"Ooh, ini 'kan Mas yang ngecup kemarin," jawab Elsa cepat. Dia juga mencoba menyembunyikan kegugupan yang kembali melanda.
"Kemarin?! Kemarin kapan, Yang?" Nathan menatap bingung. "Kemarin malam maksudnya, Mas. Memangnya Mas nggak ingat, ya, kalau pagi sebelum menikah dengan Silla ... malamnya kita sempat bercinta?" "Oohhh iya juga, sih, Yang." Nathan mengangguk, saat teringat hal itu. "Tapi, kok dari kemarin aku nggak sadar, ya, Yang? Aku baru nyadar ya sekarang. Padahal warnanya terang begitu." "Ya mungkin karena kemarin Mas sibuk berdebat denganku tentang Silla. Jadi wajar, Mas." Elsa menjelaskan dengan santai. "Iya kali ya, Yang. Maaf deh ... kalau aku lupa, aku malah sempat berpikir yang enggak-enggak." Nathan tersenyum dengan wajah bersalah. Hampir saja dia berpikiran jauh tentang Elsa, meskipun sejujurnya dia sendiri yakin, hal seperti yang dia pikirkan itu tidak mungkin terjadi. Dia yakin Elsa adalah perempuan yang sangat setia. "Enggak-enggak gimana, Mas? Maksudnya, Mas ngira aku selingkuh?" "Enggak kok." Nathan menggeleng cepat, menepis semua kecurigaannya tadi. "Aku percaya kamu setia, Sayang. Maafkan aku kalau ada ucapanku menyinggungmu." "Aku sama sekali nggak tersinggung, Mas. Karena aku memang nggak ngerasa melakukan hal seperti itu. Lagian, perselingkuhan itu adalah tindakan yang menjijikkan. Perempuan terhormat sepertiku nggak mungkin melakukannya." "Itu benar, Sayang." Nathan mengangguk cepat, lalu mengecup kening Elsa dengan penuh cinta. *** Sementara itu, Bibi pembantu di rumah Nathan terlihat bingung menentukan tempat untuk barang-barang milik Silla. Meskipun Silla telah menjadi istri Nathan, namun tidaklah masuk akal jika dia harus berbagi kamar dengan Elsa. "Bibi nggak usah bingung, biar aku nempatin kamar tamu saja. Di sini ada kamar tamu, kan?" ucap Silla dengan ramah, mencoba menenangkan Bibi yang terlihat kebingungan. "Ada banyak kamar tamu di sini, Nona. Tapi masalahnya ... Bu Elsa nggak ngomong apa-apa ke Bibi, kalau Nona akan tinggal di kamar mana," jawab Bibi dengan ekspresi bingung. Dia ingin memastikan bahwa keputusannya tidak akan menimbulkan masalah dengan Elsa. "Oohh gitu. Elsa juga nggak ngomong sih, Bi, sama aku. Kalau aku akan menempati kamar yang mana. Tapi pastinya aku yakin ya dikamar tamu, nggak mungkin juga 'kan dikamar suaminya?" lanjut Silla dengan logika yang masuk akal. "Iya, sih, Nona." Bibi mengangguk paham. 'Ya udah ... mari saya antar Nona ke kamar tamu yang berada tepat di sebelah kamar Pak Nathan dan Bu Elsa," ajak Bibi, sambil membawa koper Silla dan melangkah menuju ke lantai atas. Silla mengikuti Bibi dari belakang, menyusul dengan langkah ringan. Namun, tiba-tiba ada yang memanggilnya dari lantai bawah dan membuat langkahnya seketika terhenti. "Silla, Sayang ... kamu kok udah pulang??" Silla langsung menoleh, dan ternyata orang yang memanggilnya itu adalah Haikal—Papanya Elsa. Pria paruh baya itu terlihat datang bersama asistennya yang berdiri di belakang dengan dua koper besar. "E-eh, Papa!" Silla terkejut karena senang. Segera dia pun turun dan berlari menghampirinya. Pria itu langsung memeluk tubuh Silla dengan penuh kasih sayang. Dia memang menyayangi Silla seperti layaknya dia menyayangi Elsa. Panggilan 'papa' yang Silla ungkapkan juga karena diawal Haikal lah yang memintanya. Bahkan istrinya saja—yang bernama Herlin, meminta Silla untuk juga memanggil sebagai 'mama' Kedua orang tua Elsa begitu hangat dan penyayang pada Silla, terutama karena perempuan itu cenderung lebih patuh dibandingkan Elsa yang sulit diatur. "Papa kok ke sini? Oohh pasti mau ketemu Elsa, ya? Tapi Elsa belum