“Beraninya kau ....” Mas Dirga mengepalkan tangannya menahan amarah.
Maafkan aku, Mas. Hanya ini satu-satunya cara untukku mempertahankan pernikahan kita. Biarkan aku merasakan menjadi istri yang sesungguhnya meski hanya sebentar saja.Saat ini, aku begitu berharap Mas Dirga akan mengabulkan syarat dariku. Kulirik suamiku yang menghela napas dalam dan tersenyum meremehkan. Namun, pernyataan dia selanjutnya membuatku akhirnya bisa bernapas lega. “Oke. Aku akan memenuhi segala persyaratan yang kamu ajukan tadi. Hanya enam bulan saja kamu akan menjadi istriku yang sesungguhnya. Segala yang kau mau akan kupenuhi semuanya. Setelah aku menikahi Anita, segalanya akan berakhir. Sandiwara kita tak perlu ditutupi lagi,” terangnya.Aku tersenyum kaku mendengarkan kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Mas Dirga. Sambil tertawa di dalam hati, merasa miris dengan nasib sendiri. Menjadi seorang istri yang mendapatkan haknya setelah meminta syarat kepada sang suami, lalu setelahnya harus merelakan tempat untuk wanita lain masuk ke dalam pernikahan kami. “Syukurlah, Mas. Aku harap Mas tidak melanggar semua larangan yang aku ajukan tadi. Jika tidak, aku akan berubah pikiran.” Mas Dirga menatap tajam ke arahku mungkin dia marah dengan yang aku ucapkan barusan. Suamiku ini pasti tak menyangka aku berani mengancam dan membantah segala perintahnya. “Baik. Akan kucoba memenuhi syarat yang kau minta,” ujar Mas Dirga sambil berdiri meninggalkanku menuju balkon. Kulihat dia termenung di sana sambil menatap langit dengan tatapan kosong.Hatiku sebenarnya tak tega melihat Mas Dirga seperti itu, tapi mau bagaimana lagi? Sebagai istri, aku tak bisa begitu saja merelakan suamiku menikahi wanita lain. Jujur saja, meskipun sikap Mas Dirga kepadaku tak ada yang membuatku senang, tetapi hati ini perlahan sudah mulai jatuh cinta kepadanya. Bohong jika aku tak terpesona dengan segala karisma yang ada pada sosok suamiku. Dia tampan, menarik, pun menawan, hanya satu kekurangannya, dia selalu memperlakukanku dengan tak layak seakan seonggok sampah saja.Sudah satu jam kami di kamar, sebaiknya aku mengajak Mas Dirga untuk makan malam bersama. Walau bagaimanapun, aku tak ingin dia mengabaikan kesehatannya. Seketika itu pula, aku lekas menghampirinya. “Mas ....” Dia menoleh memandangku dengan wajah heran. “Ada apa lagi?” tanya Mas Dirga dengan ketus. “Lebih baik kita makan dulu bersana ayah di bawah. Aku sudah membuatkan makanan kesukaan Mas Dirga. Ayo kita turun.” Kuberanikan diri untuk memegang tangannya untuk mengajaknya keluar kamar.Ada keterkejutan di wajah Mas Dirga melihatku tak biasanya seperti ini. Dia hendak menepis tanganku, tetapi aku tetap tak melepaskan tautan tangan kami. Ini baru awal, Mas. Akan kutunjukkan kalau aku juga bisa mengambil hatimu. Akan kupastikan kamu mencintaiku di kemudian hari.Setelah kami sampai di meja makan, kulihat ayah mertua dan ibu baru saja beres makan malam. Ya, sejak aku menikah dengan Mas Dirga ibu selalu disuruh makan bersama di meja makan. Meski awalnya kami merasa tak enak, tetapi demi menghargai keinginan Ayah Mertua, aku dan Ibu menurut saja. Apalagi, aku memiliki kewajiban melayani suamiku di meja makan. Ayah mertua dan ibu pergi ke kamar masing-masing setelah makan malam. Meninggalkan kami berdua di ruangan