Setelah seharian berpikir ulang, mungkin aku harus lebih berjuang mengambil hati suamiku daripada hanya diam dan pasrah dengan apa yang terjadi. Orang bilang, jika seorang suami sudah terbiasa dengan masakan sang istri, secara tak langsung dia akan ketergantungan dengan kita. Aku percaya itu, jadi akan kucoba mengambil hati Mas Dirga dengan segala perhatian yang aku berikan.
Kulihat suamiku turun ke bawah dengan penampilan yang lebih segar setelah mandi. Dia masuk ke ruangan kerja ayah mertua, sesuai yang diperintahkan tadi. Kulirik masakan yang kubuat sudah matang, lalu menyiapkannya ke meja makan.Setelah itu aku pergi ke kamar untuk memperbaiki penampilan agar lebih segar dan menarik di mata Mas Dirga. Tak berapa lama suamiku itu datang dengan wajah yang tidak bersahabat. Aku yang khawatir menghampiri dia.“Ada apa, Mas? Kenapa Mas terlihat marah?” tanyaku dengan raut wajah penasaran.“Diam kamu! Gara-gara menikahimu aku mendapatkan kesialan bertubi-tubi. Dasar wanita tak berguna!” bentaknya.Aku sungguh tak mengerti apa yang membuat Mas Dirga begitu marah sehingga dia menghunjamkan kata-kata yang menyakitkan padaku. Akan tetapi, untuk saat ini aku mencoba untuk sabar, tak ingin memikirkan hal lain dulu. Yang terpenting sekarang, aku harus tahu apa sebenarnya yang membuatnya terlihat kesal.“Sebenarnya ada apa, Mas? Kenapa Mas Dirga begitu marah kepadaku? Ada masalah apa?” tanyaku kembali. Mas Dirga mengacak rambutnya, dia menghela napas dengan berat.“Ayah menginginkan anak dari kita. Kamu puas 'kan sekarang. Dia ingin kamu hamil anakku!” teriak Mas Dirga.Aku tak bisa berkomentar, sebenarnya dari kata-kata ibu tadi pagi membuatku tak terkejut dengan apa yang diinginkan Ayah Mertua. Tapi aku tak menyangka beliau akan memintanya langsung kepada Mas Dirga. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana aku bisa hamil kalau Mas Dirga pun enggan menyentuh tubuhku?“Lalu apa yang Mas akan lakukan sekarang?” tanyaku. Sungguh aku begitu penasaran dengan keputusan yang akan diambilnya. Dia tersenyum menyeringai hingga membuatku heran atas reaksi Mas Dirga. Kemudian, aku memandangnya dengan alis saling bertautan.“Ada satu jalan ....” Mas Dirga menatapku dengan serius.“Apa, Mas?” tanyaku. Setelah itu kami sama-sama duduk dengan saling berhadapan. Aku semakin penasaran apa yang ada dalam pikiran Mas Dirga.“Kamu bicara ke Ayah kalau kamu tidak hamil juga dalam waktu setengah tahun, aku boleh menikahi wanita lain,” ujarnya tanpa berperasaan.“Apa, Mas bilang? Mas Dirga berniat poligami?”pekikku tak percaya.Langit ini serasa runtuh seketika mendengar penuturan suamiku. Dia sungguh tak memikirkan perasaan istrinya ini sedikit pun. Aku benar-benar merasa terbuang sekarang. Bagi pria yang ada di hadapanku sekarang, aku begitu tak berharga sama sekali di matanya.Haruskah aku tetap bertahan dan mengikuti keinginan suamiku?