"Ya ini aku barusan habis ngambil mobilku di bengkel, Mas. Terus sengaja balik lagi ke sini karena aku khawatir kamu sudah keburu sampai di rumah Daddy," jelas Elsa dengan suara lembut, namun terdengar penuh perhatian.
Nathan menatap Elsa dengan ekspresi bingung yang tak dapat disembunyikan. "Kenapa harus khawatir? Memangnya kenapa kalau aku sudah keburu ada di rumah Daddy?!" tanyanya, mencoba mencari pemahaman dari penjelasan Elsa. "Ooohh ... itu, jadi maksudnya ...." Elsa terlihat sedikit gugup, matanya berbinar-binar namun mulutnya terhenti sejenak. Setelah beberapa detik berlalu, dia akhirnya melanjutkan, "Ya aku cuma nggak mau kamu nunggu aku kelamaan, kamu 'kan pasti capek, Mas." "Capek?!" Nathan mengernyitkan dahi, mencoba memahami alasan di balik kata-kata Elsa. "Capek kenapa, coba, Yang? Masa nungguin istri sendiri capek. Lagian kamu juga, kan aku udah bilang kita bareng aja sekalian ngambil mobilmu. Jadi nggak perlu kamu sendirian 'kan nggak bolak balik." "Enggak apa-apa, Mas." Elsa menggeleng pelan sambil tersenyum hangat. Dia melepaskan pelukan dari Nathan dan berjalan menuju mobilnya dengan langkah ringan. "Kalau begitu kita langsung pulang aja yuk, Mas! Ayok cepat Mas naik mobil Mas!" ajaknya. Elsa segera masuk ke dalam mobilnya, tetapi Nathan juga ikut menyusulnya masuk dan duduk di sebelah Elsa. "Lho, Mas? Kenapa Mas ikut masuk ke mobilku?" tanya Elsa dengan ekspresi bingung yang terpancar dari matanya. "Kita pulangnya bareng aja satu mobil, biar mobilku nanti yang ngambil sopirku, Yang," jawab Nathan sambil tersenyum hangat. "Oohh ya udah, tapi Mas aja yang nyetir gimana?" tawar Elsa, sambil menatap Nathan dengan penuh pertimbangan. Nathan pun mengangguk dengan mantap. "Dengan senang hati, Sayang," katanya dengan suara lembut yang penuh kasih. Mereka pun saling bertukar posisi duduk, dan tak lama kemudian mobil itu melaju pergi dengan kecepatan sedang, membawa keduanya pulang. "Ngomong-ngomong ... tadi Daddy udah berangkat kerja apa gimana, Yang? Kok mobilnya nggak ada?" tanya Nathan dengan rasa ingin tahu yang kentara. Elsa mengangguk. "Iya. Udah, Mas. Malah tadi itu aku sebenarnya bareng Daddy pas ngambil mobil, sekalian dia berangkat kerja." "Oohh gitu. Eemm tapi, kamu baik-baik saja 'kan, Yang?" tanya Nathan dengan penuh perhatian, sambil memperhatikan wajah Elsa yang terlihat sedikit lelah. Kantung matanya pun sedikit menghitam, menandakan kurangnya istirahat. "Pas ditelepon 'kan Mas udah nanya, dan aku juga jawab, kalau aku baik-baik saja. Jadi Mas nggak usah khawatir." Elsa menyentuh lembut lengan suaminya, mencoba memberikan rasa nyaman. "Jangan bohong ah, aku yakin kamu semalam kurang tidur, kan?" tebak Nathan dengan nada curiga namun penuh perhatian. "Sedikit," jawab Elsa sambil tersenyum kecut, mencoba meremehkan kelelahannya. "Sedikit kok sampai hitam begitu kantung matamu, Yang?" Tangan Nathan dengan lembut menyentuh pipi Elsa, sorot matanya penuh kekhawatiran terhadap sang istri. "Aku tau kok, pasti kamu kurang tidur karena semalam mikirin aku bersama Silla. Benar 'kan kataku juga, seharusnya kita nggak perlu melakukan hal ini. Yang ada kamu yang tertekan, Sayang." "Mas kok bahasnya tentang itu melulu sih? Kan ini sudah kesepakatan kita bersama. Lagian, aku sama sekali nggak merasa tertekan kok," Elsa menggeleng lembut, mencoba menenangkan Nathan. "Aku malah senang, karena sebentar lagi kita akan memiliki anak. Semalam Mas dengan Silla sudah berhubungan badan, kan?" "Sudah," jawab Nathan dengan cepat, berusaha menyembunyikan kecemasannya agar Elsa tidak curiga. Dia tidak ingin Elsa mengetahui kebenaran yang sebenarnya, karena takut akan menimbulkan masalah yang lebih rumit. "Iihh seriusan, Mas??" Elsa menatap Nathan dengan senyuman yang penuh kebahagiaan, matanya berbinar-binar karena kegembiraan yang menyelimuti hatinya. "Seriuslah, Sayang." Nathan berbicara dengan penuh kesungguhan, mencoba meyakinkan Elsa. "Obat darimu itu manjur banget. Tapi ... perlu kamu ingat bahwa apa yang aku lakukan semalam dengan Silla, aku anggap aku melakukannya denganmu. Karena yang aku bayangkan hanya kamu. Hanya kamu," ucapnya dengan penuh perasaan, sambil menekankan kata 'hanya kamu' agar Elsa tidak merasa tersakiti. Meskipun Elsa tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan, bahkan terlihat bahagia, Nathan yakin bahwa mungkin ada rasa yang terpendam di dalam hatinya. Elsa benar-benar istri yang sempurna menurut Nathan. Bagi Nathan, tak ada yang rela membagi suaminya dengan perempuan lain, meskipun hanya untuk sesaat. Namun, Elsa memilih untuk tidak egois. Dia melakukan segala hal dengan penuh cinta dan pengorbanan, tidak hanya untuk kebahagiaan dirinya dan Nathan, tetapi juga untuk seluruh anggota keluarganya. "Iya, Mas. Aku percaya," Elsa mengangguk dengan senyuman tipis. "Aku yakin kamu nggak akan pernah mengkhianatiku." Suaranya penuh dengan keyakinan dan cinta yang tulus. "Ee-eh, tapi, Yang ... lehermu kenapa ini??" Nathan tiba-tiba kehilangan fokus saat melihat leher istrinya yang berwarna merah keunguan di sebelah kanan bawah. Dengan perlahan, dia meraba leher Elsa. "Leherku?! Kenapa memangnya dengan leherku, Mas?" Elsa membalikkan tangannya dengan ekspresi bingung, lalu segera membuka tasnya untuk mengambil cermin dan melihat lehernya dari sana. Kedua matanya membulat saat melihat bekas kissmark yang jelas terlihat. "Itu seperti bekas kecupan, bener nggak sih, Yang? Tapi kamu dikecup siapa kira-kira??" tanyanya dengan rasa curiga yang mulai muncul di benaknya.Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.
"Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah
"Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *
'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se
Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit
"Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l