Aku tak sengaja menyenggol guci yang ada di sebelah tanganku, membuat benda itu tergolek dan pecah. Mas Dirga dan wanita itu menghentikan aktivitas mereka.
Saat berbalik dan mendapatiku ada di ruangannya, keduanya yang baru sadar akan kedatanganku terkejut lalu melepaskan satu sama lain. Keadaan Mas Dirga dan wanita itu sama-sama terbuka. Baju suamiku sudah teronggok di lantai, sedang wanita itu ... ah sungguh tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Remuk sudah hati ini.Aku sudah tahu Mas Dirga mempunyai kekasih, tetapi untuk menyaksikan kelakuan bejat mereka dengan mata kepala sendiri sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya.Mas Dirga berdiri dan membereskan penampilannya sambil menatap tajam ke arahku. Sedang wanita bernama Anita itu cepat-cepat pergi ke toilet yang ada di dalam ruangan.Aku masih syok dengan semua yang terjadi hanya bergeming , sampai suara Mas Dirga membuyarkan segala lamunanku.“Sedang apa kamu di sini?” tekannya kepadaku sambil menggebrak meja.Aku mendongak, kulihat Mas Dirga menatapku tajam serta dingin, pun dengan rahang yang mulai mengeras menahan amarah. Tangannya terkepal seperti hendak meninju seseorang, itu sungguh membuatku takut.“Aku ... a-aku hanya ingin mengantar dokumen penting yang ayah titipkan. Beliau menyuruhku mengantarkannya ke sini. Aku juga membawa makan siang untuk Mas Dirga. Tapi ... malah melihat sesuatu yang tak kuinginkan.” Kuhela napas untuk mengurai dada yang sesak.“Mas ... apa Mas Dirga sering melakukan perbuatan terlarang itu di kantor ini?” tanyaku dengan suara bergetar.Mata Mas Dirga menatapku nyalang, “ Sudah kukatakan jangan pernah campuri urusanku!” teriak Mas Dirga. Dia mungkin tak terima aku menanyakan hal pribadi kepadanya.“Tapi ... itu perbuatan dosa. Mas Dirga sudah berzina. Aku tak ingin suamiku melakukan kesalahan seperti itu,” ucapku lirih, tapi masih terdengar oleh Mas Dirga.“Apa kamu tak mengerti dengan yang kukatakan, hah? Jangan pernah campuri urusanku,” tekan Mas Dirga. “ Mau melakukan apa pun aku dengan Anita, itu bukan urusanmu. Bahkan kami berc*nta sekalipun. Kamu urus saja urusanmu sendiri.”“Tapi, Mas. Aku hanya __” Suara seorang wanita menghentikan ucapanku.“Ceraikan saja dia, Mas. Atau berikan dia pelajaran yang akan membuatnya kapok supaya wanita ini tak mencampuri urusan kita lagi.”Anita kembali dari kamar mandi dengan penampilan yang sudah rapi. Dia memeluk tubuh Mas Dirga dan bergelayut Manja di hadapanku. Membuat diriku seperti orang bodoh sekarang ini. Seorang istri yang hanya bisa berdiam diri menyaksikan suaminya disentuh wanita lain. Bahkan tak segan wanita itu mencium Mas Dirga yang disambut hangat oleh suamiku.Sekali lagi kamu membuatku hancur, Mas. Sakit sekali hati ini ketika melihat kemesraan mereka.“Sayang, aku tak bisa menceraikan dia. Papa pasti murka kalau aku melakukannya. Urusan dia, tenang saja, Mas akan memberikan pelajaran untuknya,” ucap Mas Dirga sambil mengangkat dagu perempuan itu dengan tangannya. Membuat mereka saling berpandangan satu sama lain, hingga anita itu tersenyum.“Syukurlah. Biar dia tak kurang ajar lagi. Mengganggu kesenangan kita seperti tadi.” Aku membuang muka tak sanggup melihat adegan kemesraan pasangan zina ini di hadapanku.“Sebaiknya kamu pergi. Dan ... ya, bawa kembali makanan yang kau bawa atau buang sekalian ke tong sampah. Aku tak ingin memakan masakanmu. Kami akan makan bersama di luar. Jadi sebaiknya kamu cepat pulang,” perintah Mas Dirga.Dengan gontai aku berdiri dan melangkah menghampiri suamiku. Kuberikan map yang ada ditangan kepadanya, kemudian mengambil rantang nasi dan membawanya kembali pulang.Tapi, saat aku hendak menjauh dari pintu. Langkahku terhenti. Suara Mas Dirga yang ada di dalam ruangan kerjanya membuatku kembali menitikkan air mata.