Home / Urban / Terjerat Hasrat Nyonya Muda / Cantik-cantik galak!

Share

Cantik-cantik galak!

Author: Rafasya
last update Last Updated: 2025-07-09 08:01:11

“Jangan, Nyonya!”

Suara itu datang lebih dekat, Ruby yang muncul dari ujung lorong dengan wajah tegas namun tetap hormat.

“Dia keponakanku. Dia baru datang hari ini.”

Eliza menatap dingin menelusuri wajah wanita tua yang telah sepuluh tahun bekerja untuk keluarga Willson itu.

“Oh? Keponakanmu, Ruby?”

“Betul, Nyonya.” Ruby menunduk sopan, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa panik. “Maafkan jika dia lancang dan terlambat. Dia belum tahu apa-apa. Itu pun salahku, karena belum sempat memberitahunya soal aturan di rumah ini.”

Untuk beberapa detik, Eliza hanya menatap Ruby, seolah menimbang. Mata hazel-nya tajam seperti sedang menyisir kebohongan. Tapi akhirnya, dia hanya mendengus ringan.

“Baiklah, kali ini aku maafkan.”

Tatapannya beralih kembali ke Zavier, dan suara dinginnya menyusul dengan nada ancaman yang membekukan darah.

“Tapi jika kau terlambat lagi, atau melakukan sesuatu yang membuatku kesal ...”

Eliza mendekat, membungkuk sedikit ke telinga Zavier, “... akan kupastikan kau tidak akan bisa melihat hari esok.”

Deg!

Zavier menelan ludah. Tubuhnya menegang, tapi ia menahan semuanya. Tak satu pun kata keluar dari bibirnya. Dia mengepalkan tangan menahan gejolak emosi.

Setelah memberi tatapan terakhir yang menakutkan, Eliza berbalik dan pergi, gaun hitamnya berkibar ringan mengikuti langkah elegannya. Suara hak tingginya memantul di dinding lorong, dan tak lama kemudian menghilang di balik tikungan.

Hening.

Hanya desahan napas Zavier yang masih terengah di sana.

“Apa ... Bibi tidak takut tinggal di sini, bersama orang seperti itu?”

Zavier akhirnya membuka suara, suaranya pelan dan serak.

Ruby menatapnya, lalu menghela napas panjang. Wajahnya berubah menjadi lebih lembut.

“Nyonya Eliza memang tampak kejam, tapi sebenarnya dia tidak seburuk itu, Zavier.”

Ia mendekat dan menepuk bahu Zavier. “Dia tumbuh dengan cara yang berbeda dari kita. Dan semua orang di rumah ini punya caranya sendiri untuk bertahan hidup.”

Zavier menunduk, namun Ruby belum selesai.

“Dengar baik-baik, Zavier.”

Ruby kini bicara pelan, nyaris seperti berbisik. “Ada beberapa hal yang tidak boleh kau lakukan di rumah ini, kalau kau ingin selamat.”

Zavier menoleh.

Ruby menekankan jarinya pada dada Zavier. “Satu, jangan pernah berbohong pada Nyonya. Sekali dia tahu, hidupmu selesai. Dua, jangan mencampuri urusan majikan, bahkan jika kau penasaran. Tiga, jangan bicara dengan orang luar soal apa pun yang kau lihat atau dengar di dalam mansion ini.”

Zavier mengangguk pelan, mencatat setiap kata.

“Dan terakhir …” Ruby memandangnya dalam-dalam, suaranya semakin dalam. “Jangan pernah menatap Nyonya terlalu lama, apalagi kalau kau laki-laki. Bisa saja kau tergoda, apalagi Nyonya Eliza memang cantik. Bahkan jauh lebih cantik dari gadis di desa.”

Zavier menunduk malu. Dia memang sempat terpukau dengan Eliza.

Tapi mengingat tatapan Eliza barusan memang tak seperti wanita biasa. Ada sesuatu di sana, kuat, menghipnotis, seolah dia sedang memegang kendali atas dunia dan siap meremukkan siapa pun yang melawan.

“Ayo,” Ruby akhirnya menepuk bahu Zavier. “Aku tunjukkan kamarmu.”

Mereka berjalan melewati lorong sempit, melewati beberapa pintu hingga sampai di satu pintu kayu cokelat tua. Ruby membuka pintu itu perlahan, memperlihatkan ruangan kecil namun bersih dan rapi.

“Ini kamarmu. Dulu ditempati oleh Alan, pelayan sebelumnya. Dia ... sudah resign bulan lalu.”

