“Kadang-kadang Shaka harus pergi ke kantor meski saat itu dia libur.”
Seketika ucapan ibu mertuanya terngiang-ngiang di benak Alisha. Diamnya Alisha dinikmati oleh Rina dan Maya, dua pelayan di rumah itu. Tidak seperti Sena, keduanya tidak menyukai Alisha. Begitu mengetahui bahwa Shaka menikah dengan Alisha karena perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka, mereka langsung beranggapan Alisha menyetujui perjodohan tersebut karena mengetahui Shaka kaya. Ditambah mereka tahu bisnis Alisha tengah bangkrut. “Dia tidak libur?” tanya Alisha dan wajahnya masih kaku. “Libur nyonya tetapi tampaknya ada yang harus diurus,” jawab Sena. “Apakah dia meninggalkan pesan seperti kapan pulangnya? Karena kami harus pergi ke rumah orang tuaku.” Kedua mata Sena melebar. “Sebentar lagi tuan muda pulang, nyonya.” “Kenapa kamu harus berbohong Sena? Tuan muda baru pulang malam nanti atau bahkan besok,” sahut Maya. Alisha melirik ke arah dua pelayan yang berdiri tidak jauh darinya. Keduanya tersenyum ramah begitu diperhatikan Alisha. “Kalian mengetahui itu dari mana?” tanya Alisha datar. “Tentu saja karena kami pelayan tuan muda sudah bertahun-tahun,” jawab Rina. Sena mengetahui dua rekannya itu tidak bisa menghargai Alisha. Apalagi menerimanya sebagai majikan baru mereka. “Nyonya, bagaimana kalau menghubungi tuan muda dan berbicara langsung padanya?” tanya Sena. Alisha bahkan belum bertukar nomor telepon dengan suaminya itu. Jika dia minta pada Sena, apakah Sena tidak berpikir aneh padahal mereka sudah menjadi suami istri dan ketika di pernikahan apakah mereka tidak saling bertukar nomor atau semacamnya? Namun masalah membawa barang-barang dari rumahnya yang seharusnya dibahas kemarin dan semestinya mereka telah berjanji untuk pergi bersama tetapi malah menjadi seperti ini. “Baiklah. Bisakah kau memberiku nomor telepon Mas Shaka?” tanya Alisha. “Ya ampun nyonya, anda bahkan tidak tahu nomor telepon suami anda? Bagaimana bisa?” tanya Maya. Malah yang mempermasalahkan adalah kedua teman Sena. Alisha cuma tersenyum ramah kepada mereka. “Aku harap kalian dapat bekerja dengan baik. Setelah mengurus barang-barangku, aku baru akan membantu jadi maaf semuanya.” Maya dan Rina terperanjat. Mereka menatap punggung ALisha yang menjauh dengan tatapan kesal. Memang ALisha adalah seorang pemilik sebuah toko pakaian tetapi tidak sekaya suaminya ditambah bisnisnya sedang bangkrut tetapi kenapa malah terkesan sombong? Alisha mencoba menelepon Shaka di kamarnya. Teleponnya segera diangkat. “Assalamu’alaikum Mas Shaka kamu-” Tut. Sambungan telepon langsung terputus. Hati Alisha mencelos. “Kenapa?” bisik Alisha. Alisha kemudian mengirimkan pesan ke Shaka. Mas ini aku Alisha. Hari ini jadi bukan ke rumah orang tuaku? Namun Alisha sama sekali tidak mendapatkan balasan dari Shaka meski sudah ditunggu selama lima menit. Setelah Alisha cek lagi, pesannya tidak terkirim. Alisha pun menelepon Shaka lagi dan kali ini malah tidak terhubung. “Tidak mungkin. Apakah dia memblokir nomorku?” bisik Alisha. Alisha kemudian menghubungi kedua orang tuanya Shaka. “Halo Alisha?” panggil Nida di seberang sana. “Assalamu’alaikum bu.” “Walaikumussalam Alisha. Ada apa? Maaf semalam ibu dan ayah langsung pergi karena kamu harus istirahat banyak pasti lelah