“Jangan, Nyonya!”
Suara itu datang lebih dekat, Ruby yang muncul dari ujung lorong dengan wajah tegas namun tetap hormat. “Dia keponakanku. Dia baru datang hari ini.” Eliza menatap dingin menelusuri wajah wanita tua yang telah sepuluh tahun bekerja untuk keluarga Willson itu. “Oh? Keponakanmu, Ruby?” “Betul, Nyonya.” Ruby menunduk sopan, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa panik. “Maafkan jika dia lancang dan terlambat. Dia belum tahu apa-apa. Itu pun salahku, karena belum sempat memberitahunya soal aturan di rumah ini.” Untuk beberapa detik, Eliza hanya menatap Ruby, seolah menimbang. Mata hazel-nya tajam seperti sedang menyisir kebohongan. Tapi akhirnya, dia hanya mendengus ringan. “Baiklah, kali ini aku maafkan.” Tatapannya beralih kembali ke Zavier, dan suara dinginnya menyusul dengan nada ancaman yang membekukan darah. “Tapi jika kau terlambat lagi, atau melakukan sesuatu yang membuatku kesal ...” Eliza mendekat, membungkuk sedikit ke telinga Zavier, “... akan kupastikan kau tidak akan bisa melihat hari esok.” Deg! Zavier menelan ludah. Tubuhnya menegang, tapi ia menahan semuanya. Tak satu pun kata keluar dari bibirnya. Dia mengepalkan tangan menahan gejolak emosi. Setelah memberi tatapan terakhir yang menakutkan, Eliza berbalik dan pergi, gaun hitamnya berkibar ringan mengikuti langkah elegannya. Suara hak tingginya memantul di dinding lorong, dan tak lama kemudian menghilang di balik tikungan. Hening. Hanya desahan napas Zavier yang masih terengah di sana. “Apa ... Bibi tidak takut tinggal di sini, bersama orang seperti itu?” Zavier akhirnya membuka suara, suaranya pelan dan serak. Ruby menatapnya, lalu menghela napas panjang. Wajahnya berubah menjadi lebih lembut. “Nyonya Eliza memang tampak kejam, tapi sebenarnya dia tidak seburuk itu, Zavier.” Ia mendekat dan menepuk bahu Zavier. “Dia tumbuh dengan cara yang berbeda dari kita. Dan semua orang di rumah ini punya caranya sendiri untuk bertahan hidup.” Zavier menunduk, namun Ruby belum selesai. “Dengar baik-baik, Zavier.” Ruby kini bicara pelan, nyaris seperti berbisik. “Ada beberapa hal yang tidak boleh kau lakukan di rumah ini, kalau kau ingin selamat.” Zavier menoleh. Ruby menekankan jarinya pada dada Zavier. “Satu, jangan pernah berbohong pada Nyonya. Sekali dia tahu, hidupmu selesai. Dua, jangan mencampuri urusan majikan, bahkan jika kau penasaran. Tiga, jangan bicara dengan orang luar soal apa pun yang kau lihat atau dengar di dalam mansion ini.” Zavier mengangguk pelan, mencatat setiap kata. “Dan terakhir …” Ruby memandangnya dalam-dalam, suaranya semakin dalam. “Jangan pernah menatap Nyonya terlalu lama, apalagi kalau kau laki-laki. Bisa saja kau tergoda, apalagi Nyonya Eliza memang cantik. Bahkan jauh lebih cantik dari gadis di desa.” Zavier menunduk malu. Dia memang sempat terpukau dengan Eliza. Tapi mengingat tatapan Eliza barusan memang tak seperti wanita biasa. Ada sesuatu di sana, kuat, menghipnotis, seolah dia sedang memegang kendali atas dunia dan siap meremukkan siapa pun yang melawan. “Ayo,” Ruby akhirnya menepuk bahu Zavier. “Aku tunjukkan kamarmu.” Mereka berjalan melewati lorong sempit, melewati beberapa pintu hingga sampai di satu pintu kayu cokelat tua. Ruby membuka pintu itu perlahan, memperlihatkan ruangan kecil namun bersih dan rapi. “Ini kamarmu. Dulu ditempati oleh Alan, pelayan sebelumnya. Dia ... sudah resign bulan lalu.” Zavier melangkah masuk. Ruangan itu tidak luas, tapi cukup nyaman untuk ukuran pelayan. Tempat tidurnya sederhana, dengan sprei putih polos, sebuah meja kecil di sudut, dan lemari kayu yang mulai lapuk. Sebuah jendela kecil di atas ranjang memberikan sedikit cahaya sore yang temaram. Zavier menjatuhkan ransel lusuhnya di atas ranjang. Ia duduk pelan, menarik napas panjang. Huh! Dari dalam tas, ia mengeluarkan dua benda yang paling berharga dalam hidupnya, foto ibunya, Susan, tersenyum lemah dengan latar ladang gandum tua, dan dompet usang yang menyimpan foto lama dirinya kecil bersama seorang pria dewasa, ayahnya yang telah lama menghilang. Tangannya menyentuh foto ibunya dengan pelan. “Ibu ... aku sampai.” Ia menatap langit-langit, menahan air mata yang nyaris jatuh. “Aku akan bertahan. Biar bagaimana pun caranya. Aku akan kumpulkan cukup uang untuk membawamu ke rumah sakit terbaik, walau harus menghadapi wanita seperti Nyonya Eliza setiap hari.” *** Malam hari. Zavier berdiri tegak di sisi meja, mengenakan seragam pelayan pria yang baru saja diberikan oleh Bibi Ruby. Kemeja putih rapi, rompi hitam, celana kain abu gelap, serta sepatu pantofel yang terasa sempit di kaki. Wajahnya tetap menegang meski luar tampak tenang. Di balik diamnya, dadanya bergemuruh. Pintu besar terbuka perlahan. Aroma parfum eksklusif langsung tercium. Eliza masuk. Langkahnya anggun, gaun malam satin berwarna maroon melambai ringan mengikuti geraknya. Wajahnya bersolek sempurna, rambutnya disanggul rapi, dan senyum manis menghiasi bibirnya, senyum yang tak ada saat tadi ia menodongkan pisau ke leher Zavier. Namun bukan itu yang mengejutkan Zavier. Tangan Eliza menggandeng seorang pria. Pria itu tinggi besar, tubuhnya tegap dengan jas abu gelap. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan matanya menatap ke depan tanpa ekspresi. Senyum Eliza manis sekali. Tapi pria itu bahkan tak menoleh. Zavier menelan ludah. Nalurinya mengatakan, pria itu pasti Tuan rumah ini. Dan dugaannya benar saat Eliza berbicara, suaranya dibuat lembut. “Mark, kamu mau apa malam ini? Salmon? Sup krim? Steak?” Zavier segera menarik kursi dengan sikap sopan. Ia memberi isyarat kecil agar Eliza duduk terlebih dahulu, lalu membantu pria bernama Mark. Semuanya dilakukan dengan gerak anggun dan penuh kehati-hatian. “Apa saja. Terserah,” jawab Mark datar. Suasana seketika menjadi dingin. Senyum di bibir Eliza surut sejenak. Tatapannya kosong, tapi hanya sedetik. Ia langsung mengendalikan dirinya lagi, kembali tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Pelayan-pelayan lain datang. Beberapa membawa makanan di nampan perak: sup hangat, salad, steak medium rare, pasta truffle. Seorang pelayan lain sibuk mengelap ujung meja, sementara yang lain membersihkan lantai yang terkena tumpahan saus. Zavier tetap berdiri di tempatnya, menjaga posisi dan memperhatikan gerak tubuh majikannya, seperti yang diajarkan Ruby. Namun sesekali, matanya mencuri pandang ke arah Eliza. Dan dia melihatnya. Wajah yang sama sekali berbeda dari sosok yang menyeramkan siang tadi. Eliza kini seperti wanita biasa yang sedang berusaha menyenangkan pasangannya. Dia terus menawarkan makanan. “Mark, cobalah ini. Koki baru mencoba resep—” “Tidak.” jawab Mark sambil tetap menunduk pada makanannya. Suaranya dingin, pendek, dan tanpa rasa. Eliza tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa malu di balik nada manja. Tapi Zavier bisa melihat—cara jemari Eliza mengerat di atas pangkuannya, cara matanya sesekali berkaca tipis saat suaminya tak juga menatapnya. Zavier merasakan sesuatu dalam dadanya. Bukan iba. Tapi sejenis keterkejutan. Bahwa wanita yang mengancam nyawanya tadi siang, ternyata juga bisa terlihat rapuh. Makan malam berjalan dengan diam. Dan tak lama kemudian ... Tiba-tiba Mark meletakkan sendoknya, cukup keras hingga terdengar nyaring. Ctak! “Aku sudah selesai.” Ia berdiri