Zavier melangkah masuk. Ruangan itu tidak luas, tapi cukup nyaman untuk ukuran pelayan. Tempat tidurnya sederhana, dengan sprei putih polos, sebuah meja kecil di sudut, dan lemari kayu yang mulai lapuk. Sebuah jendela kecil di atas ranjang memberikan sedikit cahaya sore yang temaram.

Zavier menjatuhkan ransel lusuhnya di atas ranjang. Ia duduk pelan, menarik napas panjang.

Huh!

Dari dalam tas, ia mengeluarkan dua benda yang paling berharga dalam hidupnya, foto ibunya, Susan, tersenyum lemah dengan latar ladang gandum tua, dan dompet usang yang menyimpan foto lama dirinya kecil bersama seorang pria dewasa, ayahnya yang telah lama menghilang.

Tangannya menyentuh foto ibunya dengan pelan.

“Ibu ... aku sampai.”

Ia menatap langit-langit, menahan air mata yang nyaris jatuh.

“Aku akan bertahan. Biar bagaimana pun caranya. Aku akan kumpulkan cukup uang untuk membawamu ke rumah sakit terbaik, walau harus menghadapi wanita seperti Nyonya Eliza setiap hari.”

***

Malam hari.

Zavier berdiri tegak di sisi meja, mengenakan seragam pelayan pria yang baru saja diberikan oleh Bibi Ruby. Kemeja putih rapi, rompi hitam, celana kain abu gelap, serta sepatu pantofel yang terasa sempit di kaki. Wajahnya tetap menegang meski luar tampak tenang. Di balik diamnya, dadanya bergemuruh.

Pintu besar terbuka perlahan. Aroma parfum eksklusif langsung tercium.

Eliza masuk.

Langkahnya anggun, gaun malam satin berwarna maroon melambai ringan mengikuti geraknya. Wajahnya bersolek sempurna, rambutnya disanggul rapi, dan senyum manis menghiasi bibirnya, senyum yang tak ada saat tadi ia menodongkan pisau ke leher Zavier.

Namun bukan itu yang mengejutkan Zavier.

Tangan Eliza menggandeng seorang pria.

Pria itu tinggi besar, tubuhnya tegap dengan jas abu gelap. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan matanya menatap ke depan tanpa ekspresi.

Senyum Eliza manis sekali. Tapi pria itu bahkan tak menoleh.

Zavier menelan ludah. Nalurinya mengatakan, pria itu pasti Tuan rumah ini.

Dan dugaannya benar saat Eliza berbicara, suaranya dibuat lembut.

“Mark, kamu mau apa malam ini? Salmon? Sup krim? Steak?”

Zavier segera menarik kursi dengan sikap sopan. Ia memberi isyarat kecil agar Eliza duduk terlebih dahulu, lalu membantu pria bernama Mark. Semuanya dilakukan dengan gerak anggun dan penuh kehati-hatian.

“Apa saja. Terserah,” jawab Mark datar.

Suasana seketika menjadi dingin. Senyum di bibir Eliza surut sejenak. Tatapannya kosong, tapi hanya sedetik. Ia langsung mengendalikan dirinya lagi, kembali tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

Pelayan-pelayan lain datang. Beberapa membawa makanan di nampan perak: sup hangat, salad, steak medium rare, pasta truffle. Seorang pelayan lain sibuk mengelap ujung meja, sementara yang lain membersihkan lantai yang terkena tumpahan saus.

Zavier tetap berdiri di tempatnya, menjaga posisi dan memperhatikan gerak tubuh majikannya, seperti yang diajarkan Ruby.

Namun sesekali, matanya mencuri pandang ke arah Eliza.

Dan dia melihatnya.

Wajah yang sama sekali berbeda dari sosok yang menyeramkan siang tadi.

Eliza kini seperti wanita biasa yang sedang berusaha menyenangkan pasangannya. Dia terus menawarkan makanan.

“Mark, cobalah ini. Koki baru mencoba resep—”

“Tidak.” jawab Mark sambil tetap menunduk pada makanannya. Suaranya dingin, pendek, dan tanpa rasa.

Eliza tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa malu di balik nada manja. Tapi Zavier bisa melihat—cara jemari Eliza mengerat di atas pangkuannya, cara matanya sesekali berkaca tipis saat suaminya tak juga menatapnya.

Zavier merasakan sesuatu dalam dadanya. Bukan iba. Tapi sejenis keterkejutan. Bahwa wanita yang mengancam nyawanya tadi siang, ternyata juga bisa terlihat rapuh.

Makan malam berjalan dengan diam. Dan tak lama kemudian ...

Tiba-tiba Mark meletakkan sendoknya, cukup keras hingga terdengar nyaring.

Ctak!

“Aku sudah selesai.”

