Share

Bab 3. Sakit

Author: Nuri522
last update Last Updated: 2023-06-21 11:43:52

Tak ada yang bisa kulakukan untuk membantah ucapan Mas Dirga. Kuambil selimut yang Mas Dirga bawa dari lemari serta bantal yang biasa kupakai. Dinginnya lantai tak membuatku menggigil, bahkan yang kurasakan sebaliknya, hawa panas panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Bagaimana pun, aku manusia normal yang bisa merasa marah serta kecewa atas segala perlakuan suamiku saat ini. Kucoba untuk menahannya walau hatiku benar-benar merasakan perih luar biasa.

Terpaksa, malam ini aku tidur tanpa alas. Bahkan, saat pagi tiba, tubuhku terasa menggigil. Aku mencoba bangkit berniat ke kamar mandi untuk mengambil wudu, tetapi kini kepalaku berdenyut begitu hebat. Segalanya kulihat seakan berputar-putar dan pandangan mulai mengabur, hingga tak berapa lama kurasakan tubuh ini terjatuh, kemudian gelap menyelimuti kesadaranku.

Kubuka mata serta melirik ke segala penjuru kamar. Aku mengernyit dengan posisiku saat ini yang sudah ada di atas ranjang. Mungkinkah Mas Dirga yang memindahkanku?

Sampai ketika aku hendak bangun, pintu terbuka dan kulihat ibu masuk ke kamar sambil membawa nampan berisi satu mangkok bubur. Beliau tersenyum kepadaku.

“Nak, gimana sekarang keadaanmu? Sudah enakkan?” tanya ibu dengan raut wajah cemas.

“Iya, Bu. Lisa sudah agak mendingan, pusingku sudah berkurang tak seperti tadi.” Ibu bernapas lega mendengar penuturanku. Beliau mendengarkan perjelasan sambil mengaduk-aduk bubur yang ada di tangannya. Ibu tak henti-hentinya memandang sendu ke arahku.

"Al, ada sesuatu yang harus Ibu tanyakan," ujar wanita yang telah melahirkanku itu.

"Iya, Bu. Ada apa?"

“Apa hubunganmu dan Den Dirga baik-baik saja, Nak? Sudah satu setengah tahun lebih kamu berumah tangga tapi belum juga hamil. Tuan sangat mendambakan hadirnya seorang cucu. Dia selalu menanyakan perihal ini kepada ibu.” Aku tak bisa menjawab apa pun yang ibu tanyakan. Bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya kalau yang ibu katakan itu mustahil. Jangankan untuk hamil anak Mas Dirga, disentuh pun aku tak pernah.

“Maafkan aku, Bu. Mungkin Allah belum memberikan anugerahnya kepadaku. Belum saatnya aku mengandung keturunan keluarga Adiwiyata. Aku ... benar-benar minta maaf,” lirihku.

Sungguh aku merasa bersalah kepada ibu dan ayah mertua. Mereka mengharapkan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Mengingat itu semua, tiba-tiba netra ini memanas, kucoba bertahan agar air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata tidak tumpah di hadapan ibu. Akan tetapi, aku sungguh tak bisa mengendalikannya. Perasaan di dalam hati yang kian berkecamuk, membuatku tak bisa lagi mengontrol segala kesedihan.

Aku mengusap air mata yang tak sengaja mengalir di pipi. Seketika itu pula ibu menghambur memelukku.

“Ya Allah, Nak. Maafkan Ibu. Sungguh Ibu tak ingin membuatmu sedih. Tidak apa-apa jika kamu belum hamil. Mungkin benar, belum rezeki saja. Ibu akan memaklumi apalagi ayah mertuamu pasti akan mengerti,” ucap ibu mencoba menenangkan.

Aku mengangguk. Jika saja ibu tahu, kalau selama ini hubunganku dengan Mas Dirga tak seperti yang mereka bayangkan.

Namun, ya sudah. Ini semua memang sudah menjadi takdirku dan sudah diatur yang Maha Kuasa. Aku hanya berharap Mas Dirga akan segera berubah.

“Dari tadi aku tak melihat Mas Dirga, Bu. Ke mana dia? Apa sudah berangkat?” tanyaku. Memang sejak tadi aku mencari keberadaan suamiku karena tak ada kamar.