setelah berdiri cukup lama menghadapi para tamu.” “Iya bu tidak apa-apa. Bu, Mas Shaka kata asisten rumah sedang pergi bekerja. Aku pikir dia libur,” kata Alisha. “Apa? Shaka pergi bekerja?” kaget Nida. Alisha menganggukkan kepalanya. “Katanya juga bisa pulang malam atau bahkan besok pagi padahal kupkir kita bisa pergi bersama ke rumah orang tuaku.” “Sebentar Alisha. Ibu sambungkan dulu dengan Shaka.” “Aku sudah menghubunginya bu tetapi baru berbicara beberapa kata, telepon langsung diputus terus aku mengirimkan pesan dan pesan itu tidak sampai lalu aku menghubunginya lagi tetapi malah tidak tersambung. Jadi sepertinya Mas Shaka memblokir aku.” “Shaka…” Nida disana terdengar menghela nafas frustasi. “Alisha, ibu sama ayah minta maaf sebelumnya, sebenarnya Shaka tidak ingin menikah kecuali dengan wanita pilihannya tetapi kami tidak ingin dia menikah dengan sembarangan wanita jadi kami memilih kamu. Kami benar-benar minta maaf jika itu sangat membuatmu terganggu. Kami berharap dengan sepenuh hati kalau hati putra kami bakal terbuka padamu.” Alisha terdiam. Kedua matanya berkaca-kaca. Ibunya mengatakan Shaka baik, tetapi bahkan meskipun tak ada perasaan untuknya, pria itu tidak bisa menghargainya. Alisha mencoba memahami Shaka. Dia segera mengenyahkan pemikiran buruk mengenai suaminya karena dia takut berdosa. “Begitu. Terima kasih banyak sudah jujur, bu. Sepertinya keadaan ini cukup sulit bagi Mas Shaka sampai-sampai dia terus menjauhiku. Aku akan mencoba memahami. Jadi sepertinya aku akan pergi sendirian.” “Ibu akan mengirimkan seorang supir untukmu.” “Terima kasih banyak bu. Sampaikan juga kepada Mas Shaka bahwa aku pergi dulu.” “Ajaklah Sena.” “Iya bu aku juga berencana seperti itu.” “Sekali lagi maaf ya Alisha. Pada saat yang sama, ibu dan ayah sangat bersyukur kamu menjadi menantu kami. Kami yakin kamu bisa membuat Shaka jatuh cinta padamu.” Alisha sama sekali tidak yakin soal itu. Dia menjadi ragu rumah tangganya dengan Shaka akan bertahan seumur hidup. Meskipun begitu Alisha tetap mengaminkan. Alisha menyudahi obrolan dengan Nida dan mulai bersiap pergi. “Sena, ikutlah bersamaku ke rumahku,” ajak Alisha. “Apa? …Baiklah nyonya tetapi bolehkah saya bersiap-siap dulu?” tanya Sena. “Tentu saja boleh. Santai saja. Aku akan menunggumu,” jawab Alisha. Sena tersenyum dan menganggukkan kepalanya kemudian buru-buru ke kamarnya untuk bersiap. Sementara itu, sebuah mobil mewah memasuki halaman rumah Shaka. Alisha berjalan ke depan. Seorang pria rupawan keluar dari mobil tersebut dan menghampiri Alisha. “Saya adalah suruhan Nyonya Nida, Nyonya Alisha untuk mengantarkan anda ke rumah anda dan juga kembali kesini. Apakah satu mobil cukup?” tanya pria itu. Alisha mengalihkan pandangan karena tidak mau bertatapan cukup lama dengan pria itu karena dia harus menjaga pandangannya. “Cukup karena aku tidak akan membawa banyak barang.” Alasan lain Alisha tidak bisa memikirkan Shaka sebagai pria yang buruk karena lemari di kamarnya banyak sekali pakaian, dimulai dari pakaian dalam, gamis-gamis yang bagus, gaun yang indah, sepatu, heels, tas, dan masih banyak lagi. Jangan lupakan produk-produk untuk perawatan kulitnya. Jika Shaka sendiri yang sudah mempersiapkan semua itu, Alisha masih berpikir kalau Shaka cuma pemalu. “Baiklah