin.” Nisa menahan senyum, tapi matanya masih menunjukkan rasa kikuk. “Mas bisa aja…” gumamnya. Abyan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah. “Nisa, aku nggak cuma bisa aja. Aku serius. Aku mau kamu tahu, mulai malam ini, kamu itu… rumah aku.” Kata-kata itu membuat Nisa terdiam lama. Ada rasa hangat sekaligus haru, meski mulutnya hanya bisa menjawab pelan, “Makasih, Mas…” Abyan menarik selimut, lalu menepuk sisi ranjang di sampingnya. “Udah, sekarang kita tidur. Tapi inget, kita bangun bareng juga nanti.” Nisa mengangguk, lalu perlahan merebahkan diri. Walau masih canggung, ia bisa merasakan satu hal—kehadiran Abyan di sisinya mulai membuatnya merasa aman. Setelah itu, Nisa berbaring membelakangi Abyan, memeluk guling. Suara detak jarum jam terdengar jelas di tengah keheningan malam. Abyan memiringkan tubuh, menghadap ke arah Nisa. “Kamu nggak ngantuk?” tanyanya pelan. "Sini jangan membelakangi... " Nisa berbalik, pandangannya tetap menunduk. “Ngantuk sih… tapi masih kepikiran aja,” jawab Nisa, suaranya hampir berbisik. “Kepikiran apa?” “Ya… semua ini. Cepet banget, Mas. Rasanya kayak mimpi, tau-tau kita udah serumah,” ucap Nisa sambil menatap kosong ke langit-langit kamar. . Abyan tersenyum kecil. “Berarti mimpinya indah dong?” Nisa menahan tawa, tapi hanya gelengan kecil yang keluar. “Mas… bisa aja.” “Bukan bisa aja, Nisa. Aku cuma mau bilang… walaupun kita mulai dengan cara yang nggak biasa, aku mau kita jalanin ini dengan hati yang bener. Pelan-pelan, tapi pasti,” kata Abyan sambil meraih selimutnya agar menutupi bahu Nisa yang sempat terbuka. Hati Nisa menghangat. Ia tak terbiasa diperlakukan sedekat itu, tapi anehnya, tidak ada rasa terancam. Malah ada sedikit rasa tenang. “Iya, Mas… semoga kita sama-sama kuat.” Abyan mengangguk. “Amin. Oh iya, Nis… besok pagi aku masakin sarapan, mau?” “Serius? Mas bisa masak?” tanya Nisa sambil menoleh setengah tidak percaya. “Bisa dong. Asal jangan kaget kalau nanti rasanya aneh,” candanya. Nisa terkekeh kecil, rasa canggungnya mulai memudar. “Ya udah, nanti aku temenin di dapur.” “Deal,” jawab Abyan sambil tersenyum puas. “Sekarang tidur, biar besok kita nggak kesiangan.” Nisa akhirnya memejamkan mata. Abyan pun ikut merebahkan diri, namun tetap menjaga jarak, membiarkan Nisa merasa aman. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak bersama, mereka tertidur dengan hati yang sedikit lebih ringan. *** "Tidak! Tidak! Jangan!" "Jangan bude... Ampun!" BersambungWanita muda itu tersenyum tipis, matanya tajam walau wajahnya terlihat lugu. “Tenang saja. Orang tidak akan curiga sama pedagang buah. Aku akan tahu siapa pun yang lewat di depan rumah itu.” Mereka berdua saling tukar pandang singkat. Sementara itu, dari dalam rumah, Nisa tengah duduk di ruang tamu, menuliskan sesuatu di buku catatannya, tak menyadari bahwa dunia di luar perlahan berubah. Ia hanya merasakan kegelisahan samar yang beberapa hari ini sering datang tanpa sebab. Di tempat lain, Rio mematikan alat komunikasinya, lalu menatap Paman Ridwan yang duduk di kursi kulit besar. “Langkah pertama selesai,” ucap Rio dengan nada puas. Ridwan mengangguk perlahan. “Jangan terburu-buru. Kita biarkan Abyan merasa aman. Saat fokusnya sepenuhnya tertuju pada perebutan kekuasaan, kita pukul dari titik terlemahnya.” Rio menyeringai licik. “Perempuan itu…” Ridwan berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang mulai gelap. “Betul. Perempuan itu akan menjadi kunci untuk men
“Dia melihat semua ini dari layar siaran,” lanjut Rio dengan mata berkaca-kaca. “Lo pikir semua tindakan lo tidak ada konsekuensinya? Keluarga kita… semua hancur karena ambisimu!”“Sudah, Rio,” potong Arya dengan nada menahan. “Jangan mulai di sini.”“Kenapa nggak?!” bentak Rio. “Kalian semua sibuk perang dan rebut kekuasaan! Sementara orang tua kita—keluarga kita—remuk di belakang kalian!”Suasana ruang kendali yang tadinya dipenuhi suara mesin kini berubah mencekam. Semua anak buah Abyan yang berada di sana terdiam, menyadari ini bukan sekadar pertengkaran keluarga biasa.Abyan perlahan menoleh ke Rio. Suaranya tenang tapi mengandung bara. "Gue ngelakukuin ini… supaya kita tidak terus hidup dalam bayang-bayang penindasan. Gue gak menyesal.”Rio maju selangkah, emosinya memuncak. .“Kalau semua harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang kita cintai… apa masih pantas disebut kemenangan, Abyan?”Pertanyaan itu menggantung tajam di udara, membuat Arya pun tertunduk dalam diam. Aby
