“Shaka,” panggil Ayahnya Alisha seraya menghampiri Shaka.
Shaka tak bergeming. “Jaga Alisha baik-baik ya. Tolong jangan sakiti dia.” Shaka cuma menganggukkan kepalanya. Setelah keluarganya pergi, Alisha mulai menangis tetapi dia langsung menghapus air matanya karena tidak mau menunjukkan kesedihannya di hadapan suami dan keluarga suaminya. Shaka tidak terlihat lagi. “Alisha, mari kita ke mobil.” Ibunya Shaka mengulurkan tangan pada Alisha. Alisha menganggukkan kepalanya dan menerima uluran tangan ibunya Shaka. Alisha akan bertanya keberadaan Shaka tetapi matanya malah menangkap Shaka sudah berada di dalam kursi untuk supir dan tampak sibuk dengan ponselnya. Nida membuka pintu mobil depan dan menyuruh Alisha untuk masuk. Alisha langsung menurut. Kedua matanya menatap Shaka yang masih sibuk dengan ponselnya. “Sudah?” tanya Shaka setelah menyadari ibunya sudah menutup pintu mobil setelah dia masuk. Shaka menaruh ponselnya di saku celananya. “Sudah,” jawab Nida. Alisha merasa canggung. Jauh di lubuk hatinya ingin Shaka mengajaknya berbicara tetapi entah kenapa, Shaka dari mereka pertama kali bertemu sampai sekarang, tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulutnya padanya. Alisha ingin memulai obrolan tetapi ragu-ragu. Mobil mulai melaju. “Alisha, ibu berharap kamu betah nanti di rumah suami kamu karena kamu akan terus tinggal disana.” Alisha tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. “Tetapi sepertinya besok saya harus pulang lebih dulu untuk mengambil barang-barang,” ucap Alisha. “Iya. Besok pergilah ke rumahmu bersama Shaka. Shaka juga belum pernah datang kesana,” ucap Nida. Shaka tidak menanggapi apapun. Sepanjang perjalanan, Shaka cuma diam sementara Alisha sibuk mengobrol dengan Nida dan Emir alias orang tuanya Shaka. Mereka tiba di sebuah rumah yang begitu besar, luas, dan mewah. Tetapi terasa kosong, tanpa kehangatan. Beberapa pelayan berlarian dari dalam rumah membantu Alisha Fairuzah dan kedua mertuanya mengeluarkan barang-barang Alisha Fairuzah dari mobil. “Mas Shaka, mohon bantuanya ya mas.” Shaka malah mengabaikan istrinya dan masuk begitu saja ke dalam rumah. Dia menyerahkan kunci mobil pada pengawal pribadinya. Nida dan Emir, orang tuanya Shaka Yar Nigar saling pandang menyaksikan menantu mereka terdiam memandangi punggung putra tunggal mereka. “Nak Alisha. Sekali lagi maafkan Shaka ya? Dia kan tidak pernah deket sama perempuan dan akhirnya dia menikah. Dia belum terbiasa denganmu. Kamu juga begitu kan? Kamu pastinya tidak pernah deket sama laki-laki manapun,” kata Nida. “Kalau sudah terbiasa denganmu, Shaka pastinya tidak seperti itu. Tolong bersabar ya Nak Alisha,” kata Emir. “Tidak apa-apa pak bu, Terima kasih banyak sudah bawakan barang-barangku. Biarkan aku membawanya sendiri ke dalam. Kalian istirahat saja,” kata Alisha. “Biar saya antarkan ke kamar nyonya,” kata Sena, salah satu pelayan di rumah Shaka. Barang-barang yang dipegang Alisha dan mertuanya diambil alih oleh para pelayan. “Terima kasih mbak dan jangan memanggil nyonya, panggil saja Alisha,” kata Alisha Fairuzah mengikuti Sena. Begitu memasuki kediaman Shaka yang katanya dihuni oleh pria itu tanpa orang tua dan cuma beberapa orang yang bekerja, Alisha semakin tidak nyaman. Rasanya tidak hanya