Share

Permintaan Abyan

last update Last Updated: 2025-08-13 22:37:28

"Menurut kamu bagaimana hubungan kita?" Tanya Abyan kepada Nisa setelah ia mengakhiri panggilannya dengan Arya.

Nisa yang sedang membaca Alquran menutupnya lalu menoleh kearah Abyan. "M-maksudnya?"

"Hubungan kita untuk kedepannya bagaimana?" Tanya Abyan.

"Oh... Em, eu... " Nisa berpikir sejenak, lalu ia menghela napas pelan. "S-saya bagaimana masnya aja, s-saya terima apa pun keputusan nya. Karena Saya tahu kalau kemarin Mas Abyan menerima saya karena terdesak." Jawab Nisa, ia menunduk. "Saya tidak ingin berharap lebih," Gumam Nisa di dalam hati. Dia tidak berani mengungkapkan itu karena dia juga berpikir lagi tentang dirinya yang apalah, dia tahu kalau Abyan tidak pantas untuknya yang hanya gadis desa.

Abyan menatap Nisa cukup lama, seolah berusaha membaca apa yang sebenarnya ada di balik kata-katanya. Napasnya terdengar berat, tapi bukan karena marah—lebih seperti sedang menahan sesuatu yang ingin diucapkan.

"Aku nggak mau hubungan kita cuma karena terpaksa, Nisa," ucap Abyan pelan, tapi tegas. "Kalau memang kita sudah menikah, aku mau kita sama-sama melangkah, bukan cuma aku atau cuma kamu."

Nisa menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. "Tapi… Mas, saya ini… nggak ada apa-apanya dibanding Mas. Saya nggak pintar ngomong, nggak cantik, nggak punya apa-apa. Saya cuma gadis desa yang tiba-tiba—"

Abyan memotong, suaranya agak meninggi, "Berhenti ngomong kayak gitu! Nilai orang nggak diukur dari uang atau gelar. Kalau aku mau orang yang punya semuanya, aku nggak akan ada di sini sama kamu sekarang."

Mata Nisa memanas, tapi ia memalingkan wajah, takut Abyan melihatnya berkaca-kaca. "Saya cuma takut Mas nyesel."

Abyan tersenyum tipis, lalu menghela napas. "Kalau aku nyesel, mungkin aku nggak akan nanya pendapat kamu barusan." Ia mencondongkan tubuh sedikit, mencoba menangkap tatapan Nisa. "Jadi, mulai sekarang… bisakah kita coba saling belajar untuk percaya?"

Nisa terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baik, Mas."

Suasana kamar menjadi hening, hanya terdengar suara angin yang menyelinap dari jendela. Tapi di hati keduanya, ada getaran halus yang mulai tumbuh, meski belum berani mereka namai.

Abyan menarik napas panjang, lalu duduk lebih tegak. Tatapannya lurus ke arah Nisa, seolah ingin memastikan bahwa kata-katanya nanti tidak akan disalahartikan.

"Nisa… ada hal yang harus kamu tahu," ucapnya pelan tapi mantap. "Sebelum semua ini terjadi, aku memang sudah dijodohkan dengan seseorang. Tunangan, tepatnya."

Nisa terpaku, namun tidak terlihat kaget. Ia hanya menunduk, jari-jarinya meremas ujung mukena yang masih ia kenakan. "Oh…" hanya itu yang keluar dari bibirnya.

"Aku nggak mau bohong. Pernikahan kita ini… memang datang tiba-tiba. Dan aku nggak mau kamu merasa dibohongi atau cuma jadi pelarian," lanjut Abyan, suaranya mengalun rendah.

Nisa menghela napas pelan, lalu menatap Abyan dengan mata sendu. "Mas… saya nggak mau mempersulit. Kalau memang Mas mau kembali ke tunangan Mas, saya terima. Saya nggak mau memaksakan diri untuk dipertahankan. Apalagi… kemarin itu kan cuma salah paham."

Abyan terdiam, dadanya terasa sesak mendengar nada pasrah di suara Nisa. "Kamu pikir semua ini cuma salah paham?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

Nisa menunduk lagi. "Saya cuma takut Mas nyesel… karena saya bukan orang yang Mas pilih dari awal."