nyonya. Saya akan menunggu di mobil.” “Tunggu sebentar. Siapa namamu?” “Eirian nyonya.” Alisha mengangguk. “Tunggu Sena!” “...Baik nyonya. Saya akan menunggu di mobil.” Saat Eirian memasuki mobil, Sena muncul. “Sudah siap?” Sena mengangguk lalu mereka pun melaju ke rumah Alisha. Namun Alisha tidak bisa berhenti cemas. Apakah orang tuanya Shaka saja yang membohongi dirinya apa orang tuanya juga? Tetapi kelihatannya orang tuanya tidak tahu sifat asli Shaka berdasarkan percakapan mereka. Kalau begitu orang tuanya kemungkinan besar akan menanyakan tentang Shaka. Alisha mulai pening.Mobil siapa itu? Aido Eishiro bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mungkin mobil milik pelanggan. Tidak jarang ada mobil disana. "Pujaan hatimu tadi datang bersama pria lain," celetuk salah satu anggota keluarganya. "Huh?" Aido Eishiro menjadi gelisah. Dia berusaha mengenyahkan pikiran Alisha Fairuzah bersama pria lain. Tak lama kemudin, dia mendapatkan pesan dari Alisha Fairuzah yang menyuruh dia datang ke toko pakaian. Aido Eishiro ingin bertanya alasannya tetapi dia khawatir membuat Alisha Fairuzah merasa tidak nyaman karena terkesan memaksa dia untuk datang ke toko pakaiannya. Alhasil dia mengurungkan niatnya. Dia pun berpamitan pada keluarganya karena ingin mengunjungi toko pakaian Alisha Fairuzah lebih dulu. "Kamu yakin?" "Aido, sebaiknya jangan kesana karena dia tampaknya sedang bersama prianya." "Justru dia sendiri yang memintaku kesana." "Apa?" "Apa alasan dia ya?" "Aku juga nggak tahu. Aku ingin kesana dulu." Aido Eishiro pun mengunjungi tok
"Mas Shaka," panggil Alisha Fairuzah lirih dan pelan. "Hm?" Meskipun singkat, padat, dan jelas, tetapi nada bicaranya pelan dan lembut. Alisha Fairuzah merasa nyaman. Mengingat bagaimana suaminya pada Mutiara, dia merasa tidak nyaman, sekarang dia menyadari kalau mungkin saja perasaan itu adalah perasaan cemburu. "Bagaimana hubunganmu dengan Mutiara?" Alisha Fairuzah memberanikan diri bertanya. Dia menatap ke jalanan depan. Shaka Yar Nigar tidak langsung menjawab. Dia diam dulu sejenak. "Semalam setelah kita melakukannya, aku menghubunginya untuk memutuskan hubungan kami. Kamu mengerti bukan? Bagaimanapun dia adalah saudara sepupuku jadi aku nggak bisa bersikap kurang ajar padanya," kata Shaka Yar Nigar. "AKu juga nggak memintamu untuk bersikap kurang ajar padanya mas. Cukup akhiri hubungan kalian," kata Alisha Fairuzah. "Ya. Kamu tenang saja, nggak usah mengkhawatirkan hal itu," kata Shaka Yar Nigar. Kelembutan Shaka Yar Nigar tampak sedikit kaku. Atau mungki
Ini pertama kalinya mereka seranjang. Alisha Fairuzah tidak menyuruh Shaka Yar Nigar untuk tidur di luar karena kalau ketahuan ibunya, bia membuat masalah. Dan dia ingin menghindari masalah yang berkaitan dengan Shaka Yar Nigar. Shaka yar Nigar juga tidak semena-mena, seperti menyuruhnya untuk tidur di luar, di karpet, ataupun di kursi. Pria itu tidur di ranjangnya setelah melepas kemejanya. Tersisa kaos dalamnya. Alisha Fairuzah pikir, Shaka Yar Nigar suka tidur dengan tidak mengenakan pakaian luarnya. Tidak seperti dirinya yang meskipun tidur, masih mengenakan gamis dan kerudungnya meski terkadang dia melepaskan kerudungnya kalau itu membuatnya lebih nyaman. Namun karena sekarang dia tidur bersama Shaka yar Nigar, dia tetap mengenakan kerudungnya. Meskipun Shaka yar Nigar adalah suaminya, tetap saja dia merasa enggan lantaran perselisihan mereka. Saat mereka mulai terlelap, Alisha Fairuzah tiba-tiba merasakan tangan hangat melingkari perutnya. Dia masih belum begitu ny