ini. Kulayani Mas Dirga dengan sepenuh hati, berkali-kali aku coba menunjukkan perhatian padanya. Meski yang kulihat hanya raut tak suka serta sinis yang dua tunjukkan di setiap tatapannya.Aku tak peduli. Diriku tak kan menyerah meraih cinta darimu, Mas. Meski sampai saat ini aku tak tahu akan memenangkan hatimu atau tidak. Setelah makan malam bersama, kami kembali ke kamar. Kemudian, suamiku mengambil laptop dan duduk di atas sofa. Dari atas tempat tidur, dengan jelas aku dapat melihatnya beberapa mengecek ponsel miliknya. Aku tahu Mas Dirga sedang bertukar pesan dengan Anita, kekasihnya.Daripada aku terus-menerus menunggu Mas Dirga yang sedang membereskan pekerjaannya, lebih baik aku tidur terlebih dahulu. Sudah satu jam aku menunggu suamiku itu, tetapi belum ada tanda-tanda dia akan tidur. Tak terasa akhirnya aku terlelap ke alam mimpi. Saat terbangun tengah malam, kuraba kasur di sebelah yang kosong. Ke mana Mas Dirga? Apa dia pergi? Tiba-tiba aku merasa takut suamiku mengingkari janjinya. Melanggar syarat yang aku berikan kepadanya tadi. Apa Mas Dirga pergi ke tempat Anita?Tidak ... itu jangan sampai terjadi. Kalau iya berarti dia sudah mengingkari janjinya.Aku bergegas bangun dan mencari keberadaan Mas Dirga di seluruh penjuru kamar, tetapi nihil dia tak ada. Lalu, Aku turun ke bawah tetap berusaha mencarinya, lagi-lagi suamiku tak ditemukan. Mungkinkah dia pergi? Kalau iya berarti Mas Dirga pasti memakai mobilnya.Segera kulihat kendaraan yang sering dipakai suamiku di garasi. Benar saja, mobil itu sudah tak terparkir di sana. Aku yakin Mas Dirga lah yang sudah memakainya. Akan tetapi, ke mana malam-malam begini dia pergi? Apakah menemui Anita?Seketika itu juga tubuhku lemas. Belum semalam kami membuat kesepakatan, tapi Mas Dirga tetap melanggarnya. Haruskah aku menyerah?Bersambung.Tidak! Aku tak kan menyerah sekarang. Mungkin menghilangkan kebiasaan Mas Dirga itu sulit, tapi aku yakin suatu saat dia akan berubah. Akan kucari cara agar suamiku itu tak bisa melanggar lagi janjinya padaku.Sudah dua jam aku menunggu kepulangan Mas Dirga. Rasa kantuk ini menguap begitu saja, jadi kuputuskan mengambil wudu dan melaksanakan salat malam sembari menunggu suamiku datang. Benar saja, ketika aku sedang melaksanakan sembahyang, Mas Dirga pulang dengan keadaan sempoyongan. Matanya memerah, bau alkohol menyengat di sekujur badannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dari mana suamiku tadi sampai pulang dalam keadaan mabuk seperti ini? Benarkah dia baru saja menemui Anita? Kuhampiri Mas Dirga yang sudah tersungkur di atas ranjang, laku membantu membuka sepatu dan membenarkan posisi tidurnya. Kucium baju suamiku yang juga terdapat tumpahan alkohol di sana. Mungkin aku harus mengganti pakaian Mas Dirga dan menyeka badannya dengan air hangat.Kulipat mukena yang masih melekat di ba
Aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan seperti biasa dengan ibu. Meski kata-kata Mas Dirga masih terngiang di telinga, tetapi tak mungkin aku terus meratapi nasib. Aku harus kuat! Perjuanganku untuk mendapatkan hati Mas Dirga memang takkan mudah. Aku harus banyak-banyak bersabar menghadapi sifat angkuhnya.Sepanjang aku memasak bersama ibu, sedari tadi kulihat beliau memperhatikanku terus menerus, apa ada yang salah? “Ibu ada apa? Kenapa terus melihatku, Bu? Apa ada yang aneh padaku?” tanyaku heran melihat sikap ibu yang menurutku tak biasa.“Bukan ... Ibu hanya heran. Kenapa jalanmu tak biasa, ya, Nak?” jawab ibu meluapkan apa yang ada di pikirannya.“Oh, ehmm ... i-itu enggak apa-apa kok, Bu. Aku baik-baik saja.” Aku gugup dengan kata-kata ibu.Mana mungkin aku bilang kalau semalam habis melakukan malam pertama dengan Mas Dirga. Bisa-bisa ibu terkejut. Satu setengah tahun kami menjalani pernikahan tapi baru kali ini Mas Dirga menyentuhku, itu pun karena dia sedang mabuk sambil me
POV DirgaAku dan Anita sudah mengenal lama sekali. Sejak kita masih di bangku SMA dia yang selalu mengisi hari-hariku yang kesepian. Orang tuaku sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayah dengan kesibukannya di perusahaan. Sedangkan Mama, sibuk dengan arisan dan kehidupan sosialitanya. Meski setiap hari kami masih bertemu di pagi hari saat kami sarapan bersama. Mama memang masih meluangkan waktu untukku membagi kehangatan sebagai ibu di sela-sela kesibukannya. Dia tak pernah membiarkanku makan di luar. Selalu membiasakan makan masakan rumah. Kebiasaan ini yang tak hilang sampai sekarang. Itulah yang membuatku selalu merindukannya setelah beliau tiada tujuh tahun yang lalu. Sedangkan Ayah, dia selalu sibuk bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga, katanya. Awalnya, dialah panutan dalam hidupku. Sampai ketika kejadian tiga belas tahun yang lalu di mana aku memergoki dia bergandengan tangan menuju sebuah hotel dengan sekretarisnya, rasa hormat itu sirna begitu saja padanya.Aku Dirga
POV Dirga (2)Tengah malam aku baru pulang ke rumah setelah seharian ini menghabiskan waktu bersama Anita di hotel. Bagaimana aku bisa berpaling dari kekasihku itu serta memandang wanita lain. Anita terlalu sempurna untuk dilepaskan. Sebagai lelaki, sikap agresif yang ditunjukkan kekasihku ini di setiap peraduan kami membuatku merasa puas dan beruntung bisa mendapatkan cintanya.Aku sampai ke rumah saat keadaan sudah sangat sepi. Mungkin semua orang sudah tidur di kamar mereka masing-masing. Hanya ada satpam yang bertugas berjaga di pos dekat gerbang masuk.Ketika masuk kamar, betapa terkejutnya aku mendapati Anisa yang masih terjaga, sepertinya dia sedang menungguku pulang. Aku memandang sinis padanya mencoba tak terpengaruh dengan sikap hangat yang dia tunjukkan. Meski, sudut hati ini tak kupungkiri merasa senang dengan perlakuan Alisa.“Kenapa kamu menungguku? Jangan harap aku bisa senang dengan perbuatan manismu seperti ini. Kamu belum mendapatkan balasan karena sudah lancang meng
Setelah pertengkaranku dengan Mas Dirga waktu itu, aku sering banyak diam. Tak pernah sekalipun mengajaknya berbicara. Bahkan, segala pertanyaannya hanya kujawab dengan singkat. Hati ini masih sakit mengingat semuanya. Bagaimanapun, aku manusia biasa pasti merasa kecewa ketika mendapat perlakuan Mas Dirga yang semena-mena.Sampai, ketika aku dikejutkan dengan perintah Mas Dirga malam itu yang menyuruhku mempersiapkan segalanya untuk pergi ke puncak menghadiri undangan Tante Mira.“Lisa, besok kita akan ke puncak jadi siapkan pakaian ganti untuk di sana selama tiga hari,” perintah Mas Dirga saat aku baru selesai salat isya. Sedangkan, dia duduk di sofa sambil menghadap laptopnya.Aku mendongak menatapnya. Apa maksudnya? Bukannya dia bilang tak akan mengajakku sebab malu mengenalkanku sebagai istrinya? Apa aku tak salah dengar?“Hei, kamu dengar tidak yang aku ucapkan barusan?” tanya Mas Dirga sambil berteriak. Mungkin merasa jengkel karena aku tak menjawab ucapannya.“Apa? Ah iya, akan
