Share

Menjadi Ratu Setelah Diduakan
Menjadi Ratu Setelah Diduakan
Author: Natasya Kafi

Rumah Tangga Kami yang Berbeda

MENJADI RATU SETELAH DIBUANG

“Jadi selama ini kamu bohongin aku mas?” tandas Aruna dengan air mata yang berlinang.

“Aku nggak bohong, aku cuma belum punya waktu untuk jelasin ke kamu Aruna.”

Jantung Aruna terpompa tak terkontrol dengan nuansa hatinya yang berantakan. Sungguh ia benar – benar tidak menyangka, selama ini dirinya banting tulang merangkap dua pekerjaan dalam sehari setiap hari, ternyata mendapat balasan yang memuakkan.

Suaminya mengambil celah dengan beradu kasih bersama wanita lain.

“Tetep aja mas, ini salah! Kamu selingkuh sama wanita lain. Nggak nyangka aku, ternyata kamu sejahat ini!” jerit Aruna dengan menghentakkan kaki kesal. Aruna sudah tak mampu mengungkapkan rasa kecewa yang menjalar ke ubun  ubun dengan banyak kata. Selain tangis yang pecah tak terkontrol.

Seolah tidak percaya, pria yang selalu menghangatkan malamnya kini justru berdiri tanpa jarak dengan wanita lain.

“Bodoh aku mas! Bodoh! Selama ini aku terlalu bodoh mempercayaimu!”

Dafa masih menggenggam wanita itu tanpa rasa malu, dan tidak ada pantulan wajah menyesal sedikit pun di wajahnya. Pria itu benar – benar mengira apa yang ia jalani tidak salah. Bermain api dengan wanita lain, di saat istrinya banting tulang kerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

“Terserah Aruna, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku ingin menceritakan niatku untuk menikah lagi. Tapi, kamu malah sibuk kerja.”

“Mas kamu kok gitu sih.”

Mendengar penuturan Dafa, bagaikan sebilah sembilu mengiris palung hati Aruna. Sakit, tapi tak berdarah.

“Aku kerja buat kebutuhan rumah kita, buat nyekolahin Franda! “ sentak Aruna kontan, sembari menghembuskan nafas kesal wanita itu tersenyum miring menatap Dafa, “Mau nikah lagi? Nafkahin satu istri saja nggak mampu, kamu mau nikah lagi?”

“Iya”

“Kamu harus mengizinkan aku menikah lagi Aruna, karena aku nggak mungkin bisa meninggalkan dia.”

****

Suatu pagi di salah satu kafe langganan seorang wanita yang akrab disapa Aruna.

“Astaga naga! Kamu serius nikah sama Dafa? Si anak kos sebelah itu bukan sih,” teriak Kei menjerit memecah keheningan kafe yang kebetulan lagi sepi pengunjung dan hanya ada mereka berdua.

Mulut Kei komat kamit nyaris tidak percaya, lantaran berita yang bertengger di indera pendengarnya.

“Iya, benar,” ulas seorang wanita yang duduk di hadapannya usai menegak segelas es matca sampai tandas. Sama sekali dirinya tidak peduli dengan respon ‘kurang setuju’ sahabat lamanya terhadap pilihan hidupnya.

“Aduh, apa yang kamu fikirkan Aruna? Sampai belok haluan kayak gini”

“Kena pellet kamu?” omel Kei menggelengkan kepala dengan wajah kagetnya. Sementara, lawan bicaranya hanya diam tidak menimpali dengan respon berlebihan.

“Enggak  - enggak, bukan gitu. Abis, kamu balik duluan sih ke Jakarta makannya ketinggalan cerita.”

“Ya maaf, abis waku itu keadaan bener – bener kepepet. Ayahku jatuh sakit dan aku harus kerja buat biaya perobatan. Makannya ..”

“Ah, banyak alasan,!” sahut Aruna memenggal ucapan rekannya.

Kei dan Aruna bersahabat sejak duduk di bangku SMA, sayangngnya mereka terpisah jarak lantaran Kei harus kembali ke Medan untuk merawat orangtuanya. Padahal, kepergian Kei bertepatan pada masa – masa genting yang Aruna lalui kala menentukan pilihan hidup.

Jadilah, Kei kudet dengan siapa ternyata sahabatnya memilih pendamping hidup sampai sudah beranak satu hingga sekarang.

Setelah lebih dari dua tahun tidak bertemu, hari ini mereka janjian melepas rindu di salah satu café dekat tempat kerja mereka. Yang kebetulan, ternyata Kei sekantor dengan Aruna.

“Terus? Mas Dirga gimana? Ke mana dia? Bukannya kalian mau tunangan?.” Satu hal membuat Kei mengerutkan kening, ia teringat pada sesosok pria yang amat dicintai Aruna kala itu. Mengapa sahabatnya justru menikah dengan pria lain?

Mendengar nama Dirga disebut – sebut, membuat Aruna menghela nafas berat.“Dia dicolong sama nenek lampir?”

