Share

BAB 06

Author: Vaa_Morn
last update Last Updated: 2024-06-08 00:25:02

Dera merasa hari ini sangat melelahkan. Tenaganya sudah terkuras habis, dan ia tidak ingin melakukan apapun selain hanya rebahan. Sepertinya, bertemu pria bernama Dafi Ezekiel Addison itu bukan perkara yang bagus untuk Dera.

Merayap menuju kamar yang selama ini menemaninya. Rasa lelahnya benar-benar membuatnya lunglai, tidak ada semangat yang berkorbar sedikit pun di dalam dirinya. Hingga ketika ia sampai di tepian kasur dan melempar tubuhnya, entah kenapa rasanya seperti dihantam sesuatu yang sangat Keras. Apakah sudah lama Dera tidak mengganti kasur tidurnya itu?

"Sakit banget njirrrr, kayak ditimpuk batu. Kapan terakhir gue ganti kasur? Ehhh, soal kuliah gue, itu dosen pembimbing nyariin gue nggak ya? Gue belum nyicil bahan skripsi soalnya."

Disaat seperti ini, Dera masih memikirkan masa depannya. Sebenarnya Dera bisa saja bersikap bodoamat, apalagi ketika ia diharuskan menjadi pengganti dari perjodohan saudaranya yang akhirnya membuat ia benar-benar benci dengan hidupnyaa sendiri.

Menerawang jauh, Dera merasa sepertinya dunia ini terlalu mempermainkan hidupnya dengan sangat ganas. Penuh lika-liku, tidak ada jalan keluar, tidak bisa menolak apapun selain kata iya. Dera adalah satu dari sekian orang yang bernasib tidak baik.

"Kapan ya gue mati? Dua puluh satu tahun hidup, kayaknya hidup gue datar aja. Monoton, nggak ada kejelasan mau hidup kayak gimana."

Bangkit dari rebahannya, ia berniat untuk menghidupkan laptop dan melanjutkan karangan ilmiahnya. Namun naas, laptopnya kehabisan daya. Ia tidak membawa charger kemarin.

Ting!

Suara notifikasi dari ponselnya mengalihkan perhatiannya untuk yang pertama kalinya. Membukanya setelah mengetikkan kata sandi, lantas tersenyum karena ada yang mengajaknya menonton balap liar.

"Gas ayolah, gue tunggu depan kos. Jangan telat ya. Kalau telat, Siap-siap gue gorok leher lo." Dera membalasnya dengan telepon, ia malas untuk mengetik pesan saat ini.

Dera yang awalnya kusut seperti baju belum disetrika, mendadak cerah penuh semangat yang sangat membara. Dera memilih untuk mandi dulu, menyegarkan tubuhnya agar ia bisa bergairah menjalani hidupnya kembali, lantas berharap semoga ia mendapatkan hiburan di jalanan malam ini.

Masalah menjadi pengantin pengganti, itu bisa dipikirkan nanti saja. Belum tentu manusia sultan itu mau menerimanya menjadi istri seumur hidupnya. Ia sadar, ia jauh dari kata perempuan layak. Kelakuannya tidak jauh dari kata preman bar-bar.

"Tumben lo berani ngajakin nonton ginian. Biasanya kicep sama si Arkan." Dera memang sudah rapi, bahkan tidak tanggung-tanggung ia menunggu orang yang mengajaknya pergi di luar kos.

"Seorang Zidan Erkano takut sama Arkan, udah nggak zamannya kali. Lagian gue tau lo lagi stress mikirin beban hidup, makanya gue ajakin keluar sekarang. Gue nggak mau ya sohib cewek satu-satunya gue kena gangguan jiwa."

"Alahhhh, biasanya aja lo nggak peduli gue stress apa enggak. Lo juga nggak berani ngajakin gue ke tempat beginian, kecuali gue yang maksa sendiri. Emang ada apa nih lo mendadak jadi baik?"

"Udah gue bilangin nggak kenapa-napa. Lo jadi ikut nggak nih? Kalau nggak, gue ke sana sendiri aja sekarang."

"Enak aja pergi sendiri, gue udah siap-siap dari tadi. Gas ayo!"

Di antara sohib yang lain, selain Arkan ada Zidan yang bisa dikatakan paling dekat dengan Dera. Mereka sering mencurahkan hati mereka masing-masing sehingga tidak ada rahasia diantara mereka. Zidan mau mengerti dirinya dan mengganti posisi Arkan, disaat ia membutuhkan bantuan.

