"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.
Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk."Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun."Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan."Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak terkecuali cookies cokelat kesukaan Amelie. Sementara itu Amelie terus mengedarkan pandangan, seperti sedang mencari seseorang.Marie yang menyadari gerik sang cucu lantas berucap;"Kakekmu sedang ada urusan, dia akan kembali begitu urusannya selesai.""Oh..." jawab Amelie sebelum akhirnya mengambil biskuit cokelat buatan sang nenek dan memasukkannya ke dalam mulut."Aku juga membelikan hangi ikan untukmu, Amelie."Dengan mata berbinar Amelie menoleh, dia begitu menyukai hangi ikan. Sebenarnya dia sudah sering memakan hangi, tapi gadis itu merasa hangi dari Waikato terasa lebih lezat.Marie membukakan bungkus, aroma masakan itu pun menguar. Entah dari mana rasa mual itu berasal, perut Amelie terasa seperti di aduk. Segera ia berlari ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perut yang mendesak untuk segera dikeluarkan.Marie yang melihat kejadian tersebut berlari kecil menyusul Amelie yang sedang muntah di kamar mandi. Wajah keriput wanita itu menatap penuh khawatir, meski dia tau, mual adalah hal yang wajar bagi seorang wanita hamil. Terlebih di terimester pertama."Kau baik-baik saja, Amelie?"Gadis itu menoleh. Didapatinya wajah Marie dihiasi gurat kekhawatiran. Amelie yang menyadari itu tersenyum, berusaha menenngkan sang nenek, dan berkata;"Aku baik-baik saja, Nek. Nenek tidak perlu khawatir."Amelie bangkit dan berjalan ke kamar. Marie menuntun cucunya dengan sangat hati-hati, khawatir jika gadis itu tiba-tiba terjatuh."Kau harus banyak istirahat." ucap Marie saat menyelimuti Amelie yang terbaring hingga dada. "Nomong-ngomong, sudah menginjak berapa minggu usia kehamilanmu sekarang?"Amelie menyipitkan mata, dan berusaha mencerna baik-baik kalimat yang diucapkan wanita tua itu. Marie tau jika dia hamil? Kenapa dia sama sekali tidak marah?"Nenek, tau kalau aku ..." Amelie meringis dengan wajah sedikit takut."Aku sudah mendengar kabar kehamilanmu dari Robert.""Kenapa Nenek tidak marah padaku?""Bagaimana aku bisa marah? Sementara kau adalah cucu kesayanganku. Sudah, lebih baik kau istirahat. Periksakan kandunganmu besok." ucap Marie sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar Amelie.***Malam itu terasa suram bagi Jonathan. Pria itu hanya terduduk lesu seperti patung setiap kali Theresia melempar pertanyaan atau pun mengajaknya berbicara. Perbincangan malam itu membahas tentang pernikahannya dengan Elena. Sedangkan Theresia, menganggap bungkamnya Jonathan sebagai jawaban 'iya'."Kau akan hidup bahagia begitu menikah dengan Elena, Jonathan. Berhentilah memikirkan gadis bodoh itu!" pekik Theresia akhirnya setelah berkali-kali Jonathan tidak menggubris apa yang wanita tua itu ucapkan.Jonathan hanya mengedikkan bahu. Pria itu berjalan membuka tirai jendela. Ditatapnya langit Auckland yang berawan malam itu.Tatapannya terus menerawang menatap langit. Dalam hati pria itu terus berkata;'Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Amelie? Aku berusaha keras mencarimu, tetapi tidak sedikitpun petunjuk yang aku dapatkan untuk menemukan keberadaanmu.'Melewati bahu, pria itu menoleh ke arah belakang. Tidak didapatinya wanita yang sedari tadi mengucapkan kalimat-kalimat yang memuakkan.Jonathan berjalan ke taman rumah. Memandangi mawar-mawar yang tumbuh baik dalam pemeliharaan Amelie. Pandangan mata pria itu terdistraksi saat indera pendengarannya menangkap bunyi suara sepatu booth beradu dengan lantai koridor kamar pembantu.Pria itu berjalan mendekati sosok berbadan tambun yang ia yakini tau keberadaan gadis pujaannya itu."Paman." sapa Jonathan yang langsung mendapat tatapan masam dari Robert.Jonathan yang merasa bersalah atas kepergian Amelie tersenyum lemah dan memaklumi sikap Robert terhadap dirinya. Seketika atmosfer terasa begitu berat.Irene yang menyaksikan pertemuan dua pria tersebut lantas memasang telinga dari balik pintu kamar yang tertutup."