Share

Wanita Pilihan

Penulis: Ijahkhadijah92
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-20 15:02:43

Malam ini Nisa kembali mengigau dengan rasakan yang hampir sama seperti malam sebelumnya. Abyan tidak membayangkan beberapa hati lalu dia tidak ada di rumah. Berarti Nisa juga mengigau seperti sekarang. "Aku janji akan membuat kamu pulih. Semoga saja tidak terlambat." Gumam Abyan di dalam hatinya. Dia tidak tega dengan Nabila yang bahkan sampai gemetar. Abyan hanya bisa memeluknya untuk meredam kegelisahan Nisa.

***

Pagi harinya, sinar matahari masuk lewat celah gorden, mengenai wajah Nisa yang masih setengah terlelap. Ia mengerjap pelan, lalu sadar bahwa ia kini berada di kamar yang sama dengan Abyan.

Aroma tumisan bawang langsung menyeruak ke hidungnya. Nisa bangun dan duduk, merapikan kerudung tidur yang semalam masih melekat di kepalanya. Ternyata pintu kamarnya terbuka. Nisa sampai terperanjat karena pintu itu terbuka lebar. Apa sengaja? pikirnya.

Sedangkan di dapur, Abyan tampak sibuk mengaduk wajan sambil menatap panci di sebelahnya. “Nah… kalau warnanya udah begini, artinya…,” gumamnya sendiri, lalu mencicipi sedikit. Ekspresinya berubah. “Hmm… kayaknya keasinan deh.”

Ya, Abyan menepati janjinya untuk memasak pagi ini. Kebetulan pagi ini Bi Rini sedang ke pasar, jadi Abyan meminta Bi Rini gak usah memasak untuk dirinya.

Tisak lama kemudian Nisa muncul di pintu dapur sambil tersenyum kecil. “Mas lagi masak apa?”

Abyan menoleh cepat. “Loh, kamu udah bangun.? Aku masak telur balado sama sop. Tapi… kayaknya garamnya kebanyakan.”

Nisa terkikik. “Biasanya orang baru bangun tidur, masak air aja bisa gosong, Mas. Ini udah lumayan.”

“Wah, komentar itu harusnya disimpan di hati, bukan diucapin,” jawab Abyan sambil pura-pura cemberut.

Nisa mendekat, lalu mengambil sendok untuk mencicipi sop buatan Abyan. Ia menahan tawa. “Hmm… asin sih, tapi enak. Kayaknya kalau ditambahin kentang, rasanya bisa pas.”

Nisa sudah terbiasa masak, tapi hanya masak saja dan sekedar mencicipi rasanya. Setiap budenya menyuruh masak, Nisa sangat jarang ikut makan. Karena biasanya baru matang saja sudah disembunyikan oleh budenya. Nisa hanya memakan kuah atau bumbu apa yang dia masak tadi.

"Ada nasi aja udah beruntung kamu! Hidup numpang itu jangan belagu."

Itulah kata-kata yang selalu keluar dari mulut budenya saat dia ingin makan aa yang sudah ia masak.

“Ya udah, berarti chef-nya harus nerima saran dari Nyonya rumah,” kata Abyan sambil mengambil kentang.

Mereka pun mengupas dan memotong kentang bersama. Tangan mereka sesekali bersentuhan, membuat Nisa buru-buru mengalihkan pandangan.

“Eh, Nis…” Abyan tiba-tiba memanggil pelan.

“Iya?”

“Aku senang banget melihat kamu di sini. Rasanya… rumah ini jadi beneran rumah,” ucap Abyan sambil menatapnya sebentar.

Abyan sendiri memang sering tidak pernah ada di rumah. Hari-harinya sibuk bekerja karena itu tuntutan dari keluarga besarnya. Pulang ke rumah orang tuanya juga sama saja, mereka banyak menuntut.

Nisa terdiam, wajahnya memanas. Ia memilih fokus memotong kentang, tapi di dalam hatinya, ada rasa yang perlahan tumbuh, meski masih dibalut rasa ragu.

Setelah semua masakan matang, Abyan menata piring dan gelas di meja makan, sementara Nisa menuangkan sop ke mangkuk. Aroma sedap langsung memenuhi ruangan itu.

Mereka duduk berhadapan. Abyan menunggu Nisa mencicipi duluan. “Gimana? Udah pas belum?” tanyanya penuh harap.

Nisa tersenyum tipis setelah menyeruput kuah sop. “Hmm… pas. Kayaknya kentangnya menyelamatkan garamnya, Mas.”

Abyan mengangguk puas. “Berarti kita cocok, ya. Kamu bagian menyelamatkan, aku bagian… bikin masalah.”

Nisa menahan tawa sambil mengaduk nasinya. “Waduh, kalau begitu aku harus siap kerja lembur tiap hari.”