kosong tetapi kaku. Alisha Fairuzah merasa ada yang aneh ketika Sena mengantarkannya ke sebuah kamar kosong yang tampak rapi dan bersih. Tidak ada Shaka. Tidak ada bau suaminya. Dia pikir suaminya belum masuk ke kamar. Tetapi dia segera curiga suaminya tidak mau satu kamar dengannya. "Dimana Mas Shaka?" tanya Alisha pada Sena. Sena tampak terkejut dan ragu-ragu. Alisha segera menyadari kegugupan Sena karena pelayan itu tidak kunjung menjawab pertanyaannya. "Nyonya, tuan muda mengatakan bahwa ini akan menjadi kamar nyonya." "...Begitu. Terima kasih sudah membantu membawakan barang-barangku." "Nyonya tidak perlu berterima kasih. Kalau begitu saya undur diri lebih dulu. Kalau nyonya butuh sesuatu, nyonya bisa panggil saya." Alisha menganggukkan kepalanya. Setelah Sena meninggalkan kamarnya, Alisha menelusuri kamar yang diperintahkan Shaka untuk menjadi kamarnya. Ada ac, lemari kaca yang cukup besar dan panjang, televisi, komputer, dan masih banyak lagi. Suasananya begitu dingin. Seolah-olah tidak ada kehangatan sama sekali. Alisha bahkan tidak tahu apakah bisa bertahan di kamar ini untuk seumur hidupnya. "Apa dia tidak akan satu kamar denganku? Tetapi bukankah kita harus satu kamar karena sudah menjadi suami istri?" bisik Alisha. Alisha pikir Shaka tengah mengobrol dengan orang tuanya sehingga dia bergegas berganti pakaian menjadi gamis sederhana kemudian keluar untuk bertemu suami dan mertuanya. Namun suasana begitu sepi. Pintu depan sudah ditutup. Alisha celingukan tetapi tidak menemukan siapapun. "Sena!" panggil Alisha. Sena segera muncul dari dapur. "Iya nyonya kenapa?" "Ibu dan ayah mertuaku dimana ya?" "Mereka sudah kembali, nyonya. Mereka mengatakan nyonya dan tuan muda perlu istirahat. Mereka mungkin akan kesini besok." "Begitu ya? Kupikir mereka akan menungguku lebih dulu. Lalu dimana Mas Shaka?" "Tuan muda berada di kamarnya, nyonya. Sepertinya sudah tidur," jawab Sena ragu-ragu. "Apa? Jadi...kita tidak satu kamar?" Sena tidak menjawab dan malah menundukkan wajahnya. Kedua mata Alisha mulai berkaca-kaca. Mereka pertama kali bertemu saat pernikahan. Alisha sempat khawatir Shaka tak menyukainya tetapi Shaka mengucapkan ijab qabul dengan lancar dan mantap tetapi pria itu sampai detik ini bahkan tidak berbicara padanya bahkan menganggapnya seperti tidak ada. "Nyonya bisa mengatakan pada tuan muda untuk satu kamar. Saya yakin beliau bersedia," ucap Sena. Alisha menganggukkan kepalanya. "Baiklah kalau begitu aku masuk kamar dulu." "Baik nyonya." Alisha kembali ke kamarnya tetapi dia tidak bisa tidur. Dia duduk di ranjang seraya menatap ke lantai. Tak mau buang waktu untuk memikirkan tentang pernikahannya lebih jauh lagi, Alisha memutuskan untuk membersihkan makeupnya. Setelah selesai, Alisha mengaji sampai dirinya mengantuk kemudian tidur tetapi memasang alarm lebih dulu. Namun sayang, saat alarm Alisha berbunyi nyaring, perempuan itu masih terlelap hingga jam menunjukkan pukul delapan pagi. Alisha mengerjapkan kedua matanya. Menyadari langit-langit kamarnya tak lagi hanya disinari cahaya lampu tetapi juga cahaya matahari, tubuhnya langsung duduk. Alisha memeriksa ponselnya. Seketika dia langsung berlari ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melakuan sholat subuh. Alisha ingin