“Mas, belum puas, Sayang. Sebaiknya kita pergi dari sini dan mencari hotel. Kita teruskan yang tadi tertunda,” ucap Mas Dirga dengan suara lembutnya.“Ah ... Mas itu, ya. Aku jadi malu. Tapi aku juga masih ingin. Kita habiskan waktu kita bersama dengan puas.”Aku sungguh tak kuat mendengarnya. Dengan berderai air mata, aku segera berlari dari kantor Mas Dirga diselingi tatapan aneh para karyawan.Mungkin mereka melihatku seperti badut bodoh saat ini. Seorang wanita dengan keadaan kacau dan bercucuran air mata, baru saja keluar dengan berlari dari ruangan Mas Dirga.Aku segera menghampiri Mas Rudi sopir baru keluarga Adiwiyata, lalu memintanya mengantarku segera kembali ke rumah. Dia baru dua bulan bekerja untuk kami. Mungkin Mas Rudi terkejut melihat keadaanku. Dia bergegas menyuruhku masuk ke dalam mobil dan melajukannya.Dalam keheningan aku terisak sepanjang jalan. Setelah sampai rumah, segera kuraih tisu basah yang ada di mobil dan menyeka semua air mataku. Tak ingin ayah mertua tahu apa yang terjadi tadi di kantor apalagi kalau beliau melihat aku baru menangis.Untunglah kulihat mertuaku itu tak ada di ruang tamu, mungkin sedang ada di kamarnya. Aku segera berlari masuk ke kamar dan menumpahkan segala rasa sakitku kembali. Kemudian, aku membersihkan diri dan menghadap Sang Pencipta serta mengadu kepada-Nya. Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang, untuk berharap suamiku akan berubah.Bahkan ibu pun tak pernah tahu kelakuan Mas Dirga kepadaku. Pria yang telah bergelar suami tersebut pandai sekali bersandiwara seolah mencintai di hadapan Ayah Mertua dan Ibu kandungku.Malam telah larut, tetapi suamiku lagi-lagi belum pulang, padahal ini sudah lewat tengah malam. Aku tak bisa tidur gara-gara menunggu Mas Dirga kembali ke rumah, meski sampai saat ini masih belum juga ada tanda-tanda kehadirannya.Sampai dengan, tak lama kudengar sebuah mobil masuk ke dalam garasi, bisa kutebak itu adalah milik Mas Dirga. Benar saja, itu adalah dia. Sampai ketika, Mas Dirga masuk ke dalam kamar dan mendapatiku menunggunya, dia menatapku tajam.“Kenapa kamu menungguku? Jangan harap aku bisa senang dengan perbuatan manismu seperti ini. Kamu belum mendapatkan balasan karena sudah lancang mengganggu kesenanganku tadi siang.” Aku terkejut dengan reaksi Mas Dirga. Sebegitu marahnya kah suamiku karena aku tadi siang tak sengaja melihatnya dengan Anita?“Tapi, Mas __” Suamiku mengangkat tangannya, menyuruhku untuk diam.Dia berdiri di depanku lalu berkata, “ Kamu harus dapat hukuman dariku. Mulai saat ini kamu tidur di lantai, tanpa alas. Hanya bantal dan selimut tipis yang bisa kamu pakai,” ucapnya penuh penekanan.Aku terkejut dengan apa yang di katakan Mas Dirga. Tubuhku lunglai mendengar perintah suamiku. Tega sekali kamu, Mas.BersambungTak ada yang bisa kulakukan untuk membantah ucapan Mas Dirga. Kuambil selimut yang Mas Dirga bawa dari lemari serta bantal yang biasa kupakai. Dinginnya lantai tak membuatku menggigil, bahkan yang kurasakan sebaliknya, hawa panas panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Bagaimana pun, aku manusia normal yang bisa merasa marah serta kecewa atas segala perlakuan suamiku saat ini. Kucoba untuk menahannya walau hatiku benar-benar merasakan perih luar biasa.Terpaksa, malam ini aku tidur tanpa alas. Bahkan, saat pagi tiba, tubuhku terasa menggigil. Aku mencoba bangkit berniat ke kamar mandi untuk mengambil wudu, tetapi kini kepalaku berdenyut begitu hebat. Segalanya kulihat seakan berputar-putar dan pandangan mulai mengabur, hingga tak berapa lama kurasakan tubuh ini terjatuh, kemudian gelap menyelimuti kesadaranku.Kubuka mata serta melirik ke segala penjuru kamar. Aku mengernyit dengan posisiku saat ini yang sudah ada di atas ranjang. Mungkinkah Mas Dirga yang memindahkanku?Sampai ketika