"Lo tadi ketemuan sama calon suami lo, udah dikasih makan belum? Muka lo kelihatan kusut amat kayak belum dikasih makan tiga hari." Zidan memang yang paling pengertian juga, jika ada sesuatu yang tidak beres.

"Boro-boro dikasih makan. Dia aja masih bertanya-tanya kenapa yang dateng ke restoran itu malah si upik abu, bukan si ratu kecantikan."

"Spesies kayak lo? Dikatain upik abu?"

"Makna tersiratnya mah gitu."

"Ya emang pantes sih lo disebut upik abu. Lo itu cakep, cuman tampilan lo aja yang amburadul. Dibandingkan jadi cewek, lo lebih cocok jadi laki. Lo adu tonjok sama preman aja, premannya pada angkat tangan ngadepin lo."

Jangan katakan apa yang terjadi setelah ini, jelas saja terjadi kekerasan yang dilakukan oleh oknum bernama Dera itu. Tabokan tangan Dera tidak main-main rasanya, rasanya seperti digigit harimau. Namun yang Zidan lakukan hanyalah tertawa puas, memang membuat Dera kesal adalah salah satu hobi yang sangat menyenangkan baginya.

"Gue merasa terhina sama dia, kenapa lo nambah-nambahin juga sih!" sungut Dera sebal.

"Ya emang faktanya kayak gitu, emang kudu gimana lagi Der?"

"Bodo amat lah, gue sakit hati sumpah!"

Sebenarnya Dera itu cantik, hanya saja cara berpenampilan dia yang acak-acakan dan tidak beraturan. Dera tidak pernah peduli rambutnya kusut, tidak pernah merias diri, tidak peduli pakaiannya tidak sesuai dengan aktivitas yang sedang dilakoni, Dera terlalu tampil kalem pada situasi apapun.

"Saran gue, mulai sekarang lo kudu ngikutin aktivitas-aktivitas yang dilakuin sohib cewek lo deh. Mereka kan kaum sosialita tuh, mulai belajar hal-hal kecil aja dari mereka." nasihat Zidan.

"Gue ngikutin gaya hidup mereka? Muka gue mau ditaruh dimana? Lagian Norak, ribet." jawab Dera cepat.

"Lo tuh cewek apa cowok sih Der? Mending lo operasi ganti kelamin aja sekarang."

"Sekate-kate lo, nggak baik ngerubah ciptaan Tuhan tau. Orang takdir gue kayak begini, ya gue harus terima lah. Hidup nggak ada yang sempurna Zidan."

"Ya sorry, bukan maksud gue kayak gitu kok. Jadi intinya lo mau kayak gimana ke depannya?"

"Entahlah, yang jelas gue laper banget sekarang. Cepet berangkat, tenaga gue sisa lima persen ngadepin ocehan lo."

Mengerucut sebal, Zidan akhirnya menjalankan motornya dengan cepat. Mungkin mereka akan mampir di angkringan dulu sebelum menonton, mereka tidak pergi ke cafe karena hitung-hitung menghemat uang juga kan?

"Lo mau beli apa?" tanya Zidan.

"Beli aja semuanya, lo kan orang kaya. Lo yang bayar kan? Gue kere soalnya."

Zidan tidak menjawab, tetapi tidak menolak juga. Anggap saja sebagai penghibur diri sahabatnya, Zidan tidak keberatan untuk itu.

"By the way nih, kalau lo akhirnya jadi nikah gantiin si mak lampir Dela, gimana nasib skripsi lo?" tanya Zidan lagi.

"Bakalan tetep gue lanjutin sih, antisipasi aja. Gue yakin baru nikah satu minggu udah kena talak tiga."

"Kampret, lo ngebayanginnya udah jauh banget dari konteks. Tapi nggak apa-apa sih, tinggal cari duda kaya raya kan bisa ya Der? Misalnya nih, Bapak gue contohnya."

"Anjing lo, nggak sudi gue jadi mak tiri lo!"

"Semisal aja gitu Der."

Dera makan dengan lahap, persis seperti orang belum dikasih makan tiga hari. Ia tidak ingin membayangkan kekacauan hidupnya lagi, Dera terlalu takut untuk berharap lebih.

Jalanin saja sesuai kemampuannya, ia tidak mau berakhir dengan kata menyerah apapun itu.

"Lo semisal kalau mau kabur, kita siap bantu lo kok. Lo nggak perlu ngorbanin diri buat orang-orang yang nggak pernah mengganggap lo ada di dunia ini, lo nggak sendirian Dera."