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Robert dengan tatapan masam yang tak kunjung berubah.Jonathan berusaha mengatur nafas agar terlihat tenang. Saat ini dia sedang bersiap untuk menerima petunjuk dari Robert yang dia yakini tahu kemana Amelie pergi."Tolong beri tahukan kepada saya, kemana anak gadismu pergi. Aku akan segera menyusulnya." ucap Jonathan memberanikan diri.Di saat yang bersamaan, kaki pemuda itu terasa lemas. Kilatan amarah terlihat dari kedua manik mata Robert."Apa Tuan belum puas? Segala cacian dan hinaan yang Nyonya Theresia utarakan kepada Amelie tidak hanya melukai hatinya, tapi itu sangat mengoyak hatiku," ucap Robert dengan tangan menepuk dada dengan wajah betsungut-sungut, sedang kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Dia anak gadis semata wayangku. Aku dan ibunya membesarkannya penuh kasih sayang. Dan kini, kau menghancurkan kebersamaan kami yang sangat berharga. Kalau saja kau tidak menghamili anakku, mungkin dia akan tetap ada di sini bersama kami.""Saya mengerti, Paman. Dan saya minta maaf atas kesalahan yang telah saya perbuat. Katakan, kemana Amelie pergi, dan aku akan menyusulnya kemana pun dia pergi." ucap Jonathan lirih dengan tatapan mengiba.Robert yang berhati lembut tak tega menatap pemuda yang saat ini memasang wajah iba di hadapannya. Segera ia membuang pandangan ke segala arah."Bukankah, Ibumu yang angkuh itu akan menikahkan kamu dengan gadis keturunan keluarga kaya raya? Tolong berhenti menanyakan keberadaan Amelie. Aku akan sangat berterima kasih jika setelah ini kau melupakan Amelie dan tidak lagi menanyakan keberadaannya."Jonathan masih terpaku di tempat setelah mendengar suara pintu dibanting cukup keras."Sayang, seharusnya kau tidak sekeras itu saat berbicara padanya." bisik Irene saat menghambur mendekati suaminya yang duduk di bibir ranjang."Aku tau itu. Tapi disaat yang bersamaan, aku merasa kecewa padanya. Kalau saja sedari awal dia tidak mendekati Amelie, mungkin saat ini Amelie masih berada ditengah-tengah kita, Irene." Irene mengelus pundak Robert dan berusaha memaklumi sikap suaminya terhadap Jonathan."Bukankah kau tau, Sayang? Cinta bisa datang kepada siapa saja yang ia kehendakki. Kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan Amelie dan Jonathan." ucap Irene dengan suara lembutnya, berusaha menenengkan Robert.Robert masih tertunduk dan diam seribu bahasa. Pria itu ingin menampik kebenaran yang baru saja istrinya katakan."Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Aku percaya tuhan akan selalu menyayangi Amelie dan cucu kita yang ada di dalam kandungannya. Berhentilah menyalahkan mereka dan dirimu sendiri, Robert."