Share

7. Kemana Amelieku Pergi?

"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.

Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk.

"Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."

Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun.

"Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan.

"Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."

Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak terkecuali cookies cokelat kesukaan Amelie. Sementara itu Amelie terus mengedarkan pandangan, seperti sedang mencari seseorang.

Marie yang menyadari gerik sang cucu lantas berucap;"Kakekmu sedang ada urusan, dia akan kembali begitu urusannya selesai."

"Oh..." jawab Amelie sebelum akhirnya mengambil biskuit cokelat buatan sang nenek dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Aku juga membelikan hangi ikan untukmu, Amelie."

Dengan mata berbinar Amelie menoleh, dia begitu menyukai hangi ikan. Sebenarnya dia sudah sering memakan hangi, tapi gadis itu merasa hangi dari Waikato terasa lebih lezat.

Marie membukakan bungkus, aroma masakan itu pun menguar. Entah dari mana rasa mual itu berasal, perut Amelie terasa seperti di aduk. Segera ia berlari ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perut yang mendesak untuk segera dikeluarkan.

Marie yang melihat kejadian tersebut berlari kecil menyusul Amelie yang sedang muntah di kamar mandi. Wajah keriput wanita itu menatap penuh khawatir, meski dia tau, mual adalah hal yang wajar bagi seorang wanita hamil. Terlebih di terimester pertama.

"Kau baik-baik saja, Amelie?"

Gadis itu menoleh. Didapatinya wajah Marie dihiasi gurat kekhawatiran. Amelie yang menyadari itu tersenyum, berusaha menenngkan sang nenek, dan berkata;"Aku baik-baik saja, Nek. Nenek tidak perlu khawatir."

Amelie bangkit dan berjalan ke kamar. Marie menuntun cucunya dengan sangat hati-hati, khawatir jika gadis itu tiba-tiba terjatuh.

"Kau harus banyak istirahat." ucap Marie saat menyelimuti Amelie yang terbaring hingga dada. "Nomong-ngomong, sudah menginjak berapa minggu usia kehamilanmu sekarang?"

Amelie menyipitkan mata, dan berusaha mencerna baik-baik kalimat yang diucapkan wanita tua itu. Marie tau jika dia hamil? Kenapa dia sama sekali tidak marah?

"Nenek, tau kalau aku ..." Amelie meringis dengan wajah sedikit takut.

"Aku sudah mendengar kabar kehamilanmu dari Robert."

"Kenapa Nenek tidak marah padaku?"

"Bagaimana aku bisa marah? Sementara kau adalah cucu kesayanganku. Sudah, lebih baik kau istirahat. Periksakan kandunganmu besok." ucap Marie sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar Amelie.

***

Malam itu terasa suram bagi Jonathan. Pria itu hanya terduduk lesu seperti patung setiap kali Theresia melempar pertanyaan atau pun mengajaknya berbicara. Perbincangan malam itu membahas tentang pernikahannya dengan Elena. Sedangkan Theresia, menganggap bungkamnya Jonathan sebagai jawaban 'iya'.

"Kau akan hidup bahagia begitu menikah dengan Elena, Jonathan. Berhentilah memikirkan gadis bodoh itu!" pekik Theresia akhirnya setelah berkali-kali Jonathan tidak menggubris apa yang wanita tua itu ucapkan.

Jonathan hanya mengedikkan bahu. Pria itu berjalan membuka tirai jendela. Ditatapnya langit Auckland yang berawan malam itu.

Tatapannya terus menerawang menatap langit. Dalam hati pria itu terus berkata;'Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Amelie? Aku berusaha keras mencarimu, tetapi tidak sedikitpun petunjuk yang aku dapatkan untuk menemukan keberadaanmu.'

Melewati bahu, pria itu menoleh ke arah belakang. Tidak didapatinya wanita yang sedari tadi mengucapkan kalimat-kalimat yang memuakkan.

Jonathan berjalan ke taman rumah. Memandangi mawar-mawar yang tumbuh baik dalam pemeliharaan Amelie. Pandangan mata pria itu terdistraksi saat indera pendengarannya menangkap bunyi suara sepatu booth beradu dengan lantai koridor kamar pembantu.

Pria itu berjalan mendekati sosok berbadan tambun yang ia yakini tau keberadaan gadis pujaannya itu.

"Paman." sapa Jonathan yang langsung mendapat tatapan masam dari Robert.

Jonathan yang merasa bersalah atas kepergian Amelie tersenyum lemah dan memaklumi sikap Robert terhadap dirinya. Seketika atmosfer terasa begitu berat.

Irene yang menyaksikan pertemuan dua pria tersebut lantas memasang telinga dari balik pintu kamar yang tertutup.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Robert dengan tatapan masam yang tak kunjung berubah.

Jonathan berusaha mengatur nafas agar terlihat tenang. Saat ini dia sedang bersiap untuk menerima petunjuk dari Robert yang dia yakini tahu kemana Amelie pergi.

"Tolong beri tahukan kepada saya, kemana anak gadismu pergi. Aku akan segera menyusulnya." ucap Jonathan memberanikan diri.

Di saat yang bersamaan, kaki pemuda itu terasa lemas. Kilatan amarah terlihat dari kedua manik mata Robert.

"Apa Tuan belum puas? Segala cacian dan hinaan yang Nyonya Theresia utarakan kepada Amelie tidak hanya melukai hatinya, tapi itu sangat mengoyak hatiku," ucap Robert dengan tangan menepuk dada dengan wajah betsungut-sungut, sedang kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Dia anak gadis semata wayangku. Aku dan ibunya membesarkannya penuh kasih sayang. Dan kini, kau menghancurkan kebersamaan kami yang sangat berharga. Kalau saja kau tidak menghamili anakku, mungkin dia akan tetap ada di sini bersama kami."

"Saya mengerti, Paman. Dan saya minta maaf atas kesalahan yang telah saya perbuat. Katakan, kemana Amelie pergi, dan aku akan menyusulnya kemana pun dia pergi." ucap Jonathan lirih dengan tatapan mengiba.

Robert yang berhati lembut tak tega menatap pemuda yang saat ini memasang wajah iba di hadapannya. Segera ia membuang pandangan ke segala arah.

"Bukankah, Ibumu yang angkuh itu akan menikahkan kamu dengan gadis keturunan keluarga kaya raya? Tolong berhenti menanyakan keberadaan Amelie. Aku akan sangat berterima kasih jika setelah ini kau melupakan Amelie dan tidak lagi menanyakan keberadaannya."

Jonathan masih terpaku di tempat setelah mendengar suara pintu dibanting cukup keras.

"Sayang, seharusnya kau tidak sekeras itu saat berbicara padanya." bisik Irene saat menghambur mendekati suaminya yang duduk di bibir ranjang.

"Aku tau itu. Tapi disaat yang bersamaan, aku merasa kecewa padanya. Kalau saja sedari awal dia tidak mendekati Amelie, mungkin saat ini Amelie masih berada ditengah-tengah kita, Irene." Irene mengelus pundak Robert dan berusaha memaklumi sikap suaminya terhadap Jonathan.

"Bukankah kau tau, Sayang? Cinta bisa datang kepada siapa saja yang ia kehendakki. Kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan Amelie dan Jonathan." ucap Irene dengan suara lembutnya, berusaha menenengkan Robert.

Robert masih tertunduk dan diam seribu bahasa. Pria itu ingin menampik kebenaran yang baru saja istrinya katakan.

"Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Aku percaya tuhan akan selalu menyayangi Amelie dan cucu kita yang ada di dalam kandungannya. Berhentilah menyalahkan mereka dan dirimu sendiri, Robert."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status