Abyan memejamkan mata sejenak, mencoba meredam rasa frustrasi yang mulai muncul. "Nisa… aku nggak mau kamu berpikir kalau posisimu di hidupku cuma sementara. Aku yang akan tentukan ke mana langkah kita. Dan kalaupun aku punya masa lalu… aku yang akan membereskan itu. Bukan berarti kamu harus mundur."

Nisa terdiam. Hatinya ingin percaya, tapi logika masih menahan. Ia hanya menjawab pelan, "Saya serahkan semua pada Mas."

Abyan mengangguk, meski hatinya mengerti bahwa di balik kepasrahan itu, Nisa masih menyimpan keraguan yang dalam.

***

Ponsel Abyan kembali berdering, kali ini terpampang nama Papanya di layar. Ia sempat ragu untuk mengangkat, namun akhirnya menekan tombol hijau juga.

"Hallo, Pa," suaranya dibuat senormal mungkin.

"Byan, kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Kakek kamu nyariin terus dari tadi," suara Papanya terdengar cemas, tapi juga sedikit menuntut.

Abyan menelan ludah, melirik sekilas ke arah Nisa yang sedang membereskan mushaf di meja. "Maaf, Pa… aku nggak bisa. Aku lagi pegang proyek penting, harus selesai hari ini juga."

"Proyek penting? Ini kakek kamu, Byan. Beliau terus nanyain kamu," Papanya terdengar tidak puas dengan jawaban itu.

Abyan menekan keningnya, mencoba menahan nada frustrasi. "Pa, tolong sampaikan ke kakek, aku bener-bener nggak bisa ninggalin pekerjaan sekarang. Nanti kalau sudah longgar, aku datang."

"Tapi—"

"Maaf, Pa, aku harus tutup dulu. Ada klien yang menghubungi aku." Abyan memutus sambungan lebih cepat, dadanya berdegup kencang.

Ia tahu itu bukan proyek apa pun. Itu hanya alasan. Dia sengaja berbohong karena tidak ingin siapa pun di keluarganya—terutama kakeknya—tahu bahwa ia sedang tinggal bersama Nisa di sini.

Di samping itu juga Abyan kadang merasa capek dengan pekerjaannya yang menumpuk. Sering kali dia harus meninjau ke lokasi yang jauh dari kota secara langsung. Bahkan dia juga sering kali lembur. Entahlah dia dianggap apa di keluarganya.

Nisa menatapnya sebentar, ragu apakah harus bertanya atau tidak. "Ada apa, Mas?" tanyanya pelan.

Abyan hanya tersenyum tipis. "Nggak ada. Urusan kerjaan." Tapi dalam hati, ia merasa beban itu semakin berat, karena kebohongan yang ia bangun kini mulai bercabang ke banyak arah.

Baru saja Abyan meletakkan ponselnya. Ponsel Abyan kembali berdering, kali ini nama Renata terpampang jelas di layar.

Abyan melirik sebentar ke arah Nisa, yang kini sibuk merapikan sajadah. Ia menghela napas, lalu memutuskan untuk mengangkat panggilan itu tanpa menyalakan loudspeaker.

"Halo, Ren," suaranya terdengar datar.

"Byan, kamu di mana? Kakek nyariin kamu dari tadi. Aku juga… kita perlu bicara soal pernikahan kita," suara Renata terdengar agak manja namun mendesak.

Abyan menggeser duduknya, posisinya kini setengah menghadap Nisa. "Ren, aku nggak bisa sekarang. Ada urusan."

"Aduh, urusan apa sih yang lebih penting dari ini? Aku capek, Byan. Semua orang di rumah nanyain kapan kita menikah. Aku jadi nggak fokus. Mana aku mau sidang skripsi."

Abyan mengatupkan rahang. "Ren, aku nggak bisa janji apa pun sekarang. Kita bicarain nanti."

"Apa kamu menghindar dari aku?" Nada Renata meninggi.

"Nggak. Aku cuma lagi di tempat yang… nggak bisa aku jelasin panjang lebar sekarang."

Sebelum Renata bisa bertanya lagi, Abyan mengucapkan, "Nanti aku hubungi lagi," lalu memutuskan panggilan dan kembali menonaktifkan ponselnya.

Nisa yang sejak tadi berpura-pura tidak mendengar, menatap Abyan sekilas. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan.

"Itu… tunangan Mas?" tanyanya pelan.

Abyan mengangguk tanpa berusaha mengelak. "Iya. Dan aku nggak mau bohong sama kamu soal itu."

Nisa tersenyum tipis, meski senyumnya tampak dipaksakan. "Mas nggak perlu jelasin kalau nggak mau. Saya… nggak mau ikut campur urusan Mas. Lagian, kita juga… nggak punya ikatan apa-apa."

"Nisa…" Abyan menatapnya serius. "Aku tahu ini bikin kamu nggak nyaman. Tapi aku nggak mau ada yang ditutupi. Kalau pun nanti aku harus memilih… aku mau itu berdasarkan kejujuran, bukan kebohongan."

Nisa hanya menunduk, jemarinya meremas ujung sajadah. Dalam hatinya, ia berpikir untuk tidak berharap lebih kepada Abyan.

***

Abyan menggeser duduknya lebih dekat, matanya menatap lurus ke arah Nisa yang masih menunduk.

"Nisa, aku minta kamu percaya sama aku. Kita jalani dulu hubungan ini… meskipun harus dirahasiakan dari keluargaku. Aku cuma butuh waktu. Waktu untuk meyakinkan mereka… untuk memperjuangkan supaya pernikahan kita sah secara resmi."

Nisa mengangkat kepalanya perlahan, menatap Abyan penuh ragu. "Kalau pada akhirnya… Mas nggak bisa meyakinkan mereka?"

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Nekat

    Wanita muda itu tersenyum tipis, matanya tajam walau wajahnya terlihat lugu. “Tenang saja. Orang tidak akan curiga sama pedagang buah. Aku akan tahu siapa pun yang lewat di depan rumah itu.” Mereka berdua saling tukar pandang singkat. Sementara itu, dari dalam rumah, Nisa tengah duduk di ruang tamu, menuliskan sesuatu di buku catatannya, tak menyadari bahwa dunia di luar perlahan berubah. Ia hanya merasakan kegelisahan samar yang beberapa hari ini sering datang tanpa sebab. Di tempat lain, Rio mematikan alat komunikasinya, lalu menatap Paman Ridwan yang duduk di kursi kulit besar. “Langkah pertama selesai,” ucap Rio dengan nada puas. Ridwan mengangguk perlahan. “Jangan terburu-buru. Kita biarkan Abyan merasa aman. Saat fokusnya sepenuhnya tertuju pada perebutan kekuasaan, kita pukul dari titik terlemahnya.” Rio menyeringai licik. “Perempuan itu…” Ridwan berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang mulai gelap. “Betul. Perempuan itu akan menjadi kunci untuk men

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Serangan Balik

    “Dia melihat semua ini dari layar siaran,” lanjut Rio dengan mata berkaca-kaca. “Lo pikir semua tindakan lo tidak ada konsekuensinya? Keluarga kita… semua hancur karena ambisimu!”“Sudah, Rio,” potong Arya dengan nada menahan. “Jangan mulai di sini.”“Kenapa nggak?!” bentak Rio. “Kalian semua sibuk perang dan rebut kekuasaan! Sementara orang tua kita—keluarga kita—remuk di belakang kalian!”Suasana ruang kendali yang tadinya dipenuhi suara mesin kini berubah mencekam. Semua anak buah Abyan yang berada di sana terdiam, menyadari ini bukan sekadar pertengkaran keluarga biasa.Abyan perlahan menoleh ke Rio. Suaranya tenang tapi mengandung bara. "Gue ngelakukuin ini… supaya kita tidak terus hidup dalam bayang-bayang penindasan. Gue gak menyesal.”Rio maju selangkah, emosinya memuncak. .“Kalau semua harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang kita cintai… apa masih pantas disebut kemenangan, Abyan?”Pertanyaan itu menggantung tajam di udara, membuat Arya pun tertunduk dalam diam. Aby