tanpa menatap Eliza, lalu berjalan keluar dari ruang makan dengan langkah lebar. Tak satu pun pelayan berani mengangkat kepala. Eliza tetap duduk di tempatnya selama beberapa detik. Wajahnya mengeras. Senyum palsunya menghilang. Zavier, yang berdiri tak jauh, tanpa sadar menatap Eliza lebih lama dari seharusnya. Ada luka yang terlihat jelas di mata wanita itu, luka yang tak cocok dengan kemewahan mansion ini. Tiba-tiba ... Tatapan Eliza beralih padanya. Tajam dan menusuk. “Kenapa kau masih di sini, hah?” suaranya dingin, nadanya meledak tiba-tiba. Zavier terlonjak. “Ma-maaf, Nyonya.” “Makan malam sudah selesai! Cepat rapihkan meja!” Zavier membungkuk sedikit, hendak segera mundur. Tapi belum sempat ia bergerak, Eliza berdiri. Dengan gerakan lambat, ia berbalik. Matanya kembali menatap pada Zavier. “Dan satu lagi.” Suaranya serendah bisikan, namun seluruh ruangan seperti ikut membeku. “Jaga pandanganmu.” Langkahnya mendekat. “Aku tidak suka kau menatapku terlalu lama.” Zavier mengangguk kaku. “B-baik, Nyonya.” Eliza menatapnya sejenak, lalu melangkah pergi, gaun malamnya menyapu lantai, suara langkahnya kembali menggema. Zavier menghela napas panjang. Kepalanya menunduk. Tapi dalam hati, ia mengumpat pelan. “Cih, cantik-cantik galak!”“A-aku masih hidup?” suara Zavier terdengar parau, bergetar, seakan tak percaya dengan kenyataan yang ia rasakan.Tubuhnya masih terasa berat, lemah, penuh luka yang berdenyut perih di setiap sisi. Matanya berkeliling menatap ruangan itu. Aroma obat sangat menusuk. Bukan tempat yang dikenalnya, bukan pula neraka yang ia bayangkan jadi tujuan akhir setelah penyiksaan panjang dari Mark.Pintu masih setengah terbuka, dan di sana berdiri seorang pria dengan jas hitam kusut, wajahnya penuh peluh, tangan masih memegang suntikan. Dialah Prass, ia menatap Zavier dengan campuran terkejut dan lega.“Di mana aku?” tanya Zavier lagi, suaranya serak. Prass menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. “Kau ada di tempat yang aman, Zavier. Tenanglah.”“Aman?” Zavier menyipitkan mata, menatap tajam penuh curiga. “Kau siapa? Bagaimana kau tahu namaku?”Prass menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di samping ranjang. “Aku bukan musuhmu. Namaku Prass. Aku menemukanku kau di tengah hutan, hampir
Dua Minggu kemudian ...Ferdian Anderson duduk di kursi kulit hitam berseberangan dengan Prass, wajah tuanya penuh gurat lelah. Matanya sayu, jelas terlihat kegelisahan yang sudah berhari-hari menghantui pikirannya.“Bagaimana keadaan putraku, Prass?” tanya Ferdian dengan suara berat, seakan setiap kata yang keluar mengandung beban tak tertanggungkan.Prass, yang sedari tadi menatap berkas laporan medis di tangannya, mendesah pelan sebelum akhirnya menatap Ferdian dengan sorot mata serius. “Hmm … lukanya memang sudah mengering. Tubuh Zavier kuat, lebih kuat dari yang aku perkirakan. Namun—” Prass menekankan kata itu dengan nada berat. “Bekas luka di bahu dan punggungnya … tidak akan pernah hilang. Luka-luka itu akan menjadi tanda permanen, pengingat dari semua penyiksaan yang sudah dia alami.”Ferdian memejamkan mata rapat-rapat, lalu meraup wajah tuanya dengan kedua tangan. Getaran halus tampak jelas di jemarinya. Ia menghela napas panjang, penuh rasa sesal. “Anakku … kenapa kau haru
