“Apa yang Anda lakukan, Nyonya? Anda ingin bunuh diri?”Nada suara Zavier tajam. Napasnya masih memburu. Ia masih menahan Eliza dalam genongannya, memeluknya dengan erat. Tapi masih belum benar-benar percaya bahwa wanita di pelukannya barusan hampir saja mengakhiri hidupnya sendiri.Eliza mendongak perlahan, matanya membelalak. Rambutnya berantakan tertiup angin malam, gaun tipisnya berkibar tak karuan. Suaranya tercekat saat menyebut nama itu …“Za-Zavier …”Satu-satunya pria yang muncul seperti malaikat pelindung di malam tergelapnya.“Aku tidak tau apa masalahmu sebenarnya,” lanjut Zavier, suaranya mulai lebih tenang, tapi masih terdengar nada getir. “Tapi satu hal yang ingin kukatakan …”Ia menatap mata hazel Eliza tajam. “Bunuh diri bukanlah solusi.”“Banyak orang kehilangan arah, tapi mereka bertahan. Lalu kau? Kau yang selama ini begitu angkuh, segalak singa … ternyata kau justru yang paling lemah. Cih!”Wajah Eliza memerah, entah karena malu, marah, atau keduanya. Tapi lidahn
Pukul 22:00.Tap! Tap! Tap!Mark keluar dari ruang kerja menuju kamarnya dengan lesu. Raut wajahnya penuh beban, kerutan di dahinya semakin dalam, dan kantuk menggayuti kelopak matanya. Ia hanya ingin mandi sebentar, lalu tidur.Kriet!Daun pintu kamar didorong pelan, seketika alisnya langsung mengernyit tajam.“... Apa-apaan ini?” gumamnya nyaris tak percaya.Lampu kristal utama diredupkan, digantikan cahaya temaram dari lilin aromaterapi yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Kelopak bunga mawar merah menghiasi permukaan tempat tidur king-size, tersusun hati di atas seprai satin putih. Wangi vanila dan melati menyeruak perlahan, sekaligus membuat bulu kuduknya berdiri.“Siapa yang menyuruh—”“Sayang ...”Langkahnya terhenti. Dari balik kamar mandi yang pintunya setengah terbuka, muncul sosok Eliza.Ia mengenakan gaun lingerie tipis berwarna merah, berbahan nyaris transparan, menempel sempurna di tubuh langsing dan buah dada besarnya. Rambutnya digerai, mengilap dalam sorotan cahay
“Maaf, Tuan, saya tidak akan mengulanginya,” ucap Zavier dengan suara lirih, menunduk dalam-dalam, rasa malu membungkam seluruh pembelaan.Namun permintaan maaf itu tak cukup.Mark melangkah mendekat, dan dalam sekejap ...Bruk!Tangannya mencengkeram keras kerah seragam Zavier, menariknya ke depan hingga tubuh pria muda itu sedikit terangkat, napasnya tercekat.“Sekali saja aku lihat kamu mencuri makanan lagi …” bisiknya pelan tapi tajam, nyaris seperti desisan ular. “… akan kupotong tanganmu! Kau dengar itu?”Wajah Mark begitu dekat hingga Zavier bisa mencium aroma parfum maskulin bercampur amarah yang membara. Mata cokelat tajam itu menusuk seperti pisau yang siap menghujam lehernya kapan saja.Zavier hanya bisa mengangguk cepat, napasnya sesak, wajahnya memerah karena kerah bajunya terlalu ketat menahan lehernya.Mark mendorong Zavier ke belakang, membuat pemuda itu nyaris terhuyung jatuh, sebelum akhirnya Mark berbalik dan melangkah cepat meninggalkan dapur. Semua pelayan yang me
TOK! TOK! TOK!Pintu diketuk keras dari luar membuat Zavier terlonjak kaget.“Zavier, buka pintunya!”Zavier yang baru saja menyeka wajahnya, langsung refleks menoleh. Tubuhnya masih lemas, napas belum sepenuhnya teratur usai pembicaraan emosional dengan ibunya. Ia melangkah pelan dan membuka pintu.Kriek!Tampak Pak Gustav, kepala pelayan tua dengan raut wajah kaku, berdiri tegak dengan alis menyatu.“Ada apa, Pak Gustav?” tanya Zavier dengan suara lelah.Mata Gustav tajam menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Seakan ingin menelanjangi semua alasan dan membongkar kelemahan.“Pekerjaan di luar belum selesai, dan kau malah enak-enakan di dalam kamar.”Zavier menelan ludah, berusaha tetap sopan meski hatinya berdesir geram.“Tapi ... tadi saya sudah membersihkan halaman belakang. Sampai lantainya mengkilap, Pak.” Nadanya masih sopan tapi sedikit terdengar getir.“Kau pikir mansion ini hanya punya halaman belakang, hah?!” Suara Gustav meninggi. “Kamar Nyonya Eliza belum dibersihkan.”
“Ah, sebaiknya aku pulang. Itu bukan urusanku,” gumam Zavier sambil menggeleng pelan.Langkahnya kembali menuju mansion Willson terasa berat. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih dipenuhi bayangan kota: gedung tinggi, jalanan padat, dan Mark yang mengomel sepanjang jalan. Hatinya gamang. Seumur hidup ia hanya mengenal tenangnya desa, suara jangkrik malam, dan aroma tanah basah. Kini, dia seperti dilempar ke dunia yang serba cepat, dingin, dan kejam.Setibanya di mansion, dua pengawal kepercayaan Mark membuka gerbang. Zavier melangkah masuk, napasnya yang belum sepenuhnya tenang, dia malah mendapati kepala pelayan laki-laki, Pak Gustav, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi mengintimidasi.“Hei, kau ke mana saja?” suara berat itu menyambutnya, seperti palu godam.“Saya baru saja mengantar Tuan Marck ke kantor,” jawab Zavier, mengatur napasnya.“Bagus, sekarang bantu bersihkan halaman belakang. Seluruh pelayan sedang bekerja menyiapkan mansion untuk tamu penting malam ini. Nyonya El
Ruangan makan mendadak sunyi. Zavier masih berlutut dengan tisu di tangan, sedangkan Eliza duduk anggun dengan kaki terjulur, seolah tak terjadi apa-apa.Mark mendekat dengan langkah berat. Dia menatap tajam ke arah Zavier, lalu berpindah ke Eliza.“Kau tahu peraturannya, Eliza. Tidak ada pelayan yang boleh menyentuh istri pemilik rumah ini. Apalagi seperti ini.” Nada suara Mark dingin dan penuh ancaman.Eliza mengangkat bahu, senyumnya tak bergeming.“Tenanglah, sayang. Dia hanya membersihkan sup di kakiku.” Eliza berdiri perlahan, memiringkan kepalanya, membelai dada suaminya yang bidang. “Aku yang memintanya. Lagipula kau tahu sendiri … pelayan-pelayan tua di rumah ini lambatnya seperti siput.”Mark tidak langsung merespons. Tatapannya tetap menusuk Zavier yang masih berlutut.Zavier buru-buru berdiri, menunduk dalam. “Maaf, Tuan. Saya ... hanya mengikuti perintah Nyonya.”Huh!Mark mendengus pelan. Namun kilatan curiga di matanya mulai surut karena sikap tenang Eliza.“Lain kali,