"Kapan Papa pulang, Ma?" Nafisa masih terjaga, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Gadis kecil itu tidak bisa tidur sebelum melihat wajah papanya. Dia terbiasa tidur setelah mendengarkan dongeng tuan putri yang dibacakan Johan untuknya.
"Nafisa tidur dulu ya, Nak? Mungkin Papa masih lembur." Melani menenangkan putri kecilnya. "Hari ini biar Mama yang membacakan dongeng untuk Nafisa," lanjutnya.
Dia mengambil salah satu buku cerita dari rak buku di kamar Nafisa. Mulai membaca seraya mengusap-usap rambut Nafisa agar gadis kecil itu segera tertidur.
Sudah hampir satu jam Melani menemani Nafisa, tetapi gadis kecil itu tidak kunjung tidur. "Nafisa belum mengantuk?" tanya Melani lembut. "Ayo tidur, Sayang. Besok Nafisa harus sekolah," bujuknya.
Nafisa menggeleng-gelengkan kepala. "Nafisa nungguin Papa, Ma. Tadi siang, Papa sudah janji mau belikan Nafisa buku cerita baru," rengek bocah kecil itu.
Melani mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berkali-kali dia melihat ke arah jarum jam dinding. Sudah hampir pukul sebelas malam. Tidak biasanya Johan pulang selarut ini. Jika pun pulang terlambat, Johan selalu memberi kabar. Ada apa ini? Apa Johan masih bersama Bonita?
"Baiklah, Nafisa tunggu di sini ya, Nak. Biar Mama menelepon papamu dulu," ucap Melani. Mengecup lembut kepala Nafisa, lalu beranjak ke luar kamar.
Melani mengambil ponsel di dalam sakunya. Mencoba menghubungi nomor Johan, tetapi nomor tersebut sedang tidak aktif.
"Ke mana kamu, Mas?" Melani bergumam cemas.
"Apa aku hubungi Bonita saja?" Melani kini berbicara dalam hati. Dia mulai menelepon nomor Bonita. Tidak ada jawaban. Dua manusia itu seperti sudah berkompromi untuk tidak menerima telepon darinya.
"Apa aku telepon Ibu saja ya?" Melani berucap dalam hati. Dia berjalan mondar-mandir di depan kamar Nafisa. Sesekali mencuri pandang ke arah bocah kecil itu. Hati Melani menangis. Dia tidak sanggup membayangkan hari-hari ke depan yang harus dia lalui hanya berdua bersama Nafisa.
Hari ini barulah permulaan. Dia tahu pasti, hari-hari ke depan akan semakin sulit. Dia mungkin bisa hidup tanpa Johan, tapi bagaimana dengan Nafisa?
"Ibu? Ibu belum tidur?" tanya Melani begitu wanita setengah baya di seberang mengangkat telepon darinya.
"Maaf karena sudah mengganggu dengan menelepon Ibu malam-malam begini. Sebenarnya, aku ingin bicara dengan Bonita. Aku sudah meneleponnya berkali-kali, tapi dia tidak mengangkatnya. Apa dia ada di rumah, Bu?" Melani bertanya basa-basi. Sebenarnya, dia hanya mengecek keberadaan Bonita. Apakah Bonita sudah ada di rumah? Atau, malah belum pulang karena sedang asyik bersama Johan?
"Sejak siang tadi, Bonita belum juga pulang dari kerjaan. Dia sempet telepon ibu bilang mau lembur katanya." Namira yang merupakan Ibu Melani dan Bonita menjelaskan.
Benar dugaan Melani. Bonita juga belum pulang ke rumah. Melani memutuskan mencari tahu dengan menelepon kantor perusahaan tempat Johan dan Bonita bekerja. Tidak ada jawaban. Melani menghela napas pasrah. Dia menyerah dan memutuskan kembali masuk ke dalam kamar Nafisa.
"Kamu belum tidur, Sayang?" Melani bertanya saat melihat Nafisa yang masih saja terjaga.
Dia duduk di pinggiran tempat tidur Nafisa. Mengelus lembut rambut gadis kecilnya itu. "Tidurlah, Sayang. Hari ini papamu tidak akan pulang. Mama baru saja menelepon, dan ternyata papa memang harus lembur hari ini." Terpaksa Melani berbohong agar Nafisa cepat tidur dan tidak menunggu papanya lagi.
"Mama menelepon Papa?" Nafisa menatap Melani dengan mata berbinar. "Boleh Nafisa bicara dengan Papa?" lanjutnya bertanya dengan antusias.
