Rona baru saja memasuki kamar mandi apartemen dan berniat membasuh wajah, begitu mendatangi apartemen yang dihuninya bersama sang kekasih. Niatnya terjeda lantaran perhatiannya terpaku pada benda kecil yang mencolok.
Ia meraihnya perlahan dengan tangan gemetar. Hatinya gelisah, tapi tetap berusaha berpikir positif di tengah kegilaan momen itu.
Testpack. Garis dua tebal. Rona menelan ludah. Seumur-umur ia baru melihat benda itu dengan hasil positif. Sebelumnya ia hanya melihatnya di layar televisi atau tontonan drama kesukaan.
“Jeff!” teriaknya langsung, memanggil nama kekasihnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi. “Jeffrian!”
Rona seperti kesetanan, memindai seluruh ruangan agar cepat menemukan Jeff. Ketika mendapati ruang tengah kosong, ia melangkah ke kamar utama. Tepat saat ia akan meraih kenop, sosok yang dicari muncul dengan wajah tanpa dosa.
“Kenapa, sih, pakai teriak segala? Aku di sini, nggak budeg!” dengkus pria itu. “Baru sampai apartemen bukannya salam, malah asal teriak. Ada apa, sih?”
Rona menahan napas sesaat. Lalu mengangkat temuannya dan menunjukkannya pada Jeff.
“Testpack ini punya siapa? Kamu bawa cewek lain ke apart kita? Kalian punya hubungan diam-diam di belakang aku?” Rona melontarkan banyak tanya, tak sabaran diselingi emosi meledak. “Siapa cewek itu? Artis baru? Model atau influencer?”
Kedua matanya memanas, air matanya mulai tak terbendung. Dalam sekali kerjap, semua luruh tanpa beban. Namun Rona tahan sekali lagi sampai penjelasan datang memenuhi rasa penasaran.
“Kamu nggak perlu tahu.” Jeff menyahut enteng sambil menyambar benda itu dari tangan Rona.
Telapak tangannya masih terbuka setelah barang yang ditemukannya diambil paksa. Ia keheranan tak pernah menduga bahwa kekasihnya mungkin berbuat hal buruk di belakang—yang menyakitinya habis-habisan.
“Aku berhak tahu!” Emosi Rona meledak. “Siapa? Siapa orangnya?!”
Jeff beringsut duduk di sofa dan memilih bungkam. Namun dari sorot matanya, Rona paham ada hal besar yang disembunyikan Jeff darinya.
Rona hendak menghampiri Jeff, tapi derap langkah muncul. Menandakan keberadaan orang lain di tempat yang sama.
Seorang wanita muda dengan crop top yang dipadukan celana super pendek itu melintas tanpa dosa. Dari sekian banyak influencer yang dikenalnya, Rona cukup tahu siapa wanita itu.
“Aku, Kak Rona.”
“Wena?” Rona tercengang—hampir tidak mampu berkata-kata. Pasalnya ia tak menemukan jejak wanita itu di apartemen, seperti sepatu atau alas kaki yang menunjukkan adanya orang lain.
Wena tersenyum sambil bergelanyut manja di lengan Jeff di sofa. “Sebenarnya aku nggak mau mempertahankan bayi ini, tapi karena Kak Jeff udah melamarku, jadi ya ... kami memutuskan menikah dan—“
“APA?” potong Rona tak percaya. Ia menunjuk kekasihnya dengan napas sesak. “Jeff, kamu ... kalian mau menikah?”
“Ini yang nggak aku mau, Na. Begitu semuanya dibuka, aku justru makin nyakitin kamu. Aku tahu aku salah, tapi aku nggak bisa ninggalin Wena dan anak kami.” Jeff mengutarakannya santai. “Aku sama Wena menikah bulan depan dan itu berarti ....”
“Putus.” Gelak tawa Rona memenuhi ruangan di tengah air mata yang mengucur deras. “Itu yang mau kamu sampaikan?”
“Ya.”
Sesak. Kerongkongannya terasa mencekit, bahkan untuk menelan ludah. Seakan ada kerikil yang menghadang aliran pernapasannya sekarang.
Tangan Rona menggapai-gapai hingga menemukan pinggiran kabinet untuk dijadikan tumpuan. Sembari mencerna situasi ini, ia berusaha menguatkan diri. Hingga tiba-tiba... Rona bergerak menarik dengan kuat rambut Wena tanpa ampun.
