Setelah makan malam selesai dan ruang makan kembali sunyi, Zavier kembali ke kamarnya yang sempit dan pengap. Ia duduk di ujung ranjang, membuka ranselnya dan menarik keluar ponsel jadulnya. Layar kecil itu masih menyala samar dalam gelap. Ia menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak kecil.
Tuuut ... tuuutt! klik! “Halo?” Suara itu langsung menggetarkan dadanya. Suara ibunya terdengar lemah tapi hangat di seberang. “Zavier, kau sudah sampai di kota? Kenapa tidak mengabari ibu? Ibu sangat khawatir sejak tadi.” Zavier mengusap wajah, menyembunyikan raut letihnya. Ia berbaring sebentar, lalu menjawab pelan, “Sudah, Bu. Aku sekarang di tempat kerja.” “Kau ... betah, Nak?” Pertanyaan itu terdengar polos. Tapi bagi Zavier, seperti ditusuk dari dalam. Matanya melirik dinding kamar yang dingin. Ia masih bisa mengingat tatapan tajam Eliza tadi, kata-katanya yang mengancam, dan sikap semua pelayan lain yang seperti boneka hidup. “Iya, Bu, betah kok.” Zavier memaksa senyum yang tak bisa dilihat siapa-siapa. “Orangnya baik-baik. Tempatnya juga besar dan nyaman.” “Syukurlah, Ibu jadi tenang dengarnya.” Suara ibunya bergetar sedikit. “Ibu selalu doakan kamu dari sini, Zavier.” Zavier memejamkan mata. Jika doa itu bisa mengubah tempat ini jadi rumah, mungkin ia tak akan merasa seperti narapidana sekarang. “Aku merindukanmu, Bu,” bisiknya. “Ibu juga. Hati-hati di sana ya ... jangan sampai sakit.” “Iya, Bu.” Sambungan terputus. Zavier menatap layar kosong. Wajah ibunya masih terbayang dalam benaknya. Ia merasa bersalah. Ia berbohong. Tempat ini tidak sehangat kata-katanya tadi. Bahkan sejak pagi, ia seperti hidup dalam labirin tak bernyawa yang hanya diisi tatapan sinis dan perintah keras. Belum sempat ia menarik napas lega, pintu kamarnya diketuk. Tok! Tok! “Zavier, ini Bibi Ruby.” Zavier segera bangkit dan membuka pintu. Ruby berdiri di sana dengan wajah serius. “Cepat, ikut ke ruang bawah tanah. Semua pelayan berkumpul untuk bersih-bersih besar.” “Ruang ... bawah tanah?” Zavier mengernyit. Ruby tak menjawab, hanya berbalik dan melangkah cepat. Zavier buru-buru mengikuti, menyusuri lorong-lorong panjang yang mulai gelap. Lampu-lampu temaram menyala redup, menambah kesan menyeramkan. Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu besi berat di ujung koridor. Dua pelayan laki-laki lain sudah menunggu di sana. Salah satunya membuka pintu, dan hawa dingin langsung menyergap. Tangga spiral batu menurun ke bawah tanah, remang-remang dan bau tanah lembap menyeruak dari bawah. “Ayo, jangan diam saja,” desis salah satu pelayan. Zavier menelan ludah dan mengikuti mereka turun. Ruang bawah tanah itu lebih seperti gudang tua raksasa. Penuh rak berdebu, perabot lama, dan kotak-kotak besar yang tak berlabel. Jaring laba-laba menggantung di mana-mana, dan debu tebal menutupi hampir setiap sudut. Zavier ikut menyapu, mengepel, dan membantu memindahkan barang-barang berat. Keringat mengalir dari dahinya, tubuhnya mulai terasa pegal. Di tengah kesibukan itu, ia berdiri di dekat seorang pelayan pria yang kelihatannya lebih senior. Wajahnya tegas, tapi ramah. Mereka mulai berbincang ringan. “Kamu baru, ya?” tanya pria itu. “Iya. Namaku Zavier.” “Aku Bram.” Zavier mengangguk. Saat hendak kembali mengangkat peti, matanya terpaku pada pergelangan tangan Bram. Ada bekas luka melingkar, masih merah, seperti hasil jeratan atau bakaran. “Eh tunggu, tanganmu itu kenapa?” tanya Zavier tanpa sadar. Bram sempat diam. Lalu tersenyum miris. “Hukuman.” “Hukuman?” “Aku ketahuan mencuri roti dan buah dua minggu lalu. Perutku kosong dan aku terlalu lambat waktu itu. Akhirnya ketahuan.” Zavier terdiam. Suasana di sekelilingnya terasa lebih dingin. Ia berpaling ke pelayan lain di sudut ruangan, seorang pemuda kurus yang sedari tadi tak bicara. Wajah pemuda itu terlihat aneh. Ada bekas luka robek di pipinya, seperti sayatan pisau yang sudah mengering. “Dan kamu, kenapa pipimu