Obrolan itu membuat suasana lebih cair. Mereka makan perlahan, sambil sesekali saling melempar komentar.

Setelah beberapa suap, Abyan menatap Nisa serius. “Nisa, aku tahu hubungan kita masih baru… dan masih banyak hal yang belum kita bicarakan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku nggak main-main sama pernikahan ini.”

Nisa menunduk, mengaduk sop di mangkuknya. “Aku ngerti, Mas. Tapi… jujur aja, aku masih takut. Takut kalau semua ini cuma sebentar.”

Abyan meletakkan sendoknya. “Kalau aku cuma mau sebentar, aku nggak akan minta kamu pindah ke kamarku, dan nggak akan masakin kamu pagi-pagi begini.”

Nisa mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Abyan yang hangat tapi tegas. Ada sesuatu di sana—keyakinan yang perlahan membuat dinding hatinya retak.

Mereka kembali melanjutkan sarapan dalam diam yang nyaman. Sesekali, senyum kecil muncul di bibir mereka, seolah masing-masing mulai menemukan alasan untuk tetap tinggal.

Baru saja selesai makan, Abyan menghela napas panjang, menatap layar ponsel yang berkedip memunculkan nama Renata.

Ia melirik Nisa yang sedang membereskan meja makan.

“Nisa…” suaranya terdengar hati-hati, “aku angkat ya? Biar nggak ada kesan aku melakukan ini di belakang kamu.”

Nisa menoleh, mengangguk singkat walau raut wajahnya menyiratkan sedikit gelisah. “Silakan, Mas. Itu urusan Mas.”

Abyan menekan tombol hijau.

“Abyan, kamu di mana? Kenapa dari kemarin ponsel kamu mati terus?!” suara Renata langsung terdengar tinggi, penuh tuntutan.

Abyan mengatup rahang. “Aku lagi sibuk, Ren.”

“Sibuk? Sibuk sama apa? Papa udah nunggu kamu datang—”

“Aku bilang sibuk, Ren. Jangan tanya panjang lebar,” potong Abyan, nada suaranya dingin.

Nisa yang duduk di kursi mulai menunduk, berusaha tak mendengarkan, tapi telinganya tetap menangkap potongan percakapan itu.

Renata terdengar menghela napas di seberang. “Kita ini tunangan, Byan. Wajar kan kalau aku khawatir?”

Abyan melirik Nisa sejenak sebelum menjawab. “Aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu, aku lagi nggak bisa diatur-atur kayak anak kecil. Nanti aku hubungin kalau urusanku selesai.”

Tanpa menunggu jawaban, Abyan memutus panggilan. Ia meletakkan ponsel di meja dengan bunyi thak kecil.

“Ganggu banget…” gumamnya kesal.

Nisa menelan ludah, ragu untuk berbicara. “Mas… kalau mau bicara sama dia lebih lama juga nggak apa-apa. Aku ngerti kok.”

Abyan menatapnya serius. “Nisa, aku cuma mau ngomong sama kamu lebih lama, bukan sama dia.”

Nada tegas itu membuat Nisa tak sanggup membalas. Hatinya berdebar, tapi juga dibayang-bayangi rasa takut yang belum hilang.

Beberapa menit setelah panggilan berakhir, ponsel Abyan kembali bergetar.

Kali ini bukan telepon, melainkan serangkaian notifikasi pesan dari Renata.

Abyan menatap layar, rahangnya mengeras. Nisa hanya melirik sekilas, tapi tulisan singkat yang terbaca membuat dadanya sedikit sesak:

("Byan, kita ini mau nikah. Jangan bikin aku kayak orang bodoh di depan keluarga. Aku udah capek nyariin kamu. Papa Mama juga mulai curiga. Tolong jangan hindari aku gini…")

Pesan demi pesan masuk, nadanya berganti-ganti—dari marah, memohon, hingga merajuk.

Nisa berpura-pura sibuk mengelap meja, padahal matanya mulai terasa panas.

Abyan mematikan layar ponselnya, lalu berjalan mendekat. “Nisa, jangan dipikirkan.”

“Aku nggak mikirin,” jawab Nisa cepat, walau senyumnya terlihat kaku.

“Nisa…” Abyan memanggil lembut, “aku serius. Aku yang akan hadapi ini. Kamu nggak usah takut kalah sama dia. Aku nggak akan lepasin kamu.”

Nisa menunduk, mencoba menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.

“Tapi Mas… aku nggak mau jadi orang ketiga di hubungan siapa pun, walau Mas bilangnya cuma perjodohan.”

Abyan menarik napas panjang, lalu menangkup wajah Nisa dengan kedua tangannya. “Kamu itu satu-satunya yang aku mau. Dan aku bakal buktiin itu, meski harus melawan semua orang di keluargaku sendiri dan juga perlu waktu.”