Abyan mengatup rahangnya. “Kita tidak boleh mundur. Kalau kita kabur sekarang, mereka bakal menganggap kita lemah.” Dengan kode tangan, Abyan membagi tim jadi dua: satu tim menekan dari sisi kiri lorong, tim lain memutar lewat tangga darurat di kanan. Suara langkah berderap kencang, teriakan komando bercampur suara besi menghantam besi. Ledakan kecil meletus dari gr*nat asap yang dilempar Arya. Asap tebal menelan lorong, menyamarkan pandangan musuh. Dari balik asap, Abyan maju, senjata di tangan, menembak presisi ke arah cahaya senter. Dua orang lawan langsung terjatuh, tubuh mereka terhempas keras. Namun musuh lebih banyak dari perkiraan. Belasan orang turun dari atas tangga dengan senjata campuran: senapan laras panjang, tongkat listrik, bahkan parang. Bentrok jarak dekat tak bisa dihindari. Arya menghantam satu lawan dengan siku, lalu merebut senjata musuh lain sambil menendang mundur. “Cepat, Yan! Mereka nggak main-main!” Suara logam bergesekan, tubuh saling banting, ter
Kakek Bagaimana menatap monitor dengan wajah yang makin pucat. Tongkatnya keras ditepuk ke lantai. “Kalian bilang sudah aman—kenapa malah seperti ini?! Siapa yang berani main-main dengan jaringan kita?” suaranya memecah ruangan. Paman-paman saling pandang; beberapa menunduk, beberapa lagi sibuk membuka laptop. Renata yang duduk di sisi meja menggigit bibir sampai pucat. “Apa ini dampak dari bocoran itu?” desah seorang paman. “Kalau investor panik, kontrak akan runtuh.” Ridwan mengangkat kepala, matanya terlihat gelap. “Kami sudah periksa semua titik kontrol. Ada intervensi dari luar—sepertinya ada pemain baru yang sengaja menahan aliran. Ini bukan sekadar kebocoran dokumen; ini serangan terstruktur.” Seorang penasihat hukum cepat memberi saran hukum, suaranya terkontrol: “Kita harus keluarkan pernyataan perusahaan, lakukan audit internal separuh—tapi jangan panikkan publik. Hubungi regulator, tunjuk tim audit independen. Kita harus kelihatan kooperatif.” Namun kakek tidak
Abyan berjalan perlahan ke arah meja, menepuk bahu beberapa anak buahnya satu per satu.“Periksa lagi persenjataan kalian. Jangan ada kelalaian sekecil apa pun. Ingat, satu kesalahan bisa jadi bumerang untuk kita semua,” tegasnya.Suasana hening sesaat, lalu terdengar jawaban serempak, “Siap, Tuan!”Abyan menoleh pada Arya. “Kamu koordinasi di lapangan sisi timur. Saya mengambil alih sisi barat. Kita harus bergerak cepat, jangan beri mereka ruang untuk melawan.”Arya tersenyum tipis. “Paham. Dan seperti biasa, saya tidak akan membiarkan kamu sendirian.”Abyan menatap sahabatnya itu lebih lama, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai nanti malam. Untuk sekarang kalian persiapkan diri kalian dengan baik.”Di tengah hiruk pikuk persiapan, pikiran Abyan sempat melayang ke Nisa lagi. Senyum tipisnya muncul tanpa sadar, lalu cepat-cepat ia hilangkan agar tak terlihat orang lain. Ada kekuatan baru yang ia rasakan setiap kali mengingat Nisa, seolah semua perjuangan ini memang mempunyai arah yang j
Gudang tua yang mereka pilih sebagai markas baru itu kini sudah berubah wajah. Lampu-lampu sorot menyala terang, meja besar penuh peta dan berkas, serta rak berisi perangkat komunikasi, laptop, bahkan senjata non-mematikan yang disiapkan Arya.Abyan berdiri di tengah ruangan, wajahnya tegas tapi ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menatap layar proyektor yang menampilkan denah pergerakan keluarga besar, hasil intel anak buahnya yang baru tiba.“Waktu kita nggak banyak,” suara Abyan terdengar mantap. “Kakek pasti akan menggencarkan pencarian lagi. Kita harus siap sebelum mereka menemukan celah.”Arya mengangguk, sibuk mengutak-atik headset komunikasi di tangannya. “Orang-orang sudah standby, Yan. Mereka cuma butuh aba-aba dari lo.”Beberapa anak buah masuk, membawa kotak berisi perlengkapan tambahan—kamera kecil untuk mengintai, laptop cadangan, serta jalur komunikasi yang dipisahkan agar tak bisa dilacak. Suasana jadi semakin serius, seperti persiapan operasi besar.Abyan