***Jantung Amelie tidak berhenti berdetak saat pagi itu tiba. Dia bahkan nyaris tidak dapat tidur semalam, bayang saat-saat mendebarkan terus berkelibat di kepala. Dia akan menjadi pengantin hari itu."Astaga, Nona, tanganmu dingin sekali," ucap MUA yang baru saja menjabat tangan Amelie untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung. Tidak ada yang dapat Amelie lakukan selain tersenyum hambar. Dia begitu gelisah, sebentar lagi wanita itu akan mengucap janji suci dengan Jonathan di depan para hadirin. "Ah, aku hanya gugup." jawab Amelie sembari meremas gaun putih yang dia pakai. "Hahaha, aku tau bagaimana rasanya. Aku juga mengalami hal yang sama denganmu saat detik-detik pernikahanku akan dimulai " kenang Linda sembari memasukan perlatan make up yang tidak lagi di gunakan ke dalam tas make up. "Percayalah, itu hanya di awal. Begitu ikrar janji suci selesai diucapkan, hatimu akan terasa sangat lega. Kau bahkan akan menangis bahagia setelahnya." Linda mengangguk penuh p
Malam semakin larut. Angin malam sangat dingin menggigit kulit, selimut tebal yang menutup tubuh tidak dapat mengalahkan dinginnya udara malam itu, sehingga membangunkan Irene untuk mengecek penghangat ruangan.Kedua mata Irene mengerjab beberapa kali saat mendapati ranjang di sebelahnya kosong tanpa keberadaan Robert, sehingga wanita berambut cokelat tersebut berjalan keluar untuk mencari tahu keberadaan sang suami. Saat pintu di buka Irene menyipitkan mata mendapati suaminya yang sedang duduk di undakan teras kamar pelayan dengan wajah menengadah ke langit, bersandarkan tiang penyangga yang terbuat dari batu alam dengan raut melankolis.Perlahan wanita itu berjalan mendekat."Robert?" panggilnya dengan nada lembut khas wanita tersebut yang seketika membuat pemilik nama menoleh. "Kenapa kau di luar? Udara sangat dingin, Sayang?" Irene menyentuh bahu suaminya dan mengambil posisi duduk di sebelah Robert, menahan dingin udara malam itu demi menemani pria yang sangat dia cintai."Irene,
Jonathan berjalan kembali ke ruangannya dengan senyum tak lepas dari paras rupawannya. Hal itu membuat beberapa pasang mata melihatnya dengan raut bertanya-tanya, namun segera mereka menata ekspresi seperti biasa saat bertabrak pandang dengan Jonathan. Saat pria itu masuk ke dalam ruangan kerjanya, seorang gadis sudah duduk menunggunya di sana. "Saya lihat Anda sedang berbahagia hari ini, Tuan," ucap Krista Valerie sembari mengulum bibir melihat pria itu masuk ke dalam ruangan. "Bukan hanya sedang, aku sangat-sangat bahagia hari ini." Jonathan duduk di kursi kebesarannya. Tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang perasaan bahagia atasannya, gadis itu berdeham dan menanyakan mengapa dirinya di panggil untuk datang ke ruangan pria yang terus tersenyum seperti orang terserang gangguan jiwa itu. "Maaf, Tuan, ada keperluan apa Anda memanggil saya kesini?" Tidak langsung menanggapi pertanyaan sekretarisnya, pria itu mengambil beberapa map dari tumpukan dokumen dan menyerahkannya pad
Amelie merasa lemas setelah melihat tiga alat test kehamilan menunjukan hasil yang sama, dua garis merah yang berjajar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah mengabari Jonathan tentang kehamilannya adalah pilihan yang tepat? Dia begitu khawatir kejadian yang sama akan terulang, Jonathan mengabarkan kepada keluarganya, dan Theresia akan memintanya menggugurkan janin tidak berdosa yang Jonathan tanam di rahimnya. Seketika air mata yang semula surut kembali berjatuhan di kedua pipinya. Dia tidak akan sanggup mengulangi kembali kisah yang sama, menanggung kehamilannya sendiri dan membesarkan bayi itu sendiri. Sungguh, itu semua itu adalah tanggung jawab yang berat. Lamunan Amelie dibuyarkan dengan suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat dia menyapu air mata sampai tidak tersisa. Meski wajah sembab tidak dapat disembunyikan sama sekali. "Amelie, buka pintunya," dengan raut cemas Marie mengetuk pintu dan memutar kenop berulang kali. Semenjak kepulangannya dari tempat ker
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa