Terlihat beberapa potret dirinya bersama dengan Aluna yang membuat Angga terkejut. Akhirnya Angga tau, apa yang dilakukan oleh calon istrinya sehingga membuat tubuhnya terasa remuk redam.
"Akhirnya aku tau bagaimana kamu menjagaku tadi malam," ungkap Angga."Hehe maafkan aku. Aku tau, jika kamu berada di pihak yang sama dengan calon suamiku yang tua dan jelek itu. Bayangkan saja bagaimana ekspresinya saat melihat foto-foto itu," ucap Aluna."Pastinya dia akan sangat marah," sela Angga.Angga tersenyum simpul. Dia akan mengikuti alur dari permainan Aluna. Sehingga Aluna akan terjebak dalam permainannya yang dibuat sendiri. Angga pastikan, bila Aluna akan menerima pernikahannya dengan senang hati."Tepat sekali. Aku tau kamu adalah orang yang sangat pengertian dan baik. Aku akan berterus terang kali ini. Aku berbohong kepada Tuan Angga dengan mengatakan bahwa aku sudah memiliki seorang pria liar. Aku ingin menjadikan itu sebagai sebuah ala“Kenapa kamu terus-menerus menelepon James dan memintanya agar aku pulang cepat? Ada sesuatu yang terjadi?” Suara Angga terdengar datar, namun di balik nada tenangnya tersembunyi tekanan yang nyaris menyesakkan. Tatapannya menusuk, dalam, seperti berusaha membaca seluruh isi hati Aluna hanya dari sorot matanya.Aluna menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya mengepal kecil di sisi tubuhnya. “Ini... tentu saja tentang perjodohan,” ujarnya pelan, hati-hati. Kepalanya menunduk, tak sanggup menatap wajah Angga yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.Angga menarik napas pelan, sorot matanya tak berubah. “Aku dengar dari James, kamu terlihat gelisah saat sampai di rumah. Wajahmu pucat, dan kamu menolak makan. Apa yang sebenarnya terjadi?”Aluna mengangkat wajahnya sebentar, lalu cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada. Tidak ada yang terjadi sama sekali,” jawabnya dengan suara yang terlalu cepat, terlalu defensif.Namun dalam hatinya, badai berkeca
“Kenapa kamu terus-menerus menelepon James dan memintanya agar aku pulang cepat? Ada sesuatu yang terjadi?” Suara Angga terdengar datar, namun di balik nada tenangnya tersembunyi tekanan yang nyaris menyesakkan. Tatapannya menusuk, dalam, seperti berusaha membaca seluruh isi hati Aluna hanya dari sorot matanya.Aluna menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya mengepal kecil di sisi tubuhnya. “Ini... tentu saja tentang perjodohan,” ujarnya pelan, hati-hati. Kepalanya menunduk, tak sanggup menatap wajah Angga yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.Angga menarik napas pelan, sorot matanya tak berubah. “Aku dengar dari James, kamu terlihat gelisah saat sampai di rumah. Wajahmu pucat, dan kamu menolak makan. Apa yang sebenarnya terjadi?”Aluna mengangkat wajahnya sebentar, lalu cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada. Tidak ada yang terjadi sama sekali,” jawabnya dengan suara yang terlalu cepat, terlalu defensif.Namun dalam hatinya, badai berkecamuk. ‘Haruskah aku memberitahumu bahwa
Aluna membeku. Segalanya terjadi terlalu cepat—sentuhan bibir itu, tekanan lembut namun memaksa, dan hawa tubuh Angga yang begitu dekat. Matanya membelalak saat kesadaran menghantamnya lebih keras dari angin sore yang menerpa balkon Tanpopo’s. Lalu... pandangannya jatuh pada sosok di ambang pintu balkon. Daniel. Pria itu berdiri tegak, tubuhnya sedikit menegang, sorot matanya tak bisa disembunyikan—terkejut, jelas. Tapi tidak marah. Tidak juga cemburu. Hanya… kosong. Seperti sedang melihat sesuatu yang tidak penting. Sesuatu yang tidak menyentuh hatinya. Itu yang paling menyakitkan bagi Aluna. Dengan gerakan refleks, Aluna mendorong tubuh Angga menjauh. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun menahan emosi dan rasa malu yang mendadak membakar wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, tangan kanannya terangkat, dan— Plak!
