Share

Bab 3. Sakit

Tak ada yang bisa kulakukan untuk membantah ucapan Mas Dirga. Kuambil selimut yang Mas Dirga bawa dari lemari serta bantal yang biasa kupakai. Dinginnya lantai tak membuatku menggigil, bahkan yang kurasakan sebaliknya, hawa panas panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Bagaimana pun, aku manusia normal yang bisa merasa marah serta kecewa atas segala perlakuan suamiku saat ini. Kucoba untuk menahannya walau hatiku benar-benar merasakan perih luar biasa.

Terpaksa, malam ini aku tidur tanpa alas. Bahkan, saat pagi tiba, tubuhku terasa menggigil. Aku mencoba bangkit berniat ke kamar mandi untuk mengambil wudu, tetapi kini kepalaku berdenyut begitu hebat. Segalanya kulihat seakan berputar-putar dan pandangan mulai mengabur, hingga tak berapa lama kurasakan tubuh ini terjatuh, kemudian gelap menyelimuti kesadaranku.

Kubuka mata serta melirik ke segala penjuru kamar. Aku mengernyit dengan posisiku saat ini yang sudah ada di atas ranjang. Mungkinkah Mas Dirga yang memindahkanku?

Sampai ketika aku hendak bangun, pintu terbuka dan kulihat ibu masuk ke kamar sambil membawa nampan berisi satu mangkok bubur. Beliau tersenyum kepadaku.

“Nak, gimana sekarang keadaanmu? Sudah enakkan?” tanya ibu dengan raut wajah cemas.

“Iya, Bu. Lisa sudah agak mendingan, pusingku sudah berkurang tak seperti tadi.” Ibu bernapas lega mendengar penuturanku. Beliau mendengarkan perjelasan sambil mengaduk-aduk bubur yang ada di tangannya. Ibu tak henti-hentinya memandang sendu ke arahku.

"Al, ada sesuatu yang harus Ibu tanyakan," ujar wanita yang telah melahirkanku itu.

"Iya, Bu. Ada apa?"

“Apa hubunganmu dan Den Dirga baik-baik saja, Nak? Sudah satu setengah tahun lebih kamu berumah tangga tapi belum juga hamil. Tuan sangat mendambakan hadirnya seorang cucu. Dia selalu menanyakan perihal ini kepada ibu.” Aku tak bisa menjawab apa pun yang ibu tanyakan. Bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya kalau yang ibu katakan itu mustahil. Jangankan untuk hamil anak Mas Dirga, disentuh pun aku tak pernah.

“Maafkan aku, Bu. Mungkin Allah belum memberikan anugerahnya kepadaku. Belum saatnya aku mengandung keturunan keluarga Adiwiyata. Aku ... benar-benar minta maaf,” lirihku.

Sungguh aku merasa bersalah kepada ibu dan ayah mertua. Mereka mengharapkan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Mengingat itu semua, tiba-tiba netra ini memanas, kucoba bertahan agar air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata tidak tumpah di hadapan ibu. Akan tetapi, aku sungguh tak bisa mengendalikannya. Perasaan di dalam hati yang kian berkecamuk, membuatku tak bisa lagi mengontrol segala kesedihan.

Aku mengusap air mata yang tak sengaja mengalir di pipi. Seketika itu pula ibu menghambur memelukku.

“Ya Allah, Nak. Maafkan Ibu. Sungguh Ibu tak ingin membuatmu sedih. Tidak apa-apa jika kamu belum hamil. Mungkin benar, belum rezeki saja. Ibu akan memaklumi apalagi ayah mertuamu pasti akan mengerti,” ucap ibu mencoba menenangkan.

Aku mengangguk. Jika saja ibu tahu, kalau selama ini hubunganku dengan Mas Dirga tak seperti yang mereka bayangkan.

Namun, ya sudah. Ini semua memang sudah menjadi takdirku dan sudah diatur yang Maha Kuasa. Aku hanya berharap Mas Dirga akan segera berubah.