“Rona!” Jeff mendelik. Lalu bangkit dan menarik lengan Rona untuk memisahkan. Namun nyatanya tidak mudah, sebab Rona tidak lekas melepaskan cengkeraman rambut Wena. “Lepasin dia, Rona. Wena kesakitan!”
“Gue nggak peduli!” erang Rona yang masih berusaha menarik rambut pirang yang cukup bervolume itu. “Rasa sakitnya nggak sebanding sama apa yang gue rasain!”
“Kalau sesuatu terjadi sama Wena dan kandungannya, kamu mau tanggungjawab?”
Sontak Rona menatap Jeff galak. Perlahan tangannya mengendur dan melepaskan rambut itu. Beberapa helai tertinggal di telapak tangan, tapi tak ada rasa sesak yang tertinggal.
“Rambutku ... rambutku rontok banyak! Ini namanya kekerasan, aku mau dia dilaporin ke polisi, Kak!” sungut Wena, mengadu pada Jeff.
“Apa? Laporin?” Rona terhenyak sesaat. Buru-buru ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyalakan kamera. “Sebelum lo laporin gue, kebusukan kalian akan viral lebih dulu!”
Melalui bidikan kamera, Rona merekam wajah Wena dan Jeff. Walaupun Wena langsung refleks menyembunyikan diri di balik punggung Jeff, Rona tidak berhenti.
“Nih, lihat netizen, dua makhluk laknat yang selingkuh sampai punya anak haram!” seru Rona semangat.
Jeff pun bangkit dan mendekat. “Stop!” teriaknya seraya meraih ponsel Rona. “Kamu udah gila?”
“Ini wajah-wajah yang netizen puja!” Rona belum berhenti dan makin menjadi-jadi. “Cowok ganteng polos idaman banyak cewek. Lihat, kan, biar kelihatan polos begini dia aslinya brengs*k!’
Ada kepuasan yang menyerbu hatinya saat berhasil melakukan itu semua. Walaupun ia terus menerus diteriaki dan juga mendapatkan tatapan jengkel dari Jeff.
“Rona!”
Ketika teriakan itu menyapa telinga, Rona kehilangan ponsel. Jeff menyambar dan mengambilnya dalam sekejap.
“Balikin HP gue!” teriak Rona geram sambil menggapai-gapai tangan Jeff yang sibuk mengotak-atik layar benda pipih itu. “Jeffrian!”
Tak lama ponsel itu dikembalikan tanpa hasil video yang direkam tadi. Jeff telah menghapusnya tanpa jejak. Sialan.
“Jangan buat drama lagi dan lebih baik kamu pergi dari sini sekarang,” bisik Jeff memperingatkan.
“Pergi?” Rona mengangkat wajah. “Lo udah selingkuh, terus mau usir gue dari apartemen ini?” Satu tangannya berkacak pinggang dan sesekali menunjuk-nunjuk ke dada Jeff. “Lo lupa ya kalau apartemen ini hasih jerih payah gue? Pemilik unit ini aja atas nama gue, Jeff. Selingkuh sama cewek itu udah buat lo lupa ingatan sampai nggak tahu diri ya?!”
Rona tak lagi memedulikan sopan santun. Amarahnya tidak lagi bisa ditahan dan harus diluapkan sekarang.
Alih-alih menanggapinya langsung, Jeff justru menatap layar ponsel di genggaman. Lalu memperlihatkan layar tersebut yang menunjukkan mutasi rekening dengan nominal cukup besar.
“Aku udah transfer uang apartemen biar impas, dan masalah nama bisa kita atur nanti,” terang Jeff.
“Brengs*k!” maki Rona tak berhenti dengan buliran air mata membasahi pipi. “Brengs*k lo, Jeffrian!”
Selain caci maki yang terlontar, kedua tangan Rona pun menghujam tubuh Jeff tanpa ampun.
Kemurkaan di dada meledak tanpa bisa dicegah. Rona menyambar selimut dan mengacak-acak isi kamar ke lantai. Tak peduli seberapa hancur isi unit itu karena ulahnya.
“Rona, kamu udah gila?!”
“3 tahun kita pacaran, bisa-bisanya lo selingkuh dari gue! Bajing*n!”
Baru Rona merasakan kesenangan dan kepuasan sekaligus setelah melihat nasib Jeff yang berubah total, ia tersenyum dan terkekeh bahagia sambil berbaring di sofa.“Senjata makan tuan,” ujar Yuyun. “Siapa suruh selingkuh dan hamilin cewek lain. Emang enak jadi miskin dalam sekejap?”Rona melotot kaget. “Husss, jangan keras-keras. Takutnya kesialan balik ke lo, Yun.”“Ih, amit-amit deh!”