sekalian mandi tetapi dia harus membantu pekerjaan rumah jadi kakinya buru-buru keluar kamar. Terlihat Sena dan dua pelayan wanita tengah mengepel lantai. “Selamat pagi nyonya,” sapa Sena ramah. “Maafkan aku bangun kesiangan,” ucap Alisha gugup. “Anda tidak perlu sampai meminta maaf, nyonya. Nyonya bisa bangun kapanpun nyonya ingin.” “Tentu saja aku tidak bisa seperti itu. Hari ini aku harus pulang untuk mengambil barang-barangku. Dimana Mas Shaka?” Sena terdiam dan melirik ke arah lain dengan khawatir. Salah satu pelayan lain menjawab, “Tuan muda sudah berangkat bekerja, nyonya.” “Apa?”Alisha dibawa ke rumah sakit. Ketika dia ditangani dokter, Shaka menunggu dari ruang tunggu bersama kedua orang tuanya Alisha dan kedua orang tuanya.Sudah hampir satu jam Alisha berada di ruang perawatan setelah kecelakaan kecil di tangannya—robek karena pecahan kaca. Tapi bagi Shaka, waktu itu terasa seperti seabad.Shaka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan ke Mutiara.Shaka menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gelisah.Entah kenapa, sejak Alisha dibawa masuk ke ruang dokter, dadanya seperti terhimpit sesuatu. Ia tak menyangka akan merasa seburuk ini hanya karena luka kecil di lengan wanita itu.Di sisi lain, ayah dan ibu Alisha duduk bersebelahan, menatap Shaka dengan pandangan tajam.Pak Hasan akhirnya membuka suara, nada bicaranya dalam dan berat."Saya rasa kita perlu bicara.”Shaka menoleh pelan, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang.“Ya, tentu, Pak,” jawabnya sopan.“Saya dan istri saya mendengar kabar… tentang hubungan Anda dengan wanita bernama Mutiar
Sebelum Alisha menjawab, sebuah mobil berhenti di depan toko. Mobil mewah itu terasa familiar tetapi Alisha harus mengingatnya lebih dulu. Nafas Alisha tercekat dan dia langsung panik ketika melihat suaminya turun dari mobil tersebut. Dia mendekat ke toko pakaian Alisha. Alisha tak ingin lagi melihat Shaka. Hatinya sudah sangat kecewa. Alisha tidak bermaksud untuk menghina peninggalan neneknya Shaka. Dia bersedia ganti rugi dengan uang tetapi dia juga tidak dihargai sama sekali sebagai istrinya. "Jadi kau disini," ucap Shaka. "Ada apa mas? Kau seharusnya tidak datang kesini bukan? Orang tuaku sedang menuju ke kediaman keluarga besarmu," ucap Alisha tanpa menatap Shaka. "Dan kau...bermesraan dengan pria lain. Kau selingkuh." Aido mengernyitkan keningnya kesal. Jadi dia adalah suaminya Alisha. Ketara sekali suaminya arogan. Aido benar-benar sangat marah. "Jika kau tidak bisa mengubah dirimu menjadi lebih baik untuk istrimu, sebaiknya ceraikan saja dia!" tukas Aido
Alisha mencoba menghentikan ayahnya. Namun Inayah dan Yumna malah setuju. "Alisha, kamu tidak perlu takut. Kami akan selalu disini untukmu," ucap Inayah, ibunya. Akhirnya Alisha tak menghentikan ayahnya. Inayah memutuskan untuk ikut suaminya pergi ke kediaman keluargq Rainhold. Langit siang itu tampak teduh, seolah menenangkan hati yang bergolak di dada Alisha. Mobil hitam yang ditumpanginya melaju pelan menyusuri jalan menuju pusat kota. Ayah dan ibunya sudah lebih dulu pergi ke sana—menemui keluarga Shaka. Alisha tahu ayahnya tidak akan diam, dan justru itu yang membuatnya gelisah. Ia tidak ingin semua berakhir dengan pertikaian. Namun di sisi lain, Alisha juga tahu, berdiam diri hanya akan membuatnya semakin sesak. Maka ia memilih untuk datang ke tempat yang paling menenangkannya—toko pakaian kecil yang dulu ia bangun dengan tangannya sendiri. Tempat yang kini menjadi simbol siapa dirinya sebelum terikat dalam dunia Shaka yang penuh gengsi dan tekanan. Begitu mob