begitu?” Pemuda itu, bernama Gilang, menjawab singkat. “Aku jatuh. Tergesa-gesa waktu dipanggil Tuan. Tangga licin ... dan aku terlambat dua menit.” Zavier tak bisa berkata-kata. Ia memandangi mereka berdua dengan jantung berdegup lebih cepat. Tempat ini, bukan rumah. Tempat ini seperti penjara yang dibalut kemewahan. ** Zavier duduk sendirian di tepi rak tua, tepat di sudut ruang bawah tanah yang mulai remang. Tangan kirinya memegang sapu, tapi tak lagi bergerak. Peluh masih mengalir di pelipis, sementara pandangannya kosong menatap ubin kusam yang retak-retak. Pikiran Zavier melayang jauh. Tentang ibunya. Tentang kebohongan kecil yang baru saja ia sampaikan tadi di telepon. Tentang luka-luka yang menghiasi tubuh para pelayan. Tentang ruangan-ruangan sunyi yang seakan menyimpan rahasia. Dan tentang Eliza, wanita cantik yang nyaris menancapkan pisau ke wajahnya, lalu tersenyum manis di depan suaminya yang tak peduli. “Tempat ini … bukan tempat untuk orang sepertiku,” bisiknya pelan. Matanya menerawang, seperti ingin menembus dinding tebal mansion itu dan kembali ke rumah, tempat ibunya menunggu. Namun, tiba-tiba ... “ZAVIER!” Suara lantang itu menusuk, memekakkan telinga. Zavier tersentak keras. “A-aku di sini Nyonya ... ada apa?” Tubuhnya langsung tegak. Ia berbalik cepat ke arah sumber suara. Di sana berdiri Eliza. Wajahnya teduh tapi matanya tajam, menatap lurus ke arah Zavier seakan tahu apa yang baru saja ia pikirkan. Gaunnya berkibar pelan tertiup angin dari ventilasi bawah tanah. “Ikut aku sekarang.” “A-aku Nyonya?” “Iya! Kau tuli?” Deg! “Hm, baiklah.” Zavier menurut, mengikuti Eliza dari belakang. Jantungnya langsung berpacu lebih cepat. Dia dalam hati, Zavier bertanya-tanya, apakah dia telah membuat kesalahan? Tapi apa? “Semoga aku selamat dari singa betina seperti dia,” batinnya.“A-aku masih hidup?” suara Zavier terdengar parau, bergetar, seakan tak percaya dengan kenyataan yang ia rasakan.Tubuhnya masih terasa berat, lemah, penuh luka yang berdenyut perih di setiap sisi. Matanya berkeliling menatap ruangan itu. Aroma obat sangat menusuk. Bukan tempat yang dikenalnya, bukan pula neraka yang ia bayangkan jadi tujuan akhir setelah penyiksaan panjang dari Mark.Pintu masih setengah terbuka, dan di sana berdiri seorang pria dengan jas hitam kusut, wajahnya penuh peluh, tangan masih memegang suntikan. Dialah Prass, ia menatap Zavier dengan campuran terkejut dan lega.“Di mana aku?” tanya Zavier lagi, suaranya serak. Prass menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. “Kau ada di tempat yang aman, Zavier. Tenanglah.”“Aman?” Zavier menyipitkan mata, menatap tajam penuh curiga. “Kau siapa? Bagaimana kau tahu namaku?”Prass menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di samping ranjang. “Aku bukan musuhmu. Namaku Prass. Aku menemukanku kau di tengah hutan, hampir
Dua Minggu kemudian ...Ferdian Anderson duduk di kursi kulit hitam berseberangan dengan Prass, wajah tuanya penuh gurat lelah. Matanya sayu, jelas terlihat kegelisahan yang sudah berhari-hari menghantui pikirannya.“Bagaimana keadaan putraku, Prass?” tanya Ferdian dengan suara berat, seakan setiap kata yang keluar mengandung beban tak tertanggungkan.Prass, yang sedari tadi menatap berkas laporan medis di tangannya, mendesah pelan sebelum akhirnya menatap Ferdian dengan sorot mata serius. “Hmm … lukanya memang sudah mengering. Tubuh Zavier kuat, lebih kuat dari yang aku perkirakan. Namun—” Prass menekankan kata itu dengan nada berat. “Bekas luka di bahu dan punggungnya … tidak akan pernah hilang. Luka-luka itu akan menjadi tanda permanen, pengingat dari semua penyiksaan yang sudah dia alami.”Ferdian memejamkan mata rapat-rapat, lalu meraup wajah tuanya dengan kedua tangan. Getaran halus tampak jelas di jemarinya. Ia menghela napas panjang, penuh rasa sesal. “Anakku … kenapa kau haru