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Alih Kendali

    Abyan mengatup rahangnya. “Kita tidak boleh mundur. Kalau kita kabur sekarang, mereka bakal menganggap kita lemah.” Dengan kode tangan, Abyan membagi tim jadi dua: satu tim menekan dari sisi kiri lorong, tim lain memutar lewat tangga darurat di kanan. Suara langkah berderap kencang, teriakan komando bercampur suara besi menghantam besi. Ledakan kecil meletus dari gr*nat asap yang dilempar Arya. Asap tebal menelan lorong, menyamarkan pandangan musuh. Dari balik asap, Abyan maju, senjata di tangan, menembak presisi ke arah cahaya senter. Dua orang lawan langsung terjatuh, tubuh mereka terhempas keras. Namun musuh lebih banyak dari perkiraan. Belasan orang turun dari atas tangga dengan senjata campuran: senapan laras panjang, tongkat listrik, bahkan parang. Bentrok jarak dekat tak bisa dihindari. Arya menghantam satu lawan dengan siku, lalu merebut senjata musuh lain sambil menendang mundur. “Cepat, Yan! Mereka nggak main-main!” Suara logam bergesekan, tubuh saling banting, ter

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Bentrok Pertama

    Kakek Bagaimana menatap monitor dengan wajah yang makin pucat. Tongkatnya keras ditepuk ke lantai. “Kalian bilang sudah aman—kenapa malah seperti ini?! Siapa yang berani main-main dengan jaringan kita?” suaranya memecah ruangan. Paman-paman saling pandang; beberapa menunduk, beberapa lagi sibuk membuka laptop. Renata yang duduk di sisi meja menggigit bibir sampai pucat. “Apa ini dampak dari bocoran itu?” desah seorang paman. “Kalau investor panik, kontrak akan runtuh.” Ridwan mengangkat kepala, matanya terlihat gelap. “Kami sudah periksa semua titik kontrol. Ada intervensi dari luar—sepertinya ada pemain baru yang sengaja menahan aliran. Ini bukan sekadar kebocoran dokumen; ini serangan terstruktur.” Seorang penasihat hukum cepat memberi saran hukum, suaranya terkontrol: “Kita harus keluarkan pernyataan perusahaan, lakukan audit internal separuh—tapi jangan panikkan publik. Hubungi regulator, tunjuk tim audit independen. Kita harus kelihatan kooperatif.” Namun kakek tidak

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Ada Perangkap

    Abyan berjalan perlahan ke arah meja, menepuk bahu beberapa anak buahnya satu per satu.“Periksa lagi persenjataan kalian. Jangan ada kelalaian sekecil apa pun. Ingat, satu kesalahan bisa jadi bumerang untuk kita semua,” tegasnya.Suasana hening sesaat, lalu terdengar jawaban serempak, “Siap, Tuan!”Abyan menoleh pada Arya. “Kamu koordinasi di lapangan sisi timur. Saya mengambil alih sisi barat. Kita harus bergerak cepat, jangan beri mereka ruang untuk melawan.”Arya tersenyum tipis. “Paham. Dan seperti biasa, saya tidak akan membiarkan kamu sendirian.”Abyan menatap sahabatnya itu lebih lama, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai nanti malam. Untuk sekarang kalian persiapkan diri kalian dengan baik.”Di tengah hiruk pikuk persiapan, pikiran Abyan sempat melayang ke Nisa lagi. Senyum tipisnya muncul tanpa sadar, lalu cepat-cepat ia hilangkan agar tak terlihat orang lain. Ada kekuatan baru yang ia rasakan setiap kali mengingat Nisa, seolah semua perjuangan ini memang mempunyai arah yang j

  • Menjadi Istri Rahasia CEO Penyayang   Persiapan

    Gudang tua yang mereka pilih sebagai markas baru itu kini sudah berubah wajah. Lampu-lampu sorot menyala terang, meja besar penuh peta dan berkas, serta rak berisi perangkat komunikasi, laptop, bahkan senjata non-mematikan yang disiapkan Arya.Abyan berdiri di tengah ruangan, wajahnya tegas tapi ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menatap layar proyektor yang menampilkan denah pergerakan keluarga besar, hasil intel anak buahnya yang baru tiba.“Waktu kita nggak banyak,” suara Abyan terdengar mantap. “Kakek pasti akan menggencarkan pencarian lagi. Kita harus siap sebelum mereka menemukan celah.”Arya mengangguk, sibuk mengutak-atik headset komunikasi di tangannya. “Orang-orang sudah standby, Yan. Mereka cuma butuh aba-aba dari lo.”Beberapa anak buah masuk, membawa kotak berisi perlengkapan tambahan—kamera kecil untuk mengintai, laptop cadangan, serta jalur komunikasi yang dipisahkan agar tak bisa dilacak. Suasana jadi semakin serius, seperti persiapan operasi besar.Abyan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status