“Suamimu sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, Sa. Katanya ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Tadi, setelah memberitahu kamu pingsan, dia mandi dan bergegas pergi,” jawab ibu menjelaskan.

Aku mengangguk. Otakku kemudian berpikir, pekerjaan apa yang membuat Mas Dirga berangkat pagi-pagi sekali. Bahkan ini masih terlalu awal untuk pergi ke kantor.

Setelah tak mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan yang memenuhi benak, kucoba menepis segala pikiran buruk yang sempat terlintas barusan, lalu menghibur diri agar kondisi ini lekas pulih kembali.

Apalagi, biasanya ketika menjelang pagi, aku sudah menyiapkan sarapan untuk semuanya, serta menemani dan melayani suamiku di meja makan. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya gara-gara kesehatanku memburuk pagi ini. Hal ini sungguh membuatku merasa menjadi istri yang tak berguna.

Ibu meninggalkanku di dalam kamar sendirian, setelah menyuapi dan memberikan obat untukku. Seharian ini aku berniat untuk istirahat agar kondisiku cepat pulih, meski kulakukan dengan terpaksa.

Sepanjang hari tak melakukan aktivitas apa pun membuat diriku tak nyaman. Aku tak terbiasa berdiam seperti ini.

Sore tiba tubuhku mulai kembali bugar. Aku sudah tak merasakan pusing lagi di kepala. Kemudian, aku segera membersihkan diri sebelum Mas Dirga pulang. Sebagai istri, aku tak ingin suamiku melihat tubuh ini bau penuh keringat. Pasti dia akan merasa jijik kalau mendapatiku seperti itu.

Kulirik jam dinding sudah menunjukkan waktu pukul setengah enam sore. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda suamiku pulang juga. Mungkin hari ini dia akan pulang tengah malam seperti sebelumnya. Bisa jadi, sekarang Mas Dirga sedang bermesraan dengan Anita kekasihnya. Mengingat itu hatiku berdenyut nyeri kembali. Dada ini terasa sesak sehingga membuat netraku kembali memanas, hingga tak terasa bulir bening mengalir di pipiku.

Satu jam berlalu, mobil Mas Dirga terdengar masuk ke halaman rumah. Aku bergegas mengusap air mata, kemudian turun ke bawah untuk menyambutnya.

Aku dan Mas Dirga memang bukan seperti pasangan pada umumnya. Akan tetapi, demi mertua dan ibu kandungku, sebisa mungkin, aku bersandiwara menjadi istri yang baik dengan cara melayani apa pun yang suamiku butuhkan. Termasuk, menyambutnya dan membawakan tas kantor ke kamar. Itu semata-mata agar ayah mertua dan ibu melihat kami tak memiliki masalah, layaknya keluarga harmonis.

Kusambut kedatangan Mas Dirga dengan mencium tangannya. Setelah itu mengambil alih tas yang ada di tangan serta berjalan mengekorinya di belakang. Sampai ketika, kami tak sengaja berpapasan dengan ayah mertua. Kemudian, beliau menyuruh Mas Dirga menemuinya di ruang kerja. Mungkin ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Suamiku mengangguk dan meminta izin membersihkan diri dulu.

Setelah masuk ke dalam kamar seperti biasa kusiapkan baju ganti untuk Mas Dirga, lalu turun ke bawah tanpa menunggu suamiku selesai mandi. Kali ini aku ingin memasak makanan kesukaan Mas Dirga. Mungkin dengan cara seperti itu, dia akan luluh dan menghargaiku sebagai istrinya, sehingga cintanya perlahan akan tumbuh untukku. Semoga saja.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
Alisa jangan terlalu berharap pada suamimu yg setiap saat hanya bisa memberimu luka bukan kebahagiaan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menjadi Pelayan di Pernikahan Kedua Suamiku   Bab 40. Tamat

    Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a

  • Menjadi Pelayan di Pernikahan Kedua Suamiku   Bab 39

    Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di

  • Menjadi Pelayan di Pernikahan Kedua Suamiku   Bab 38

    Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N

  • Menjadi Pelayan di Pernikahan Kedua Suamiku   Bab 37

    Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang

  • Menjadi Pelayan di Pernikahan Kedua Suamiku   Bab 36

    Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha

  • Menjadi Pelayan di Pernikahan Kedua Suamiku   Bab 35

    Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status