Share

Siapa Wanita Itu?

 “Hussh, Franda udah tidur,” ujar Dafa usai menyadari kepala istrinya menyembul di balik pintu kamar Franda.

Menyadari itu, Aruna berjalan sangat pelan – pelan agar tidak menimbulkan suara yang mengakibatkan anak kesayangannya terbangun. Ia pun menduduki tepi ranjang sambil terus memandangi wajah lelap Franda.

Berdesir rasa lega kala menyaksikan anak kesayangannya terlelap.

“Ah, sayang. Kamu udah tidur ya. maafin mama nggak bisa nemenin jalan – jalan,” ujar Aruna penuh sesal. Diusapnya kening Franda penuh kasih sayang, kemudian menjatuhkan kecupan lembut tepat di kening Franda.

“Gimana seharian? Franda rewel nggak?”

“Enggak, nurut dia,” jelas Dafa yang sibuk merapikan peralatan makan Franda yang tercecer di nakas.

“Oh, syukurlah.”

Aruna mengangkat tubuhnya berdiri, kemudian ia memeluk Dafa dengan sangat erat. Melepas rindu setelah seharian tidak bertemu.

“Hari ini aku capek banget jadi aku nggak masak tapi udah beli sayur jadi di perempatan. Makan malam yuk.”

Merasa berdosa karena tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri yang bisa melayani suaminya dengan maksimal. Aruna masih berusaha, menjaga keterjaminan lambung Dafa agar tetap terisi meski hanya dengan sayuran instan yang ia beli.

Seharian bergelut dengan pekerjaan, sedikit membuat tubuh Aruna pegal – pegal. Belum lagi, setelah ini ia harus mencuci baju dan merapikan rumah karena hanya bisa ia lakukan di malam hari sepulang kerja.

“Aku udah makan sama Franda di luar tadi” jelas Dafa melepas pelukan sang istri, kemudian pria itu mengecup kening Aruna sangat lembut.

“Oh, gitu. Yaudah makan sendiri.”

“Oiya sayang, ada yang mau aku omongin,” ujar Dafa menarik tangan Aruna keluar kamar Franda. Sekarang, mereka tengah berjalan beriringan menuju meja makan.

“Tentang?”

“Tadi, ibu aku telpon katanya belum bisa balikin uang kamu bulan ini. Nggak papa ya.”  Dafa menghela nafas dengan wajahnya yang mulai murung.

“Oh, gitu. Padahal hutang yang sebelumnya belum di bayar juga. Oke oke,” ujar Aruna berusaha tetap santai.

Padahal, sebenarnya dalam hatinya ia merasa dongkol. Sudah kali keempat ibu mertuanya meminjam uang, dengan nominal yang jumlahnya tidak kecil. Setiap kali sudah jatuh tempo pengembalian, mertuanya selalu menunda dengan alasan klasik. Akan diganti lain hari.Namun, kenyataannya tetap sama. Hutang tidak dibayar dan beberapa bulan kemudian akan kembali meminjam uang.

Jika begini jadinya, Aruna menjadi serba salah. Jika tidak meminjami akan membuat ia sungkan dengan suami sekaligus ibu mertuanya. Namun, jika dipinjami ia harus memutar otak untuk mencari pekerjaan tambahan untuk menutupi keperluan rumah yang selalu bertambah setiap bulannya.

 “Kamu nggak marah kan?” tanya Dafa dengan wajah khawatir. Ia begitu terlihat sungkan kepada istrinya sendiri. Sudah belum bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara utuh, ia harus membebani istrinya dengan peliknya urusan keuangan di keluarga ibunya sendiri.

“Marah dikit,” tukas Aruna dengan ringisnya. Baginya, percuma ngomel – ngomel kepada Dafa. Semua tidak akan mengubah keadaan, toh uang yang dipinjamkan juga tidak akan langsung kembali dalam waktu itu juga.

“Kenapa?”

“Karena, bulan ini uang SPP sekolah Franda harus dibayar sama biaya seragam barunya. Aku pusing pengeluaran membengkak. Belum bayar cicilan motor lagi. Kapan coba kita bisa beli rumah kalau gini – gini terus. Jadi ngeluh.” Helaan nafas berat keluar dari hidung Aruna.

 “Maafin aku ya sayang.” Raut Dafa semakin menampakkan wajah sesal. Pria itu mengusap punggung tangan istrinya dengan tatapan sendu. Tatapan yang paling tidak Aruna sukai.

“Ah, kamu jangan salahin diri sendiri mas.”

“Aku belum bisa cukupin kamu.”

“No no no. itu bukan sepenuhnya salah kamu. Ini sudah menjadi pilihan kita.” Aruna menatap manik suaminya lekat. Berharap Dafa tidak tenggelam dalam penyesalan yang berlarut – larut.

“Oke, kalau gitu aku harus kerja banget malam ini. Aku siap – siap dulu ya sayang.” Setelah hening beberapa saat. Dafa pun akhirnya tidak ambil diam. Pria itu langsung berdiri dan bersiap kerja.