“Dari tadi aku tak melihat Mas Dirga, Bu. Ke mana dia? Apa sudah berangkat?” tanyaku. Memang sejak tadi aku mencari keberadaan suamiku karena tak ada kamar.

“Suamimu sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, Sa. Katanya ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Tadi, setelah memberitahu kamu pingsan, dia mandi dan bergegas pergi,” jawab ibu menjelaskan.

Aku mengangguk. Otakku kemudian berpikir, pekerjaan apa yang membuat Mas Dirga berangkat pagi-pagi sekali. Bahkan ini masih terlalu awal untuk pergi ke kantor.

Setelah tak mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan yang memenuhi benak, kucoba menepis segala pikiran buruk yang sempat terlintas barusan, lalu menghibur diri agar kondisi ini lekas pulih kembali.

Apalagi, biasanya ketika menjelang pagi, aku sudah menyiapkan sarapan untuk semuanya, serta menemani dan melayani suamiku di meja makan. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya gara-gara kesehatanku memburuk pagi ini. Hal ini sungguh membuatku merasa menjadi istri yang tak berguna.

Ibu meninggalkanku di dalam kamar sendirian, setelah menyuapi dan memberikan obat untukku. Seharian ini aku berniat untuk istirahat agar kondisiku cepat pulih, meski kulakukan dengan terpaksa.

Sepanjang hari tak melakukan aktivitas apa pun membuat diriku tak nyaman. Aku tak terbiasa berdiam seperti ini.

Sore tiba tubuhku mulai kembali bugar. Aku sudah tak merasakan pusing lagi di kepala. Kemudian, aku segera membersihkan diri sebelum Mas Dirga pulang. Sebagai istri, aku tak ingin suamiku melihat tubuh ini bau penuh keringat. Pasti dia akan merasa jijik kalau mendapatiku seperti itu.

Kulirik jam dinding sudah menunjukkan waktu pukul setengah enam sore. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda suamiku pulang juga. Mungkin hari ini dia akan pulang tengah malam seperti sebelumnya. Bisa jadi, sekarang Mas Dirga sedang bermesraan dengan Anita kekasihnya. Mengingat itu hatiku berdenyut nyeri kembali. Dada ini terasa sesak sehingga membuat netraku kembali memanas, hingga tak terasa bulir bening mengalir di pipiku.

Satu jam berlalu, mobil Mas Dirga terdengar masuk ke halaman rumah. Aku bergegas mengusap air mata, kemudian turun ke bawah untuk menyambutnya.

Aku dan Mas Dirga memang bukan seperti pasangan pada umumnya. Akan tetapi, demi mertua dan ibu kandungku, sebisa mungkin, aku bersandiwara menjadi istri yang baik dengan cara melayani apa pun yang suamiku butuhkan. Termasuk, menyambutnya dan membawakan tas kantor ke kamar. Itu semata-mata agar ayah mertua dan ibu melihat kami tak memiliki masalah, layaknya keluarga harmonis.

Kusambut kedatangan Mas Dirga dengan mencium tangannya. Setelah itu mengambil alih tas yang ada di tangan serta berjalan mengekorinya di belakang. Sampai ketika, kami tak sengaja berpapasan dengan ayah mertua. Kemudian, beliau menyuruh Mas Dirga menemuinya di ruang kerja. Mungkin ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Suamiku mengangguk dan meminta izin membersihkan diri dulu.

Setelah masuk ke dalam kamar seperti biasa kusiapkan baju ganti untuk Mas Dirga, lalu turun ke bawah tanpa menunggu suamiku selesai mandi. Kali ini aku ingin memasak makanan kesukaan Mas Dirga. Mungkin dengan cara seperti itu, dia akan luluh dan menghargaiku sebagai istrinya, sehingga cintanya perlahan akan tumbuh untukku. Semoga saja.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
Alisa jangan terlalu berharap pada suamimu yg setiap saat hanya bisa memberimu luka bukan kebahagiaan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status