Ia berdiri tanpa menatap Eliza, lalu berjalan keluar dari ruang makan dengan langkah lebar.

Tak satu pun pelayan berani mengangkat kepala.

Eliza tetap duduk di tempatnya selama beberapa detik. Wajahnya mengeras. Senyum palsunya menghilang.

Zavier, yang berdiri tak jauh, tanpa sadar menatap Eliza lebih lama dari seharusnya. Ada luka yang terlihat jelas di mata wanita itu, luka yang tak cocok dengan kemewahan mansion ini.

Tiba-tiba ...

Tatapan Eliza beralih padanya. Tajam dan menusuk.

“Kenapa kau masih di sini, hah?” suaranya dingin, nadanya meledak tiba-tiba.

Zavier terlonjak. “Ma-maaf, Nyonya.”

“Makan malam sudah selesai! Cepat rapihkan meja!”

Zavier membungkuk sedikit, hendak segera mundur. Tapi belum sempat ia bergerak, Eliza berdiri.

Dengan gerakan lambat, ia berbalik. Matanya kembali menatap pada Zavier.

“Dan satu lagi.” Suaranya serendah bisikan, namun seluruh ruangan seperti ikut membeku.

“Jaga pandanganmu.”

Langkahnya mendekat. “Aku tidak suka kau menatapku terlalu lama.”

Zavier mengangguk kaku. “B-baik, Nyonya.”

Eliza menatapnya sejenak, lalu melangkah pergi, gaun malamnya menyapu lantai, suara langkahnya kembali menggema.

Zavier menghela napas panjang. Kepalanya menunduk. Tapi dalam hati, ia mengumpat pelan.

“Cih, cantik-cantik galak!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Selesai!

    “Aku mencintaimu, Zavier …”Zavier menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. Tangannya bergetar, dia memejamkan mata, dan kemudian …DOR!Suara tembakan meledak.Dentuman tembakan masih terngiang di telinga Zavier. Asap tipis mengepul dari moncong pistol yang baru saja dia lepaskan ke udara. Melihat zavier menembakkan pistol ke udara bukan ke arahnya, membuat Eliza terhuyung, tubuhnya limbung, lalu jatuh pingsan di tanah. Bruk!Zavier panik.“Eliza!” serunya, segera meraih tubuh wanita itu.“Kenapa dia pingsan? Peluru itu tidak mengenainya?”Ferdian tersenyum sinis, kemudian mendekat. “Kau menolak membunuhnya, Zavier? Sudah ayah duga kau memang masih mencintainya.”“Ayah, cukup!” Zavier mendesis. “Aku tidak bisa. Biar bagaimanapun, dia sedang mengandung. Aku tidak akan jadi pembunuh bayi tak berdosa.”Tanpa menunggu jawaban, Zavier mengangkat Eliza dan berlari ke mobil. Ferdian hanya terdiam, lalu memberi isyarat pada Prass dan pasukan untuk ikut.***Rumah Sakit.Setiba di rumah saki

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Pelan-pelan Zavier

    Zavier melangkah mendekat, setiap jejak kakinya seperti dentuman palu di dada Eliza. “Kau pikir bisa mengelabui aku dengan bersembunyi di lemari? Kau salah besar, El.”Eliza mundur perlahan, punggungnya membentur dinding. “Jangan … jangan sentuh aku …” suaranya bergetar.Tatapan Zavier semakin tajam, senyumnya kejam. “Kau takkan bisa pergi dariku, El. Kau harus mempertanggungjawabkan semuanya. Malam ini, kau milikku.”“Ayo keluar!” suara Zavier membentak tajam, tangannya mencengkeram pergelangan Eliza dengan kasar. Ia menyeretnya keluar kamar, langkahnya lebar dan tergesa, membuat Eliza terseok-seok, hampir terjatuh. Nafas Eliza terengah, tubuhnya bergetar menahan sakit di pergelangan tangan. Mata Zavier menyala penuh dendam, setiap gerakannya seperti ingin segera menuntaskan misi—membawa Eliza ke hadapan ayahnya.“Zavier, lepaskan! Aku bisa jalan sendiri,” Eliza memberontak, mencoba menepis genggaman itu. Namun cengkeraman Zavier justru semakin keras.“Zavier … pelan-pelan, aku sedan