“Itu gila. Terlalu berisiko. Kamu bisa hancur kalau rahasiamu terbongkar.”Aluna mengangguk. “Makanya aku cerita padamu. Karena aku percaya. Aku tahu ini berat, tapi... aku harap kamu bisa menjaga rahasiaku, Daniel.”Daniel diam sejenak. Lalu ia tersenyum kecil, penuh ketulusan.“Kamu tenang saja, Aluna. Rahasiamu aman bersamaku. Aku janji.”Mata Aluna berkaca-kaca, namun ia tahan. Sebelum suasana menjadi terlalu emosional, Daniel menambahkan dengan nada ringan namun tulus, “Dan kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu cari Alana. Kita cari dia sama-sama.”Aluna menatap Daniel, terkejut sekaligus tersentuh. “Kamu serius?”“Serius,” jawab Daniel. “Apa pun untuk sahabat kecilku... dan sekarang, menjadi wanita kuat yang berdiri di tengah badai.”Mereka saling pandang sejenak, hingga pelayan datang dengan dessert penutup. Keheningan itu berubah menjadi kenyamanan. Tapi satu hal tetap tak terucap: cinta yang Aluna rasakan... dan c
Aluna masih duduk di bangku taman, menunduk, membiarkan kucing kecil itu bermain dengan ujung jarinya. Angin bertiup lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Ia begitu tenggelam dalam dunianya, sampai tak menyadari langkah kaki yang mendekat perlahan dari arah belakang.Langkah itu berhenti tepat di sampingnya.“Alana?”Suara itu—hangat, lembut, dan terdengar asing sekaligus familiar.Aluna mendongak cepat. Matanya langsung bertemu dengan sepasang mata cokelat yang dalam. Lelaki itu mengenakan jaket kulit berwarna gelap, rambutnya sedikit acak namun tetap terlihat rapi. Wajahnya bersih, tampan, dengan senyum tipis yang mengintip dari bibirnya.“Daniel?” Aluna langsung berdiri, kucing kecil itu melompat turun dari pangkuannya. “Kau... bukannya kamu di Tokyo?”Daniel tersenyum lebih lebar. “Tebak siapa yang buka cabang restoran di kota ini?”Aluna masih terkejut, tapi sorot matanya berubah hangat. “Apa kebetul
Suara pintu tertutup pelan, dan keheningan kembali menyelimuti ruang tamu yang penuh ketegangan itu. Abigael menatap Aluna dengan mata yang mulai memerah, bukan karena marah, melainkan karena kelelahan dan tekanan yang menumpuk. “Ayah akan temukan dia, Nak,” ucap Abigael pelan, nadanya berbeda—lebih rapuh, seolah ia sedang memohon kepada takdir, bukan hanya kepada anaknya. “Alana... dia pasti punya alasan, dan Ayah akan mencarinya sampai ketemu.” Aluna memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah tubuhnya sendiri mencoba menahan hati yang ingin meledak. “Aluna,” lanjut Abigael, “kau itu kuat. Lebih kuat dari Alana. Dari siapa pun. Kau selalu bisa diandalkan... selalu bisa berdiri ketika yang lain jatuh. Ayah bangga padamu.” Kata-kata itu, walau terasa seperti penenang yang terlambat datang, tetap menggores luka yang dalam.
Angga menghela napas panjang. Sorot matanya berubah menjadi gelap namun tajam.“Selama aku masih bisa menikmatinya,” jawabnya singkat. “Selama aku bisa melihat reaksinya tanpa dia tahu siapa aku. Ini... menyenangkan.”James menunduk. Ia sudah terlalu lama melayani Angga untuk tahu kapan harus diam.Aluna menatap gagang pintu kamar dengan ragu. Kakinya masih berdenyut pelan, sisa dari keseleo kemarin. Ia mencoba berdiri, namun rasa nyeri memaksanya menyerah pada kenyataan.“James!” panggilnya dari balik pintu yang setengah terbuka.Tak butuh waktu lama, suara langkah cepat terdengar di tangga. James muncul, wajahnya menyiratkan perhatian. “Iya, Nona? Ada yang bisa saya bantu?”“Aku mau ke bawah. Tapi... sepertinya butuh bantuanmu.”Tanpa banyak bicara, James segera mendekat, menunduk sedikit dan memapah tubuh Aluna dengan lembut. Langkah demi langkah, mereka menuruni tangga.Setelah berhasil duduk di sofa ruang t
Angga menutup pintu apartemen dengan lebih keras dari yang seharusnya. Wajahnya muram, rahangnya mengeras, dan langkah-langkahnya berat seolah membawa beban yang tak terlihat. Satu tarikan napas panjang ia hembuskan begitu kakinya menginjak lantai kayu apartemen yang dingin dan sepi.Begitu punggungnya menyentuh kasur, dering ponsel memecah keheningan. Layar menunjukkan nama yang tak asing: Arya Wiguna Kusuma.Angga langsung menjawab, duduk setengah tegak.“Kapan kamu sampai di London kak? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?” suaranya penuh nada protes, tapi juga rindu yang tertahan.Terdengar tawa ringan di seberang sana. “Namanya juga kejutan,” jawab Arya santai. “Aku ingin datang setelah semuanya benar-benar rampung. Perusahaan ini... Aku dirikan dari nol, Angga. Tanpa nama besar ayah, tanpa campur tangan siapa pun. Dan sekarang, akhirnya jalan juga.”Angga terdiam. Antara bangga dan khawatir.“Kamu selalu terlalu keras kep
Langkah Aluna tertahan di anak tangga kedua.“Astaga, Tuan! Apa yang kamu—”Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah terangkat dari lantai. Angga, tanpa aba-aba, menggendongnya dengan satu gerakan mantap.“H-Hey! Turunkan aku!” pekik Aluna, kedua tangannya memukul pelan dada lelaki itu, tapi tak benar-benar berniat melawan.Angga tak menjawab. Tatapannya lurus, rahangnya mengeras seakan menahan sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi belum waktunya. Ia membawa Aluna melintasi ruang tamu, lalu menyusuri lorong sempit menuju kamar gadis itu.Begitu sampai, Angga membuka pintu dengan kakinya, masuk, lalu menutupnya dengan punggung.Aluna masih diam, matanya membulat, hatinya berdebar tak menentu. Baru saat Angga menurunkannya perlahan ke lantai, ia sadar bahwa napasnya tertahan sejak tadi.“Kamu kenapa sih?” tanya Aluna pelan, hampir seperti bisikan.Namun, Angga yang dikira Wijaya itu tak menjawab. Kakinya malah melangkah ke arah Aluna. Aluna mundur satu langkah, punggungny