Pertanyaan Dov masih terngiang di kepala, membuat satu porsi es krim vanillanya mencair sebelum dihabiskan. “Muka lo kayak orang banyak utang, Na.”Suara Yuyun yang asal ceplos hanya bisa mengalihkan fokus Rona sebentar. Itupun hanya menggerakkan sendok di mangkuk es krim tanpa memasukannya ke mulut. “Janish Merona?”“Hmm.”
Rona pergi ke toilet setelah rapat menegangkan itu selesai. Aliran air dari kran wastafel menghujani telapak tangannya yang masih kaku akibat sikap ibunda Dov sepanjang kegiatan tadi.Baru saja ia menghela napas dan mengatur rambut, Jessi muncul dari pintu dengan wajah penuh seringai.“Ternyata Tante Widya nggak suka sama calon menantunya, ya.” Jessi berkata dan berdiri di samping Rona. “Anehnya beliau malah masih lengket sama aku, padahal aku udah jadi mantan Dov.”Sesaat Rona terdiam, lalu kembali memperbaiki penampilan. Mengoles kembali lipstick warna coral yang membuat wajahnya tampak natural dan segar.Dari omongan Jessi, Rona langsung paham maksudnya. Terutama begitu nama ibunda Dov disebutkan secara gamblang.“Perlu tips nggak?”Rona akhirnya menoleh. “Tips?”“Bukannya kamu perlu mengambil hati Tante Widya?”“Buat apa?”Sejujurnya Ron
“Rona, kenapa kamu diam?”Ruangan itu hening. Hanya suara pendingin ruangan yang berdengung pelan, bersahutan dengan detak jantung Rona yang mendadak terasa nyaring di telinganya.Dov duduk di hadapannya, masih dengan raut serius. Berbeda dengan matanya yang memancarkan ketenangan, juga ketertarikan yang mampu Rona tebak.Semua ini kelewat membingungkan, walaupun segala sikap Dov sudah terlihat jelas arahnya. Namun Rona masih saja terbawa takut setelah dikhianati Jeff yang berani memilih wanita lain, bahkan menghamilinya.“Rona,” panggil Dov lagi. “Apa kamu masih khawatir soal orang tuaku?”Rona menelan ludah. Kata "tunangan" menggema di benaknya, tapi bukannya membuatnya tersenyum, ia malah merasa seperti terjebak di dalam ruang tanpa jendela.“Dov, kayaknya kita—” Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Lidahnya kelu.Hatinya tidak terasa diremat-remat seperti saat menjumpai Jeff memilih Wena. Perutnya justru merasakan ratusan kepak kupu-kupu yang bersemayam lama.Apakah ini cinta?
“Berani-beraninya kamu mempermalukan Mama di depan staf kamu, Dov! Dan kamu melakukannya demi wanita pansos itu?!” Wanita paruh baya itu menggersah kasar sambil memijit pelan keningnya yang berdenyut-denyut. “Mau ditaruh mana muka Mama ini sekarang? Kamu jelas-jelas membela orang asing daripada ibumu sendiri.”Baru saja Dov masuk ke ruang kerjanya setelah mengantar Rona ke ruangan privasi yang sengaja dibuat untuk istirahat di sela-sela kesibukan. Lalu sekarang ia harus dihadapkan ibunya sendiri yang masih mencerocos penuh keluhan.“Lihat sendiri, kan, Jessi? Dov itu benar-benar kelewatan!” Mama kini mulai menarik mantan Dov seakan-akan sangat membutuhkan pertolongan. “Kayaknya benar apa kata kamu, Dov kena pelet wanita itu. Buktinya sekarang, dia berani sama ibunya sendiri. Sama Tante lho, orang yang melahirkan dia.”Dov meraup wajah kasar sambil menatap betapa berlebihannya omongan sang ibu. Pun tatapan Jessi yang menunjukkan keprihatinan padanya. “Tenang aja, Tante. Mungkin Dov la
“Tumben banget muka lo berseri-seri gini?”Yuyun menatap Rona dengan raut keheranan. Kedua alis yang belum dilukis itu bertaut dan disertai kening yang berkerut-kerut.Rona mengangkat wajah dari tablet yang berada di pangkuan. Ia membalas tatapan Yuyun sambil mengerjap pelan. “Ada yang salah?”“Tuh.” Yuyun mengedik pada tampilan tablet yang menunjukkan betapa pad