"Papamu tidak bisa ditelepon karena masih sibuk mengerjakan pekerjaan kantor." Melani menghela napas berat. Lagi-lagi, dia terpaksa berbohong. Dia mengecup kepala Nafisa sambil mengucap maaf di dalam hati.
"Sudah, Nafisa tidur ya. Nanti kalau papa pulang, Mama akan bangunin Nafisa," bujuknya pada Nafisa.
Nafisa mengangguk pasrah. Dia memaksakan diri untuk memejamkan mata. Rasa kantuk yang hebat membuat bocah kecil itu cepat sekali terlelap.
Melani bernapas lega. Dia melirik ke arah jam tangan. Sudah pukul sebelas malam, dan Johan belum juga pulang. Dia menyelimuti Nafisa, lalu melangkah perlahan, meninggalkan kamar Nafisa.
Melani duduk di ruang tamu. Dia mencoba menghubungi Johan kembali. Masih tidak ada jawaban. Sementara, rasa kantuk sudah menyerang. Melani menyandarkan kepala di sandaran sofa. Melipat kedua tangannya di atas dada.
Suara pintu terbuka membangunkan Melani yang hampir saja tertidur."Dari mana saja kamu, Mas?" Melani mengangkat tubuhnya dan menghampiri Johan yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Kenapa tidak memberi kabar jika pulang terlambat?" lanjut Melani bertanya pada Johan.
"Bukan urusanmu." Johan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan Melani. Dia melewati Melani begitu saja.
"Mas! Tunggu, Mas!" Melani berjalan mengikuti Johan.
"Jawab pertanyaanku, Mas," teriak Melani. Menarik lengan Johan dengan kasar. "Harusnya kamu kabarin aku dong kalau memang pulang terlambat?"
Johan menepis tangan Melani dengan kasar. "Apa-apaan sih kamu. Kamu pikir aku ke sini untuk pulang? Aku ke sini cuma untuk mengambil barang-barangku." Johan masuk ke dalam kamar. Membuka lemari dan mengambil beberapa lembar pakaian. Memasukkannya ke dalam tas.
"Kamu mau ke mana, Mas?" Melani menghalangi jalan Johan. "Nafisa sudah menunggumu selama berjam-jam. Apa kamu tidak mau menemuinya?"
Tanpa sadar, buliran bening telah membasahi pipi Melani. Perubahan sikap Johan yang drastis membuat hati Melani terlukai.
"Kamu boleh melakukan apapun kepadaku, Mas. Tapi, aku tidak akan membiarkan kamu membuat Nafisa bersedih," ucap Melani seraya menghapus air mata di pipi. Dia berjanji, ini adalah hari terakhir dia menangis karena Johan.
“Dengar, Melani! Rumah besar ini adalah rumahku. Aku membelinya dengan uangku sendiri.” Johan mengedarkan pandangan, mengagumi rumah besar dan mewah miliknya yang selama ini dia tempati bersama Melani. “Setelah perceraian kita, aku akan menikahi Bonita dan mengajaknya untuk tinggal di rumah besar ini. Nafisa akan tinggal bersamaku. Jadi, aku memberi waktu lima hari ini untuk kamu menikmati hari-hari terakhirmu bersama Nafisa, sekalian kamu mengemasi barang-barangmu. Setelah lima hari, pergilah dari rumah ini.”
Perkataan Johan bak petir bagi Melani. Namun, pria itu masih melanjutkan ucapannya, “Aku tahu, ini pasti berat bagimu. Kamu tidak akan setuju jika Nafisa ikut bersamaku. Aku mohon pengertianmu, Melani. Selama ini, kamu hanya ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Biarkan Nafisa bersamaku, aku akan membesarkannya dengan baik.”
“Tidak! Kalian boleh mengambil apa saja dariku, tapi aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Nafisa. Aku adalah ibunya. Aku yang akan membesarkannya,” ucap Melani lantang.
“Jangan lupa, Mas! Roda itu berputar. Meski saat ini aku sedang berada di bawah dan kamu sedang berada di atas, keadaan itu bisa saja berbalik sewaktu-waktu.” Melani melebarkan mata menatap Johan penuh amarah.