Dera tersenyum, "Lo orang yang kesekian kalinya yang nyaranin gue hal itu. Gue baik-baik aja Dan, lagian gue mau gantiin tuh anak manja juga nggak gratis, ada upah yang harus dibayar. Aggap aja sih setimpal karena mereka ngasingin gue selama ini."

"Tapi masa depan lo bakalan hancur, bakalan kehambat. Lo juga harus mikir buat kebahagiaan diri lo."

Dera menerawang jauh, "Emang apa yang harus gue bahagiain sih? Gue aja nggak tau gimana caranya cinta sama diri sendiri, tujuan hidup gue juga nggak tau apa."

Mereka jadi terdiam untuk waktu yang cukup lama. Benar, Dera menjalani hidupnya tanpa arah yang jelas. Itu semua bisa terlihat, dengan cara bertahan hidup yang Dera lakukan selama ini. Ia selalu melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan nyawanya.

"Gue mau ikut balap motor juga, entar daftarin yah kayak biasa. Gue bakalan sangat berterimakasih, kalau lo mau ngabulin permintaan gue yang kali ini."

"Nggak! Lo mau gue digorok sama Arkan. Gue bisa ngajak lo ke tempat itu, juga atas izin dia."

Dera mengerucutkan bibirnya sebal. Jika seperti ini, untuk apa ia ikut ke arena balap?

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Sang Billionaire   BAB 28

    Pagi-pagi sekali, Dera dikejutkan dengan dering telepon yang mengharuskan dirinya pergi ke kampus. Jadi Dera yang hendak menyiapkan sarapan untuk dia dan Dafi memilih untuk berhenti, skripsi akhirnya lebih penting. Kemarin, baru saja dia mendapatkan ACC untuk bagian pembahasan. Sebentar lagi penderitaannya akan berakhir. Arkan juga sudah menyepam pesan sejak kemarin. Mungkin karena Dera belum sempat membuka ponsel, jadi baru sempat membukanya sekarang. Ada ajakan nongkrong kemarin, tapi tidak jadi karena Dera tidak ikut serta dengan mereka."Harus cepet, bentar lagi wisuda!" seru Dera penuh semangat. Dera segera bergegas, mengambil tasnya dan memasukkan laptop serta berkas-berkas penting yang sudah disiapkan sejak kemarin. Dafi, yang masih setengah terjaga, bangun dan melihat Dera yang tampak sibuk entah karena apa. "Buru-buru, mau kemana?" tanya Dafi dengan raut bingung. "Kampus, maaf ya nggak jadi masak. Bimbingan kali ini lebih awal dari hari-hari sebelumnya, ada urusan mendad

  • Menjadi Istri Sang Billionaire   BAB 27

    "Manusia sultan mah bebas. Gue yakin si Dafi rumahnya nggak cuma ini dan yang sebelumnya doang, pasti masih banyak aset yang gue nggak tau. Mana rumahnya tetep gede semua lagi." kata Dera sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Ehhh tunggu, ini beneran rumah yang waktu itu gue datengin karena habis nolongin orang kan? Jadi apa bener yang gue tolongin waktu itu beneran si Dafi?" Dafi sudah keluar dari dalam mobil lebih dulu, meninggalkan dirinya yang masih berada di dalam mobil karena dia sempat berpura-pura tidur tadi. Luar kota yang dimaksud Dafi ternyata hanya perbatasan kota saja. Dera kira harus membutuhkan banyak waktu untuk perjalanan ke tempat yang Dafi maksud. Dera keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Dia memandangi rumah besar yang sekarang tampak begitu familiar. Ingatannya mulai berputar kembali ke kejadian beberapa hari yang lalu ketika dia menolong seorang pria yang dikeroyok. "Jadi yang gue tolongin waktu itu beneran Dafi, jangan-jangan bener gue