Di hotel, Alisha langsung menemukan Shaka tengah membereskan pakaiannya ke dalam koper. "Mas Shaka, tolong jangan seperti ini," kata Alisha seraya meneteskan air matanya. Namun Shaka mengabaikan Alisha. Dia tetap memasukkan pakaiannya ke dama koper. "Aku hanya ingin mengganti rugi mas. Mungkin dengan motif yang sama, itu bisa membuat hatimu menjadi lebih tenang," kata Alisha lirih. "Kau itu benar-benar bodoh ya! Mana mungkin benda yang sama dapat menggantikan kenangan seseorang. Bneda dari nenekku itu, tidak ada yang bisa menggantikannya meskipun ada lagi yang membuatnya dan jauh lebih baik, itu peninggalan berharga dari nenekku, dasar bodoh," ketus Shhaka. "Maafkan aku mas," bisik ALisha. "Aku menyesal. Tolong maafkan aku," bisik Alisha. Shaka tak bergeming dan tetap melanjutkan beres-beres. Setelah membereskan semuanya, Shaka pun menarik kopernya keluar. Alisha mengikuti Shaka hingga mereka masuk ke dalam taksi. Taksir itu membawa mereka ke bandara.
Di rumah yang tidak cukup besar itu, Mutiara mengamuk. Dia melemparkan barang-barang seperti vas bunga, pajangan dinding, dan masih banyak lagi. Semua itu Mutiara lakukan karena dia begitu marah dipindahkan secara paksa oleh ayahnya agar dia tidak lagi mengganggu kehidupan Shaka. Masalahnya, Shaka dihubungi berkali-kali tidak mengangkat. Bagaimana Mutiata tidak panik kalau begitu? Mutiara penasaran apakah ponsel Shaka masih di Alisha. Dia menunggu kabar Shaka dan Alisha pulang segera. Tentu saja dia menarub mata-mata di kediaman keluarga besar Rainhold. Salah satu pelayan disana dibayar oleh Muitiara untuk memberikan informasi tentang berita terbaru di keluarga tersebut dan jika Shaka dan Alisha pulang kesana, pelayan itu harus memberitahu Mutiara. "Sialan!" teriak Mutiara. Di sisi lain, Alisha mengunjungi sebuah toko peralatan rumah tangga yang dibuat menggunakan tangan. Alisha pun bertemu dengan pemilik toko tersebut yang tengah membuat cangkir-cangkir teh. Be
Shaka melihat-lihat barang. Sementara Alisha melihat-lihat skincare. Dia tidak membeli jadikan untuk Yumna sebelumnya dan sekarang Shaka membawanya ke mall. “Mahal-mahal juga ya?” bisik Alisha. Setelah mengambil beberapa, Alisha pergi ke tempat Shaka. "Mas kamu membeli semua itu buat apa?" tanya Alisha. Banyak barang-barang rumah tangga yang dibeli Shaka. "Untuk keluargamu bukan? Untuk ibuku juga dan untuk persediaan di rumah," jawab Shaka. "Tetapi apa tidak sebaiknya beli di tempat kita saja mas?" tanya Alisha. "Kalau beli disini, lebih murah," jawab Shaka. "Jadi. Lebih murah tapi kualitasnya lebih bagus ya mas?" tanya Alisha. Shaka hanya menganggukkan kepalanya. Setelah membeli barang-barang, mereka pergi ke tempat pakaian. Shaka membelikan Alisha sebuah kaos. Alisha disuruh mengambil beberapa pakaian yang dia suka tetapi Alisha menolak karena setelah dia menikah dengan Shaka, lemari di kamarnya sudah penuh dengan pakaian baru. Setelah selesai, mereka pun pulang. Shaka