Melani telah mengantarkan Nafisa ke sekolah. Dia terus memegangi kepalanya yang sakit. Berjalan masuk ke sebuah cafe dekat dengan sekolah Nafisa.“Kamu kenapa, Melani?” Seorang wanita berambut pendek yang disemir merah muda sudah duduk di dalam cafe.“Kamu bilang ingin bercerita sesuatu kepadaku. Tapi, kenapa wajahmu pucat sekali? Seharusnya, kamu bilang jika memang sedang tidak enak badan. Aku bisa menjemputmu.” Perempuan itu lalu berdiri, menuntun Melani duduk di sebelahnya.“Aku butuh pekerjaan, Desy,” ujar Melani. Perlahan duduk di bangku cafe. Masih memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan.“Pekerjaan? Bukankah Johan sudah memberimu segalanya? Apa terjadi sesuatu pada kalian?” Desy, sahabat Melani sejak di bangku sekolah bertanya karena penasaran. Dia sangat mengerti, sejak dulu Melani tidak memiliki keinginan untuk bekerja seperti dirinya. Melani sangat menikmati menjadi ibu rumah tangga. “Apa kamu berubah pikiran?” tanyanya dengan mengerutkan kening.“Aku dan Mas Johan akan
Seorang laki-laki masuk ke dalam kamar saat Evan berusaha menindih tubuh Melani. Kedatangan laki-laki itu membuat Evan mengurungkan niatnya. Begitu juga Melani, dia membulatkan mata melihat laki-laki itu. Dia adalah laki-laki dingin yang dia jumpai di kantor Johan!“Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke dalam kamarku seperti itu. Pergi, atau aku akan memanggil keamanan untuk melemparmu dari sini.” Evan berdiri mendekati laki-laki dingin yang sudah berani mendobrak pintu kamarnya.“Kamu tidak tahu siapa aku? Aku Deon Alvarendra. Hotel ini milikku. Bukan aku yang akan pergi dari kamar hotel ini. Kamulah yang harus pergi.”Deon menarik lengan Evan, dan memberinya bogem mentah. Melempar Evan ke luar kamar hotel. “Urus laki-laki tidak bermoral itu. Dia sudah berusaha memperkosa seorang wanita di kamar hotel milikku,” titahnya pada dua orang pengawal yang berjaga di luar kamar sambil menatap dingin Evan. Semakin lama, tatapan matanya terasa seperti menusuk. Dia sedang mengancam Evan untuk t
“Gimana keadaanmu, Melani? Maafkan aku. Aku tidak tahu jika Kak Evan akan berbuat nekat.” Pagi-pagi sekali, Desy berkunjung ke rumah Melani. Dia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kakaknya pada Melani kemarin malam. Dia bisa tahu semuanya karena Evan pulang dengan babak belur dan tanpa basa-basi menceritakan semuanya pada adiknya. “Aku sudah memarahi kakakku semalaman. Tolong maafkan dia ya?” mohon Desy. “Aku sudah memaafkan dia, Desy. Untung saja, seseorang menyelamatkanku saat Kak Evan hendak berbuat bej4t. Tapi tolong katakan pada Kak Evan agar tidak menggangguku lagi,” ucap Melani tegas. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Hari ini kamu mulai masuk bekerja di perusahaan kakakku, ‘kan?” tanya Desy. Masih menatap Melani dengan perasaan bersalah. Seandainya semalam dia menemani Melani saat menemui kakaknya, mungkin Kak Evan tidak akan berbuat sampai melampaui batas. Melani menggeleng-gelengkan kepala. “Seseorang yang semalam menyelamatkanku, dia memberiku pekerjaan di rumahnya
Melani tidak ingin berpangku tangan. Meski pekerjaannya telah selesai di rumah ini, dia berniat untuk membantu para rekan kerjanya sesama asisten rumah tangga. Tidak ingin ada kecemburuan sosial di antara sesama asisten rumah tangga di ruma ini. “Biar kubantu Bibi mengelap perabotan ya,” ujar Melani pada seorang wanita setengah baya yang rambutnya digelung. Dia segera mengelap perabotan dengan kain. “Tidak usah, Nona Melani. Biar saya saja yang melakukannya. Tuan akan marah jika melihat Nona Melani membantu saya,” ujar wanita setengah baya itu, merebut kain yang dibawa Melani. “Panggil aku Melani saja, Bi. Kita sama-sama pelayan di sini,” ujar Melani. Menatap wanita setengah baya penuh curiga. “Kenapa Bibi terlihat khawatir seperti itu? Apa ada yang Bibi sembunyikan dariku?” Wanita setengah baya tadi hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu, gak apa kan kalau aku bantu Bibi?” Melani segera merebut kembali kain di tangan wanita setengah baya tadi. “Tidak usah, Nona. Ini su