Tubuh Eliza terombang-ambing di antara kerumunan orang yang panik. Gaun panjangnya terinjak berkali-kali, membuat langkahnya kian terhuyung. Bahunya berkali-kali dihantam tubuh orang-orang yang berlarian tanpa arah. Suara tangisan, teriakan, dan dentuman benda pecah bercampur menjadi satu, menambah kekacauan di dalam ballroom hotel yang kini berubah menjadi lautan kepanikan.“Di mana Mark?” Eliza menoleh ke kanan-kiri dengan napas memburu. Matanya nanar mencari sosok Mark, Tuan Willson, atau siapapun dari keluarga Willson, namun wajah-wajah asing penuh ketakutan itulah yang memenuhi pandangannya.Hatinya semakin tercekat. “Daddy? Mom? Kalian di mana?!” suaranya bergetar, hampir tertelan oleh hiruk pikuk.Tiba-tiba—DUARRR!!!Ledakan kedua mengguncang hotel jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Lantai bergetar hebat hingga lampu gantung raksasa di atas kepala bergoyang keras, sebagian serpihannya jatuh menghantam meja-meja hidangan. Suara kaca pecah menggelegar, menambah kengerian malam
“Ada apa, Dad? Kenapa kita harus bertemu secara pribadi seperti ini?” tanya Mark sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam yang empuk. Kini, mereka berada di ruangan privasi di hotel tersebut.“Dad, kenapa memanggilku kemari? Apa ada masalah?” tanya Mark lagi.Namun Tuan Willson tidak langsung menjawab. Pria tua itu hanya menatap dalam ke arah putranya, lalu perlahan membuka map hitam yang dibawanya. Dengan tangan yang tampak tenang tapi penuh makna, ia menyerahkan beberapa lembar dokumen resmi ke hadapan Mark.Mark meraih dokumen itu dengan kening berkerut. Begitu matanya mulai membaca baris demi baris, pupilnya melebar. Lembar-lembar itu berisi akta peralihan kepemilikan, surat kuasa, dan dokumen hukum lainnya. Tangannya sedikit bergetar, lalu bibirnya membentuk senyum lebar.“Setelah anak yang dikandung Eliza lahir, kau akan menjadi pemilik WLS Group sesungguhnya,” ucap Tuan Willson dengan suara berat, penuh wibawa. “Daddy tidak akan ikut campur lagi. Semua aset, seluruh sa
“Tuan, sejak kapan Anda di sini? Maaf, aku habis ke toilet,” ucap Prass dengan nada canggung. Dia sedikit kaget melihat Ferdian sudah berdiri di sana.Ferdian terdiam, bahunya tegang, wajahnya tertunduk menatap dompet lusuh yang ia genggam erat. Matanya memerah, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak.“Tuan, apa yang terjadi?” Prass bertanya hati-hati, berusaha menebak apa yang telah ia lewatkan.Ferdian mengangkat kepalanya perlahan. Pandangan matanya tajam, namun berlapis emosi yang sulit dijelaskan. Bibirnya bergetar saat kata-kata itu meluncur, “Dia … dia putraku, Prass. Zavier putraku.”Prass terbelalak. “Hah? Di-dia ...“ tunjuk Prass ke arah Zavier yang terbaring lemah. “Putramu? Bagaimana … bagaimana bisa?”Dengan tangan gemetar, Ferdian mengangkat foto dari dompet itu. Foto seorang wanita yang tersenyum lembut. “Lihat ini. Dia adalah istriku yang sudah lama menghilang. Susan … dan fotonya ada pada dompet pemuda ini.” Suaranya pecah, penuh luka.Prass menelan ludah. “Tuan
“Ayo cepat, lambat sekali!” suara Mark terdengar dingin bercampur amarah. Tangannya yang kuat mencengkeram lengan Eliza dengan kasar, menariknya tanpa peduli pada langkahnya yang tertatih.Eliza berusaha mengimbangi, tubuhnya sedikit oleng karena gaun mewah yang menjuntai menyulitkan setiap langkahnya. Tumit tinggi yang dikenakannya makin membuatnya kesusahan, sementara tangan Mark terus menarik tanpa memberi kesempatan.“Mark … pelan-pelan … aku tidak bisa cepat,” suara Eliza bergetar, napasnya memburu, satu tangannya refleks mengusap perutnya. “Aku juga sedang hamil.”Namun Mark menghentikan langkahnya mendadak, menoleh menatap Eliza dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, suara rendahnya terdengar penuh ancaman.“Aku tidak peduli. Lagi pula itu bukan anakku.”Eliza tercekat, seolah udara mendadak berhenti masuk ke paru-parunya.Mark mendekat, wajahnya semakin dingin, bisikannya menusuk telinga Eliza bagai belati yang menorehkan luka tak kasat mata.“Jika bukan karena