“Apa kamu tak dengar! Aku ingin menikahi Anita. Dia kekasihku. Dengan cara seperti ini aku bisa dengan leluasa meresmikan hubungan kami. Tanpa ditentang oleh ayah. Aku akan mempunyai anak darinya. Sedangkan dengan kamu ... tak ada sedikit pun keinginanku untuk menyentuhmu. Bagaimanapun kamu merawat diri, kau tetap anak pembantu. Aku tak kan tertarik sedikit pun padamu. Biar semua orang tahu kau yang bermasalah, mereka akan berpikir kamu mandul.”Benar saja, apa yang dikatakan Mas Dirga tak ada sedikit pun yang membuatku senang. Dia terus saja membuatku merasakan sakit yang tak berkesudahan. Mungkin harapanku agar Mas Dirga berubah mencintaiku sangat mustahil.Kuhela napas dalam-dalam sebelum aku mengambil keputusan yang besar dalam hidupku ini.“Baik, Mas. Aku akan mengabulkan keinginanmu. Akan kucoba berbicara dengan ayah, semoga beliau mau menerima alasanku.” Mas Dirga terlihat semringah dia tampak senang sekali saat aku menyetujui segala keinginannya. Akan tetapi, tak akan semudah itu, Mas. Aku pun punya syarat sebelum melakukannya.“Tapi, Mas. Maaf, ada syaratnya agar aku berbicara dengan ayah,” ucapku dengan suara setenang mungkin.Mas Dirga membelalakkan matanya. Dia begitu tampak terkejut mendengar keberanianku sekarang, apalagi sampai meminta sebuah syarat.“Apa? Jangan macam-macam kamu. Memangnya kamu siapa bisa mengajukan syarat atas semua perintahku!” berangnya murka.Mas Dirga mencengkeram lenganku dengan kuat, rasanya sakit sekali mendapatkan perlakuannya kasar dari suamiku ini. Akan tetapi, aku tak boleh goyah. Sebagai istri yang telah sah dinikahi, aku harus lebih kuat lagi demi tujuanku mempertahankan rumah tangga kami.“Aku hanya mengajukan syarat yang mudah, kok, Mas. Ini adalah permintaan satu-satunya dariku selama pernikahan kita. Setelah Mas menikah dengan Mbak Anita. Kehidupan kita akan berubah seperti biasa.” Aku memandang wajah Mas Dirga, sambil mencoba menegarkan diri. Aku tak boleh terlihat lemah lagi.“Memangnya apa syaratnya? Katakan sekarang,” tanya Mas Dirga. Dia menatapku dengan dingin.“Syaratnya yaitu Mas Dirga harus menjadikanku layaknya seperti istri pada umumnya yang mendapatkan hak juga kewajiban. Mas Dirga pun harus menyempatkan untuk makan di rumah setiap malam," paparku melontarkan syarat pertama.Aku menghela napas menormalkan jantungku yang berdegup kencang.“Aku ... juga ingin Mas Dirga jangan terlalu sering bertemu dengan Mbak Anita saat waktu kerja Mas berakhir. Mas harus sering menghabiskan waktu denganku. Satu lagi Mas tak boleh lagi melakukan hubungan terlarang dengannya sampai kalian menikah nanti, aku tak ingin Mas terus menerus melakukan dosa,” terangku mengungkapkan segala syarat yang harus Mas Dirga penuhi.“Gil* kamu, hah! Kamu mau memanfaatkanku? Kau pikir aku akan menyetujui permintaanmu itu? Tak akan, tak ada yang bisa mengatur hidupku terutama kau. Dasar wanita tak tahu diri!” tuding Mas Dirga dengan mengacungkan telunjuknya ke wajahku. Aku tak boleh gentar meski sudut hatiku pun ketakutan melihat Mas Dirga murka seakan ingin melahap apa saja.“Aku tak kan memaksa, Mas Dirga mengabulkannya. Semuanya terserah, jika Mas tak mau memenuhi syarat yang kuberikan, aku pun tak kan mengikuti kemauanmu, Mas,” ancamku.Apa Mas Dirga akan menerima syarat dariku demi bersama dengan kekasihnya?BersambungBab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di
Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N
Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang
Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha
Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe