"Aku Wijaya. Begitu cepat kau melupakan aku."
Ya, pria tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Angga Wijaya Kusuma. Dengan hanya bermodalkan GPS, gampang sekali baginya menemukan titik lokasi Aluna. Dan disinilah dia berada. Dihadapan calon istrinya yang sedang ketakutan. "Benarkah?" tanya Aluna memastikan. Aluna mendekati Angga. Meraba setiap inci wajah Angga. Rabun ayam membuat Aluna kesulitan melihat dalam suasana gelap. "Baiklah. Bagian mana lagi yang ingin kau sentuh Nona?" tawar Angga. Aluna segera menarik tangannya dengan cepat. Wajahnya merah padam menahan malu. Untung suasana sedang gelap. Sehingga Angga tidak menyadari perubahan wajah Aluna. "Maaf Tuan Wijaya. Saya hanya ingin memastikan saja. Soalnya saya punya riwayat rabun ayam. Sehingga tidak bisa melihat dengan jelas saat gelap," ucap Aluna. Sambil mengatupkan kedua tangan. Sebagai permohonan maaf. "Baiklah. Ayo segera masuk ke dalam mobil," perintah Angga. Sebelum pergi, Angga menelpon anggotanya untuk menjemput mobil yang dibawa kabur Aluna tadi. Setelah selesai memberikan instruksi, Angga segera melajukan mobil. "Bagaimana tadi jika aku tidak datang. Apa kau akan terus disini sepanjang malam?" tanya Angga sembari menyerahkan satu kotak tisu kepada Aluna. Aluna segera menyambar tisu pemberian Arlen seraya menjawab, "bukan urusanmu." "Kau masih muda. Tapi tingkahmu ini sungguh luar biasa. Siapa yang memberikanmu keberanian untuk melakukan hal-hal seperti ini?" "Tuhan." jawab Aluna singkat. Angga terdiam. Jawaban Aluna tidaklah salah. Juga tidak sepenuhnya benar. Angga sampai memijit pelipisnya. Benar-benar pusing menghadapi tingkah laku calon istrinya. "Tahukah kau betapa berbahayanya itu. Kau sudah dewasa. Kau harus bisa bertanggungjawab atas perbuatanmu. Jika terjadi sesuatu, bagaimana dengan keluargamu?" tanya Angga seraya menasehati. Aluna hanya diam. Wajahnya tertunduk dalam. Hatinya membenarkan perkataan Angga. Jika terjadi sesuatu padanya, bagaimana dengan sang ibu? Pikirnya. Karena hanya ibunya yang paling mengerti kondisi dan perasaannya. Namun Aluna melakukan semua ini semata-mata bukan untuk menjadi nakal. Dia hanya ingin hidup seperti biasanya. Kesalahannya hanya satu. Terlalu percaya dengan omongan sang ayah. Hingga harus terjebak dalam pernikahan yang tak diinginkan. Masih ada kesempatan untuknya menggagalkan rencana pernikahan ini. Seribu cara Aluna mencoba. Namun pada akhirnya takdir membawanya kembali ke posisi awal. "Aku sudah tau semuanya. Kau adalah orang-orang dari keluarga Kusuma kan. Kau sengaja menjebakku dan membawaku ke rumah Tuan Angga. Sungguh nasibku sangat tidak beruntung. Yang kuinginkan hanyalah kebebasan," ucap Aluna dengan isakan yang tertahan. Aluna menyeka berulang kali air matanya yang lolos membasahi pipi. Aluna sudah pasrah. Jika memang takdirnya harus menikah dengan keluarga Kusuma. Aluna akan terima. Aluna hanya takut bila kembarannya Alana belum kembali. Dan pernikahan dilakukan. Dia akan kehilangan mahkota yang sudah dijaga bertahun-tahun. Aluna hanya ingin memberikannya pada orang yang dicintai olehnya. "Baiklah. Aku mengaku salah. Aku minta maaf padamu. Anggap saja aku berhutang budi. Aku akan tetap mengantarmu pulang ke rumah Tuan Angga," ucap Angga yang tak ingin dibantah. Aluna hanya mengangguk pasrah. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Akhirnya mereka sampai di kediaman Angga. Angga segera menepikan mobilnya. Gegas dia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Aluna. Akan tetapi Aluna tidak bergeming. Matanya masih terus menatap ke arah depan. "Ayo turunlah," suruh Angga. "Aku akan berusaha membujuknya agar membatalkan pernikahan ini," gumam Aluna pelan. Namun masih terdengar di telinga Angga. "Apa yang kau bilang?" "Ah, bukan apa-apa," kilah Aluna. Dia bergegas turun dari mobil. "Terima kasih." Satu kata terlontar dari bibirnya. Pergi tanpa melihat Angga yang memandangnya dengan pandangan sulit diartikan. "Tunggu!" Suara bariton Angga menghentikan langkahnya. Aluna berbalik dengan rasa malas. "Ada apalagi? Meskipun kau menyelamatkanku hari ini, tapi aku sudah dua kali tertangkap olehmu dan kembali kesini. Jadi aku rasa urusan kita sudah selesai," ungkap Aluna. Angga kembali masuk ke dalam mobil. Setelah itu kembali ke hadapan Aluna sambil membawa sebuah ponsel. Angga menyerahkannya pada Aluna. "Ambil ponsel ini. Aku tau saat ini ponselmu tertinggal di rumah ayahmu kan?" "Aku tidak mau!" tolak Aluna mentah-mentah. Angga yang tidak sabaran segera meraih tangan Aluna. Dan meletakkan ponsel tersebut. "Jangan banyak protes. Di daftar kontak hanya ada satu nomor. Yaitu nomorku. Jangan lupa menghubungiku jika kau butuh sesuatu," ucap Angga tak terbantahkan. Aluna pasrah dan menggenggam ponsel pemberian Angga. Setelah berhenti berbincang, Aluna segera masuk ke dalam. Karena waktu sudah semakin larut. Namun Angga masih menatapnya dari kejauhan sampai Aluna benar-benar masuk ke dalam. Dia akan tidur di apartemennya mulai malam ini. Agar Aluna tidak curiga bahwa sesungguhnya dia adalah keturunan Kusuma yang akan dinikahkan olehnya. "Lihat saja bila nanti kau tau bahwa calon suamimu adalah pria yang tampan dan gagah. Kau akan terkejut Alana," gumam Angga. Senyuman terbit di wajahnya yang rupawan.Di malam yang tenang, langit tampak kelam dengan taburan bintang yang hanya sedikit menampakkan diri. Di lantai atas sebuah gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan teknologi ternama, sebuah ruangan berlabel CEO menyala terang meski jarum jam telah menunjuk pukul sembilan malam.Angga duduk di balik meja kerjanya yang besar, bersandar lelah dengan memijat pelipis. Matanya sembab, tak hanya karena lelah, tapi juga karena pikiran yang tak kunjung usai. Tumpukan dokumen menanti untuk ditandatangani, laporan finansial perlu dianalisis, dan rapat dewan direksi masih menunggu.Di tengah heningnya ruangan, pintu terbuka perlahan. Leon, asisten pribadi sekaligus tangan kanan kepercayaannya, masuk dengan secangkir teh hangat yang mengepul lembut.“Bos,” ucap Leon sambil mendekat, nada suaranya penuh khawatir. “Jangan terlalu memaksakan diri kalau memang sedang tidak enak badan.”Angga mengangkat kepalanya, menatap Leon dengan pandangan k
Tak terasa, hari telah merangkak perlahan meninggalkan senja yang muram dan berubah menjadi malam yang dingin. Cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menghiasi cakrawala dengan kelap-kelip bagaikan bintang yang turun ke bumi.Di lantai atas sebuah apartemen mewah, di salah satu kamar bernuansa hangat dan elegan, berdiri seorang wanita muda di tepi balkon. Angin malam yang lembut memainkan helaian rambut panjangnya yang tergerai, sesekali menyingkap sebagian wajahnya yang dipoles riasan tipis, menonjolkan kecantikannya yang tenang dan anggun.Tatapan matanya menerawang jauh menembus gelapnya langit malam. Ada kesedihan samar di sana. Ada rindu yang tidak terucapkan. Wajahnya begitu tenang, namun menyimpan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan. Siapa pun yang melihatnya akan berpikir bahwa dia adalah Aluna. Tapi tidak. Wanita itu adalah Alana—kembaran identik Aluna.Meski terlahir dari rahim yang sama, jalan hidup keduanya begitu berbeda. Aluna t
Daniel mengajak Aluna ke sebuah tempat makan sederhana yang terletak agak jauh dari pusat kota. Bukan restoran mewah yang biasa mereka datangi untuk urusan bisnis. Hari ini, Daniel ingin membicarakan sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam. Ia merasa ada hal-hal penting yang tak bisa dibahas di balik meja kerja atau suasana restoran yang terlalu formal. Kadang, tempat yang sederhana justru menghadirkan kenyamanan dan ketulusan yang sulit ditemukan di tempat bergengsi sekalipun.Café kecil itu berada di pinggiran kota London, tersembunyi di antara deretan toko-toko buku tua dan toko bunga klasik. Aromanya khas: campuran kopi hangat, kayu tua, dan kue kayu manis yang baru saja keluar dari oven. Aluna duduk di sudut ruangan, di balik jendela kaca yang menghadap ke jalan, menanti Daniel dengan secangkir cokelat hangat di tangan. Matanya sesekali melirik keluar, mengamati lalu lalang orang-orang yang berjalan cepat menantang angin musim gugur.Beberapa menit kemudian, Daniel muncul di depa
Setelah menyelesaikan urusannya di dalam ruangan Daniel, Aluna segera melangkah keluar dari restoran Tanpopo’s. Namun langkahnya terhenti secara mendadak.Tepat di depan pintu keluar, berdiri seseorang dengan tubuh tegap dan wajah penuh keyakinan. Angga. Pria yang sebelumnya mengaku bernama Wijaya itu kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Aluna dengan sorot mata penuh perhitungan.Saking kagetnya, Aluna tanpa sengaja menabraknya. Tubuh mungilnya sedikit terpental ke belakang. Ia hampir jatuh, namun segera menegakkan tubuh dan menatap pria itu dengan mata membulat.“Ya Tuhan… kau?” ucap Aluna, setengah terkejut dan setengah kesal.Angga hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau hendak pergi ke mana? Biar aku antar,” katanya datar, seolah tidak ada kejadian berarti barusan.Namun bukannya terharu, Aluna justru memandangnya tajam. Napasnya terdengar berat, seperti menahan amarah.“Kenapa kamu ada di sini? Jangan bilang kamu menguntitku,” katanya penuh curiga.“Kalau aku bilan
Setelah selesai sarapan pagi, Aluna segera bersiap. Hari itu cuaca cukup cerah, langit tampak bersih dengan semburat jingga yang belum sepenuhnya menghilang.Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.“Ini yang terbaik, Aluna… Demi semua orang,” gumamnya pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Tak berapa lama, taksi yang ia pesan lewat aplikasi pun tiba. Dengan langkah ringan namun hati berat, Aluna masuk ke dalam mobil tersebut. Sepanjang perjalanan menuju restoran milik Daniel, pikirannya melayang-layang. Ia menatap keluar jendela, memandangi pepohonan dan orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Semua tampak berjalan seperti biasa, seolah dunia tak peduli dengan konflik kecil yang tengah berkecamuk di hatinya.'Kalau aku tetap bekerja di sana, mungkin semuanya akan jadi rumit. Aku tidak ingin membuat masalah baru untuk orang lain,' batinnya.Sesampainya di depan restoran, taksi berhenti perlahan. Aluna
Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu di balik tirai jendela kamar Aluna. Udara terasa segar, langit tampak biru cerah, seolah hari menjanjikan kebahagiaan. Namun, tidak bagi Aluna. Pagi yang biasanya ia sambut dengan semangat dan senyuman lebar, kali ini terasa hambar. Wajahnya kusut, matanya sembab, bibirnya mengerucut dalam diam.Ia duduk di tepi ranjang cukup lama, menatap nanar lantai kamar yang dingin. Tak ada suara, hanya detik jam dinding yang berdetak pelan seiring waktu yang terus berjalan.Biasanya, pagi adalah momen yang paling ia nantikan. Ia akan bersiap-siap pergi ke restoran Tanpopo’s, tempat ia bekerja sekaligus tempat hatinya berlabuh diam-diam. Daniel, pemilik restoran itu, bukan hanya sahabat masa kecilnya, tapi juga seseorang yang selama ini diam-diam mengisi ruang hati Aluna.Namun, malam tadi telah mengubah semuanya.Saat James mendadak masuk ke kamarnya hanya untuk mengantar black card dari Angga. Aluna masih ingat jelas bagaimana James, dengan ekspres