“Melani?” Johan menatap Melani yang sedang berjalan keluar dari butik. Tatapan matanya beralih pada tangan Melani yang sedang digenggam erat oleh Deon. Ada perasaan kesal saat melihat jemari yang dulu pernah dia pasangkan cincin, sedang berada dalam genggaman laki-laki lain. Tanpa menghiraukan Johan, Deon dan Melani terus berjalan mendekati mobil Ferrari LaFerrari hitam yang terparkir di depaan butik. Aldo bergegas membuka pintu mobil untuk Deon. Saat Deon hendak masuk ke dalam mobil, Melani menghentikannya. Sejak keluar dari butik, Melani hanya bengong memikirkan ucapan Deon saat di butik tadi. Dia menatap Deon tidak percaya. Calon istri? Apa dia tidak salah dengar, Deon menyebutnya sebagai calon istri? "Maaf, Tuan. Saya rasa, tadi itu Anda terlalu berlebihan,” ucapnya terbata-bata. Deon melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tidak ada waktu lagi. Masuklah segera ke dalam mobil. Kita bicarakan nanti,” ucapnya dengan wajah serius. Dia segera masuk ke dalam mobil, disu
Melani tertawa lebar tanpa ekspresi. "Apa Anda sedang melucu?" tanyanya pada Deon yang masih berdiri di hadapannya. Dia menelan ludah saat mencium wangi maskulin yang menyeruak bersamaan dengan wajah Deon yang semakin mendekat. Laki-laki itu terlihat sangat tampan saat dilihat dari jarak dekat. Apa mungkin laki-laki yang hampir sempurna bak titisan Dewa Merkurius ini ingin menikahi Melani yang hanya seorang janda?Wajah Deon terus mendekat, hingga jarak mereka kini tidak sampai sejengkal. Ditatap Deon dari jarak begitu dekat membuat jantung Melani bedebar dan serasa ingin meloncat. “Jadi apa jawabanmu? Apa kamu bersedia untuk menikah denganku?” tanya Deon serius.Melani terdiam dan mematung. Apakah Deon serius kepadanya? Dia memundurkan tubuh dan menarik wajah ke belakang untuk menjauhi Deon. Terdiam dan mematung tanpa bisa berkata-kata.Deon berdehem seraya mengatur napasnya. Tersenyum kecil seraya berkata, “Maafkan aku. Mungkin aku terlalu cepat untuk mengatakan semua ini. Tapi, sem
"Ah, Sial!" Melani menyalakan ponsel, menelepon seseorang untuk meminta bantuan, tetapi sebelum seseorang tersebut menjawab telepon Melani, ponselnya lebih dulu mati. Dia mengumpat lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Evan melirik Melani. "Kamu tidak akan bisa menghubungi siapapun, Melani," ucapnya seraya tersenyum menyeringai. Dia mempercepat laju mobilnya. Di tempat lain, mobil yang dikemudikan Deon melaju dengan kecepatan maksimal. Bak seorang pembalap profesional, dia terus menyalip mobil-mobil yang ada di depannya. Di belakangnya, Aldo mengikuti menggunakan mobil yang berbeda.Evan menghentikan mobil tepat di depan sebuah penginapan di dekat laut. Dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Menoleh ke arah Melani seraya terseyum licik. "Akhirnya kita sampai, Melani."Melani menatap Evan penuh amarah. Jika dia tidak sedang menggendong Nafisa yang telah terlelap, mungkin dia akan memaki Evan habis-habisan. Dia bahkan tidak sabar ingin memukuli lelaki psikopat tersebut. E
"Ibu?" Melani melihat Namira dari kejauhan. Di samping Namira, Bonita duduk bersama Johan. Mereka sedang berada di rumah sakit. Tepatnya di depan kamar rawat untuk pasien.Melani berjalan sempoyongan. Di sampingnya, wanita berpakaian serba hitam memegangi dan menuntunnya. Wanita itu ditugaskan Deon untuk menjaga Melani. "Pergilah! Aku bisa berjalan sendiri," ujar Melani lirih pada wanita berpakaian serba hitam tersebut."Maaf, Nona. Tuan Deon telah menugaskan saya untuk menjaga Anda. Saya tidak berani menolaknya," ucap wanita berpakaian hitam kepada Melani. "Mari, saya akan mengantar Anda untuk melakukan pemeriksaaan," ucapnya sopan."Tidak. Aku harus menemui anakku lebih dulu," elak Melani. Dia berjalan menghampiri Namira yang telah berada di depan kamar perawatan Nafisa.Sampai di depan kamar rawat Nafisa, Melani berhambur memeluk Namira. "Bagaimana keadaan Nafisa, Bu?" Dia bertanya serius."Kak Melani harus bertanggung jawab. Gara-gara kecerobohan Kak Melani, Nafisa harus mengalami