Setelah pertengkaranku dengan Mas Dirga waktu itu, aku sering banyak diam. Tak pernah sekalipun mengajaknya berbicara. Bahkan, segala pertanyaannya hanya kujawab dengan singkat. Hati ini masih sakit mengingat semuanya. Bagaimanapun, aku manusia biasa pasti merasa kecewa ketika mendapat perlakuan Mas Dirga yang semena-mena.Sampai, ketika aku dikejutkan dengan perintah Mas Dirga malam itu yang menyuruhku mempersiapkan segalanya untuk pergi ke puncak menghadiri undangan Tante Mira.“Lisa, besok kita akan ke puncak jadi siapkan pakaian ganti untuk di sana selama tiga hari,” perintah Mas Dirga saat aku baru selesai salat isya. Sedangkan, dia duduk di sofa sambil menghadap laptopnya.Aku mendongak menatapnya. Apa maksudnya? Bukannya dia bilang tak akan mengajakku sebab malu mengenalkanku sebagai istrinya? Apa aku tak salah dengar?“Hei, kamu dengar tidak yang aku ucapkan barusan?” tanya Mas Dirga sambil berteriak. Mungkin merasa jengkel karena aku tak menjawab ucapannya.“Apa? Ah iya, akan
Mas Dirga menghampiriku dengan amarah yang memuncak. Dia menghempaskan tubuhku dengan kasar kembali. Diri ini terus memohon agar dia mau mendengarkan segala penjelasanku tapi Mas Dirga yang sudah dalam keadaan emosi, tak mengindahkannya sedikit pun. Aku terus meronta ketika dia mengunci tubuhku, beberapa kali juga dia layangkan tamparan ke wajah ketika kucoba melepaskan diri darinya. Hati ini makin hancur berkeping-keping, bukan ini yang kuinginkan. Bulan purnama yang menyorotkan sinarnya menjadi saksi ketika suamiku memaksakan kehendaknya padaku. Tanpa kelembutan, tanpa pemujaan seolah diri ini hanya sebuah benda mati yang tak bisa terluka.Air mataku tak henti-hentinya terus mengalir di pipiku. Setelah penyatuan kami Mas Dirga meninggalkanku sendiri di dalam kamar yang sepi ini. Entah ke mana dia, namun yang kulihat Mas Dirga masih dikuasai amarah yang masih memuncak. Bukan hanya bagian tubuhku yang terasa perih tetapi juga hatiku juga kurasa remuk tak berbentuk. Setelah membersihkan
Sejak pembicaraanku dengan Mas Dirga pada saat anniversary pernikahan kami yang kedua tahun itu. Kami tak pernah saling sapa. Bahkan sikap Mas Dirga kepadaku kembali dingin seperti pertama kali kami menikah dulu.Semakin hari hati ini semakin terluka. Kebahagiaan yang diimpikan selama enam bulan terakhir ini ternyata hanya fatamorgana. ‘Rupanya cintamu padanya lebih besar dibandingkan padaku, Mas.’ Tidak ... mungkin yang dia rasakan selama ini bukan cinta, melainkan hanya simpati. ‘Jika memang dengan merelakanmu itu yang terbaik untuk kita. Akan kulakukan untukmu, Mas.’Kukatakan permintaan itu kepada Ayah mertua kalau aku mengizinkan Mas Dirga menikah lagi dengan alasan belum bisa memberinya keturunan. Namun, reaksi yang ditunjukkan Ayah ternyata membuatku terkejut. Beliau murka ketika mendengar semuanya. Bahkan kudengar dia sampai memanggil suamiku serta mengancam akan menghancurkan segala usaha Mas Dirga jika sampai menikahi Anita. Aku menguping di balik pintu, penasaran dengan ap