Ketegangan di udara membuat Nisa ingin percaya… tapi juga takut untuk terlalu berharap. Tapi untuk sekarang Nisa hanya bisa pasrah.

***

Malam harinya, setelah semua pekerjaan selesai dan rumah kembali tenang, Abyan duduk di sudut ranjang sambil menatap layar ponselnya. Hari ini dia memang tidak pergi bekerja.

Tangannya bergerak cepat, menuliskan draft pesan untuk seseorang—namun berulang kali dihapus.

Nisa yang sudah berbaring di sisi lain pura-pura memejamkan mata, padahal telinganya cukup awas menangkap suara helaan napas Abyan yang berat.

Akhirnya Abyan menekan tombol panggil.

Suara berat di seberang menjawab, “Ya, Byan? Tumben nelpon malam-malam.”

“Kek…” suara Abyan terdengar hati-hati, “aku mau bicara soal perjodohan ini. Aku… aku nggak bisa melanjutkan.”

Nisa spontan membuka mata, menatap punggung Abyan yang tegang.

“Kamu ini ngomong apa? Semua sudah diatur. Tinggal nunggu hari saja,” suara kakeknya meninggi.

Abyan mengusap wajahnya, berusaha tetap tenang. “Aku tahu Kek, tapi aku ingin menikah… sama perempuan yang aku pilih sendiri.”

Hening.

Lalu terdengar suara kakeknya, dingin dan tegas, “Kamu sadar nggak, berapa besar malu yang akan keluarga kita tanggung?”

Nisa menggigit bibir, hatinya tercekat. Ia tak pernah berniat merusak hubungan Abyan dengan keluarganya.

Abyan menjawab mantap, “Aku lebih takut kehilangan ridha Allah daripada kehilangan nama baik di mata orang, Kek. Aku mohon, izinkan aku menikah dengan orang yang aku cintai dan ya, wanita yang menjadi kriteria aku.”

Sambungan telepon itu berakhir tanpa restu, hanya dengan kalimat terakhir kakeknya yang tajam:

“Kamu sudah memilih jalanmu sendiri, Byan. Jangan harap bantuan keluarga lagi.”

Abyan menatap layar yang gelap, lalu tersenyum tipis ke arah Nisa. “Mulai malam ini, kita cuma punya satu sama lain.”

***

"Abyan! Di mana kamu sekarang? Pulang!"

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Nekat

    Wanita muda itu tersenyum tipis, matanya tajam walau wajahnya terlihat lugu. “Tenang saja. Orang tidak akan curiga sama pedagang buah. Aku akan tahu siapa pun yang lewat di depan rumah itu.” Mereka berdua saling tukar pandang singkat. Sementara itu, dari dalam rumah, Nisa tengah duduk di ruang tamu, menuliskan sesuatu di buku catatannya, tak menyadari bahwa dunia di luar perlahan berubah. Ia hanya merasakan kegelisahan samar yang beberapa hari ini sering datang tanpa sebab. Di tempat lain, Rio mematikan alat komunikasinya, lalu menatap Paman Ridwan yang duduk di kursi kulit besar. “Langkah pertama selesai,” ucap Rio dengan nada puas. Ridwan mengangguk perlahan. “Jangan terburu-buru. Kita biarkan Abyan merasa aman. Saat fokusnya sepenuhnya tertuju pada perebutan kekuasaan, kita pukul dari titik terlemahnya.” Rio menyeringai licik. “Perempuan itu…” Ridwan berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang mulai gelap. “Betul. Perempuan itu akan menjadi kunci untuk men

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Serangan Balik

    “Dia melihat semua ini dari layar siaran,” lanjut Rio dengan mata berkaca-kaca. “Lo pikir semua tindakan lo tidak ada konsekuensinya? Keluarga kita… semua hancur karena ambisimu!”“Sudah, Rio,” potong Arya dengan nada menahan. “Jangan mulai di sini.”“Kenapa nggak?!” bentak Rio. “Kalian semua sibuk perang dan rebut kekuasaan! Sementara orang tua kita—keluarga kita—remuk di belakang kalian!”Suasana ruang kendali yang tadinya dipenuhi suara mesin kini berubah mencekam. Semua anak buah Abyan yang berada di sana terdiam, menyadari ini bukan sekadar pertengkaran keluarga biasa.Abyan perlahan menoleh ke Rio. Suaranya tenang tapi mengandung bara. "Gue ngelakukuin ini… supaya kita tidak terus hidup dalam bayang-bayang penindasan. Gue gak menyesal.”Rio maju selangkah, emosinya memuncak. .“Kalau semua harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang kita cintai… apa masih pantas disebut kemenangan, Abyan?”Pertanyaan itu menggantung tajam di udara, membuat Arya pun tertunduk dalam diam. Aby

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Alih Kendali

    Abyan mengatup rahangnya. “Kita tidak boleh mundur. Kalau kita kabur sekarang, mereka bakal menganggap kita lemah.” Dengan kode tangan, Abyan membagi tim jadi dua: satu tim menekan dari sisi kiri lorong, tim lain memutar lewat tangga darurat di kanan. Suara langkah berderap kencang, teriakan komando bercampur suara besi menghantam besi. Ledakan kecil meletus dari gr*nat asap yang dilempar Arya. Asap tebal menelan lorong, menyamarkan pandangan musuh. Dari balik asap, Abyan maju, senjata di tangan, menembak presisi ke arah cahaya senter. Dua orang lawan langsung terjatuh, tubuh mereka terhempas keras. Namun musuh lebih banyak dari perkiraan. Belasan orang turun dari atas tangga dengan senjata campuran: senapan laras panjang, tongkat listrik, bahkan parang. Bentrok jarak dekat tak bisa dihindari. Arya menghantam satu lawan dengan siku, lalu merebut senjata musuh lain sambil menendang mundur. “Cepat, Yan! Mereka nggak main-main!” Suara logam bergesekan, tubuh saling banting, ter

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Bentrok Pertama

    Kakek Bagaimana menatap monitor dengan wajah yang makin pucat. Tongkatnya keras ditepuk ke lantai. “Kalian bilang sudah aman—kenapa malah seperti ini?! Siapa yang berani main-main dengan jaringan kita?” suaranya memecah ruangan. Paman-paman saling pandang; beberapa menunduk, beberapa lagi sibuk membuka laptop. Renata yang duduk di sisi meja menggigit bibir sampai pucat. “Apa ini dampak dari bocoran itu?” desah seorang paman. “Kalau investor panik, kontrak akan runtuh.” Ridwan mengangkat kepala, matanya terlihat gelap. “Kami sudah periksa semua titik kontrol. Ada intervensi dari luar—sepertinya ada pemain baru yang sengaja menahan aliran. Ini bukan sekadar kebocoran dokumen; ini serangan terstruktur.” Seorang penasihat hukum cepat memberi saran hukum, suaranya terkontrol: “Kita harus keluarkan pernyataan perusahaan, lakukan audit internal separuh—tapi jangan panikkan publik. Hubungi regulator, tunjuk tim audit independen. Kita harus kelihatan kooperatif.” Namun kakek tidak

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Ada Perangkap

    Abyan berjalan perlahan ke arah meja, menepuk bahu beberapa anak buahnya satu per satu.“Periksa lagi persenjataan kalian. Jangan ada kelalaian sekecil apa pun. Ingat, satu kesalahan bisa jadi bumerang untuk kita semua,” tegasnya.Suasana hening sesaat, lalu terdengar jawaban serempak, “Siap, Tuan!”Abyan menoleh pada Arya. “Kamu koordinasi di lapangan sisi timur. Saya mengambil alih sisi barat. Kita harus bergerak cepat, jangan beri mereka ruang untuk melawan.”Arya tersenyum tipis. “Paham. Dan seperti biasa, saya tidak akan membiarkan kamu sendirian.”Abyan menatap sahabatnya itu lebih lama, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai nanti malam. Untuk sekarang kalian persiapkan diri kalian dengan baik.”Di tengah hiruk pikuk persiapan, pikiran Abyan sempat melayang ke Nisa lagi. Senyum tipisnya muncul tanpa sadar, lalu cepat-cepat ia hilangkan agar tak terlihat orang lain. Ada kekuatan baru yang ia rasakan setiap kali mengingat Nisa, seolah semua perjuangan ini memang mempunyai arah yang j

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Persiapan

    Gudang tua yang mereka pilih sebagai markas baru itu kini sudah berubah wajah. Lampu-lampu sorot menyala terang, meja besar penuh peta dan berkas, serta rak berisi perangkat komunikasi, laptop, bahkan senjata non-mematikan yang disiapkan Arya.Abyan berdiri di tengah ruangan, wajahnya tegas tapi ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menatap layar proyektor yang menampilkan denah pergerakan keluarga besar, hasil intel anak buahnya yang baru tiba.“Waktu kita nggak banyak,” suara Abyan terdengar mantap. “Kakek pasti akan menggencarkan pencarian lagi. Kita harus siap sebelum mereka menemukan celah.”Arya mengangguk, sibuk mengutak-atik headset komunikasi di tangannya. “Orang-orang sudah standby, Yan. Mereka cuma butuh aba-aba dari lo.”Beberapa anak buah masuk, membawa kotak berisi perlengkapan tambahan—kamera kecil untuk mengintai, laptop cadangan, serta jalur komunikasi yang dipisahkan agar tak bisa dilacak. Suasana jadi semakin serius, seperti persiapan operasi besar.Abyan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status