pulang, Pa." "Papa ke sini bukan ingin bertemu Elsa." Haikal menggeleng, lalu melepaskan pelukannya. "Tapi membawa beberapa pakaian dan barang-barangmu. Tadi Elsa sempat telepon Papa, minta sebagian barang-barangmu diantar ke sini." Lalu dia menunjuk ke arah dua koper di samping kanan kiri Shaka—asistennya. "Oohh gitu. Terima kasih, Pa. Tapi harusnya Papa nggak perlu repot-repot. Aku juga bisa ngambil sendiri kok, memang rencananya sih habis zuhur mau ke rumah Papa." "Enggak masalah, Sayang. Papa sama sekali nggak repot kok." Haikal tersenyum dengan hangat, memerhatikan Silla. Namun, fokusnya langsung teralihkan karena pakaian yang dipakai oleh anak angkatnya itu. "Ngomong-ngomong, kamu pakai baju siapa ini, Sil? Kok kayak baju cowok? Mana gede banget lagi." "Oh ini baju Kak Nathan, Pa." Silla langsung menatap tubuhnya sendiri dengan apa yang dia pakai saat ini. "Tadi pas mau pulang, aku nggak ada baju ganti. Jadi pinjam bajunya Kak Nathan." "Salah Elsa juga, ya, karena nggak sempat ngomong dari kemarin. Kalau kamu dan Nathan itu ada rencana menginap di hotel. Kalau tau gitu 'kan Papa pasti akan menyuruh Shaka untuk membawakan bajumu." "Enggak kok, Pa. Elsa sama sekali nggak salah." Silla menggeleng. "Dia malah baik banget, sempat bawakan baju ganti untukku. Cuma ya bajunya nggak ada yang cocok aja sama aku, mangkanya aku terpaksa pinjam baju Kak Nathan." Silla mencoba menjelaskan, dia selalu ingin Elsa terlihat baik oleh siapa pun dan dimana pun itu. "Ooohh jadi gitu." Haikal pun mengangguk paham, lalu dia menoleh ke arah Shaka. "Ya udah, Shaka, tolong sekalian angkat aja kopernya. Pasti Silla juga mau ganti baju." "Iya, Pak." Shaka mengangguk. Kemudian mengikuti Haikal yang lebih dulu melangkah bersama Silla. Silla mengajak mereka masuk ke dalam kamar tamu, karena kebetulan Bibi juga masih berada di sana. Baru selesai menata pakaian Silla di dalam lemari. "Eh, ada Pak Haikal. Selamat pagi, Pak," sapa Bibi dengan ramah, melihat kedatangan mertua bosnya. "Ini sudah siang, Bi. Eh tapi, kenapa Silla justru tinggal di kamar tamu?" tanya Haikal bingung, sorot matanya langsung menatap sekeliling ruangan itu. "Papa ini aneh, ya aku tinggal dimana lagi coba, Pa?" Silla tertawa, merasa lucu dengan pertanyaan Papanya. "Ya Papa kira kamu akan tinggal di kamar Nathan untuk beberapa hari, apalagi kalian ini 'kan masih pengantin baru. Ya harusnya sih mending bulan madu aja, karena 'kan tujuan awal Elsa kepengen kamu cepat hamil. Iya, kan?" Kalau boleh jujur, diawal Haikal sama sekali tidak setuju dengan permintaan konyol dari anak semata wayangnya itu—Elsa. Namun, karena dia memaksa dan memang sulit diberitahu, sementara Silla sendiri sudah setuju, akhirnya mau tidak mau Haikal dan Herlin menyetujui walau itu sangat berat, karena sama saja seperti mengorbankan masa depan Silla. Namun, baik Haikal atau Herlin, mereka berdua sama sekali tidak tahu bagaimana rencana Elsa sebenarnya. Yang hanya meminta Silla mengandung dan melahirkan, lalu setelah itu berpisah dengan Nathan. Elsa sengaja menutupi, karena sejujurnya, kedua orang tuanya akan sangat menentang. Dia tahu, mereka sangat menyayanginya. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa kedua orang tuanya juga sangat menyayangi Silla. Mau tidak mau, rencana itu harus ditutupi.Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.
"Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah
"Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *
'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se
Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit
"Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l