Yah, jika Aruna sudah pulang kantor. Giliran Dafa yang bekerja menjadi seorang ojek online. Semua Dafa lakukan lantaran tidak ingin membebani istrinya, meski tetap sepenuhnya kebutuhan rumah ditopang Aruna.

“Yuhu,” seloroh Aruna mengerucutkan bibir, sembari bersiap melahap makan malamnya.

Tidak butuh waktu lama, Dafa sudah dandan rapi dengan setelan outfit ala driver ojek online.  “Doain Mas ya dek, semoga malam ini banyak orderan yah itung – itung bisa buat bantuin kamu nyucukupin kebutuhan.”

“Iya mas, pasti adek doa’in kok.”

“Sini peluk.”

Dan, kini mereka berhambur dalam pelukan erat di tengah malam yang kian meredup.  

“Ehmmm, sayang,” cakap Aruna beralun manja. Ia begitu menyayangi Dafa dengan sangat. Karena hanya Dafa lah laki – laki yang berhasil memberikan rasa nyaman kepadanya selama ini. Tak peduli, dengan kondisi Dafa yang masih belum berhasil memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Baginya, itu bisa diatur.

“Ya udah, Mas berangkat dulu. Nanti mau dibeliin apa?”

“Ehm nggak ada.”

“Ya udah mas beliin martabak telur aja, buat sarapan besok.”

“Iya deh.”

****

“Mami..” terdengar rengekan khas Franda ketika gadis itu tiba – tiba terbangun.

“Iya sayang?”

Sepuluh menit setelah Dafa berpamitan bekerja. Franda tiba – tiba terbangun dan menangis entah kenapa.

“Ayah mana?” tanya gadis itu sambil mengucek matanya.

“Ayah masih kerja sayang,” ujar Aruna mencium kening sang putri.

“Franda mau digendong ayah mami..” dan tiba – tiba Franda menangis begitu saja dengan tangisan yang kencang.

“Nanti ya, Franda harus tidur dulu,” bujuk Aruna, menepuk bantal agar Franda mengikuti perintahnya. Sayangnya, titahnya tidak diindahkan. Gadis kecil it uterus saja menangis, malahan tangisnya kian terdengar amat keras.

“Nggak mau, pengen digendong ayah,” rengek Franda sambil menghentak – hentakkan kakinya.

“Franda? Kok badan kamu panas semua?” awalnya Aruna menganggap itu hanyalah hal biasa yang kerap Franda lakukan di kala tantrum. Namun, seketika Aruna khawatir. Saat tidak sengaja ia memegang kening sang putri.

“A..Franda mau digendong ayah,” rengek Franda kian menjadi.

“Iya, tenang ya nak. Kayaknya kamu demam ini.” Aruna begitu panik menggendong Franda. Diraihnya tas kerjanya dan jaket sejurus kemudian gegas ia keluar rumah menunggu gojek yang ia pesan untuk mengantarnya menuju klinik tempat periksa.

“Ayah! Ayah! Gendong ayah!” teriakan Franda semakin keras saja. sementara, Aruna langsung panik. “Ya ampun Franda, kamu demam. Kamu harus minum obat sayang”

“Ayah! Mana ayah!”

“Bentar mami ambilin obat ya, sabar.”

Tidak peduli dengan rengekan Franda yang terus memanggili Dafa, Aruna kelabakan mencari obat penurun panas yang biasanya ia minumkan untuk Franda. Sayangnya, di kotak P3k dan di kulkas pun benda itu nihil.

“Obatnya nggak ada semua.”

“Ya udah, kita harus ke dokter Franda.” Karena tidak mau terlambat menangani, akhirnya Aruna putuskan menggendong putrinya menuju dokter langganan. Kepanikan Aruna kian menjadi saat merasakan suhu tubuh Franda sangat tinggi melebih batas normal.

“Ayah! Ayah!”

***

“Mami, Franda mau digendong ayah.” Franda masih saja merengek memanggili Dafa. Gadis kecil itu, memang sangat dekat dengan Dafa ketimbang Aruna.

Mengingat Franda lebih banyak menghabiskan waktu bermainnya dengan Dafa sementara Aruna harus bekerja.

“Ayah masih kerja, kita ke dokter dulu.”

Usai menuruni ojek online yang mereka tumpangi, Aruna menggendong putrinya menuju klinik dokter anak langganan. Urusan kesehatan anak, Aruna memang tidak mau ditawar.

Apalagi, jika tinggi panas Franda yang di atas rata – rata seperti ini.

Kini mereka menyusuri sebuah komplek menuju klinik dokter Erika buka praktek. Namun, kala menapakkan kaki tepat di depan halaman klinik, langkah Aruna terhenti. Sesosok punggung pria mengenakan hem motif kotak – kotak berwarna cream berhasil menyita atensinya.

“Mas Dafa?”

Setengah tidak percaya, nampak Dafa bergelayut mesra dengan seorang wanita bertubuh ramping berkulit putih dan rambutnya yang Panjang.

“Mas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status