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Kehancuran

    Tawa tuan Willson menggema di ruangan rahasia itu, suaranya nyaring dan penuh kemenangan, seakan-akan tidak peduli meskipun pistol Ferdian sudah diarahkan tepat ke kepalanya. “Hahahaha! Kalian pikir bisa mengalahkanku? Kalian semua hanyalah bidak kecil dalam permainan besar ini!” ejeknya merasa puas.Namun kesabaran Ferdian telah habis. Wajahnya mengeras, jemarinya menarik pelatuk tanpa ragu.“Dasar tidak berguna!”DOR!DOR!DOR!Peluru menghantam tepat di dada Willson, menembus jantungnya. Tubuh tua itu terhuyung, matanya membelalak tak percaya, lalu ambruk tak berdaya ke lantai. Darah merembes cepat, mengotori marmer mahal di ruangan itu. Suasana hening seketika, hanya tersisa napas berat Ferdian yang bergetar menahan amarah bercampur lega.Zavier, yang sedari tadi menahan diri, segera bergegas keluar. Langkahnya cepat, tatapannya fokus. Di luar, dia menemukan Prass yang sudah menunggunya sambil memantau pergerakan musuh melalui perangkat kecil di tangannya.“Paman, di mana Mark pe

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Perang ll

    Napas Tuan Willson tersengal-sengal, dadanya naik turun cepat. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu, namun tekad di matanya masih menyala. Anderson tidak ada di sana—itu artinya musuh besarnya sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar. Dengan sisa tenaganya, Willson segera pergi dari sana, menahan nyeri di pinggang, lalu keluar dari arena pertempuran.Mark yang masih dihajar oleh pengawal-pengawal Anderson menoleh cepat, matanya melebar saat melihat ayahnya pergi. “Dad! Tunggu aku!” teriaknya, mencoba melepaskan diri. Namun lengahnya dimanfaatkan oleh Zavier. Dengan kecepatan kilat, Zavier melayangkan pukulan keras ke rahang Mark.Bugh!Tubuh Mark terhuyung lalu terhempas ke lantai. Pandangannya berkunang-kunang, dunia berputar liar, dan sebelum sempat bangkit, kegelapan menelannya. Ia tergeletak tak sadarkan diri, darah menetes dari sudut bibirnya.Zavier tersenyum tipis. “Kau sangat lemah, Mark,” desisnya lirih. Alih-alih menolong, ia segera berbalik. L

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Perang

    Keesokan harinya, sesuai dengan skenario yang sudah disusun Ferdian Anderson, berita tentang kondisi Darisa yang masuk rumah sakit meledak di berbagai media. Tajuk-tajuk besar bertebaran: “Istri Tuan Besar Willson Kritis di Rumah Sakit”, “Racun Misterius, Darisa dalam Kondisi Koma”. Foto-foto Darisa saat dibawa masuk dengan kursi roda tersebar luas, menimbulkan spekulasi liar dari publik.Kabar itu cepat menyebar, bahkan sampai ke para pengusaha pesaing. Sebagian menunggu kejatuhan keluarga Willson, sebagian lagi khawatir akan terjebak dalam pusaran konflik besar. Namun satu hal jelas: ini adalah pukulan telak untuk kehormatan keluarga Willson.Di ruangannya, Tuan Willson meremas koran hingga berkerut, wajahnya merah padam. “Anderson... brengsek itu!” suaranya bergema. Dengan kasar, ia membanting koran ke meja marmer. Mark yang duduk di samping hanya bisa mengepalkan tangan, menahan amarah yang sama.“Daddy, mereka sudah terlalu jauh. Menghina kita di depan publik dengan cara ini sama

  • Terjerat Hasrat Nyonya Muda   Menolak rindu

    Mark menghempaskan napas kasar, matanya menyala merah saat genggaman di lengan Eliza mengencang. “Ah, Mark, lepaskan!” Amarahnya memuncak. “Kau memberitahu orang lain kode rahasia mansion ini, hah?” tanyanya, matanya menatap tajam. Eliza menunduk, napasnya tercekat. “A-aku tidak … tidak.” Suaranya nyaris tak terdengar; tangan kecilnya meremas ujung gaun, kuku-kukunya menekan kain sampai terasa sakit. Mark menatapnya semakin tajam. “Tidak apa? Beraninya kau, El. Aku sudah bilang jangan keluar mansion! Kau bertemu siapa, hah?” Sejenak, keheningan memadat. Dari bibir Eliza yang bergetar keluar nama yang membuat ruangan itu seakan beku. “Za-zavier …” APAH? “Brengsek! Jadi kau memberitahu Zavier?” Detik berikutnya, Mark mendorong tubuh Eliza sampai hampir terhuyung. “Maafkan aku, Mark …” gumam Eliza, menunduk menahan rasa bersalah dan malu. “Maaf katamu. Kau memang harus diberi pelajaran.” Kata-kata itu seperti palu yang siap menghantam. Sebelum tangan Mark sempat melayang ke w

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status