Setelah seharian berpikir ulang, mungkin aku harus lebih berjuang mengambil hati suamiku daripada hanya diam dan pasrah dengan apa yang terjadi. Orang bilang, jika seorang suami sudah terbiasa dengan masakan sang istri, secara tak langsung dia akan ketergantungan dengan kita. Aku percaya itu, jadi akan kucoba mengambil hati Mas Dirga dengan segala perhatian yang aku berikan.Kulihat suamiku turun ke bawah dengan penampilan yang lebih segar setelah mandi. Dia masuk ke ruangan kerja ayah mertua, sesuai yang diperintahkan tadi. Kulirik masakan yang kubuat sudah matang, lalu menyiapkannya ke meja makan.Setelah itu aku pergi ke kamar untuk memperbaiki penampilan agar lebih segar dan menarik di mata Mas Dirga. Tak berapa lama suamiku itu datang dengan wajah yang tidak bersahabat. Aku yang khawatir menghampiri dia.“Ada apa, Mas? Kenapa Mas terlihat marah?” tanyaku dengan raut wajah penasaran.“Diam kamu! Gara-gara menikahimu aku mendapatkan kesialan bertubi-tubi. Dasar wanita tak berguna!”
“Beraninya kau ....” Mas Dirga mengepalkan tangannya menahan amarah. Maafkan aku, Mas. Hanya ini satu-satunya cara untukku mempertahankan pernikahan kita. Biarkan aku merasakan menjadi istri yang sesungguhnya meski hanya sebentar saja.Saat ini, aku begitu berharap Mas Dirga akan mengabulkan syarat dariku. Kulirik suamiku yang menghela napas dalam dan tersenyum meremehkan. Namun, pernyataan dia selanjutnya membuatku akhirnya bisa bernapas lega. “Oke. Aku akan memenuhi segala persyaratan yang kamu ajukan tadi. Hanya enam bulan saja kamu akan menjadi istriku yang sesungguhnya. Segala yang kau mau akan kupenuhi semuanya. Setelah aku menikahi Anita, segalanya akan berakhir. Sandiwara kita tak perlu ditutupi lagi,” terangnya.Aku tersenyum kaku mendengarkan kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Mas Dirga. Sambil tertawa di dalam hati, merasa miris dengan nasib sendiri. Menjadi seorang istri yang mendapatkan haknya setelah meminta syarat kepada sang suami, lalu setelahnya harus m
Tidak! Aku tak kan menyerah sekarang. Mungkin menghilangkan kebiasaan Mas Dirga itu sulit, tapi aku yakin suatu saat dia akan berubah. Akan kucari cara agar suamiku itu tak bisa melanggar lagi janjinya padaku.Sudah dua jam aku menunggu kepulangan Mas Dirga. Rasa kantuk ini menguap begitu saja, jadi kuputuskan mengambil wudu dan melaksanakan salat malam sembari menunggu suamiku datang. Benar saja, ketika aku sedang melaksanakan sembahyang, Mas Dirga pulang dengan keadaan sempoyongan. Matanya memerah, bau alkohol menyengat di sekujur badannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dari mana suamiku tadi sampai pulang dalam keadaan mabuk seperti ini? Benarkah dia baru saja menemui Anita? Kuhampiri Mas Dirga yang sudah tersungkur di atas ranjang, laku membantu membuka sepatu dan membenarkan posisi tidurnya. Kucium baju suamiku yang juga terdapat tumpahan alkohol di sana. Mungkin aku harus mengganti pakaian Mas Dirga dan menyeka badannya dengan air hangat.Kulipat mukena yang masih melekat di ba
Aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan seperti biasa dengan ibu. Meski kata-kata Mas Dirga masih terngiang di telinga, tetapi tak mungkin aku terus meratapi nasib. Aku harus kuat! Perjuanganku untuk mendapatkan hati Mas Dirga memang takkan mudah. Aku harus banyak-banyak bersabar menghadapi sifat angkuhnya.Sepanjang aku memasak bersama ibu, sedari tadi kulihat beliau memperhatikanku terus menerus, apa ada yang salah? “Ibu ada apa? Kenapa terus melihatku, Bu? Apa ada yang aneh padaku?” tanyaku heran melihat sikap ibu yang menurutku tak biasa.“Bukan ... Ibu hanya heran. Kenapa jalanmu tak biasa, ya, Nak?” jawab ibu meluapkan apa yang ada di pikirannya.“Oh, ehmm ... i-itu enggak apa-apa kok, Bu. Aku baik-baik saja.” Aku gugup dengan kata-kata ibu.Mana mungkin aku bilang kalau semalam habis melakukan malam pertama dengan Mas Dirga. Bisa-bisa ibu terkejut. Satu setengah tahun kami menjalani pernikahan tapi baru kali ini Mas Dirga menyentuhku, itu pun karena dia sedang mabuk sambil me
POV DirgaAku dan Anita sudah mengenal lama sekali. Sejak kita masih di bangku SMA dia yang selalu mengisi hari-hariku yang kesepian. Orang tuaku sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayah dengan kesibukannya di perusahaan. Sedangkan Mama, sibuk dengan arisan dan kehidupan sosialitanya. Meski setiap hari kami masih bertemu di pagi hari saat kami sarapan bersama. Mama memang masih meluangkan waktu untukku membagi kehangatan sebagai ibu di sela-sela kesibukannya. Dia tak pernah membiarkanku makan di luar. Selalu membiasakan makan masakan rumah. Kebiasaan ini yang tak hilang sampai sekarang. Itulah yang membuatku selalu merindukannya setelah beliau tiada tujuh tahun yang lalu. Sedangkan Ayah, dia selalu sibuk bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga, katanya. Awalnya, dialah panutan dalam hidupku. Sampai ketika kejadian tiga belas tahun yang lalu di mana aku memergoki dia bergandengan tangan menuju sebuah hotel dengan sekretarisnya, rasa hormat itu sirna begitu saja padanya.Aku Dirga
POV Dirga (2)Tengah malam aku baru pulang ke rumah setelah seharian ini menghabiskan waktu bersama Anita di hotel. Bagaimana aku bisa berpaling dari kekasihku itu serta memandang wanita lain. Anita terlalu sempurna untuk dilepaskan. Sebagai lelaki, sikap agresif yang ditunjukkan kekasihku ini di setiap peraduan kami membuatku merasa puas dan beruntung bisa mendapatkan cintanya.Aku sampai ke rumah saat keadaan sudah sangat sepi. Mungkin semua orang sudah tidur di kamar mereka masing-masing. Hanya ada satpam yang bertugas berjaga di pos dekat gerbang masuk.Ketika masuk kamar, betapa terkejutnya aku mendapati Anisa yang masih terjaga, sepertinya dia sedang menungguku pulang. Aku memandang sinis padanya mencoba tak terpengaruh dengan sikap hangat yang dia tunjukkan. Meski, sudut hati ini tak kupungkiri merasa senang dengan perlakuan Alisa.“Kenapa kamu menungguku? Jangan harap aku bisa senang dengan perbuatan manismu seperti ini. Kamu belum mendapatkan balasan karena sudah lancang meng
Setelah pertengkaranku dengan Mas Dirga waktu itu, aku sering banyak diam. Tak pernah sekalipun mengajaknya berbicara. Bahkan, segala pertanyaannya hanya kujawab dengan singkat. Hati ini masih sakit mengingat semuanya. Bagaimanapun, aku manusia biasa pasti merasa kecewa ketika mendapat perlakuan Mas Dirga yang semena-mena.Sampai, ketika aku dikejutkan dengan perintah Mas Dirga malam itu yang menyuruhku mempersiapkan segalanya untuk pergi ke puncak menghadiri undangan Tante Mira.“Lisa, besok kita akan ke puncak jadi siapkan pakaian ganti untuk di sana selama tiga hari,” perintah Mas Dirga saat aku baru selesai salat isya. Sedangkan, dia duduk di sofa sambil menghadap laptopnya.Aku mendongak menatapnya. Apa maksudnya? Bukannya dia bilang tak akan mengajakku sebab malu mengenalkanku sebagai istrinya? Apa aku tak salah dengar?“Hei, kamu dengar tidak yang aku ucapkan barusan?” tanya Mas Dirga sambil berteriak. Mungkin merasa jengkel karena aku tak menjawab ucapannya.“Apa? Ah iya, akan