“Apa kamu bilang? Serius? nenek lampir siapa?”

***

“Franda sayang, Bunda mau kerja dulu. Franda harus menurut yah sama ayah,” pesan Aruna kepada putri semata wayangnya. Ini adalAah kebiasaan yang Aruna lakukan sebelum berangkat bekerja, membujuk putri semata wayang yang selalu rewel enggan ditinggal ibunya berangkat kerja.

“Ah, nggak mau! Franda mau ditemenin bunda ke kebun binatang.”Bocah kecil itu merajuk dengan suaranya yang beralun manja.

Mendengar itu, membuat Aruna menghela nafas berat, “Kan ada ayah sayang. Franda sama ayah saja ya! Bunda harus kerja buat apa coba ..”

“Buat beli susu sama mainan Franda,” tukas Franda memajang wajah imut. Gadis kecil itu, selalu berhasil membuat Aruna selalu kangen saat mereka berjauhan.

“Anak pinter,” ujar Aruna mengusap kepala putrinya, sedetik kemudian mencium kening sang buah hati.

Begitulah kehidupan rumah tangga yang Aruna Gemati Ningsih lalui. Menunggang status sebagai ibu pekerja  dengan anak satu sedikit membuatnya naik emosi kadang kala. Apalagi, jika Franda putri kesayangannya sulit diatur seperti pagi ini. Sungguh, Aruna hanya mampu mengusap dadanya jika keadaan sudah begitu.

Aruna menyebut dirinya sebagai istri dua belas jam. Lantaran, bertukar tugas dengan Dafa suaminya yang harus bekerja, Aruna hanya bisa stanby di rumah tidak lebih dari 12 jam. Selain bekerja sebagai tenaga administrasi di salah satu perusahaan ekspedisi di kotanya untuk menambah pundi – pundi rupiah agar kebutuhan rumah tangganya terpenuhi, Aruna juga bekerja sebagai seorang kasir sebuah swalayan. Semua terpaksa Aruna jalankan lantaran Dafa belum mendapatkan pekerjaan, sementara kebutuhan mereka kian membengkak setiap harinya.

Yah, kehidupan Aruna dan Dafa memang sedikit berbeda dari pernikahan orang – orang pada umumnya. Aruna yang bekerja dan Dafa yang jaga anak.

Semua terpaksa mereka lakukan lantaran tempat kerja Dafa melakukan pengurangan pegawai dua tahun lalu, setelahnya Dafa belum mendapat panggilan bekerja setelah menebar puluhan amplop coklat ke beberapa perusahaan incaran.

“Sayang, semua keperluan Franda sudah aku tata di atas meja makan. Tolong jagain anak kita ya,” ujar Aruna setelah ketangkasan tangannya berhasil melakukan semua pekerjaannya dalam sekejap.  

“Iya sayang, pasti. Hati – hati di jalan yah,” pungkas Dafa tanpa menoleh ke sisi sang istri, lebih sibuk dengan benda pilih di genggaman.

“Eh, ada yang lupa?” menyadari istrinya melangkahkan kaki hendak pergi, pria itu teringat sesuatu yang membuat Aruna kontan merotasi tubuh menghadapnya.

“Iyakah? Apa sayang?”

“Ini, pipi aku rasanya kasar banget” tukas Dafa sambil mengusap kedua pipinya bergantian, memamerkan ringisnya kepada sang istri.

“Hahahaha. Lupa” melihat itu, membuat Aruna terkekeh. Dan, satu kecupan mendarat di kening Dafa cukup lama. Pun Dafa, pria itu merekatkan pelukannya pada sesosok wanita yang selalu membuat riuh hari – harinya.

“Emmmmuach…lop yu mas bojo.”

“ Lop yu tu ibu ratu.”

Aruna begitu menikmati hari – hari yang ia lalui dengan laki – laki pilihannya. Dafa Rusdianto. Laki – laki sederhana yang selalu membuatnya senang dengan segala sikap kelemah lembutannya. Dafa lah yang membuat hidup Aruna terasa lengkap.

Dafa juga sama, pria itu nyaris tidak pernah mengeluh kepada Aruna lantaran tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri secara utuh lantaran harus bekerja. Karena perasaan saling mengertilah, yang diyakini menyemai bahtera rumah tangga mereka tumbuh subur rukun tanpa kurang satu apapun meski di tengah keterbatasan.

Bagi keduanya, siapa yang bekerja dan  siapa yang menjaga anak bukanlah satu masalah yang harus dibesar – besarkan. Toh, semua juga diputuskan dengan pertimbangan yang matang. Buktinya, sudah dua tahun pernikahan berjalan, kehidupan rumah tangga mereka adem ayem, ranjang selalu hangat dan mereka menjalani hari – hari bersama dengan tetap rukun.

“Rumah tangga kami memang berbeda, tapi aku tidak menyesalinya. Selagi kami bisa hidup Bahagia.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status