  • Menjadi Istri Sang Billionaire   BAB 26

    "Apa itu masih sakit? Sini saya obatin muka kamu." kata Dafi ketika Dera baru saja masuk ke dalam mobil. Kaget, tentu saja Dera merasakan hal itu. Dafi menggeser tubuhnya agar Dera bisa duduk di sampingnya. Sejak tadi dia juga sudah menyiapkan P3K, berharap Dera mau segera diobati lukanya ketika menyusulnta. Namun nyatanya Dafi harus dibuat menunggu, sambil mengamati gerak-gerik yang dilakukan istrinya sejak tadi. Bangga tentu saja, padahal Dafi sudah mencari informasi sedetail yang dia bisa. Yang dilakukan Ayahnya kepada Dera hhanyalah menorehkan ebagian luka besar menganga tak pernah diobati. Namun Dera masih terlihat berbaik hati, menunggu dengan setia hingga Ayahnya masuk ke dalam taksi. "Ini mungkin sedikit perih, tapi kamu harus bertahan ya?" Dafi tiba-tiba berkata lembut, tangannya bergerak pelan membersihkan luka tamparan di wajah Dera dengan hati-hati. Dera meringis sedikit, tapi dia tetap diam tidak berkomentar apapun. Pikirannya masih dipenuhi oleh fakta-fakta yang

  • Menjadi Istri Sang Billionaire   BAB 25

    Dera itu memang tipikal perempuan yang gampang patuh, namun di sisi lain dia juga tipikal yang pembangkang juga. Setelah masuk ke dalam kontrakan, dia memilih untuk memasang telinganya dalam-dalam. Ingin tahu apa yang dibicarakan oleh Ayahnya dan suaminya secara serius tentu saja! Mendekatkan telinganya ke arah pintu, berharap bisa mendengar dengan jelas percakapan antara ayahnya dan Dafi di luar sana. Ayahnya berbicara dengan nada yang jelas tegang dan marah, sementara Dafi masih dengan suara yang tenang dan datar. "Saya sudah tidak peduli dengan siapa saya berbicara sekarang. Pada intinya, anda harus membantu perusahaan saya! Sesuai perjanjian bisnis dalam pernikahan, sudah seharusnya anda membantu keruntuhan perusahaan saya!" suara Ayah Dera terdengar jelas di telinga Dera saat ini. Dera terkekeh kecil, benar-benar tidak tau malu Ayahnya itu. Padahal Ayahnya sendiri yang melanggar perjanjian dengan menggantikan Dela dengan dirinya didetik-detik terakhir lantaran berita kecelakaa

  • Menjadi Istri Sang Billionaire   BAB 24

    Dera tidak langsung pulang ke rumah suaminya. Sebaliknya dia memilih untuk pergi ke tempat kontrakannya sebelumnya, ada beberapa barang penting yang seharusnya dia bawa ke tempat tinggal barunya. Beruntung ketika Arkan mengambil barang-barangnya tempo beberapa hari yang lalu, kuncinya tidak dibawa dan diletakkan di tempat persembunyian aman. Jadi dia memilih untuk bersantai sebentar, presetan dengan waktu yang sudah hampir menjelang sore. "Ini baru Dera, kehidupan seperti ini yang sebenarnya gue mau. Aman, tenang, damai, dan yang pasti hidup sendirian." kata Dera sambil tersenyum dan memejamkan matanya.Andai Ayahnya tidak memintanya untuk menikah, andai Ayahnya tidak memintanya untuk menggantikan posisi kembarannya dalam sebuah pernikahan bisnis, mungkin Dera masih bisa hidup dengan tenang sekarang. Minusnya, Dera mungkin akan selalu hidup di bawah garis kemiskinan. "Hidup terlalu sempurna untuk kembaran gue. Sedangkan hidup gue terlalu hancur demi kebahagian kembaran gue." lanjut

  • Menjadi Istri Sang Billionaire   BAB 23

    Dafi kini berada di kursi kebesarannya dengan senyum yang kadang-kadang timbul. Kantornya yang mewah dan rapi memancarkan kesan profesionalisme, namun pikiran Dafi melayang kembali ke momen-momen bersama Dera tadi pagi. Dia merasakan kepuasan yang mendalam melihat bagaimana hubungan mereka perlahan-lahan membaik meskipun dengan sedikit paksaan. Di depannya, Andrew Matthew sang sahabat sekaligus sekretarisnya itu menatap Dafi dengan raut bingung. Ia sebenarnya sedikit agak ngeri, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi selama mereka menjalin persahabatan. Sahabatnya tidak sedang kerasukan kan sekarang? "Hei, bro," panggil Andrew pelan, berusaha mengembalikan perhatian Dafi dari lamunan dan senyum mengembangkan, "Lo nggak sedang kerasukan kan? Gue takut lo ketempelan genderuwo diperjalanan ke kantor tadi." Andrew Matthew menatap Dafi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia sudah mengenal Dafi sejak lama, dan senyum yang kadang-kadang muncul di wajah sahabatnya itu adalah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status