Share

Bab 6 MJDMP B

Tadi, Ummi Fahira mengajakku berkeliling ke setiap sudut ruangan yang ada di rumah ini, menjelaskan satu persatu apa yang menjadi tugasku selama bekerja di sini.

Tidak berat, hanya pekerjaan rumah yang memang sehari-hari biasa aku lakukan, bahkan aku terbiasa bekerja yang lebih berat dari ini, terjun langsung ke sawah untuk membantu Paman dan Bibi bercocok tanam.

Di sini aku sadar, bahwa Tuhan mengujiku untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagiku. Setidaknya di tempat ini aku akan memulai merajut asa dan meraih cita-cita yang tertunda, dan yang terpenting, aku akan membuktikan pada semua orang bahwa aku tidak lemah.

Kubaringkan tubuh di kasur yang akan menemani malam-malamku, nyaman, itu yang aku rasakan.

Aku memandang setiap sudut dari ruangan ini, rumah ini mewah, megah, akan tetapi isinya hanya ada Ummi Fahira, Zahira dan Bib Ahmad.

Setelah berkeliling aku benar-benar tak mendapati tanda-tanda keberadaan ibunya Zahira. Bahkan sekedar foto keluarga yang bisa memuaskan rasa kepoku pun tak kutemukan.

Entahlah, bagaimana mungkin rumah semegah ini tidak menjadikan foto keluarga sebagai pajangan yang menambah kecantikan desain interiornya.

Sepanjang aku berkeliling, yang kutemukan hanya lukisan-lukisan abstrak atau kaligrafi yang dipajang di pigora-pigora besar sebagai hiasan.

Masih menjadi misteri, sebenarnya keluarga seperti apa yang menjadi majikanku kini. Mereka bahkan membebaskanku dari tugas membersihkan kamar pribadi dengan alasan agar tak ada buruk sangka di antara kami. Entah memang seperti itu adanya, atau justru karena alasan privasi.

Ah, sebaiknya aku tak boleh terlalu ingin tahu. Tugasku di sini adalah mengurus rumah, bukan mencari tahu seluk beluk pemilik rumah.

Aku harus paham batasan, mereka adalah majikan dan aku adalah ART, aku harus memahami batasan agar tak sampai terlalu masuk ke kehidupan pribadi mereka, demi kebaikan karirku.

Lebih baik sekarang aku beristirahat, memejamkan mata barang sejenak sepertinya akan begitu nikmat, tidur di lantai semalaman membuat tulangku terasa remuk redam.

Namun, saat baru saja mata ini terpejam, aku mendengar suara Zahira berlarian melintasi kamarku, sontak membuatku kembali terjaga.

"Zahira? Kenapa dia bermain-main di sekitar kamar ini?" batinku bertanya-tanya dalam kondisi separuh sadar.

Beberapa detik kemudian, aku tersadar, teringat akan dapur yang terletak tak jauh dari kamar ini.

Aku segera bangkit dari posisi semula untuk mengecek kondisi Zahira. Benar saja, bocah gembil itu sedang bermain-main di dapur.

Aku berjalan pelan ke arahnya, mengecek apa yang sedang dilakukannya di sana, ia yang sedang fokus bermain boneka wortel di atas talenan itu tidak menyadari kehadiranku. Sepertinya dia ingin bermain masak-masakan.

Tapi ini berbahaya jika tidak dalam pantauan, sebab ia menggunakan pisau sungguhan untuk memotong boneka wortelnya. Anak kecil memang rasa penasarannya sangat tinggi.

"Hai, Zahira," sapaku pelan namun berhasil membuatnya terjingkat dan reflek menyembunyikan pisau di balik tubuh mungilnya.

"Zahira lagi masak, ya?" tanyaku berusaha masuk ke dalam aktivitasnya.

Bocah gembil itu hanya melirikku, seperti sedang ketakutan aksinya akan ketahuan. Aku mulai memutar otak untuk mencari cara bagaimana bisa memantaunya bermain tanpa membuatnya ketakutan.

"Wah, Zahira suka masak ya? Sama lho, Mbak juga suka. Gimana kalau kita masak bareng?" tawarku.

Sejenak ekspresi wajah Zahira berubah, ia tampak berpikir dan menimbang tawaranku. Sedangkan aku memutuskan untuk menunggu tanpa mendesaknya. Menghadapi anak kecil sebenarnya bukan hal sulit bagiku yang bercita-cita menjadi guru TK.

"Emm ... Memangnya boleh? Mbak nggak marah?" tanyanya polos.

Aku tersenyum menanggapi pertanyaannya, mungkin selama ini orang-orang di sekitarnya selalu melarang Zahira untuk eksplor keinginannya bermain-main di dapur.

"Boleh, dong, Sayang. Kenapa nggak? Malah seru kan kalau kita masak bersama? Dulu waktu Mbak masih kecil juga senang bantu-bantu masak kayak kamu," jelasku mencoba mengakrabkan diri dengan Zahira.

"Beneran?"

"Iya, Sayang."

Bocah itu tampak tersenyum riang.

"Gimana, mau, kan?" tanyaku sekali lagi.

"Mau dong, Mbak. Kita mau masak apa?" tanyanya antusias.

"Eum ... Enaknya masak apa, ya? Tadi Zahira potong wortel kan? Gimana kalau kita masak sup? Zahira suka sup nggak?"

"Suka, Mbak." Bocah dengan mata bulat bak boneka itu menjawab cepat, cantik dan menggemaskan, tapi tidak mirip dengan daddy-nya, mungkin dia mirip ibunya.

"Ya udah, sekarang Zahira taruh dulu pisaunya, kita ganti dengan wortel yang asli ya, oke?" rayuku berharap Zahira mau melepaskan pisau dari genggamannya.

Namun saat Zahira belum sempat menjawab, teriakan Ummi Fahira terlebih dahulu mengejutkannya, membuat pisau yang semula digenggamnya, reflek ia lepas dan terjatuh di lantai.

"Zahira!"

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Bunda Senja
menengah ke bawah ga boleh baca ya .........
goodnovel comment avatar
Jamal Subarja
malah bayar parahh
goodnovel comment avatar
Nhaila Waty
malas ah membacanya mendingan Ngaji satu jus, alhamdulillah semoga keluarkan kita semua dlm lindungan Allahu Rabbi Aamiin YRA
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status