Tubuh Eliza terombang-ambing di antara kerumunan orang yang panik. Gaun panjangnya terinjak berkali-kali, membuat langkahnya kian terhuyung. Bahunya berkali-kali dihantam tubuh orang-orang yang berlarian tanpa arah. Suara tangisan, teriakan, dan dentuman benda pecah bercampur menjadi satu, menambah kekacauan di dalam ballroom hotel yang kini berubah menjadi lautan kepanikan.“Di mana Mark?” Eliza menoleh ke kanan-kiri dengan napas memburu. Matanya nanar mencari sosok Mark, Tuan Willson, atau siapapun dari keluarga Willson, namun wajah-wajah asing penuh ketakutan itulah yang memenuhi pandangannya.Hatinya semakin tercekat. “Daddy? Mom? Kalian di mana?!” suaranya bergetar, hampir tertelan oleh hiruk pikuk.Tiba-tiba—DUARRR!!!Ledakan kedua mengguncang hotel jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Lantai bergetar hebat hingga lampu gantung raksasa di atas kepala bergoyang keras, sebagian serpihannya jatuh menghantam meja-meja hidangan. Suara kaca pecah menggelegar, menambah kengerian malam
“Ada apa, Dad? Kenapa kita harus bertemu secara pribadi seperti ini?” tanya Mark sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam yang empuk. Kini, mereka berada di ruangan privasi di hotel tersebut.“Dad, kenapa memanggilku kemari? Apa ada masalah?” tanya Mark lagi.Namun Tuan Willson tidak langsung menjawab. Pria tua itu hanya menatap dalam ke arah putranya, lalu perlahan membuka map hitam yang dibawanya. Dengan tangan yang tampak tenang tapi penuh makna, ia menyerahkan beberapa lembar dokumen resmi ke hadapan Mark.Mark meraih dokumen itu dengan kening berkerut. Begitu matanya mulai membaca baris demi baris, pupilnya melebar. Lembar-lembar itu berisi akta peralihan kepemilikan, surat kuasa, dan dokumen hukum lainnya. Tangannya sedikit bergetar, lalu bibirnya membentuk senyum lebar.“Setelah anak yang dikandung Eliza lahir, kau akan menjadi pemilik WLS Group sesungguhnya,” ucap Tuan Willson dengan suara berat, penuh wibawa. “Daddy tidak akan ikut campur lagi. Semua aset, seluruh sa
“Tuan, sejak kapan Anda di sini? Maaf, aku habis ke toilet,” ucap Prass dengan nada canggung. Dia sedikit kaget melihat Ferdian sudah berdiri di sana.Ferdian terdiam, bahunya tegang, wajahnya tertunduk menatap dompet lusuh yang ia genggam erat. Matanya memerah, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak.“Tuan, apa yang terjadi?” Prass bertanya hati-hati, berusaha menebak apa yang telah ia lewatkan.Ferdian mengangkat kepalanya perlahan. Pandangan matanya tajam, namun berlapis emosi yang sulit dijelaskan. Bibirnya bergetar saat kata-kata itu meluncur, “Dia … dia putraku, Prass. Zavier putraku.”Prass terbelalak. “Hah? Di-dia ...“ tunjuk Prass ke arah Zavier yang terbaring lemah. “Putramu? Bagaimana … bagaimana bisa?”Dengan tangan gemetar, Ferdian mengangkat foto dari dompet itu. Foto seorang wanita yang tersenyum lembut. “Lihat ini. Dia adalah istriku yang sudah lama menghilang. Susan … dan fotonya ada pada dompet pemuda ini.” Suaranya pecah, penuh luka.Prass menelan ludah. “Tuan
“Ayo cepat, lambat sekali!” suara Mark terdengar dingin bercampur amarah. Tangannya yang kuat mencengkeram lengan Eliza dengan kasar, menariknya tanpa peduli pada langkahnya yang tertatih.Eliza berusaha mengimbangi, tubuhnya sedikit oleng karena gaun mewah yang menjuntai menyulitkan setiap langkahnya. Tumit tinggi yang dikenakannya makin membuatnya kesusahan, sementara tangan Mark terus menarik tanpa memberi kesempatan.“Mark … pelan-pelan … aku tidak bisa cepat,” suara Eliza bergetar, napasnya memburu, satu tangannya refleks mengusap perutnya. “Aku juga sedang hamil.”Namun Mark menghentikan langkahnya mendadak, menoleh menatap Eliza dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, suara rendahnya terdengar penuh ancaman.“Aku tidak peduli. Lagi pula itu bukan anakku.”Eliza tercekat, seolah udara mendadak berhenti masuk ke paru-parunya.Mark mendekat, wajahnya semakin dingin, bisikannya menusuk telinga Eliza bagai belati yang menorehkan luka tak kasat mata.“Jika bukan karena