Alisha pergi ke toko pakaiannya bersama Yumna. Sesampainya di depan toko pakaiannya, Alisha bertemu dengan Aido. Aido langsung mengjampiri Alisha. “Bagaimana Aido?” tanya Alisha dengan kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya. “Mereka sudah pergi. Aku memantau dari depan sana!” ucap Aido seraya menunjuk ke toko keluarganya. Aido kemudian beralih menatap Yumna tetapi hanya sesaat karena perhatiannya kembali fokus ke Alisha. “Syukurlah. Terima kasih banyak sudah memantau tokoku,” lirih Alisha dengan tatapan putus asa menatap tokoknya. Aido mengernyitkan keningnya memperhatikan wajah Alisha yang terkenca sinar lampu jalanan yang tampak pucat dan sangat kelelahan. Aido menjadi merasa bersalah. Dia tahu bagaimana Alisha. Rasanya sebesar apapun masalahnya, Alisha tetap tidak akan membicarakannya dengan siapapun termasuk keluarganya sendiri. Aido ingin sekali membantu meskipun rasanya ada benteng yang begitu tinggi dan sangat sulit ditembus yang dibuat Alisha. Sebenarnya kenapa to
"Shaka tidak ada dimanapun, nyonya," ucap salah satu bodyguard Nida. Nida menahan nafas frustasi. Alisha juga tidak siap kalau bertemu Shaka lagi. Sementara anggota keluarga lain, terutama Kakek Adam, bertanya-tanya dimana Shaka sekarang. "Shaka masih mabuk. Jika dia pergi, aku yakin dia tidak akan melakukannya. Mana mungkin dia berani membahayakan dirinya sendiri. Seseorang pasti membawanya," ucap Edgar. Alisha mulai berpikir macam-macam tentang suaminya. Kemana suaminya pergi? Suaminya tengah mabuk. Benar seperti yang Edgar katakan, sulit dipercaya kalau suaminya pergi sendirian. "Supirnya pasti membawanya. Mungkin dia pulang," ucap Iris. Nida menyuruh supirnya untuk pergi ke kediaman Shaka tetapi tiba-tiba Alisha menarik gamis Nida. "Bu, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Alisha ragu-ragu. "Kenapa Alisha?" tanya Nida ramah. "Tolong antarkan aku ke rumah orang tuaku. Maafkan aku bu tetapi aku benar-benar ingin menenangkan diri disana," bisik Alisha. Nida m
Alisha terkesiap, ketakutan mencengkeramnya. Shaka mencengkram kerah Alisha. "Dasar wanita jalang! Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku?" Cengkeraman Shaka mengerat. Rasa sakit itu tak tertahankan, namun lebih menyakitkan lagi adalah tatapan kebencian yang terpancar dari mata Shaka. Ia mengangkat tangan satunya, sebuah kilatan berbahaya di matanya. "Kau pikir kau bisa mendekatiku? Kau pikir kau siapa, hah?" Alisha merasakan amarah pria itu begitu pekat hingga terasa seperti asap beracun yang menyesakkan paru-parunya. "Mas Shaka, hentikan… kumohon…" lirih Alisha, suaranya bergetar hebat. Ia memundurkan tubuhnya hingga punggungnya membentur tembok. Shaka tertawa, sebuah tawa pahit yang tidak mencapai matanya yang berkilat liar. “Dibalik wajah aroganmu itu, kau ingin memanfaatkanku!” Ia menyambar vas bunga dari atas nakas. "Shaka, jangan!" pekik Alisha. Terlambat. Vas itu dilemparkan ke lantai dengan kekuatan penuh. Kaca pecah berkeping-keping, memantulkan cahaya redu